Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Special Chapter : First Date

.

.

Special Chapter : First Date

.

.

Aku membuka mataku dan terkejut mendapati Sasuke yang sedang memasukkan futon ke dalam lemari yang terletak tak begitu jauh dari tempatku berbaring sambil duduk memunggungiku. Rambut Sasuke terlhat masih basah dan samar-samar aku mencium aroma sabun yang menguar dari tubuhnya.

"Ohayou, teme."

"Ohayou, dobe."

Sasuke menutup pintu lemari dan ia segera memutar tubuhnya sehingga kini duduk berhadapan denganku. Aku terkejut melihat yukata nya yang tak terpasang dengan baik. Dada bidangnya terlihat samar-samar dan membuatku tertarik memandangnya.

Entah sejak kapan aku mulai tertarik pada tubuh Sasuke dan wajahku mulai memerah serta tubuh yang seolah memanas saat membayangkan tubuh Sasuke tanpa mengenakan pakaian. Terkadang Sasuke keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan celana dan ia mengusap bagian atas tubuhnya dengan handuk, ketika melihatnya aku membayangkan bagian bawah tubuhnya yang tertutup celana.

Aku tak mengerti mengapa pikiranku mendadak seperti ini. Inikah yang dinamakan gairah akibat pubertas? Aku benar-benar tak mengerti.

Aku segera mengerjapkan mata dan menyadari jika matahari telah bersinar, terlihat dari cahaya di dalam ruangan yang cukup terang masuk melalui kertas dinding.

"Lho? Ini sudah pagi, kan? Mengapa kau tidak membangunkanku, teme? Bukankah hari ini kita harus berlatih?"

Sasuke menggelengkan kepala, "Kuliburkan untuk hari ini."

Aku bergidik seketika. Kekasihku tidak kerasukan, kan? Kalau ia tidak kerasukan, tidak mungkin ia tiba-tiba memberikan libur. Selama kami bersama, Sasuke tak pernah memberikan libur latihan seharipun jika tidak sangat terpaksa, misalnya saat ia menginap beberapa hari di tempat tabib karena sakit parah. Biasanya ia akan tetap menyuruhku berlatih selama tujuh hari seminggu meskipun ia sendiri sedang tidak sehat.

"Libur? Tumben sekali."

"Kau tidak ingin libur, hn?"

Aku cepat-cepat menggelengkan kepala. Tentu saja aku ingin berlibur. Sesekali aku ingin bersantai dari rutinitasku sehari-hari.

"Tentu saja mau."

"Kalau begitu cepatlah bersihkan wajahmu dan bawa ranselmu. Kita akan pergi berjalan-jalan di pusat kota dan pergi ke pemandian sesudahnya."

"Maksudmu.. kita kencan?"

"Hn."

Aku segera menuruti Sasuke dan berniat melipat futonku. Namun ketika aku hendak mengangkat futon yang telah kulipat, Sasuke segera memegang tanganku tanpa sadar.

Telapak tangan Sasuke terasa hangat dan membuatku nyaman. Aku membiarkannya menyentuh punggung tanganku, namun aku segera berkata, "Teme, tanganmu."

"Aku akan menyimpan futonmu."

Aku segera melepaskan tanganku dan Sasuke segera mengangkat futonku serta memasukannya ke dalam lemari.

Aku berjalan menuju kamar mandi dan cepat-cepat membasuh wajahku. Aku tak sabar menghabiskan waktu untuk berkencan pertama kalinya dengan kekasihku.

.

.

"Wah... ternyata banyak pertokoan disini!" seruku ketika melihat pertokoan yang berjejer di jalan yang akan kami lalui.

Sasuke tersenyum tipis seraya menyentuh bahuku. Di tengah kerumunan orang, kami berdua tidak bergandengan tangan atau saling merangkul. Kami hanya berjalan beriringan sambil sesekali menyentuh bahu agar tidak terpisah. Sasuke bersikeras tak bergandengan denganku agar tak menarik perhatian orang-orang dan aku menghargai keputusannya meskipun dalam hati aku merasa kecewa.

"Kau belum berkunjung ke daerah ini, dobe?"

Aku menggelengkan kepala, "Belum. Aku tidak berani pergi terlalu jauh dari penginapan. Aku takut tidak bisa kembali ke penginapan."

Sasuke kembali mengangkat sudut bibirnya dan membentuk seulas senyum, "Kalau begitu hari ini aku akan menemanimu pergi kemanapun yang kau inginkan."

Aku segera tersenyum dan menatapnya lekat-lekat, "Wah... benarkah? Kau tidak keberatan kalau aku memasuki setiap toko?"

"Hn."

"Serius?"

"Hn."

Aku benar-benar berniat memasuki semua toko di sepanjang jalan yang kami lalui. Namun aku merasa agak tidak enak pada Sasuke. Bagaimana jika ia sebetulnya tidak suka dan terpaksa menyetujui ucapanku hanya demi membuatku senang?

"Omong-omong, benda apa yang kau sukai, Sasuke?"

Sasuke seketika menoleh dan menatapku lekat-lekat. Aku segera menepuk bibirku dan merasa telah melakukan sebuah kesalahan. Bagaimana mungkin aku memanggil nama aslinya di tempat ramai seperti ini? Bagaimana jika seseorang mendengarnya dan mengetahui identitas asli Sasuke berikut pekerjaannya? Kami pasti akan berada dalam bahaya.

"Eh? Maaf. M-maksudku teme. Aku salah menyebutnya," ucapku dengan gugup. Dalam hati aku merutuki kebodohanku yang berniat membiasakan diri memanggil Sasuke dengan nama aslinya agar aku tak merasa aneh dan tak melupakan nama aslinya.

"Mengapa kau tiba-tiba memanggil namaku, hn?"

"Aku hanya ingin saja. Rasanya aku tak pernah memanggil namamu."

"Suatu saat nanti kau bisa menyebutkan namaku sebanyak yang kau mau, dobe."

"Aku tak sabar menunggunya, teme. Kalau saat itu tiba, kuharap kau juga memanggilku dengan namaku. Aku tak ingin kau melupakan namaku."

Sasuke menepuk kepalaku dan menyeringai, "Baka. Apakah kau pikir aku akan melupakan namamu dengan mudah, hn?"

"Kuharap tidak," jawabku seraya menatapnya, "Omong-omong, kau belum menjawab pertanyaanku, lho."

"Oh. Kau benar-benar ingin tahu?"

"Tentu saja."

"Aku suka tubuhmu," bisik Sasuke dengan pelan. Tampaknya ia berniat menggodaku dengan menjahiliku dan membuat jantungku berdebar keras.

"Maksudku benda, teme," aku dengan sengaja menekankan kata 'benda'.

Sasuke menatapku dan aku segera memalingkan wajah. Namun dengan ekor mata aku dapat melihatnya menyeringai penuh kemenangan setelah berhasil membuatku gugup dan berdebar-debar.

"Pedang."

Aku mengernyitkan dahi, "Pedang? Itu saja?"

"Tidak juga. Aku menyukai senjata apapun yang berkualitas."

Aku menganggukan kepala. Sebetulnya aku berniat membelikan hadiah untuk Sasuke sebagai ucapan terima kasih. Namun jika yang ia inginkan adalah senjata, maka aku tak bisa membelikannya. Aku bahkan tak tahu seperti apa kualitas pedang yang baik dan sesuai untuknya. Lagipula aku tak yakin uangku cukup untuk membeli pedang berkualitas seperti yang disukai Sasuke. Aku bahkan belum mulai bekerja dan mendapatkan uang.

"Omong-omong soal pedang, kau tak berniat membeli pedang seperti milikku? Bukankah kau sendiri mengatakan pedang milikku berkualitas tinggi? Kau bisa membeli pedang baru dan menjual pedangmu."

Sasuke terdiam sejenak. Entah mengapa tatapannya seolah menerawang meskipun sebetulnya ia sedang menatapku. Seolah apa yang sedang dilihatnya saat ini bukanlah aku.

"Pedang itu satu-satunya pemberian orang tuaku yang tersisa," jawab Sasuke dengan ekspresi datar namun suara yang terdengar lirih di telingaku.

Ya ampun! Apa yang baru saja kuucapkan? Aku bodoh sekali, sih. Seharusnya aku sadar jika pedang itu berarti untuknya saat menyentuh pedang tua miliknya itu.

"Maafkan aku. Aku tak menyadarinya."

"Hn."

Lagi-lagi ia masih menjawab dengan gumaman ambigu khasnya. Namun ia tersenyum tipis dan menarikku menuju sebuah toko yang menjual berbagai macam pakaian.

"Selamat datang," ucap seorang wanita berusia lima puluhan yang tampak bersahaja.

Aku melihat pakaian-pakaian yang dijual di toko. Pakaian-pakaian itu terlihat bagus dan tampak dibuat dengan sangat berhati-hati. Aku berpikir ingin membelikan sebuah yukata untuk Sasuke. Namun aku bahkan tak tahu berapa harganya.

"Berapa harga kimono itu?" Aku menunjuk sebuah kimono hitam panjang dengan motif berwarna silver.

"Satu koban."

Aku mengernyitkan dahi. Harga kimono itu begitu murah dibandingkan kimono sutra yang dibelikan Sasuke untukku.

"Itu.. kimono sutra?"

"Bukan. Kimono itu dibuat dari katun murni. Namun kualitasnya tidak kalah dibandingkan kimono sutra."

Aku merasa agak ragu untuk membelinya. Aku terbiasa memakai kimono sutra dan tak yakin dengan kualitas pakaian jenis lainnya. Namun pakaian itu terlihat bagus dan membuatku ingin memilikinya.

"Kau menginginkannya, dobe?"

"Sebetulnya aku berniat membelikannya untukmu. Aku merasa tidak enak karena kau telah membelikan banyak pakaian untukku."

"Kau menyukai kimono itu tidak?"

"Aku menyukainya."

Sasuke segera mendekati wanita penjaga toko itu dan menunjuk kimono yang diinginkan Naruto dengan jempol "Aku ingin membeli kimono itu untuk anak ini. Bisakah kau menyesuaikan ukurannya?"

"Tentu saja," jawab penjaga toko itu seraya melirik Naruto dan tersenyum, "Silahkan ikut denganku."

Aku terkejut dan segera menatap Sasuke, "Oh? Bukankah seharusnya kau yang mencoba kimono itu? Aku membelinya untukmu."

"Bagaimana jika kita membeli kimono yang sama saja?"

Aku tersenyum mendengar ucapan Sasuke. Membeli barang yang sama dengan teman dan memakainya bersamaaan bukanlah hal yang lazim di masyarakat. Jika kami memakai kimono yang sama, aku yakin siapapun yang melihatnya akan salah paham.

"Boleh saja. Tapi orang-orang pasti akan berpikir yang tidak-tidak."

Sasuke tersenyum, "Mau bagaimana lagi? Kita berdua sama-sama menyukai kimono itu,"

"Ah, benar juga. Bisa saja saat kita memakainya ada orang lain juga yang memakai kimono yang sama."

"Hn."

Aku segera mengikuti penjaga toko itu dan mencoba kimono hitam itu. Kimono itu terlalu panjang untukku. Ujung kimono itu bahkan menyentuh lantai.

"Wah, terlalu panjang."

"Iya. Bisakah dipendekkan sedikit saja?" Aku menunjuk bagian telapak kaki.

"Telapak kaki? Tidakkah itu terlalu panjang?"

Aku tersenyum lebar, "Kalau aku bertambah tinggi sebentar lagi, aku ingin tetap bisa memakai kimono ini."

Wanita penjaga toko itu tersenyum padaku, "Kau benar-benar menyukai kimono buatanku?"

"Tentu saja. Kimono nya bagus," jawabku sambil tersenyum. Aku segera menjentikkan jariku dan berkata, "Oh! Bagaimana kalau aku ambil tiga kimono ini saja? Satu yang sudah dipendekkan untukku, Dua yang tidak dipendekkan untukku dan temanku."

"Kebetulan sekali. Kimono ini tersisa tiga lembar saja."

Aku segera mengeluarkan uang yang kusimpan di dalam kantung kain yang kuselipkan dibalik kimono ku, "Ini untuk membayar kimono-kimono itu. Aku membayarnya untuk temanku"

Aku menyerahkan empat koin satu koban. Namun wanita itu menolaknya, "Tidak. Ini terlalu banyak. Cukup tiga koban saja."

"Oh? Bukankah ada biaya untuk memendekkan kimono ini?"

Wanita itu tertawa mendengar ucapanku, "Itu adalah pelayanan gratis di setiap toko kimono, nak."

"Ahaha... aku pertama kali membeli kimono, sih," jawabku sambil terkekeh.

Wanita penjaga toko itu tersenyum dan ia segera berkata padaku, "Tunggulah sebentar. Aku akan memendekkannya untukmu."

"Baiklah."

Aku segera keluar dari ruang ganti yang terletak didekat pintu yang menyambung antara toko dan rumah sang pemilik toko. Aku segera menghampiri Sasuke sementara penjaga toko itu masuk ke dalam rumah untuk mengambil kimono lainnya.

"Kau sudah mencobanya, dobe?"

"Sudah. Kimono nya benar-benar bagus."

"Dimana wanita penjaga toko itu?"

"Sedang memendekkan kimonoku."

Sasuke menatap sekeliling toko yang dipenuhi kimono dan yukata, baik untuk pria dan wanita. Ia segera menepuk bahuku dan berkata, "Tidak ingin membeli yang lainnya?"

Aku segera menggelengkan kepala. Sasuke telah membelikanku beberapa potong kimono dan aku tak memerlukan terlalu banyak kimono.

"Tidak. Kau sudah membelikanku beberapa pakaian. Itu saja sudah cukup, teme."

"Sungguh?"

"Tentu saja, teme."

Wanita penjaga toko menghampiriku dan membawa tiga buah kimono beserta sebuah kantung kain. Wanita itu memperlihatkan salah satu kimono dan berkata, "Ini kimono yang telah dipendekkan. Sementara dua potong lainnya tidak dipendekkan."

Sasuke menatapku dengan heran dan berkata, "Tiga buah kimono? Untuk apa?"

"Dua untukku. Satunya sudah dipendekkan, sementara satunya lagi tidak dipendekkan. Satu kimono lagi untukmu, teme."

"Hn? Jadi berapa harga nya?" tanya Sasuke seraya menyentuh bagian dalam kimono nya, berusaha mengambil kantung berisi uang.

"Temanmu ini sudah membayarnya, nak."

Sasuke menatapku dengan tajam, "Kau tidak perlu membayar, dobe."

"Tidak apa. Hanya sesekali, kok."

"Arigatou."

Sasuke tanpa sadar sedikit menundukkan kepala dan aku cepat-cepat menundukkan kepala, "Douiteshimashite."

.

.

Aku berjalan keluar dari sebuah rumah makan kecil yang menjual masakan rumah seperti hidangan nabe (masakan yang dikukus) atau yaki (masakan yang dipanggang dan digoreng). Menu terlaris di rumah makan itu adalah set makanan rumah berupa semangkuk nasi, sup misoshiru dan ikan yang dipanggang atau digoreng.

Rasa makanan itu benar-benar lezat meskipun sebetulnya makanan itu sangat sederhana. Sebetulnya aku bahkan tidak menikmati makanan sederhana seperti itu ketika berada di rumah. Namun suasana rumah makan itu mengingatkanku akan kehangatan rumah.

"Makanannya lezat."

"Hn. Untunglah kau menyukainya."

"Tentu saja aku menyukainya. Masakannya enak sekali," ujarku seraya menatap Sasuke, "Omong-omong aku tak mengira kau menyukai makanan seperti itu."

"Aku lebih menyukai makanan sederhana, dobe."

Aku mengernyitkan dahi. Aku tak mengira Sasuke menyukai makanan seperti ini. Ini merupakan kali pertama kami makan di rumah makan yang menjual makanan rumahan sejak kami bertemu.

"Benarkah? Mengapa kau tak mengajakku makan di tempat seperti ini sebelumnya?"

Sasuke meletakkan tangan diatas kepalaku dan menepuk-nepuk kepalaku, "Baka. Itu karena tidak ada yang menjual makanan rumahan seperti ini di kota kecil."

Aku menganggukan kepala. Jika dipikir-pikir, dari semua kota yang kami kunjungi, kota ini adalah yang terbesar. Aku belum pernah pergi ke ibu kota, namun menurut Sasuke kota ini adalah kota terbesar kedua yang pernah ia singgahi setelah ibu kota.

"Sayang sekali. Seandainya rumah makan seperti ini ada di banyak tempat aku pasti akan mengunjunginya setiap hari."

"Aku juga," jawab Sasuke seraya menatapku. "Aku rindu masakan rumah."

"Masakan rumah? Masakan di rumahmu seperti ini?"

"Tidak. Namun jika aku bosan dengan menu makanan yang disajikan sehari-hari, okaa-san atau si brengsek itu akan membuat masakan rumah yang sederhana dan memakannya bersama-sama di taman atau di dapur. Jika otou-san mengetahuinya, dia akan sangat marah karena kami memakan makanan yang menurutnya tidak layak. Padahal aku lebih suka makanan seperti ini dibandingkan makanan yang selalu disajikan."

Aku terdiam sejenak. Ini merupakan kali pertama Sasuke bercerita panjang lebar mengenai masa kecilnya. Kurasa ia tak pernah menceritakan hal seperti itu kepada siapapun selain orang yang benar-benar dekat dengannya.

"Si brengsek? Maksudmu aniki mu? Tak kusangka seorang lelaki sepertinya bisa memasak."

"Dia suka memasak dan diam-diam belajar memasak dari okaa-san ku. Masakan buatannya benar-benar enak. Mengingatnya membuatku merindukan masakan lelaki brengsek itu."

Aku terkejut mendengar cerita Sasuke. Rasanya agak aneh membayangkan seorang pembunuh bayaran terkenal membuat sebuah masakan yang benar-benar lezat.

"Ya ampun. Mendengar ucapanmu membuatku membayangkan rasa masakan buatan aniki mu. Sayang sekali aku tidak bisa mencobanya."

Sasuke menyeringai, "Coba saja temui dia. Kurasa kau yang akan dijadikan bahan baku masakannya."

Aku membelalakan mata lebar-lebar, "APA? Anikimu pemakan daging manusia?"

Sasuke terkekeh, "Dulu sih tidak. Mungkin saja dia menjadi pemakan daging manusia sekarang."

Aku bergidik ngeri dan aku tanpa sadar memeluk diriku sendiri. Sasuke tertawa semakin keras melihat ekspresiku yang menurutnya lucu.

"Apa yang lucu, teme?"

"Reaksimu, ekspresimu, semuanya."

"Eh? Belakangan ini kau aneh, teme. Tiba-tiba saja kau menjadi sering tertawa, tersenyum dan lebih banyak bicara. Kau membuatku ngeri saja."

"Mengapa?"

Aku terlalu takut untuk mengatakannya. Aku takut apa yang kutakutkan menjadi kenyataan. Namun aku memberanikan diri untuk mengatakannya.

"Kudengar orang yang akan meninggal akan berubah seratus delapan puluh derajat menjelang kematiannya."

Sasuke tersenyum lembut seraya mengusap kepalaku dengan telapak tangannya yang lembut dan hangat, "Ini yang dinamakan jatuh cinta, bodoh."

Aku tersenyum lega. Aku tahu jika jatuh cinta akan seperti ini karena aku juga mengalaminya. Namun jika dibandingkan dengan sikapnya saat pertama kali bertemu, rasanya benar-benar berbeda jauh. Sikapnya pada orang lain juga lebih hangat dan lembut. Aku bahkan sering melihatnya memberikan uang pada gelandangan yang kami temui di jalan. Terkadang ia bahkan membantu orang tua membawakan barang hingga sampai ke rumahnya.

"Tapi sikapmu pada orang lain juga lebih hangat, teme. Kau bahkan sering membantu orang yang tak dikenal di jalan."

"Aku hanya merasa tidak enak melihat gelandangan atau orang tua yang membawa barang berat," ujar Sasuke padaku. "Lagipula aku juga melatih ototku dengan berjalan dan membawa barang berat."

"Itu karena kau kasihan pada orang-orang di sekelilingmu, teme. "

Sasuke berdecih, "Aku tidak sebaik itu."

Ah. Kurasa Sasuke terlalu malu untuk mengakuinya atau ia bahkan tidak menyadarinya. Aku yakin sebetulnya ia adalah orang yang sangat baik. Jika tidak, mengapa ia tak membunuhku saat itu? Lalu ia juga mengorbankan diri untuk melindungiku ketika ia bisa membiarkan orang lain melukaiku atau membunuhku.

"Ya. Kau adalah orang yang baik, teme. Mungkin kau tidak menyadarinya, namun aku ingin kau mengetahuinya."

"Tidak," Sasuke menggelengkan kepala.

Aku hanya tersenyum menanggapi Sasuke. Ia pasti merasa malu untuk mengakuinya.

Aku berniat menghampiri sebuah kios kecil di ujung jalan yang bertuliskan 'Ramalan'. Sejak dulu keluargaku memercayai ramalan dan mengundang ahli ramal terkenal untuk datang dan meramal seluruh anggota keluarga kami. Bahkan ketika kami akan mengadakan perjalanan, orang tuaku akan menanyakan tanggal perjalanan yang sebaiknya dipilih agar kami selamat sampai tujuan.

Namun langkahku terhenti saat menyadari Sasuke tak lagi berjalan disampingku. Ia tampak berbincang dengan seorang lelaki muda yang berjalan sendirian dengan menganakan yukata sederhana. Bola mata lelaki itu berwarna tak lazim dan ia membawa tongkat di tangannya. Lelaki itu tampak berusaha mengenali jalan dengan bantuan tongkat.

Aku mendekati Sasuke dan mendengarkan pembicaraannya dengan lelaki itu.

"Toko Ichikara? Letaknya sangat dekat dari tempat ini," ucap Sasuke pada lelaki buta itu. "Ingin kuantar?"

"Tidak apa-apa. Nanti merepotkan," jawab lelaki itu dengan sopan pada Sasuke. "Cukup beritahukan lokasinya padaku saja."

"Tidak masalah. Aku juga ingin ke daerah sekitar sana,"jawab Sasuke sambil tersenyum tipis meskipun lelaki dihadapannya tak bisa melihatnya.

"Benarkah? Tidak apa-apa?"

"Tentu saja."

Sasuke menyadariku yang kini berdiri di dekatnya dan menghampiriku. Ia segera berbisik dengan pelan, "Hey. Aku ingin mengantar orang ini ke toko Ichikara yang tadi kita kunjungi. Kau mau ikut?"

Aku menggelengkan kepala, "Tidak. Aku ingin pergi ke kios ramalan."

"Hn. Aku akan mengantar orang ini sebentar. Aku akan menyusulmu nanti."

Sasuke melambaikan tangan padaku dan segera menghampiri lelaki itu. Aku menatapnya berjalan seraya terus menerus menatap lelaki itu seolah ingin bersiap membantu jika lelaki itu tiba-tiba tersandung.

Aku sama sekali tidak cemburu dengan apa yang dilakukan Sasuke. Sebaliknya aku malah merasa bangga. Bagaimana mungkin aku merasa cemburu saat kekasihku berusaha membantu orang lain dan melakukan hal-hal baik? Orang buta itu bahkan tak bisa melihat Sasuke dan Sasuke tak mungkin berselingkuh dengan orang yang bahkan baru ia temui di jalan.

Aku segera mendekati kios itu dan mendapati seorang wanita muda mengenakan kimono warna abu-abu yang menatapku. Seolah mengerti jika aku tertarik dengan ramalan, wanita tua itu menyambutku.

"Selamat datang."

Nyaliku menciut seketika. Ekspresi wanita itu menakutkan dan tatapannya yang tajam seolah sedang menelanjangiku.

"Tidak perlu takut," ujar wanita tua itu dengan suara yang agak berat seperti lazimnya seorang wanita tua. "Tanyakan saja apa yang ingin kau tanyakan."

Aku meneguk ludah dan segera mengikuti wanita itu masuk ke dalam kios. Untuk masuk ke dalam kios aku bahkan harus menyibakkan kain hitam yang menutupi bagian dalam kios.

Dalam hati aku bertanya-tanya dengan kegunaan tirai hitam itu. Aku memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan secara langsung.

"Etto... kalau boleh tahu, tirai hitam ini untuk apa?"

"Untuk menjaga privasi klienku. Kau tentu tak ingin orang lain yang kebetulan melewati kios ini tanpa sengaja mendengarkan percakapanmu, bukan?"

Aku menganggukan kepala. Ucapan wanita tua itu sepertinya masuk akal. Bagian dalam kios ini tampak normal, tidak menyeramkan seperti dugaanku. Ada sebuah meja dan kursi serta sebuah meja di sudut ruangan dengan teko dan gelas diatasnya.

Aku segera duduk di salah satu kursi dan wanita tua itu segera menyeduh teh serta menyiapkan dua buah cangkir. Aku merasa ragu jika harus meminum teh itu.

"Adakah yang ini kau tanyakan?" tanya wanita tua itu dengan maksud berbasa-basi.

Aku segera menganggukan kepala, "Tentu saja. Sebetulnya, aku memiliki seorang teman dekat yang selama ini selalu bersamaku. Aku penasaran dengan masa depannya. Apakah ia akan baik-baik saja dan kami akan selalu bersama?"

Wanita tua itu menatapku dan berkata, "Teman dekat? Maksudmu lelaki yang baru-baru ini menjadi kekasihmu?"

Nafasku seolah terhenti dan tenggorokanku tercekat. Aku benar-benar terkejut dan segera menatap wanita itu lekat-lekat, "E-eh.. aku-"

Wanita tua itu segera memotong ucapanku sambil tersenyum tipis, "Tenang saja. Aku akan merahasiakannya. Lagipula aku tak berniat mengurus apapun yang bukan urusanku."

Senyum wanita tua itu agak lembut dan membuatku lebih tenang. Namun tetap saja aku merasa ketakutan. Aku merasa jika keputusanku datang ke tempat ini adalah sebuah kesalahan.

"Ah, iya. Maksudku dia."

"Lelaki itu akan semakin terkenal sebentar lagi," ujar wanita itu seraya menatapku lekat-lekat. "Dan ia juga akan berhasil membalaskan dendamnya. Namun usianya tidak panjang."

Aku seketika membelalakan mataku dan mulutku terbuka tanpa kusadari. Ramalan itu membuatku takut dan terkejut.

"Usianya tidak panjang? Ia akan .... meninggal?"

"Tidak akan lebih dari tiga tahun. Ia akan meninggal dengan banyak orang disekelilingnya."

Aku mengernyitkan dahi, "Banyak orang di sekelilingnya? Maksudnya?"

"Menurut penglihatanku seperti itu, Kematiannya akan disaksikan banyak orang."

Aku mengernyitkan dahi. Aku tak paham apa maksud wanita tua itu.

"Sebetulnya usianya cukup panjang jika ia membuat pilihan yang benar. Pilihannya untuk mati adalah caranya menebus dosa."

Aku semakin tak paham dengan maksud ucapan wanita itu. Pilihan Sasuke untuk mati adalah caranya menebus dosa? Apa maksudnya? Apa yang akan terjadi?

"Tak bisakah membuatnya hidup lebih lama?"

"Itu tergantung pilihannya sendiri," ujar wanita itu. "Apapun pilihan yang ia buat, pilihan itu dibuatnya demi kau, orang yang paling dicintainya."

Jika ia membuat pilihan demiku, ia pasti akan memilih hidup panjang bukan? Berarti ramalan ini tak perlu dikhawatirkan.

Ekspresiku terlihat benar-benar ketakutan. Wanita tua itu kembali tersenyum dan berkata, "Sebuah ramalan memiliki peluang untuk tak terjadi. Besar kecilnya peluang itu tergantung si peramal itu sendiri."

"Kuharap ramalan tadi tak akan terjadi," jawabku dengan getir.

"Ya ampun. Kau ini jujur sekali, ya," ucap wanita itu padaku.

Aku merasa tidak enak dan menundukkan kepala, "Maaf."

"Tidak masalah," jawab wanita itu seraya menuang teh ke dalam dua buah cangkir.

"Lelaki yang menjadi kekasihmu pada dasarnya adalah orang yang berhati baik. Kau tak perlu khawatir padanya. Ia sungguh mencintaimu dan sangat mengharapkan kebahagiaanmu."

Aku tersenyum, "Benarkah?"

"Begitulah yang kulihat. Jika kau menganggapnya berdarah dingin, masa lalunya benar-benar buruk. Masa lalunya membentuk kepribadiannya yang terlihat saat ini."

Jadi Sasuke berubah kejam karena masa lalunya? Kurasa Itachi memperlakukannya dengan sangat buruk hingga ia berubah menjadi orang yang kejam dan seolah tak berhati pada awalnya.

"Apakah ada jimat yang bisa melindungi kekasihku? Aku khawatir karena ia sering terluka belakangan ini."

Wanita itu menggelengkan kepala, "Tidak perlu jimat. Saat ini lelaki itu sangat kuat. Orang yang bisa melukainya dengan parah hanyalah musuhnya. Kurasa kau lebih memerlukan jimat."

"Eh? Aku?"

"Ya, kau. Kehidupanmu akan berubah jika lelaki itu meninggalkanmu. Tak ada seorangpun yang akan melindungimu seperti lelaki itu dan kau tak bisa terlalu memercayai seseorang. Namun jika kau berhati-hati, kau dapat berumur panjang dan hidup dalam kemewahan serta mati dengan kehormatan Harga dirimu juga akan terjaga utuh."

Aku menganggukan kepala. Itu berarti aku tak bisa memercayai seseorang selain Sasuke, kan?

"Bagaimana jika aku memakai jimat? Akankah keadaan kami membaik?"

"Mungkin saja."

"Terima kasih," ucapku sambil menundukkan kepala dalam-dalam. "Berapakah aku harus membayarmu, obaa-san?"

"Sudah ingin pergi? Silahkan diminum dulu teh nya," ucap wanita tua itu dengan nada yang lebih ramah. "Kau bisa membayarku seikhlasnya."

Aku dengan ragu mengangkat gelas itu dan menghabiskan segelas teh. Dalam hati aku berharap agar itu bukanlah ramuan teh yang aneh.

"Eh? Seikhlasnya? Berapakah tarifmu?"

"Aku tidak memasang tarif, nak. Dewa yang mengikutiku akan murka dan meninggalkanku jika aku berani menentukan tarif."

Aku segera mengeluarkan kantung kain dan menyadari jika di sebelah kananku terdapat sebuah kotak untuk meletakkan uangku ke dalam kotak. Lubang di kotak itu cukup besar dan tampaknya bisa untuk meletakkan amplop.

"Maaf. Aku tak memiliki amplop," ujarku seraya menundukkan kepala.

"Tidak apa-apa."

Aku menyentuh isi kantung kainku dan mendapati beberapa koin sen dan koban. Aku hanya memiliki tujuh koban yang tersisa dan memutuskan untuk memberikan lima koban. Namun aku khawatir jika aku membayarnya terlalu sedikit jika mengingat keluargaku membayar uang dalam jumlah banyak pada peramal.

Aku segera memasukkan uang lima koban ke dalam kotak kayu itu dan menimbulkan suara dentingan ketika koin-koin itu menyentuh permukaan kayu.

"Terima kasih banyak," ucap wanita tua itu seraya menundukkan kepala dalam-dalam.

"Terima kasih," ucapku seraya menundukkan kepala dan meninggalkan kios itu.

Aku segera keluar dari kios itu dan mendapati Sasuke telah menunggu diluar. Aku menghampirinya dan buru-buru menundukkan kepala, "Maaf aku membuatmu menunggu lama."

"Tidak. Aku juga belum lama sampai."

"Benarkah?" ucapku dengan lega. "Omong-omong, kalau kita melewati kuil, bisakah kita singgah disana sebentar?"

"Kuil? Untuk apa? Kau ingin berdoa?"

"Ya, sekalian membeli jimat."

Sasuke mengernyitkan dahi dengan reaksiku yang aneh. Namun ia tak segera bertanya dan memilih berjalan menjauhi kios ramalan itu sebelum bertanya padaku.

"Ada apa? Apakah hasil ramalanmu buruk?"

Aku menggelengkan kepala. Isi ramalanku tidak begitu buruk jika dibandingkan dengan Sasuke. Kata wania tua tadi aku bisa berumur panjang dan hidup dalam kemewahan jika berhati-hati. Itu hal yang baik, kan?

"Tidak juga. Ramalanku tidak buruk-buruk sekali," jawabku padanya. "Sebetulnya aku menanyakan mengenai ramalanmu."

"Oh? Apa katanya?"

"Katanya kau akan berhasil membalaskan dendam mu. Namun usiamu tidak akan panjang dan kau akan mati dikelilingi banyak orang. Sebetulnya kau bisa memilih hidup panjang jika pilihanmu benar. Pilihan kematianmu adalah untuk menebus dosa."

Sasuke mengernyitkan dahi, "Maksudnya? Dikelilingi banyak orang? Aku tak mengerti, dobe."

"Kau bingung? Bagaimana jika kita kembali ke tempat tadi dan meminta wanita tua itu untuk meramalmu."

Sasuke menggelengkan kepala, "Aku tidak terlalu mempercayai ramalan."

Aku mengernyitkan dahi. Tak kusangka Sasuke adalah pria yang agak unik. Bagaimana tidak? Semua orang yang kuketahui mempercayai hal-hal sejenis ramalan. Setidaknya mereka akan membeli jimat di kuil setiap tahun. Bahkan Tetsu yang tampaknya mengandalkan logika saja memiliki jimat yang ia letakkan di dalam sarung pedangnya.

"Serius? Aku mengira semua orang memercayai ramalan."

Sasuke menggelengkan kepala, "Aku dan si brengsek itu tak terlalu memercayai ramalan."

Aku menganggukan kepala, "Oh begitu. Dimana pemandian air panas nya? Masih jauh tidak?"

"Sudah dekat."

Aku mempercepat langkahku dan melirik Sasuke, "Cepatlah. Aku tak sabar tiba di pemandian itu."

Sasuke tersenyum dan ia berjalan dengan langkah cepat dan panjang, "Bagaimana jika kita berlari menuju pemandian itu?"

"Boleh saja. Siapapun yang kalah harus menggosok punggung yang menang, ya?"

"Kuterima tantanganmu, dobe."

Kami berdiri berjajar dan menghitung mundur selama tiga hitungan. Ketika hitungan selesai, aku mulai berlari cepat dan berusaha mengejar Sasuke yang berlari di depanku. Aku berusaha berlari dan mengejarnya yang hanya terpaut satu langkah dariku, namun entah kenapa aku hanya bisa menyamakan kecepatan larinya namun tak bisa mengejarnya. Ia memperlambat larinya dan kini aku berada beberapa langkah di depannya. Namun sebelum aku bersenang-senang tiba-tiba saja Sasuke kembali mempercepat larinya dan ia meninggalkanku yang sebelumnya berlari di depannya.

Keringat mulai bercucuran namun aku belum merasa lelah. Aku tak menghiraukan beberapa orang yang melihat kami dan aku hanya fokus mengejar Sasuke.

Sasuke berhenti di sebuah tempat yang bertuliskan pemandian air panas dan aku segera menghampirinya. Nafasku sedikit tersengal dan aku menyentuh lengan Sasuke.

"Yo. Aku sampai duluan, lho."

"Itu karena kakimu lebih panjang, teme," keluhku seraya menatapnya. "Tahu begini aku tidak akan menantangmu, teme."

"Itu salahmu sendiri, dobe."

Aku mengerutkan bibirku. Namun sedetik kemudian aku tersenyum, "Lihat saja nanti. Ketika aku seusiamu, aku pasti akan berlari lebih cepat daripada kau."

"Hn. Kita lihat saja nanti," Sasuke menyeringai padaku.

Sasuke berjalan memasuki pemandian yang cukup besar itu. Terdapat seorang lelaki yang bertubuh tidak terlalu tinggi dan berusia tiga puluhan yang menyambut kami. Sasuke segera berkata, "Apakah pemandian pribadi tersedia?"

"Ya," jawab lelaki itu. "Ingin yang tertutup atau tidak?"

Sasuke segera melirikku, "Bagaimana menuruttmu, dobe."

"Aku pilih yang tertutup saja," jawabku pada Sasuke meskipun sebetulnya aku ingin memilih yang terbuka. Orang seperti Sasuke pasti akan lebih mengutamakan keamanan dan privasi.

"Baiklah. Saya akan mengantar anda menuju ruangan. Sebelumnya silahkan lepaskan alas kaki anda dan letakkan di rak ini," penjaga pemandian menepuk sebuah rak kecil bertuliskan angka-angka dengan beberapa susun. Aku segera meletakka alas kaki ku di rak itu, begitupun dengan Sasuke.

Aku segera mengikuti penjaga pemandian itu menuju sebuah ruangan dengan pintu kayu yang dibuka dengan cara digeser. Pintu itu mirip dengan shoji, namun seluruhnya terbuat dari kayu coklat tebal yang telah dipoles halus.

Terdapat angka tujuh di depan ruangan itu, angka yang sama dengan yang tertulis di rak kami. Terdapat sebuah gantungan di pintu yang menuliskan jika ruangan itu kosong. Penjaga itu segera membaliknya sehingga tertulis jika sedang ada orang yang memakai pemandian.

Aku menatap ruangan itu dan mendapati lima buah bak, kecil, gayung, peralatan mandi serta kursi kayu pendek untuk membersihkan diri. Di tengah ruangan terdapat sebuah kolam besar berisi air panas serta pagar kayu setinggi setinggi setengah badan serta pepohonan.

"Ini pemandian tertutup?" tanyaku pada penjaga itu.

"Ya."

Aku tersenyum lebar. Aku bersyukur karena pemandiannya tidak benar-benar tertutup seperti di kamar penginapan kami. Pemandian itu masih sedikit terbuka meskipun sebetulnya seluruh ruangan masih terlindung atap.

"Kalau begitu saya akan pergi. Silahkan panggil saya jika membutuhkan bantuan," penjaga pemandian itu menundukkan kepala dengan sopan dan segera meninggalkan ruangan.

"Pemandiannya bagus. Aku suka," ucapku pada Sasuke seraya tersenyum.

"Hn. Aku juga menyukainya," jawab Sasuke seraya menyentuh kimono yang dikenakannya.

Sasuke melepaskan ikatan pada kimono nya dan ia segera melepas kimono nya tepat dihadapanku. Setengah tubuhnya tak ditutupi sehelai benangpun dan kini ia bersiap melepaskan celana panjang yang ia kenakan dibalik kimono.

"Hn? Kau tidak melepas pakaianmu, dobe."

Aku merasa malu melepas pakaianku dihadapan Sasuke entah mengapa. Wajahku memerah dan aku menyentuh kimonoku.

"Nanti saja."

Sasuke terkekeh menyadari aku yang terlihat gugup dan menghampiriku. Ia kini hanya memakai cawat dan membungkukkan badan untuk memelukku dari belakang dan meletakkan wajahnya di leher ku.

"Kau terlihat menggoda ketika sedang gugup, lho."

"Aku biasa saja, teme," jawabku dengan nada datar yang dipaksakan.

Ia mengecup leherku dan menghisapnya hingga meninggalkan tanda kemerahan, "Kau masih biasa saja sekarang?"

"T-tentu saja, teme," ucapku dengan wajah yang memanas. Aku segera berbalik untuk menghadapnya agar ia menjauhkan wajahnya dari bahuku dan berniat mendorong dadanya. Namun ia mengubah posisi tubuh dan aku mendorong angin sekuat tenaga hingga aku hampir terjatuh dan terpaksa memeluk Sasuke sebagai tumpuan agar tidak terjatuh.

Beruntunglah Sasuke juga memiliki keseimbangan yang baik sehingga ia tak terjatuh dan memutuskan memelukku.

"Kau benar-benar mencobaiku, hn?" ucap Sasuke seraya menyeringai.

Aku terdiam sesaat dan membiarkan wajahku menyentuh dada Sasuke. Rasanya menyenangkan saat aku bersentuhan dengan kulitnya dan untuk sesaat aku ingin terus bersentuhan dengannya.

Aku cepat-cepat melepaskan tanganku saat menyadari beberapa detik telah berlalu dan aku cepat-cepat menjauh darinya.

"Tidak. Aku hanya ingin mendorongmu, namun aku hampir terjatuh,"aku memalingkan wajah dan cepat-cepat memunggungi Sasuke serta melepaskan pakaianku.

Sasuke melepaskan cawatnya dan kini ia sepenuhnya telanjang dihadapanku. Ia berjalan menuju salah satu kursi kayu dan duduk diatasnya seraya membasahi tubuhnya dengan air yang diambil dari bak kecil berisi air dengan gayung kayu bergagang panjang.

Aku menatap tubuh Sasuke yang benar-benar membuat gairah meningkat. Tubuh yang terbentuk sempurna hasil berlatih keras serta wajah yang maskulin namun juga lembut dipadukan dengan bekas-bekas luka d tubuh yang membuatnya tampak jantan. Tatapanku mengarah ke bagian bawah tubuhnya dan wajahku memerah.

Ah... apa-apaan yang kupikirkan? Mengapa aku jadi secabul ini? Kurasa Sasuke bahkan tak memikirkan hal sepertiku dan ia tampak bersikap normal-normal saja. Kurasa aku perlu belajar mengendalikan diri. Mungkin bermeditasi bisa membantuku sedikit.

Aku segera melepas pakaianku hingga aku tak mengenakan sehelai benangpun dan membasahi tubuhku dengan air dingin. Aku segera memakai sabun yang disediakan dan mengusapnya ke seluruh tubuhku.

Aku sengaja memilih kursi terjauh dari Sasuke dan aku segera membasahi kepalaku dengan air dingin serta mencuci rambutku dengan cairan putih berupa baking soda yang dicampur dengan air.

Aku melirik kearah Sasuke yang kini menutup kemaluannya dengan handuk dan berjalan menghampiriku dengan seluruh tubuh yang basah. Bahkan air masih menetes dari rambutnya.

"Dobe, aku berendam dulu."

"Oh, baiklah. Aku akan menyusulmu sebentar lagi," jawabku tanpa menatapnya.

Aku segera membilas tubuhku hingga benar-benar bersih dan mengelap seluruh tubuhku dengan handuk serta menutup bagian pribadiku dengan handuk. Aku segera berjalan ke kolam air panas yang hangat itu dan Sasuke menatapku.

"Kemarilah."

Aku menurut dan segera melepas handukku. Aku hendak meletakkan handukku sembarangan, namun aku melihat Sasuke melipat handuknya dan meletakkannya di pinggir kolam sehingga aku mengikutinya.

Aku masuk ke dalam kolam dan mendekati Sasuke yang duduk di dalam kolam seraya menatap pepohonan diluar pagar. Air kolam yang hangat membuat tubuhku terasa lebih rileks dan segar. Rasanya bahkan pikiran-pikiran anehku juga ikut menghilang.

Untuk sesaat kami berdua hanya terdiam dan merasakan air hangat yang membuat sekujur tubuh kami terasa rileks. Namun Sasuke mengulurkan tangannya dan mengenggam tanganku.

Kulit kami bersentuhan di dalam air dan kehangatan air serta telapak tangan Sasuke membuat tak hanya tubuhku menghangat, namun juga hatiku.

"Teme, ada apa?"

"Ingin menyentuhmu. Tidak boleh, hn?"

"Tentu saja boleh. Aku memang ingin bersentuhan denganmu," jawabku sambil tersenyum. Aku mendekatkan tubuhku dengan Sasuke hingga pinggang kami saling menyentuh dan Sasuke merangkulku. Aku balas merangkulnya dan merasa nyaman merasakan tubuhnya yang benar-benar berada dalam rengkuhanku.

"Seandainya bisa setiap hari seperti ini pasti menyenangkan sekali," ucapku pada Sasuke.

"Tidak bisa. Kita harus berlatih."

"Kau ini ketat sekali dengan latihan. Sesekali bermalas-malasan juga tidak apa-apa, kan?" godaku pada Sasuke meski aku tahu akan seperti apa reaksinya.

"Tidak. Jika kau bermalas-malasan maka orang lain akan mengalahkanmu."

"Ya ampun. Jadi setiap hari kau berlatih dengan pemikiran seperti ini? Aku membayangkan seperti apa hidupmu sebelum bertemu denganku. Apakah kau benar-benar tak pernah bersama dengan siapapun setelah anikimu meninggalkanmu?"

Sasuke menggeleng, "Tentu saja pernah."

"Oh ya? Aku merasa penasaran. Bisakah kau menceritakannya padaku?"

Sasuke terdiam sejenak dan memejamkan mata serta membuatku merasa tidak enak seketika. Seharusnya aku sadar jika Sasuke pada dasarnya bukanlah orang yang suka bicara. Dengan memaksanya bercerita maka sama saja dengan memaksa untuk menelanjanginya dan melihat bagian terdalam darinya yang ia sendiri saja belum tentu mau melihatnya.

Aku hampir meminta maaf namun Sasuke segera membuka mulutnya dan tampaknya siap untuk bercerita.

"Aku sempat tinggal di jalan tak lama setelah lelaki brengsek itu meninggalkanku. Suatu malam aku tertidur di pinggir jalan setelah terluka karena bertarung dengan segerombolan gelandangan yang berniat mencuri dariku. Ketika terbangun, aku berada di sebuah gubuk yang terletak agak jauh diluar kota. Beberapa ronin yang melintas membawaku kesana dan merawat lukaku."

"Eh? Ronin?" tubuhku bergidik membayangkan Sasuke yang saat itu bahkan lebih muda dariku. Sudah merupakan rahasia umum jika sampah masyarakat seperti ronin adalah mahluk bengis tak berhati yang rela melakukan apapun demi mendapatkan yang mereka inginkan. "Mereka tak berusaha merampokmu? Atau membunuhmu?"

Sasuke menggeleng, "Mereka mengetahui jati diriku sebagai Uchiha dari ukiran pedang yang kubawa. Namun entah kenapa mereka malah bersimpati padaku dan menyarankanku menutupi identitasku. Salah satu dari mereka sempat mengirimku ke panti asuhan yang dikelola oleh Yahiko, Konan dan Nagato, tiga orang yatim piatu yang sangat baik hati."

"Lalu kau tinggal disana? Apa yang terjadi dengan panti asuhan dan tiga orang itu?"

"Tempat panti asuhan itu dijarah pada saat pemberontakan yang dilakukan beberapa ronin dan dibakar. Yahiko dan Nagato berusaha melindungi anak-anak di panti asuhan sementara Konan membawa kami semua untuk melarikan diri. Namun para pemberontak itu mengejar kami dan membunuh Konan tepat di depan mataku."

Genggaman tangan Sasuke pada tanganku mengerat dan aku menyadari jika ia sedang berusaha menekan emosinya. Aku menatapnya dengan penuh simpati. Aku tak pernah tahu jika kehidupannya seburuk ini.

"Aku mencoba melawan, namun aku bukanlah tandingan bagi para pemberontak itu. Jika saja para ronin itu tak kembali menolongku dan menghabisi pemberontak itu, kurasa aku sudah mati."

"Sasuke.." aku menyebutkan namanya dengan perasaan tak karuan. Aku merasa sedih hanya dengan mendengarnya. Aku tak bisa membayangkan jika aku berada di posisinya.

"Para ronin itu kemudian memperkenalkanku pada Natsume dan memintaku mendatanginya jika membutuhkan pekerjaan serta melatihku. Mereka..."

Ucapan Sasuke terputus dan ia kembali mengenggam tanganku erat-erat. Ekspresi wajah Sasuke terlihat seolah ia benar-benar terluka.

Aku merasa benar-benar telah mengintip bagian terdalam darinya dan melihat sosoknya yang rapuh. Ah tidak, aku tak akan menganggapnya lemah. Bagaimanapun juga ia masih tetap seorang manusia. Sangat wajar jika ia terluka setelah apa yang ia lalui.

"Teme, kau baik-baik saja?"

"Hn."

Aku menatapnya dan menyadari matanya yang agak berkaca-kaca. Namun ia dengan cepat menyibakkan air hangat ke arahku sambil menyeringai sehingga aku mau tak mau mengalihkan pandangan darinya agar wajahku tidak terkena air. Ketika aku kembali menoleh, wajah Sasuke telah basah dan ia dengan sengaja membasahi wajahnya dengan air hangat.

"Apa yang kau lakukan, teme?"

"Kudengar air hangat juga bagus untuk kulit wajah."

"Hah? Kau bahkan juga memperhatikan keadaan kulit, teme?"

"Tidak. Aku terbiasa membasahi wajahku dengan air hangat saat berendam."

"Jangan-jangan kau menangis, ya?"

"Tidak mungkin, dobe. Aku tak pantas melindungimu jika aku menangis hanya karena hal seperti ini."

Aku menepuk bahunya, "Walaupun lelaki menangis adalah hal yang aneh namun aku tidak mempermasalahkannya. Menurutku itu sangat aneh. Saat bayi kita semua menangis, lalu mengapa hanya wanita yang boleh menangis setelah dewasa? Padahal kita juga memiliki perasaan. Sesekali menangis juga tidak apa-apa, kan?"

"Selama kau masih bisa mengendalikan dirimu sebaiknya jangan menangis. Dengan menangis maka kau menghancurkan kehormatanmu, dobe."

"Kau sudah pernah menangis dihadapanku, begitupun denganku. Namun aku tetap menganggapmu sebagai pria dewasa yang kuat dan keren. Persepsi orang-orang padamu juga tidak berubah."

Sasuke sedikit tersipu dan ia memalingkan wajah dariku sejenak sebelum kembali menatapku, "Ini rahasia diantara kita berdua, dobe."

"Tentu saja." jawabku sambil menganggukan kepala. "Kau bisa mempercayaiku, teme."

Sasuke menatapku dengan lembut dan berkata, "Masih ingin mendengar ceritaku?"

"Eh? Kalau kau tidak keberatan, tentu saja aku ingin mendengarnya."

"Salah seorang pemberontak yang berhasil melarikan diri dari para ronin itu membawa lebih banyak orang untuk menghabisi para ronin itu. Para ronin itu membantuku kabur sementara mereka bertarung dengan pemberontak itu. Sesuai dugaanku, para ronin itu terkalahkan dan pemberontak itu mengejarku," ujar Sasuke sambil tersenyum sinis.

Sasuke mengambil jeda sejenak dan melanjutkan ceritanya, "Aku benar-benar marah dan berusaha mengerahkan seluruh kekuatanku. Tiba-tiba api hitam muncul begitu saja dan menghabisi para pemberontak yang mengejarku hingga tak tersisa sedikitpun. Aku baru menyadari jika sharinganku berkembang hingga aku bisa mengeluarkan api hitam itu."

Untuk sesaat aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Namun aku segera memeluk Sasuke dengan erat dari samping. Saat aku merasa sedih, didalam hatiku aku menginginkan seseorang memelukku meski aku tak akan menunjukkannya. Kurasa Sasuke juga menginginkan hal yang sama.

"Semua orang disekelilingku mati dalam tahun yang sama, dobe," gumam Sasuke dengan pelan. "Aku memilih sendirian agar tak seorangpun bernasib seperti para ronin atau pengelola panti asuhan itu. Kurasa kau harus mempertimbangkan pilihanmu untuk bersamaku, dobe."

Kurasa Sasuke benar-benar telah mencapai batasnya. Selama ini ia selalu menyembunyikan perasaannya sendirian dan berusaha keras menutupi lukanya. Ia yang terlihat dingin, kejam dan tak berhati diluar sebetulnya adalah orang yang terluka parah di dalamnya dan sangat kesepian.

Aku benar-benar kasihan padanya. Seandainya aku berada di posisinya, apa yang akan kulakukan? Aku bahkan tak mampu membayangkannya, apalagi benar-benar menjalaninya.

"Aku tak mungkin bernasib seperti mereka, teme. Peramal itu tidak mengatakan seperti itu. Buktinya, kau selalu melindungiku dan aku baik-baik saja," jawabku dengan nada yang meyakinkan.

Sasuke menghadapku dan ia segera memelukku dengan sangat erat. Tubuh kami saling bersentuhan tanpa sehelai benangpun, namun entah mengapa aku malah tak merasakan gairah sedikitpun. Aku merasa nyaman dengan sekujur tubuh kami yang saling bersentuhan dan tubuh serta hatiku terasa menghangat.

Aku membalas pelukan Sasuke dan kami berpelukan sangat erat hingga tak ingin melepaskannya. Kurasa ucapan Sasuke memang benar, cinta tak harus diungkapkan dengan seks. Hanya dengan menyentuh satu sama lain dan mencurahkan isi hati serta menghabiskan waktu bersama dapat terasa begitu menyenangkan,

Sasuke melepaskan pelukanku dan kami berhadapan. Ia mengecup pipiku dengan lembut dan tersenyum tipis.

"Terima kasih telah mendengarkanku, dobe."

Aku menggelengkan kepala, "Tidak, teme. Aku seharusnya berterima kasih karena kau begitu mempercayaiku hingga menceritakan masa lalumu padaku. Sebetulnya, aku juga merasa tidak enak karena memaksamu bercerita."

"Aku ingin kau mengetahuinya, dobe. Kau perlu tahu bagaimana masa lalu seorang pria yang menjadi kekasihmu."

"Sasuke yang menjadi kekasihku adalah Sasuke yang sekarang. Sekalipun kau tak menceritakannya padaku, kau akan tetap menjadi kekasihku. Iya, kan?"

Sasuke kembali tersenyum dan ia mengacak rambutku, "Kurasa aku cukup beruntung memilikimu, hn?"

"Aku jauh lebih beruntung dapat bertemu dan bersama denganmu, teme," jawabku menatapnya lekat-lekat, berharap ia mengerti jika aku benar-benar serius.

Perasaanku semakin menghangat saat melihat senyum lembut yang terpatri di wajah Sasuke. Kurasa kini aku mengerti yang dimaksud dengan kebahagiaan saat melihat orang yang dicintai merasa bahagia. Aku merasa bahagia jika Sasuke bahagia.

-The End-

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Author's Note:

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Fanfict ini dibuat sebagai perayaan satu tahun fanfict ini dipublish di fanficiton.net. Seharusnya dipublish tanggal 26 kemarin, cuma karena kesibukan baru bisa di publish sekarang.

Khusus untuk chapter ini dibuat lebih panjang dibanding biasanya. Semoga chapter ini memuaskan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro