Chapter 10
Third P.O.V.
Kosong, dan hampa.
Seperti itulah keadaan seorang Akashi Seijuuro sekarang. Ia telah bertemu dengan Kuroko Tetsuya-dan telah melepas (Name) sepenuhnya. Akashi hanya tertawa getir mengingat kejadian itu.
Kini, tubuh Akashi Seijuuro berada dalam kesadaran Bokushi-bukan Oreshi yang sepenuhnya mencintai (Name).
Harusnya ia baik-baik saja, bukan? Toh, gadis lemah itu bukanlah siapa-siapa, dan ia seharusnya tidak memikirkan itu.
Namun-tidak bisa. Dalam benaknya, selalu terbayang sosok gadis itu, sosok (Name) yang selama ini selalu berada di sisinya, meski hanya ditanggapi Akashi dengan dingin dan tidak peduli.
Apakah ini karma-atau sesungguhnya ini adalah perasaan Akashi yang sebenarnya? Entahlah, Akashi tidak bisa memberikan jawaban yang tepat.
Ia merasa kacau. Bisa-bisanya ia masih memikirkan (Name) sampai seperti ini? Sungguh tak masuk akal.
"Tck, brengsek!" Akashi memukul sandaran kursi taman guna melampiaskan kekesalannya. Ia kemudian bersandar, dan memijit pangkal hidungnya pelan. Ia benar-benar gelisah, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya-terutama setelah kejadian itu.
'Tidak perlu dipikirkan, Akashi Seijuuro. Ini pasti efek si bodoh itu sempat menguasai tubuh ini-perasaannya pada gadis itu sedikit muncul. Aku tidak boleh mengkhawatirkan ini sedikitpun,' batin Akashi dalam hati. Ia menghujat dirinya yang satu lagi, karena perasaannya yang lemah itu berdampak pada kondisi tubuhnya yang sekarang, pikirnya.
"Sei-kun!"
Suara seorang gadis menyapa Akashi dari kejauhan, ia mengenal dengan betul suara siapakah itu. Ia menoleh ke sumber suara, tetapi berbeda dari yang biasanya-ia tak bisa mengulas senyum meski ia mendapati sosok gadis berambut merah muda yang sangat ia kenali.
Ya, dia adalah Momoi Satsuki.
Dia adalah kekasih Akashi Seijuuro yang sesungguhnya. Bukan Kuroko (Name). Bukan si gadis lemah yang hanya menaruh cinta buta padanya-setidaknya, begitulah pikir Akashi.
Benar. 'Akashi Seijuuro' hanya mencintai Momoi Satsuki, bukan Kuroko (Name).
Sampai kapanpun, ia takkan menaruh rasa pada gadis itu. Sungguh.
"Satsuki ...." Akashi tetap tak mengulas senyum ketika sang gadis berambut merah muda itu menghampiri. Entah kenapa, perasaannya hari ini sedang tidak baik-baik saja-untuk mengeluarkan senyum saja malas rasanya.
Momoi mengerucutkan bibirnya seraya duduk di sebelah Akashi dengan kesal, ia menyandarkan kepalanya pada bahu Akashi dan memeluk lengannya. "Mou, Sei-kun! Kenapa tidak antusias begitu?"
"Apa ada masalah~?"
Akashi menghela napas berat, benar ia tidak baik-baik saja-tetapi, tentu ia takkan mengakui itu. "Aku baik-baik saja, Satsuki."
Gadis itu kemudian terkekeh kecil dan bermanja-manja pada Akashi, ia bermaksud menghibur Akashi dengan menunjukkan sisi imutnya seperti biasa. "Hehe~ tentu saja Akashi-kun baik-baik saja. Hubungan kita semakin lama semakin baik, bukan? Apalagi setelah Sei-kun berpisah dengan gadis bodoh itu!"
Deg.
Satu kalimat yang diucapkan oleh Momoi membuat perasaan tak enak muncul di hati Akashi. Akashi merasa kesal, entah karena apa.
"Yah~ harusnya gadis itu sadar sejak dulu, 'kan? Mana mungkin dia cocok bersanding dengan Sei-kun!"
Jantung Akashi berdebar-debar, ada rasa marah yang aneh ketika mendengar Momoi berbicara seperti itu. Namun, ia masih tidak bereaksi-setidaknya, belum sekarang.
"Toh, aku dengar dia adalah gadis penyakitan yang sebentar lagi mati, 'kan? Umurnya pasti sudah tidak lama lagi!"
Sembari Momoi tertawa-tawa menghina (Name), raut wajah Akashi terlihat tidak senang. Emosinya sudah bergejolak, amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Jika ditanya apa alasannya marah, Akashi juga tidak mengerti-hanya saja, mendengar perkataan kurang ajar Momoi, ia tak bisa diam saja.
Akashi kemudian menepis lengan Momoi dengan kasar, bersamaan dengan ia beranjak bangkit dari posisi duduknya. Ia sudah muak mendengar celotehan yang dikeluarkan gadis itu.
"Sei ... kun?"
Tatapan Momoi tertuju pada Akashi, ia tak percaya Akashi akan menatapnya dengan sinis. Ia ingin berkata-kata-tetapi, tenggorokannya tercekat, tak berani bicara melihat Akashi yang tidak seramah biasanya.
"Jangan berani bilang seperti itu di hadapanku, Satsuki." Suara Akashi terdengar dingin, ia sudah muak mendengarnya. Ingin sekali ia membungkam Momoi-tetapi, ia tidak boleh menghajar seorang perempuan. Akashi memalingkan wajah ketika melihat Momoi yang kebingungan. "Hubungan kita berakhir. Kau pulang saja, sana."
Belum sempat Momoi mengajukan pertanyaan dan protes, Akashi terlebih dahulu meninggalkan tempat itu. Momoi beberapa kali meneriakkan namanya, tapi tak didengarkan oleh Akashi.
Ia semakin menjauhi taman itu. Ia berlari, jantungnya berdebar tak keruan. Suara detak jantungnya terdengar lebih jelas dibanding suara derap kakinya. Pikirannya kacau, ia bahkan tak tahu ingin pergi ke mana. Ia marah, karena Momoi.
'Oya? Tak kusangka kau akan memutuskan Momoi, bukannya kau mencintainya, hm?'
Satu kalimat terlintas di benak Akashi, tetapi ia tidak meresponnya. Ia masih gundah, bahkan untuk menjawab kalimat serupa ejekan dari dirinya yang lain pun ia tak mau, ia merasa begitu enggan.
"(Name) ...."
Hanya nama itu yang terucap dari bibirnya. Nama gadis yang sudah ia campakkan-tetapi justru membuatnya menjadi sekacau ini.
***
Akashi P.O.V
"Kau menyuruhku menemui (Name)?"
Aku memandang Chihiro dengan sinis. Berani-beraninya ia menyuruhku? Entah sejak kapan ia menjadi seberani ini-ia yang dahulu bahkan tak berani menyangkalku.
"Akashi ...." Ia balas menatapku, tetapi kali ini dengan tatapan tajam, tak seperti biasanya. Aku menunggu dia menyelesaikan kalimatnya. Tatapan tajam ia berikan padaku, tarikan napas dalam-dalam ia lakukan sebelum berucap, "(Name) sedang ada di rumah sakit sekarang. Kondisinya semakin memburuk."
"Apa kau tahu kau sudah banyak berbuat jahat padanya. Apa kau tak ingin minta maaf?"
Tanpa sadar aku mengeluarkan tawa, sungguh lucu sekali perkataannya. Aku sudah tahu lebih dahulu-bahwa aku sejahat itu. Kalau begitu, memangnya kenapa? Toh, aku memang laki-laki yang jahat.
Hei, apa kau sudah menyesal sekarang?
Tsk, diam saja. Jangan ganggu aku. Kau kira aku yang bersalah?
"Apa kau tidak peduli padanya, Akashi Seijuuro?!" Nada suara Chihiro meninggi, rasanya seperti deja vu, beberapa bulan lalu pun Tetsuya meninggikan suaranya padaku. Aku tersentak ketika mendengarnya. Ia menghampiriku dan menggebrak meja yang ada di hadapanku. Tatapannya yang berapi-api dipenuhi amarah ia tujukan padaku. Ia berkata, "Perasaanmu pada (Name) itu tulus ... tapi mengapa kau benar-benar tidak peduli padanya?! Sungguh, aku membencimu, Akashi Seijuuro!"
"Dia sudah berjuang ... tapi-umurnya ... sudah tak lama lagi ...." Suara Chihiro menjadi berat lagi-ia sudah tak berteriak. Aku merasakan kesedihan terlintas di wajahnya, bahkan bisa matanya berkaca-kaca. "Apa kau tidak bisa paham ...? Mengapa ada orang seperti kau?"
"Kau sungguh tidak punya perasaan. Iblis sepertimu tak pantas bersama (Name). Bahkan di saat-saat terakhirnya ini, kau-"
"Cukup, Chihiro."
Aku sudah muak. Aku tak ingin lagi mendengar ucapan semacam umur (Name) sudah tidak panjang lagi. Memangnya kenapa, aku tanya? Kalian kira aku akan merasa bersalah? Lucu. Hanya tatapan kosong tanpa emosi yang terpampang di wajahku. "Pergi."
Chihiro memandangku dengan tatapan kesal, ia sepertinya sudah menduga akan reaksiku yang seperti ini. Ia membalikkan badan dan kemudian meraih kenop pintu. Tanpa menatapku-ia berkata, "Rumah Sakit Kyoto. (Name) ada di sana."
"Ah, tapi tak ada gunanya aku memberitahu. Toh, pada akhirnya kau memanglah bajingan yang takkan menaruh empatimu padanya."
Tanpa aba-aba lagi, akhirnya laki-laki berambut perak itu meninggalkan ruanganku dengan bantingan pintu kasar sebagai penutup. Hanya tersisa diriku seorang di ruangan ini.
Kau lupa, ada aku juga?
Diam. Aku sedang tak mau berbicara denganmu, bodoh.
Apa kau tak ingin menemui (Name)?
Apa yang membuatmu bertanya seperti itu? Kau pikir aku peduli pada gadis lemah itu?
Jika kau tidak peduli, kau akan menertawakan (Name) bersama Momoi waktu itu, kau juga takkan berpisah dengan gadis yang 'sempurna bagimu.'
...
Kenapa kau diam saja? Berarti, tebakanku benar. Kau sebenarnya peduli pada (Name), bukan?
Bisakah kau diam? Sudah kubilang aku tak mau bicara denganmu. Aku benci padamu, Akashi Seijuuro.
Aku yakin kata-kata itu kau tujukan untukmu juga, 'Akashi Seijuuro'.
... diam.
Oh, diriku yang lain, aku lebih mengerti dirimu dari yang kau kira. Aku memberikan saran untukmu, lebih baik kau segera mengunjungi (Name).
Aku tidak mau.
Kau yakin takkan menyesal?
... aku ... yakin.
Jangan membohongi perasaanmu sendiri. Aku bisa mengerti dirimu. Sebab, kau adalah aku juga-dan kita memiliki perasaan yang sama.
Kau juga mencintai (Name), 'Akashi Seijuuro'.
Aku tidak akan pernah mencintainya, bukankah aku sudah pernah bilang?
Kau tak perlu berbohong lagi. Kau akan menyesal seumur hidup jika tidak pergi melihatnya, dan meminta maaf dengan tulus.
Tunggu apa lagi, Akashi Seijuuro? Ayo, 'kita' harus pergi, ke tempat (Name).
Apakah kau yakin dia masih mau bertemu denganku? Dia pasti ... sudah membenciku.
Jangan khawatir. Percayalah, dia takkan seperti itu .... Kita harus bertemu dengannya.
.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro