Season 2 : Part 1
Musim dingin berlalu dan musim semi telah tiba. Dan tanpa disadari, musim semi dimana bunga sakura bermekaran pun telah berakhir dan digantikan dengan musim panas yang membuat tubuh seolah berubah menjadi pabrik peluh.
Kini musim panas pun telah berakhir dan musi gugur telah tiba. Tanpa disadari telah lebih dari satu tahun berlalu sejak Naruto bersama dengan Sasuke. Lebih dari satu siklus empat musim telah mereka lalui bersama.
Naruto kini semakin bertambah kuat berkat latihan keras yang diberikan Sasuke. Sasuke bahkan mengajarkan teknik ninjutsu dengan latihan yang terkesan irasional. Namun Naruto perlahan mulai menguasai satu persatu teknik yang diajarkan Sasukr meski awalnya ia agak tak yakin jika ia mampu menguasai teknik-teknik tersebut.
Sore ini Naruto baru saja selesai berlatih bersama Sasuke. Ia berjalan di samping Sasuke seraya menatap mentari yang akan lenyap sebentar lagi.
Dalam satu tahun tubuh Naruto bertumbuh tinggi dengan sangat cepat. Kini tingginya bahkan sedikit melewati bahu Sasuke dan akan terus bertambah seiring waktu berlalu.
"Kerja bagus, dobe," ucap Sasuke seraya mengacak rambut Naruto dan tersenyum tipis.
Naruto tersenyum dan menatap Sasuke. Lelaki itu memiliki kebiasaan untuk melontarkan kalimat pujian di setiap sesi latihan dan membuat lelah di tubuh Naruto seolah menghilang begitu saja.
"Tak kusangka aku berhasil menguasai teknik yang kau ajarkan."
"Sebetulnya elemen dasar kita berbeda. Kurasa kau lebih cocok mempelajari ninjutsu elemen air."
"Begitukah?" Sahut Naruto dengan antusias. "Kalau begitu ajarkan aku ninjutsu elemen air, teme."
Sasuke menggelengkan kepala, "Aku tak menguasainya."
"Sayang sekali. Memangnya apa elemen mu, teme?"
"Api dan listrik."
"Keren," ucap Naruto dengan tatapan penuh kekaguman. Ia teringat dengan teknik api hitam yang pernah ditunjukkan Sasuke secara langsung. Teknik itu mengerikan, namun di saat yang sama juga memiliki nilai estetika tersendiri.
"Tch. Kau selalu berlebihan, dobe."
Naruto mengerucutkan bibir. Hari ini merupakan ulang tahunnya, namun Sasuke sama sekali tak mengucapkan selamat ulang tahun.
Semula ia mengira Sasuke lupa dan akan ingat ketika mereka berlatih. Namun sepertinya Sasuke sama sekali tidak ingat.
"Teme, kau ingat tanggal berapa?"
"Hn? Hari ini tanggal sepuluh bulan sepuluh tahun Hyuuga ke seratus dua puluh satu, kan?"
"Oh? Aku lupa," sahut Naruto tanpa menatap Sasuke. Ia merasa benar-benar kecewa, namun tak sampai hati untuk menunjukkannya secara langsung pada Sasuke.
"Hn? Kau baik-baik saja, dobe?"
Naruto menganggukan kepala, "Tentu saja. Kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?"
Sasuke dengan sengaja mendekatkan wajahnya ke wajah Naruto hingga hanya tersisa sekitar sepuluh sentimeter. Naruto tampak gugup dan wajahnya merona tanpa mampu ia kendalikan, membuat Sasuke menyeringai.
"Wajahmu terlihat lebih baik seperti ini."
Naruto terdiam. Ia merasa benar-benar gugup hingga ia tak mampu mengatakan apapun. Jantungnya masih berdebar kencang setiap kali Sasuke mendekati wajahnya.
"Kita makan malam di kedai ramen, ya?"
Naruto mengernyitkan dahi, "Makan malam? Bukankah kemarin kau bilang kalau kau sudah mengambil pekerjaan dan akan berangkat malam ini?"
Sasuke tersenyum dan kembali menepuk kepala Naruto. Naruto masih menunjukkan keluguan dirinya meski lebih dari setahun telah berlalu.
"Baka. Mana mungkin aku mengambil pekerjaan di hari ulang tahun kekasihku, hn?"
Naruto membulatkan matanya dan menatap Sasuke lekat-lekat, "Jadi kau ingat, teme? Kupikir kau lupa."
"Mana mungkin aku melupakannya? Otanjoubi omedetto, dobe," Sahut Sasuke dengan senyum yang menghiasi bibirnya.
Senyum Sasuke terasa menular entah mengapa, membuat Naruto ikut tersenyum. Naruto sudah sering melihat senyuman Sasuke yang ditujukan untuknya, namun senyuman lelaki itu terlihat paling menawan saat ini. Hati Naruto terasa hangat. Ia tak pernah mengira jika masih ada seseorang di dunia ini yang akan mengucapkan selamat ulang tahun padanya.
"Arigatou gozaimasu," ucap Naruto dengan suara tercekat. Mata nya mulai berkaca-kaca dan ia merasa ingin menangis. Namun ia cepat-cepat menundukkan kepala dan mengusap air matanya. Ia tak ingin membuat Sasuke salah paham meskipun sebetulnya ia tak peduli jika ia terlihat emosional di hadapan sang kekasih. Mereka berdua sudah mengetahui rahasia masing-masing dan Naruto merasa tak ada yang perlu ia sembunyikan dari Sasuke.
Sasuke berhenti melangkah dan ia segera memeluk Naruto dengan erat serta mengecup kening Naruto dengan lembut.
Naruto seolah membeku ketika merasakan bibir lembut Sasuke menyentuh keningnya. Pelukan Sasuke membuat jiwa dan raga Naruto terasa menghangat.
Tanpa ragu, ia segera memeluk Sasuke dengan erat seolah tak ingin melepaskannya lagi. Mereka berdua terus berpelukan selama beberapa menit tanpa mengucapkan apapun sebelum akhirnya saling melepaskan pelukan masing-masing dan menatap mentari di kejauhan yang hampir terbenam.
Tatapan mereka berdua tertuju kearah mentari yang perlahan mulai terbenam dan menampilkan cahaya jingga yang tak begitu terang, namun juga tak begitu gelap. Langit yang ikut berubah warna menjadi jingga dengan gradasi warna yang begitu indah hingga tak mampu terlukiskan oleh kata seolah ikut 'mendukung' sang mentari menampilkan sinar-sinar terakhirnya.
"Indah sekali," ucap Naruto tanpa ia sadari. Semula ia membenci senja yang mengingatkannya akan suatu senja dimana ia kehilangan segalanya yang ia miliki. Namun kini ia tak lagi membenci senja.
Sasuke mengangguk. Ia pun pernah memiliki trauma dengan senja di suatu masa. Namun kini ia menikmati senja berkat Naruto.
"Aku ingin menikmati senja seperti ini setiap hari bersamamu, teme."
Sasuke tersenyum getir. Setiap hari, katanya? Sejak bertemu Naruto, ia yakin jika kebersamaannya dengan Naruto tak akan abadi. Kebersamaan mereka saat ini tak akan berlangsung lama. Suatu saat nanti, entah cepat atau lambat, mereka harus berpisah.
"Hn. Aku juga menginginkannya."
Sasuke meletakkan tangan di bahu Naruto dan merangkulnya. Ia merasa bersalah telah menjanjikan sesuatu yang hampir mustahil untuk direalisasikan.
.
.
"Itadakimasu," seru Naruto ketika mangkuk ramen ketiga telah disajikan.
"Hn. Itadakimasu."
Sasuke menatap Naruto yang memakan ramen dengan antusias. Lelaki itu bahkan tidak terlihat kenyang meskipun sudah menghabiskan dua mangkuk ramen dalam waktu tak lebih dari sepuluh menit.
Pasti Naruto sedang melalui masa pubertas saat ini. Bagi seorang anak laki-laki, nafsu makan akan meningkat drastis di masa pubertas. Sasuke sendiri juga mengalami hal yang sama ketika ia seusia Naruto.
"Ingin pesan ramen lagi?" Tanya Sasuke ketika ia menghabiskan mangkuk pertama dan akan memesan mangkuk kedua.
"Mmhm," ucap Naruto sambil mengangguk dan menunjukkan angka dua dengan jari sementara ia menyeruput kuah ramen.
"Pesan tiga porsi shio ramen," ucap Sasuke pada pelayan yang menghampirinya setelah ia mengangkat tangan.
"Makanmu banyak sekali, dobe."
Naruto tersenyum kikuk dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Aduh, maaf ya. Belakangan ini aku sering merasa lapar. Aku akan mentraktirmu hari ini."
Sasuke menggelengkan kepala, "Ini hari ulang tahunmu, dobe. Aku akan mentraktirmu."
Naruto menggelengkan kepala,"Seharusnya aku yang mentraktirmu, tahu. Omong-omong, ulang tahunmu kapan, sih? Kau tak pernah memberitahuku."
"Sudah lewat."
"Memangnya kapan? Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun dan memberi kado, teme."
Sasuke terdiam. Ulang tahun merupakan hal yang menyakitkan baginya sejak lelaki biadab itu menghabisi orang tua nya dan membuatnya kehilangan segala hal.
Dulu orang tua Sasuke akan mengadakan pesta setiap kali ia ulang tahun dan lelaki biadab itu akan selalu menghadiri pesta ulang tahun Sasuke tak peduli betapa sibuk dirinya dan memberikan hadiah yang selalu disukai Sasuke.
Namun kini ulang tahun Sasuke tak akan pernah seindah dulu. Si lelaki biadab itu bahkan tak pernah tulus untuk bersikap baik padanya. Lelaki itu berusaha menipunya dengan 'ilusi' dan ia dengan bodohnya terjebak dalam ilusi hingga ia disadarkan dengan kenyataan yang pahit.
Dan sudah tujuh kali ulang tahun yang dilalui Sasuke tanpa ucapan selamat ulang tahun dari siapapun sejak ulang tahun terakhir yang ia rayakan bersama keluarganya. Demi menghindari rasa sakit yang menusuknya dari dalam, Sasuke selalu memilih mengambil pekerjaan tepat di hari ulang tahunnya sendiri, termasuk setelah bertemu Naruto.
"Tiga bulan yang lalu."
"Tanggal nya?"
"Tebak saja."
Naruto meringis mendengar ucapan Sasuke. Terdapat tiga puluh satu hari di bulan juli. Kemungkinannya berhasil menebak hanyalah satu banding tiga puluh satu.
"Tanggal sepuluh?"
"Itu tanggal ulang tahunmu, dobe."
"Siapa tahu sama," ucap Naruto dengan serius. "Kalau begitu berapa?"
"Tebak saja."
"Tujuh belas?"
"Bukan."
"Kalau begitu berapa? Satu? Dua? Tiga? Empat? Lima? Enam?" Tanya Naruto dengan intonasi dan tatapan yang menuntut jawaban.
Sasuke mengusap puncak kepala Naruto dengan lembut, "Akan kujawab lain kali, dobe."
Naruto mendengus kesal. Sasuke selalu menghindari pertanyaan dengan jawaban yang senada dengan jawaban yang ia utarakan malam ini.
"Uh.. mengapa kau selalu mengelak seperti ini, teme? Memangnya apa yang rahasia dengan tanggal ulang tahunmu?"
"Mengapa kau sangat penasaran? Ingin memberikan hadiah spesial, hn? Misalnya tubuhmu?" Sasuke mengedipkan mata dengan ekspresi menggoda yang dibuat-buat.
Wajah Naruto memerah. Jika Sasuke sebegitu ingin nya merasakan pengalaman bercinta dengannya, ia tak keberatan melakukannya bersama Sasuke. Ia sendiri juga penasaran dengan sensasi bercinta yang katanya begitu menyenangkan hingga membuat lupa daratan. Ia yakin bercinta bersama Sasuke pasti menyenangkan. Buktinya, ia merasa sangat bahagia hanya dengan pelukan dan ciuman di kening yang diberikan Sasuke,
"Boleh. Aku sudah cukup dewasa untuk melakukannya bersamamu, kan?"
Sasuke tertawa secara refleks mendengar ucapan Naruto. Ia bahkan tak bisa menghentikan tangannya yang kini mengacak rambut Naruto, kebiasaan yang setahun belakangan ini dimilikinya.
Naruto masih mempertahankan keluguannya. Jawaban lelaki itu masih menunjukkan kepolosannya, membuat Sasuke tertawa.
"Aku serius. Jangan menertawakanku," Naruto memberanikan diri menatap Sasuke lekat-lekat dan menegaskan suaranya.
Sasuke berhenti tertawa dan menepuk bahu Naruto. Dirinya setahun yang lalu pasti akan berusaha mati-matian menahan gairah yang melonjak akibat tawaran Naruto. Namun dirinya yang sekarang bereaksi biasa saja dengan tawaran Naruto.
"Maaf. Aku tidak berminat, dobe. Meski kau sudah dewasa sekalipun, aku tetap tidak berminat," sahut Sasuke dengan ekspresi datar sambil menatap Naruto lekat-lekat.
Naruto merasa kecewa dengan penolakan Sasuke. Setahun ini ia berusaha mati-matian untuk berlatih keras dan menjadi semakin kuat agar terlihat dewasa di mata Sasuke. Ia bahkan tak mengeluh meskipun tubuhnya lelah atau kesakitan sekalipun. Ia juga memaksa mengambil pekerjaan yang akhirnya diijinkan Sasuke dengan berat hati.
"Apakah kau tak mencintaiku? Atau mungkin..." ucapan Naruto terputus dan ia melanjutkannya dengan kepala tertunduk dan wajah memerah. "Maaf... umm, alat vital mu sedang bermasalah dan belum diperbaiki?"
Tawa Sasuke meledak dan ia berusaha mati-matian menahannnya agar tak menarik perhatian orang lain. Tubuhnya bahkan bergetar dan ia mengatupkan mulut dengan sangat erat menggunakan telapak tanganmu.
"Mmmhmmm... pfftt..."
Naruto mengernyitkan dahi dengan reaksi Sasuke yang aneh. Lelaki itu bahkan menahan tawa hingga air matanya menitik dan ia memegang perutnya. Apakah ucapan Naruto terdengar lucu? Padahal ia sengaja memilih bahasa kiasan agar tidak menyakiti perasaan Sasuke.
Hingga pelayan mengantarkan pesanan tambahan ke meja pun Sasuke masih belum bisa benar-benar berhenti tertawa. Wajahnya masih memerah akibat menahan tawa.
"Darimana kau mengetahui istilah semacam itu, dobe?"
"Itu bahasa kiasan, tahu," sahut Naruto. "Tapi aku mengetahui hal-hal mengenai alat vital dari buku yang kubaca di toko buku."
"Bukankah itu buku untuk orang dewasa, hn? Mengapa kau malah membacanya?"
"Aku penasaran. Menurut buku itu, hubungan seks untuk memadu kasih dan membuktikan cinta bagi pasangan."
"Hey, dobe. Akan kuberitahukan satu hal yang hanya dimengerti orang dewasa. Kau ingin mendengarnya?"
Tanpa ragu Naruto menganggukan kepala. Ia ingin menjadi dewasa dengan cepat, karena itulah menurutnya ia harus memiliki kekuatan, pengetahuan atau pengalaman yang setara dengan orang dewasa.
"Tentu saja, teme."
Sasuke menarik nafas sejenak dan menghembuskannya perlahan. Sebetulnya ia merasa tidak nyaman menjelaskannya pada Naruto. Ia tak ingin terkesan terlalu filosofis atau munafik.
"Bagiku, cinta sejati tak memerlukan seks, dobe. Seks berawal dari nafsu, bukan cinta. Jika aku tak melakukannya bersamamu, bukan berarti cintaku padamu akan berkurang. Jika kita memutuskan melakukan seks dan suatu saat harus berpisah, hidupmu tak akan sama seperti sebelumnya. Lagipula, karena aku mencintaimu, aku malah tak ingin melakukannya hanya karena nafsu," jelas Sasuke seraya menggelengkan kepala.
"Jadi, aku tak bisa melakukannya bersamamu tanpa ikatan. Jika kau benar-benar menginginkannya, aku tak bisa melakukannya bersamamu. Maafkan aku, dobe."
Naruto tertegun dengan penjelasan Sasuke. Jadi, cinta Sasuke padanya termasuk cinta tanpa unsur seksual?Naruto tak pernah mendengar cinta semacam itu.
"Aku..." Naruto memutus kata-katanya. Ia terdiam dan tak mampu melanjutkan ucapannya. Kata yang hendak ia ucapkan seolah menguap begitu saja dari rongga mulutnya.
"Hn?"
"Kupikir selama ini kau begitu menginginkannya dan menahan diri mati-matian. Karena itulah kupikir kita harus melakukannya."
Sasuke tersenyum dan menggelengkan kepala, "Aku hanya menjahilimu, tahu."
Naruto meringis mendengarkan ucapan Sasuke. Ia merasa bodoh telah salah paham dengan sikap Sasuke. Ia terkesan kekanak-kanakan di mata lelaki itu.
Sasuke menepuk bahu Naruto sambil tetap tersenyum, "Kau bisa melakukannya suatu saat nanti bersama seseorang yang kau cintai dan memiliki ikatan bersamamu, dobe. Jika saat itu tiba, kalian akan sangat menikmatinya."
Naruto tersenyum dengan sudut bibir yang bergetar dan mata yang mulai berkaca-kaca. Sasuke begitu mencintai dan menghargainya.
.
.
Seorang lelaki melangkah menuju sebuah bangunan tua yang terbengkalai yang agak jauh dari kota dan membuka pintu.
Iris onyx nya menatap sekeliling dengan waspada dan memastikan jika tak ada seorangpun sebelum memasuki bangunan itu.
"Okaeri, Itachi."
Secara refleks lelaki itu segera mengaktifkan sharingan begitu namanya disebut. Namun ia segera mendeaktivasi sharingan nya begitu mendapati sosok Kisame yang sedang duduk sambil bersandar di dinding.
"Oh, Kisame."
"Ada yang ingin kukatakan padamu, Itachi."
"Hn."
Itachi segera melepaskan alas kaki dan menghampiri Kisame serta duduk agak dekat dengannya. Ia meluruskan kaki nya, berusaha menghilangkan rasa pegal yang ia rasakan setelah menjalani misi.
"Otouto mu semakin terkenal. Bahkan ia mulai menyaingi kepopuleranmu. Kabarnya ia menggunakan teknik klanmu itu hampir di setiap misi yang ia ambil."
Itachi tak menjawab. Ia merasa penasaran sebetulnya, namun ia tak ingin menunjukkannya pada Kisame. Ia sudah membunuh perasaannya pada sang adik bertahun-tahun lalu. Jika perasaan itu muncul kembali, ia akan membunuhnya tanpa ragu sebelum perasaan itu muncul sepenuhnya.
"Tarifnya di dunia bawah termasuk yang termahal setelah kau, Itachi."
"Darimana kau mendapat informasi itu?"
Kisame tersentak. Ia tak ingin mengakui jika ia berusaha mencari informasi melalui kenalan nya di dunia bawah demi Itachi. Meski lelaki itu tak pernah mengatakannya, Kisame tahu jika sebetulnya masih ada perasaan yang tersisa di dalam hati Itachi untuk sang adik.
"Memangnya kau tidak tahu? Bukankah sebagai pemimpin Akatsuki kau memiliki jaringan informasi yang jauh lebih luas ketimbang kami semua?"
"Aku tak tertarik mencari tahu mengenai sampah itu."
"Kau tidak berniat mencarinya? Nama samaran nya di dunia bawah adalah Taiko. Tak seorangpun pernah melihat wajahnya, namun ia terkenal dengan kemampuan berpedangnya yang tak lazim dan sharingan yang menunjukkan identitasnya sebagai klan Uchiha."
"Tidak."
Kisame mengernyitkan dahi. Itachi tak pernah mengatakan jika ia ingin membunuh sang adik sekalipun ia tak begitu suka menyebutkan namanya.
"Kau tak ingin bertemu dengannya dan menghabisinya?"
"Biarkan dia mencariku," sahut Itachi. "Bagaimana dengan misimu?"
Kisame menyadari jika Itachi berniat mengalihkan pembicaraan dengan mengganti topik. Maka Kisame dengan terpaksa mengikuti topik pembicaraan yang dibahas rekannya.
"Berhasil, tentu saja. Para penjaga itu terlalu lemah. Aku mendapatkan gulungan berisi dokumen yang diminta kerajaan Kai dengan mudah," sahut Kisame sambil memberikan tiga buah gulungan pada Itachi.
Itachi menatap gulungan itu dan memastikan keasliannya dengan doujutsu. Setelahnya ia bangkit berdiri dan menatap Kisame.
"Beritahu aku jika Deidara dan Sasori kembali besok pagi."
"Baiklah."
Itachi segera meninggalkan Kisame dan berjalan menuju kamarnya yang hanya bisa dimasuki olehnya.
Bagian dalam bangunan tua itu tak seburuk yang terlihat di luar. Kondisi kamar Itachi bahkan terhitung bagus jika dibandingkan dengan bagian luar bangunan.
Ia segera mengeluarkan futon dari dalam lemari geser dan merebahkan tubuhnya di atas futon. Ia merasa agak lelah setelah menjalani misi yang cukup berat di kerajaan seberang seorang diri.
Semenjak ia menjadi pemimpin Akatsuki ia agak jarang mengambil misi. Ia lebih sering berada di markas yang lokasinya berpindah-pindah setiap enam bulan sekali atau sesekali berkunjung ke lokasi perkumpulan masyarakat bawah.
Ia merasa agak lelah dengan posisinya sebagai pemimpin. Sebetulnya ia tak setuju dengan pengangkatan dirinya sebagai ketua baru Akatsuki. Ia bahkan tak pernah memimpin dalam waktu yang cukup lama.
Posisi nya sebagai ketua pasukan mata-mata tak mengharuskannya untuk memimpin dalam waktu yang lama. Ia hanya harus memimpin rekan setimnya ketika menjalankan misi dan mewakili tim mata-mata untuk bertemu dengan raja atau para menteri yang berwenang dan menyampaikan pendapat jika diminta.
Itachi memejamkan matanya dan mengingat kembali informasi yang diberikan Kisame.
Ia saat itu menjual beberapa pasang mata Uchiha yang menurutnya tak berguna. Namun ia tanpa sengaja malah menjual sepasang mata milik ibunya yang kuat dan berkualitas bagus.
Ia yakin jika Sasuke mendapatkan mata pengganti yang berkualitas baik. Jika tidak, Sasuke tak akan mungkin mampu menggunakan doujutsu hampir di setiap misi.
Itachi merasa agak menyesal dengan kecerobohannya. Namun di sisi lain ia merasa agak senang. Jika seandainya Sasuke kehilangan penglihatan dan mati sebelum sempat menemuinya, ia yakin akan merasa jauh lebih menyesal.
Sebetulnya, Itachi merasa agak lega jika Sasuke semakin kuat. Ia tak perlu diam-diam mengkhawatirkan sang adik. Bahkan, jika seandainya Sasuke membunuhnya pun ia tak keberatan.
Itachi sudah lelah hidup tanpa tujuan dengan segala penyesalan yang menghantuinya setiap hari. Jika waktu bisa diulang, ia tak akan mengambil pilihan bodoh dengan mengikuti Obito yang malah menipu dan memanfaatkannya untuk menjadikannya mesin pembunuh orang-orang yang mungkin saja tak layak untuk dibunuh.
Jika saja ia memilih untuk menjadi alat bagi keluarga atau kerajaan, paling-paling ia hanya perlu mengorbankan dirinya. Ia tak perlu mengorbankan orang-orang yang dikasihinya dan menanggung perasaan bersalah seperti ini.
Hanya ada satu penyelesaian terbaik untuk mengakhiri perasaan menyesal yang terus mengusik benak Itachi. Jika ia memilih melakukan rencananya, akan ada seseorang yang seharusnya merasa bahagia karena telah berhasil melaksanakan rencana nya.
Ia telah memutuskannya. Ia akan memilih mati di tangan Sasuke, itupun jika Sasuke cukup kuat untuk melakukannya.
-TBC-
-
--------------------------------------------------------
Author's Note :
---------------------------------------------------------
Mulai chapter ini porsi romance akan sedikit dikurangi. Untuk sementara fanfict ini akan lebih fokus ke cerita dibandingkan romance.
Romance mungkin akan diperbanyak di beberapa chapter terakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro