Bab 11
Rexton mengabaikan sapaan sepupunya dan memilih untuk duduk di samping sang kakek. Mendapat tepukan ringan di bahu oleh sang kakek yang berusia lebih dari delapan puluh tahun. Meski begitu masih terlihat sehat dan bugar. Jarang sekali mendengar kakeknya sakit dan itu melegakan keluarga Genaro. Selama ini mereka selalu kuatir dengan keadaan kepala keluarga yang sudah berusia lanjut. Meski begitu sang kakek terkenal sangat menjaga kebugaran dengan rajin berolah raga.
Di dunia bisnis tidak ada yang tidak mengenal
"Kemana saja kamu selama ini? Mengerjakan proyek makanan?" tanya si kakek.
Rexton mengangguk. "Begitulah, Kek."
"Bagus! Kamu sudah dewasa, belajar mandiri biar kelak bisa memimpin perusahaan."
Terdengar deheman dari depan Rexton. Kakak sepupu tertuanya yang bernama Martin mengeleng cepat. Seakan tidak setuju dengan kata-kata sang kakek soal Rexton. Di sampingnya sang istri yang berwajah bulat dengan rambut ikal sibuk menyendok makanan untuk anak mereka yang berumur lima tahun. Bocah laki-laki pendiam dengan kacamata. Rexton cukup menyukai bocah itu tapi tidak dengan orang tuanya yang selalu bersikap sinis.
"Kek, kenapa nggak adil gitu? Yang ditanya cuma Rexton. Padahal aku dan Edy kerja banting tulang tiap hari."
Edy, laki-laki yang menginjak tiga puluh dengan tubuh atletis dan berkacamata menyetujui ucapan Martin. "Semestinya kami mendapat apresiasi juga! Mungkin karena setiap hari bertemu kami jadi dianggap tidak ada. Hanya Rexton yang Kakek pedulikan!"
"Bicara apa kalian ini?" Gunar menghardik cucu-cucunya. "Kalian setiap hari di kantor, mendapatkan fasilitas mewah dari ruang kerja, mobil, sampai rumah gedong. Kurang apa lagi, hah?"
"Itu'kan sesuai dengan pekerjaan kami?" sela Martin keras kepala.
"Aku tahu kalian sibuk, pekerja keras juga, karena itu tidak mempermasalahkan kalau kalian menghamburkan uang secara berlebihan. Sedangkan Rexton, jarang ke kantor, tidak pernah pakai fasilitas perusahaan, tapi laporan laba selalu masuk. Memangnya salah kalau kakek apresiasi kerjanya juga?"
"Restoran sudah menghasilkan laba?" Zemima, mama dari Rexton bertanya dengan takjub. Muncul dari dapur dengan membawa piring besar berisi makanan dan meletakkan di depan sang kakek. Lalu memeluk anak laki-lakinya. "Kerena amat kamu, Sayang."
Rexton mengusap lengan sang mama yang melingkari bahunya. "Sedang belajar, Mom."
"Anak hebat, pantas saja Kakek bangga padamu."
Gabino sibuk menyuap makanan, tidak mengatakan apa pun pada istri dan keluarga yang lain tentang aktivitas anaknya. Ia tahu apa yang dilakukan Rexton selama ini di luar, berapa banyak laba yang dihasilkan, dan semua hal yang direncanakan. Rexton selalu melaporkan setiap tindakan padanya, terkadang melaluia Barry atau Riona. Tidak perlu harud diumbar agar orang-orang tahu. Rexton juga sepakat untuk tetap diam dan bekerja dengan tenang.
"Kenapa diam saja? Kamu nggak bangga pada anak kita, Pi?" tanya Zemima pada suaminya.
Gabino tersenyum simpul. "Bangga tentu saja." Satu kalimat pendek dan hanya itu, Gabino tidak ingin mengumbar pujian. Pandangan matanya bertemu dengan Rexton dalam satu pemahaman yang sama. Saat berkumpul seperti ini, tidak perlu banyak bicara untuk menghindari perselisihan.
"Bagus, mumpung kita berkumpul malam ini. Kita bersulang, makan yang enak, dan saling mengakrabkan diri demi keluarga Genaro!"
Semua orang mengangat gelas mereka dan bersulang, Rexton menyesap minumannya dan mendengarkan percakapan yang bergulir di sekitar meja. Martin dan Edy tidak lagi menyerangnya, mereka sibuk dengan keluarga masing-masing. Sang kakek mengobrol dengan Gandhi, si anak bungsu. Sementara anak tertua, Guma sedang terlibat diskusi dengan Gabino. Pendiri Genaro Group adalah sang kakek yang bernama Gunar, mempunyai tiga anak laki-laki yaitu Guma, Gabino, dan Gandhi. Guma memiliki satu anak laki-laki yaitu Martin. Sedangkan Gabino punya dua anak Rexton dan Riona. Sedangkan Gandhi punya dua anak laki-laki dan perempuan, Edy dan Ema. Sekarang ini Ema tidak ada karena kuliah di luar negeri. Ditambah dengan para menantu dan cucu, keluarga Genaro terhitung cukup besar.
Semua anak menginginkan menjadi pewaris ketiga dan pilihan jatuh pada Martin, Rexton, serta Edy. Sejauh ini posisi paling kuat adalah Martin karena dianggap sebagai yang paling tua. Sayangnya, para investor termasuk sang kakek justru berharap Rexton yang memimpin. Semua karena satu alasan yang dianggap paling penting yaitu Rexton adalah cucu sah. Gabino lahir dari istri pertama Gunar. Sedangkan Guma dan Gandhi adalah anak istri kedua. Sempat beranggapan kalau sang istri tidak akan bisa punya anak, Gunar menikah lagi. Siapa sangka Gabino lahir setelah Guma berumur lima tahun. Bagi banyak orang istri pertama dianggap paling berhak dan sah, kesimpulan yang terus berlanjut hingga generasi ketiga.
"Kapan kamu akan ke kantor? Maksud kakek bekerja di kantor?"
"Kek, sekarang aku juga kerja."
"Rexton, kamu tahu maksud kakek apa?"
"Iya, iya, nanti Kek. Bentar lagi, nunggu paket makanan selesai dikerjakan."
"Kamu janji?"
"Janj."
"Awas ingkar! Kakek akan mematahkan kakimu!"
Rexton menghela napas panjang mendengar ancaman sang kakek. Ada anak dan cucu, tapi hanya Rexton yang selalu ditanya dan diinginkan untuk ke kantor. Ia tahu itu adalah bagian dari kasih sayang, tapi tidak ingin menimbulkan kecemburuan.
Riona menusuk pinggang adiknya dengan kuku yang panjang. Membuat Rexton mengernyit. "Sakit, panjang amat kukumu."
"Biar kamu berasa. Sedari tadi pingin diajak ngomong malah bengong aja."
"Mau ngomong apaan? Aku sudah datang penuhi undanganmu."
Pelayan datang membawa daging bebek panggang yang sudah diiris tipis. Mengangkat piring dan pelatan makan yang kosong dan mengganti makanan yang sudah habis dengan yang baru. Di atas meja makanan bertumpuk dengan beragam lauk pauk dan cara mengolah.
"Katanya kamu punya pacar? Kenapa nggak dibawa?"
Rexton mendesah. "Sudah putus."
"Hah, cepet amat?"
"Hari di mana kamu dan Kak Barry datang ke rumahku, itu adalah Minggu pertama kami putus."
"Kenapa? Apa masalahnya?"
"Dia matre, selingkuh sama anak dari keluarga pengacara. Kamu harusnya kenal pengacara itu, biasa menangani para artis bermasalah."
Riona mengernyit. "Keluarga pengacara? Jangan-jangan keluarga Lotto?"
"Benar sekali. Mantanku menganggap aku nggak cukup kaya karena kerjanya hanya ngantar makanan dan dia milih anak pengacara karena dianggap lebih kaya dari aku."
Untuk kali ini Riona tidak dapat menahan dengkusan. "Siapa yang bilang lebih kaya? Case mereka rata-rata juga dari kita. Kenapa kamu nggak bilang jati dirimu, sih? Pakai acara menyamar segala."
Rexton teringat Anne lalu tersenyum simpul. "Suatu saat nanti dia akan tahu, sayangnya belum tiba waktunya dia sudah menunjukkan jati dirinya. Untuk apa mengejar perempuan yang nggak sayang sama kita? Kayak nggak ada cewek lain aja."
"Ckckck, kasihan adikku patah hati.Cup-cup-cup, nanti aku kenalkan ke cewek."
"Nggak perlu. Aku bisa cari sendiri. Yang benar-benar tulus dan baik."
Rexton teringat Fiore saat bicara begitu. Berharap ia tidak salah menilai gadis itu. Karena penilaian awalnya pada Anne ternyata salah. Semoga saja Fiore tidak mengecewakannya.
**
Sebelum menjemput adiknya, Fiore mampir ke kampus. Ada beberaoa hal yang harus dibicarakan dengan dosen. Ia sengaja berjalan memutar untuk menghindari Anne. Sedang tidak ingin terlibat perdebatan dengan gadis itu. Anne selalu mengejarnya, entah apa yang diharapkan darinya. Apakah Anne berpikir kalau ia akan membantu mendekatkan diri pada Rexton lagi? Tidak akan. Tidak rela kalau laki-laki baik harus bersama Anne yang manipulatif.
Sialnya Fiore justru bertemu Ardan. Laki-laki perlente yang kini menjadi kekasih Anne itu mencegat langkahnya saat melintasi lorong. Ada beberapa orang bersamanya, tiga laki-laki dan dua perempuan. Ardan dan kelompoknya memang sangat terkenal di kampus. Dianggap kelompok idaman karena hanya orang-orang kaya yang menjadi anggotanya. Fiore merasa was-was karena harus berhadapan dengan mereka. Ia berjalan menyamping dan Ardan memblokir langkahnya.
"Mau apa kalian?" tanya Fiore tanpa basa-basi. "Tolong minggir. Gue lagi buru-buru!"
Ardan merentangkan lengan, menatap Fiore dari atas kebawah. Setelah mengamati, sadar kalau Fiore ternyata sangat cantik.
"Selalu bersama Anne yang glamour, aku pikir kamu cewek biasa saja. Ternyata aku salah, kamu cantik luar biasa. Kalau berdandan dan berpakaian modis seperti Anne, aku yakin kamu akan mengalahkan kecantikannya. Siapa namamu? Fiore? Nama yang indah."
Pujian Ardan membuat hati Fiore ketar-ketar. Entah mengapa perasaannya mengatakan apa pun yang berhubungan dengan Ardan tidak akan berakhir dengan baik. Sudah cukup ia menciptakan masalah dengan Anne gara-gara Rexton, dan tidak ingin menambah daftar alasan untuk bertengkar.
"Kita nggak ada urusan. Bisa gue jalan sekarang?"
Ardan menggeleng cepat. "Nggak bisa, Fiore. Kecuali kamu sun pipi aku dulu. Gimana?"
"Gila lo, ya?"
Di luar dugaan Ardan tergelak. "Aku tahu kamu dan Anne bersahabat. Sekarang di kampus ada gosip kalau kalian bertengkar karena rebutan cowok. Semua tahu kalau cowok Anne itu aku, jadi benar kalau kamu juga suka aku?"
Fiore terbelalak sedangkan Ardan dan teman-temannya tertawa nyaring memenuhi lorong. Jemari Fiore meremas pinggiran tas. Benaknya berpikir bagaimana caranya lepas dari orang-orang ini. Ia tidak pernah kenal secara pribadi dengan Ardan. Tidak pernah menyenggol atau berusaha masuk ke kelompoknya. Berbeda dengan banyak gadis di kampus yang tergila-gila dengan Ardan, bagi Fiore hanya ada Rexton di hatinya. Kenapa mendadak Ardan mengganggunya? Fiore merasakan kegelisahan di dadanya.
Pandangannya tertuju pada beberapa gadis yang berjalan ke arah mereka. Senyum simpul mencuat dari bibirnya saat akal membebaskan diri muncul dalam benaknya. Ia harus lepas dari cengkeraman Ardan, atau kelak hari-harinya akan sulit dan kelam.
"ANNE! ARDAN CARI LO! ARDAN KANGEN SAMA ELO, ANNE!"
"Apa-apaan kamu? Siapa kangen dia?" protes Ardan.
Fiore berteriak keras hingga suaranya bergema di lorong. Ardan menoleh ke belakang di mana beberapa gadis berjalan menghampiri. Ia mencari sosok Anne di antara mereka dna tidak menemukannya. Saat sadar sudah dikelabuhi, mengalihkan kembali pandangan ke arah Fiore dan gaids itu sudah menghilang dari pandangan. Ardan tertawa lirih, berdecak sambil menggeleng cepat.
"Sial, aku dibodohi gadis itu. Fiore, ternyata kamu cukup menarik. Gimana rasanya memacari sepasang sahabat? Pasti rasanya menyenangkan. Setelah Anne beralih ke Fiore yang cantik tapi sederhana. Berapa banyak uang yang aku harus keluarkan untuk mendapatkannya?"
Ardan bergumam pada diri sendiri, bersamaan dengan itu rombongan cewek mendekat dan berceloteh berisik untuk mendapatkan perhatian Ardan. Sayangnya, Ardan tidak peduli karena sibuk memikirkan cara mendekati Fiore.
.
.
.
Di KK update bab 45.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro