Bab 22
Anne terantuk ban mobil saat turun dari kendaraan. Sedikit pusing karena terlalu banyak minum bir. Ia sangat marah pada Ardan yang menolak membawanya ke pesta, padahal ia sudah berjanji akan bersikap baik dan tidak akan membuat masalah. Jawaban yang diterimanya membuat marah.
"Memangnya kamu ngerti apa soal bisnis? Pertemuan ini hanya khusus orang-orang yang punya jaringan bisnis luas dan berkuasa. Anne kamu bukan siapa-siapa, tidak seharusnya ingin ikut."
"Aku pacarmu, Ardan!"
"Hanya pacar dan bukan siapa-siapa. Diam saja kamu kalau masih ingin bersamaku. Jangan banyak menuntut atau—"
"Atau apa? Memutuskanku? Tidak semudah itu kamu memutuskanku. Jangan mengancamku, Ardan!"
Setelah itu mereka kembali berdebat dengan seru, Ardan mengamuk, Anne tidak kalah marah. Meski akhirnya kalah berdebat, menangis dan meraung, Ardan tetap tidak mengajaknya pergi. Dalam keadaan kesal memutuskan untuk mabuk bersama teman-temannya dan sekarang pulang dalam keadaan sedikit oleng. Masuk ke ruang tamu ia mengeluh karena sang mama belum tidur. Perempuan yang melahirkannya itu berbaring malas di kursi ruang tengah, menonton tayangan film lawas di televisi.
"Ma, belum tidur?"
Antari terbangun dari tidur ayam, melambaikan tangan pada anak sulungnya. "Kemari kamu, mama mau ngomong penting."
Anne mendesah, duduk di sebelah sang mama. "Kenapa, Ma? Aku ngantuk."
Mengernyit dan mengendus tubuh anaknya, Antari memukul bahu Anne dengan keras. "Kamu mabuk?"
"Hanya minum bir dikit. Nggak sampai mabuk."
"Masih berani nyetir? Gila kamu, ya? Mau setor nyawa ke malaikat maut?"
"Maa, ada apa, sih? Aku capek, stop dulu ceramahnya."
Antari berdecak tidak puas menatap anak perempuannya. Menggeleng perlahan untuk mengusir rasa marah. Ia meraba leher, mencopot kalung dan menunjukkan ke depan Anne.
"Kamu ingat kalung ini bukan?"
Anne menatap kalung emas dengan liontin batu putih. "Berlian pemberian Rexton?"
"Benar, mama nggak pernah periksa grade berapa berlian di kalung ini. Rexton bilang harganya cuma lima jutaan. Mama simpan terus di lemari karena malu pakainya, maklum berlian murah. Tadi nggak sengaja mama nemu kotaknya dan ternyata ada sertifikatnya. Kamu tahu berapa harga aslinya?"
"Tiga juga?" tebak Anne.
"Salah, dua puluh lima juta!"
Anne melongo kaget. "Mama serius? Salah baca kali."
Antari menggeleng. "Nggak, mama udah chek ke tokonya langsung. Ada cabangnya di dekat sini dan mereka konfirmasi harga sebenarnya. Anne, Rexton ngasih mama berlian harga dua puluh lima juga dan bilang harganya cuma lima juta. Padahal dia cuma pengantar makanan biasa. Kalau berlian colongan atau apa, nggak mungkin ngasih sama sertifikat. Toko juga mengecek keaslian sertifikatnya. Anne, siapa sebenarnya Rexton? Nggak mungkin kalau cuma pengantar makanan mampu membeli berlian semahal ini?"
Meraih berlian di tangan sang mama, Anne mengamati dengan lekat. Berlian ini diberikan sebagai hadiah ulang tahun sang mama. Saat itu Rexton bahkan mentraktir makan malam. Belum lagi hadiah lain yang diberikan untuk adiknya, sang papa dan juga dirinya. Ia teringat akan gelang emas yang diberikan Rexton dan berniat mengecek keasliannya. Tadinya ia berpikir kalau barang-barang yang diberikan Rexton adalah palsu, tapi ternyata dugaannya salah.
"Arlogi yang diberikan untuk papamu juga nggak murah, harganya belasan juta. Anak itu, siapa dia sebenarnya Anne?"
Anne menggeleng, mengembalikan kalung berlian pada sang mama. Ardan bahkan tidak menberikannya hadiah sebesar ini, hanya membelikan tas dengan harga di bawah sepuluh juta saja. Meskipun mengajak makan malam di restoran mewah tapi perhatiannya jauh dari yang diberikan Rexton untuknya.
"Kamu memutuskan Rexton karena menganggapnya miskin, memilih Ardan yang anak pengacara terkenal itu. Sampai sekarang, Ardan cuma ngasih tas kamu dan juga baju-baju itu. Nggak pernah datang kemari dan ingin mengenal kita. Anne, mama yakin kamu salah pilih. Rexton tidak sesimple yang terlihat."
Untuk kali ini Anne sepakat dengan perkataan sang mama, sepertinya Rexton menyembunyikan sesuatu. Saat mengecek gelang keesokan hari ke toko emas dan mendapati kalau harga yang didapat ternyata sangat mahal, jauh lebih besar dari harga berlian milik sang mama, Anne diliputi penyesalan besar. Harusnya ia bisa menahan diri untuk tidak terjebak dalam rayuan Ardan. Terlambat sudah untuk menyesal tapi Anne masih akan berusaha sekali lagi mendapatkan mantan kekasihnya kembali.
"Aku akan menyingkirkan Fiore dari samping Rexton. Sebelum itu aku akan menyelidiki siapa Rexton sebenarnya."
**
Rexton berdiri di teras kos dengan gelisah. Ia sudah mengirim pesan pada Fiore untuk menjemput tapi tidak ada jawaban. Gadis itu mungkin sedang sibuk merapikan tempat pesta yang sudah berakhir. Waktu menunjukkan pukul dua pagi, tapi tidak ada tanda-tanda kemunculan Fiore. Ia bertemu beberapa penghuni kost yang baru pulang, bertegur sapa sebentar sebelum mereka masuk ke kamar masing-masing. Sebenarnya Rexton tidak akan segelisah ini kalau saja Riona tidak mengirim pesan padanya yang memberi kabar soal Fiore.
Gadis itu berhadapan dengan Fania dan teman-temannya, ditindas serta dipaksa untuk melakukan banyak hal memalukan. Kalau Riona tidak mencegah, Fiore sepertinya akan mengalami banyak hal yang menyakitkan. Rexton tidak mengerti kenapa Fania seperti menaruh dendam pada Fiore dan bagaimana bisa saling mengenal satu sama lain. Terlalu kuatir membuatnya menunggu dengan sedikit gugup. Berharap Fiore tidak menaiki ojek melainkan taxi. Dengan begitu aman sepanjang jalan. Mengingat bagaimana hematnya gadis itu, Rexton tidak yakin harapannya akan terwujud.
Sebuah motor berhenti di pinggit jalan, tatapan Rexton melayang menembus kegelapan. Sosok Fiore muncul, berjalan lunglai ke arahnya.
"Fiore, kenapa naik ojek? Aku suruh naik taxi."
Fiore menatap terkejut pada Rexton. "Kenapa belum tidur?"
"Aku menunggumu. Dari tadi siang kamu sulit sekali dihubungi."
"Maaf, terlalu sibuk. Aku pikir hanya jadi pramusaji saja, ternyata menatap kue, merapikan tempat dan sebagainya. Untung bayarannya lumayan."
Menghenyakkan diri di kursi kayu yang ada di teras, Fiore menghela napas panjang. Merasa lega sudah ada di rumah. Ia menjulurkan kaki dan menepuk-nepuk paha sampai betis. Berdiri dan berjalan terlalu lama membuat kakinya kaku.
Rexton ikut duduk di sampingnya, menatap kuatir melihatnya kelelahan. "Ada sesuatu yang nggak mengenakkan terjadi di sana?"
Fiore mengangkat wajah dengan heran. "Kok kamu tahu?"
"Kelihatan dari wajahmu. Kayak nggak biasanya murung gitu. Ceritain semua jangan ada yang ditutupi."
Fiore mendesah, tersenyum kecil pada Rexton. Ia berniat menyimpan sendiri apa yang terjadi malam ini tapi tidak tega kalau harus berbohong pada Rexton yang sudah menunggunya pulang. Rasa terharu menyentuh hati mungil Fiore. Berdenyut untuk laki-laki muda di sampingnya.
"Aku bertemu Ardan di pesta."
Mata Rexton membulat. "Kok bisa?"
"Entahlah, sepertinya Ardan adalah teman dekat tuan rumah. Siapa perempuan cantik itu? Kalau nggak salah ingat namanya Fania. Mereka satu kelompok, duduk satu meja bersama anak-anak orang kaya lainnya. Saat melihatku sebagai pelayan, Ardan yang masih dendam ingin mengerjaiku dibantu oleh Fania. Ardan marah dan kesal aku bisa terima tapi kenapa Fania juga menekanku, itu yang aku nggak paham."
"Apa yang mereka lakukan padamu?"
"Menyuruh banyak hal, bolak balik mengambil minum, makanan, menuang anggur, dan banyak lagi. Ardan sengaja menumpahkan anggur di sepatu, kalau nggak ada nona dan suaminya yang datang menyapa, aku pasti sudah dipermalukan."
Rexton mengepalkan tangan, menahan marah yang menggelegak. Tidak menyangka kalau wajah secantik Fania dengan sikap lembutnya ternyata menyimpan kebusukan. Kalau Ardan, ia tidak terlalu terkejut. Laki-laki muda itu memang sombong bukan kepalang. Selain itu punya sifat pengecut karena melampiaskan rasa kesal pada gadis yang tidak berdaya. Rexton tidak akan membiarkan keduanya terus semena-mena pada Fiore.
"Ayo, ke atas. Kamu mandi lalu tidur. Menunggu sampai waktu magang tiba, jangan kerja part time lagi."
Fiore tersenyum kecil, menapaki anak tangga dengan perlahan. Tidak menolak saat Rexton memapahnya. "Fariz butuh uang, aku nggak bisa ngasih tabunganku karena buat jaga-jaga."
"Kalau memang butuh kerja part time, nanti aku carikan di restoran."
"Bisa?"
"Bisa, Fiore. Ingat, janji jangan cari kerja part time lagi di luaran sana."
"Iya, oke. Aku janji."
"Cewek baik."
.
.
Tersedia di google playbook, Karyakarsa, sedang PO.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro