Part 6
Sasuke membuka matanya dan mendapati Naruto masih tertidur di futon yang bersebelahan dengannya. Naruto tertidur dengan tubuh menghadap kearah Sasuke sambil mendengkur halus. Raut wajahnya terlihat sangat lelah.
Perlahan Sasuke mengambil ranselnya dan berjalan ke kamar mandi tanpa menimbulkan suara. Ia melepaskan seluruh pakaiannya dan membersihkan tubuhnya. Ia meringis saat tanpa sengaja menggosok lengan kanannya. Luka di tubuhnya masih terasa sakit dan kondisinya tubuhnya saat ini tidak terlalu sehat.
Sasuke menyiramkan air dingin membasahi tubuhnya dan dinginnya air terasa seolah menusuk tulangnya. Kemudian ia masuk ke dalam ofuro berisi air hangat dan hampir meringis ketika lengannya yang terluka mengenai permukaan bak.
Luka di lengan Sasuke terasa sangat sakit bahkan ketika tak digerakkan sekalipun dan tubuhnya lemas akibat kehilangan banyak darah. Wajahnya terlihat datar, namun ia benar-benar kesakitan.
Ia sedang sendirian saat ini dan tak perlu berusaha keras untuk terlihat kuat dengan menampilkan ekspresi datar di wajahnya. Tak ada seorangpun yang akan menghukumnya jika ia meringis, mengeluh kesakitan atau menjerit sekalipun. Namun ia telah terbiasa menutupi ekspresi kesakitan dengan wajah datar.
Terdengar suara air yang terdorong akibat gerakan tubuh dan membuyarkan lamunan Sasuke. Pria itu merasa siaga, khawatir bila seseorang menyerangnya saat ini. Ia tanpa sadar mengaktifkan sharingan dan memandang sekeliling. Ia menghembuskan napas lega saat ia menyadari jika suara itu ditimbulkan oleh gerakan tangannya sendiri yang bergerak di dalam ofuro tanpa sadar.
Langit malam perlahan mulai sirna dan digantikan dengan sinar terang dari matahari yang perlahan muncul dari arah timur. Terdengar suara ayam jantan yang berkokok dan Sasuke segera keluar dari ofuro dan mengelap tubuhnya serta berpakaian dengan cepat. Ia harus segera meninggalkan penginapan secepat mungkin .
.
.
Seorang pria duduk dengan santai di ranting pohon besar yang berada di dalam hutan rimbun. Ekspresi wajah pria itu terlihat datar dan menikmati angin yang bertiup di pagi hari. Fajar baru saja usai dan matahari perlahan merangkak menuju singgasana nya.
Iris onyx pria itu memandang langit dan mengamati awan putih bagaikan kapas yang bergerak perlahan. Mata itu terlihat memandang dengan tajam, namun apa yang dilihatnya terlihat kabur.
Terdengar suara gemerisik daun dan pria itu segera mengaktifkan sharingan untuk menajamkan penglihatannya, kebiasaan yang dimilikinya ketika ia merasa terancam tak peduli separah apapun kondisi matanya.
Terdengar suara daun yang bergemerisik dan seorang pria bertopeng telah duduk di atas pohon yang sama dengan pria bersurai raven itu, namun pada dahan pohon yang berbeda.
"Memikirkan adik kesayangamu lagi?" Pria bertopeng itu memulai percakapan. Ia melepaskan topengnya dan memperlihatkan wajahnya yang cacat di sebelah kiri serta ikut menatap kearah langit yang dipandang oleh pria bersurai raven itu.
Ekspresi wajah pria bersurai raven itu terlihat datar seolah tak pernah menampilkan raut wajah apapun. Senyum lembut yang dulu sering menghiasi wajahnya kini telah menghilang sejak malam ketika ia membantai keluarganya sendiri dan satu-satunya senyum yang ditampilkan di wajahnya ialah senyuman sinis.
Dalam hati pria itu merasa jengkel. Ia sedang ingin sendirian saat ini sekaligus mencari kesempatan untuk diam-diam mengganti mata nya dengan mata baru yang lebih baik. Ia harus melakukannya sendirian dan tak bisa mempercayai orang lain untuk meminta bantuan.
"Apa yang kau inginkan, Obito?"
Obito menyeringai sinis sambil melirik pria bersurai raven itu, "Kau tak menjawabku, Itachi? Maka dapat kuartikan reaksimu sebagai 'ya'."
Itachi mengangkat bahunya. Ia sedang malas berbicara dengan siapapun saat ini, termasuk Obito. Namun ia tak ingin terlihat seperti pria emosional. Ia telah membunuh emosinya bahkan sebelum ia membantai keluarganya. Maka ia memutuskan untuk menyanggah apa yang diucapkan Obito.
"Waktuku terlalu berharga jika kugunakan untuk memikirkan 'sampah' itu."
Obito menatap lawan bicaranya lekat-lekat. Ekspresi wajah Itachi tak dapat terbaca, namun ia merasa jika apa yang diucapkan Itachi berlawanan dengan fakta yang ada.
"Jika kau menganggapnya sampah, mengapa malam itu kau tidak membunuhnya saja?"
"Aku merasa puas jika sampah itu menderita," ujar Itachi dengan pelan.
"Omong-omong apakah kau sudah mendengar mengenai rumah keluarga daimyo Namikaze yang terbakar beberapa hari yang lalu?"
Itachi segera menoleh dan memandang Obito. Apa yang disampaikan Obito cukup menarik perhatiannya. Dulunya kepala keluarga Uchiha memiliki hubungan yang cukup dekat dengan kepala keluarga Namikaze dan ia beberapa kali menemani ayahnya mengunjungi rumah keluarga Namikaze.
"Aku mendapatkan informasi dari Deidara yang menjalankan misi tak jauh dari tempat itu. Menurut isu, beberapa saksi mata melihat adanya api hitam saat kebakaran. Apa kau yang melakukannya, Itachi?"
Itachi menggelengkan kepala.
Obito tersenyum sinis sambil melirik Itachi, "Lihatlah. Adik kesayanganmu telah semakin kuat. Mungkin ia akan melebihimu dan membunuhmu suatu hari nanti."
Kali ini Itachi menyeringai tipis. Ia merasa sedikit puas mendengar kabar yang disampaikan Obito. Pertarungannya dengan Sasuke akan lebih menarik jika perbedaan kekuatannya dengan Sasuke tak begitu jauh.
"Kau ingat Morino Ibiki, mantan klien mu?"
"Hn."
"Pria itu mati bunuh diri baru-baru ini. Lalu di kota yang sama sebuah keluarga penjual kuda menghilang secara misterius. Seluruh kuda yang dimilikinya menghilang dan hanya ditemukan abu dari keluarga itu."
Seolah mengerti maksud dibalik pernyataan Obito, Itachi segera menggelengkan kepala.
"Bukan aku yang melakukannya."
Terdengar suara tawa sinis dan membuat Itachi merasa risih dibalik ekspresi wajah datarnya.
"Haha... apakah kau menyesal, Itachi?"
Itachi tak menjawab Obito, otaknya sedang memikirkan beberapa hal saat ini. Ia tak menyukai Obito sejak awal dan ia terpaksa menuruti pria itu hingga saat ini.
Enam tahun yang lalu Itachi merasa muak dengan keluarga nya yang memanfaatkannya untuk melakukan berbagai hal, termasuk pekerjaan-pekerjaan kotor yang berkaitan dengan keluarganya. Tak hanya keluarganya, kerajaan pun secara tak langsung memanfaatkannya melalui tugas yang diberikan pada keluarga Uchiha untuk menyelesaikan berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan kerajaan, termasuk memadamkan pemberontakan hingga bertempur di medan perang.
Bagai gayung bersambut, Itachi tanpa sengaja bertemu dengan Obito, anggota klan Uchiha yang telah berkhianat dan melarikan diri dengan membawa rahasia penting klan hingga buku berisi jurus-jurus terlarang. Obito bahkan menghasutnya untuk bergabung dengan Akatsuki, kelompok berisi enam 'orang bayaran' yang melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor.
Ketika menyadari ketidaksukaan Itachi terhadap klannya sendiri, Obito segera meminta pria itu menjalankan misi membantai klan Uchiha atas permintaan Hyuuga Tokuma. Baru-baru ini ia membunuh Hyuuga Tokuma atas permintaan Obito yang mengatakan jika Hyuuga Tokuma berniat untuk mengkhianati mereka dengan membentuk 'kekuatan bawah tanah' untuk menghabisi anggota klan Uchiha yang tersisa serta menggulingkan kerajaan Hyuuga.
Itachi tak memiliki pilihan selain menjalani setiap perintah Obito bagaikan seorang budak yang tak memiliki hak untuk menolak. Obito jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan dirinya dan ia tak sanggup menolak. Namun selama enam tahun terakhir ia telah mengamati Obito dan diam-diam menyusun siasat untuk menghabisi pria itu dengan tangannya sendiri.
"Itachi, aku memiliki sebuah misi untukmu."
"Hn?"
"Ini merupakan sebuah misi rahasia yang kuberikan khusus untukmu. Aku ingin kau membunuh kepala dewan penasihat, Shikaku Nara, saat perayaan ulang tahun ketujuh belas Hyuuga Hinata yang akan diadakan bersamaan dengan pesta rakyat."
Itachi hampir membelalakan matanya, namun ia menahan diri untuk tak melakukannya. Penasihat Nara adalah penasihat kepercayaan raja yang sangat berpengaruh hingga mampu memengaruhi keputusan raja. Raja bahkan membentuk dua regu pasukan khusus beranggotakan dua puluh orang tiap regu hanya untuk menjaga Shikaku Nara seorang.
Puluhan ribu pasukan akan berkumpul di ibu kota untuk memperketat penjagaan dan meminta Itachi melakukan penyerangan sendirian merupakan misi bunuh diri. Sekalipun ia merupakan seorang 'jenius' bagi klan nya, ia tetap tak sanggup mengalahkan puluhan ribu pasukan sendirian, terlebih dengan kondisinya saat ini.
"Jangan khawatir, Itachi. Kau pasti bisa melakukannya. Aku akan membantumu dalam misi ini. Kebetulan aku juga memiliki misi lain di ibu kota. Aku akan menarik perhatian tentara dengan kekacauan yang kubuat dari misi ku dan saat itu kau bisa memakai kesempatan untuk menyelinap ke istana."
Obito menatap Itachi lekat-lekat, Ia sangat yakin jika Itachi tak menyadari jika ia mengamati pria itu selama ini. Ia juga telah mengetahui kondisi mata pria itu yang memburuk setelah Obito terus menerus memintanya menjalankan misi-misi berbahaya. Pria itu akan buta sebentar lagi dan hanya akan menjadi beban baginya. Maka ia akan membiarkan pria itu beristirahat dengan tenang dengan cara mengirimnya untuk menjalani sebuah misi bunuh diri.
"Siapa yang memberikan tugas itu?"
Obito menimbang sejenak. Ia merasa ragu harus memberitahu Itachi, namun ia yakin pria itu akan buta dan mati sebentar lagi. Sekalipun pria itu mengetahui siapa yang memberi tugas dan mencoba berkhianat, maka Obito dapat menghabisi Itachi dengan mudah.
"Penasihat Yamanaka."
"Baiklah."
Itachi menyeringai sinis dalam hati. Ia telah siap menjalankan aksinya untuk membalaskan dendam pada Obito dan menghabisi pria itu sebentar lagi.
.
.
Sasuke dan Naruto segera meninggalkan desa dan memacu kuda secepat mungkin. Perasaan Sasuke terasa tidak enak sejak tadi pagi. Ia merasa jika ia akan mendapatkan masalah jika ia terus berada di desa itu.
Insting yang dimiliki Sasuke cukup kuat dan ia terkadang bertindak mengikuti insting jika hal itu tak bertentangan dengan logikanya. Letak desa itu tak begitu jauh dengan kota yang sebelumnya dikunjunginya dan ia yakin seseorang telah menemukan kejanggalan dari kematian keluarga penjual kuda yang dihabisinya. Ia telah bertindak gegabah hingga menarik perhatian dan ia khawatir orang-orang akan menemukan keberadaannya atau setidaknya mengetahui identitasnya.
"Sasuke, kita akan bermalam di kota, kan?"
"Ya."
Naruto menatap kedepan dan tersenyum tipis saat ia mendengar suara burung yang bercicit di pohon. Langit pagi ini cukup cerah dan angin yang bertiup cukup sejuk. Naruto menyukai suasana hutan di pagi hari yang menurutnya penuh dengan kehidupan.
"Aku ingin berkunjung ke suatu tempat ketika kita tiba di kota. Kau ingin ikut denganku atau tidak?"
"Suatu tempat? Ke mana?"
"Mungkin itu bukan tempat yang menyenangkan untukmu."
Naruto mengernyitkan dahi. Jika bukan tempat yang menyenangkan tentu saja ia tidak akan mau ikut. Biasanya Sasuke tak akan bertanya dan kali ini Sasuke bertanya padanya, maka Naruto menyimpulkan jika Sasuke sedang merencanakan sesuatu. Ia yakin jika Sasuke berniat meninggalkannya.
"Aku ikut saja denganmu, Sasuke. Tidak apa-apa, kan?"
Sasuke merasa kecewa, rencananya untuk membuat Naruto untuk tidak mengikutinya ke tempat yang ingin ditujunya gagal. Ia khawatir jika pandangan Naruto terhadap dirinya akan berubah dan menganggapnya sebagai orang yang sensitif.
"Aku tidak akan meninggalkanmu. Sebaiknya kau tidak usah ikut."
"Tidak apa-apa. Aku ikut saja, ya. Aku takut jika sesuatu terjadi padaku seperti di kota waktu itu."
Tak ada pilihan lain selain mengajak Naruto ikut bersama dengannya. Ia menghembuskan napas perlahan, mempersiapkan diri menerima rentetan pertanyaan yang akan diajukan Naruto setelahnya.
.
.
"Panti asuhan?! Kau tidak salah?!" pekik Naruto sambil mencubit lengannya sendiri. Ia merasa dirinya sedang bermimpi saat ini, namun cubitan itu terasa benar-benar sakit hingga ia meringis.
Sasuke turun dari kuda yang diletakkan tak jauh dari panti asuhan itu. Ia lumayan sering berkunjung ke kota ini dan mengingat tata letak kota ini. Menurutnya kota ini cukup menyenangkan dan jauh lebih aman dibandingkan kota yang sebelumnya dikunjunginya.
Sasuke segera membuka ranselnya dan mengambil topeng yang biasa dipakainya untuk bekerja serta memasangnya. Ia baru saja tiba di kota itu dan langsung menuju panti asuhan itu tanpa menuju penginapan terlebih dahulu.
"Apa-apaan ini? Apakah kau ingin berperan sebagai penjahat yang baik?" Naruto menatap Sasuke dengan jijik.
"Ini bukan urusanmu."
Ucapan Sasuke terdengar sinis dan ia bisa merasakan pria itu menatap dengan tajam seperti biasanya dibalik topeng yang menutupi wajahnya. Naruto merasa takut seketika dan ia berjalan dibelakang Sasuke. Ia mengikuti pria itu meskipun Sasuke tak memintanya untuk ikut.
Terlihat beberapa anak kecil yang sedang bermain ayunan di dekat panti asuhan itu dan segera menatap dengan antusias ketika melihat kedatangan Sasuke dan Naruto. Tak seperti biasanya, Sasuke tak terlihat risih diperhatikan oleh anak-anak di panti asuhan itu.
"Lihat, kakak itu datang lagi," ucap seorang anak laki-laki bertubuh kurus berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Naruto dapat mendengar suara anak laki-laki yang berdiri tak jauh dari Naruto itu.
"Dia membawa teman nya, lho," ujar seorang anak perempuan berambut biru sambil melirik Naruto dan tersenyum.
Naruto merasa sedikit canggung, namun ia berusaha tersenyum. Ia agak terkejut dengan reaksi anak-anak di panti asuhan itu yang sepertinya cukup mengenali Sasuke.
"Kak," sapa seorang anak laki-laki berambut putih berusia sekitar sembilan tahun. Anak itu mendekati Sasuke sambil tersenyum.
Sasuke menghentikan langkah sejenak dan tanpa sadar tersenyum dibalik topeng yang menutupi wajahnya. Entah mengapa perasaannya selalu membaik saat ia berkunjung ke tempat-tempat seperti ini dan sejenak ia merasa hatinya begitu ringan seolah tanpa beban.
Awalnya ia bersikap dingin dan terkesan tak peduli pada anak-anak di panti asuhan yang dikunjunginya, ia meyakinkan dirinya jika ia rutin memberikan donasi bukan karena hatinya melunak. Ia melakukannya karena ia mendapat banyak uang dari pekerjaan dan ia tak bisa membawa semua uang-uang itu kemanapun ia pergi jika tak ingin membahayakan dirinya atau menarik perhatian.
Namun belakangan ini Sasuke mulai bersikap lebih bersahabat karena ia sendiri sesekali menginginkan teman bicara untuk menghilangkan rasa kesepian akibat kesendiriannya.
"Oh, Shin. Bagaimana kabarmu?" Sasuke menyentuh puncak kepala anak itu dan meletakkan dua jarinya tanpa sadar.
"Aku baik-baik saja. Mengapa kakak baru datang sekarang? Padahal kami semua merindukanmu."
"Aku sibuk belakangan ini. Kalian semua baik-baik saja?"
"Tentu saja. Kami semua menikmati makanan tiga kali sehari berkat kakak. Bahkan dua minggu yang lalu Kak Kabutomembelikan kue untuk kami semua," ucap anak itu dengan antusias.
'Munafik' batin Naruto sambil menatap Sasuke dengan sinis. Anak-anak itu pasti tak tahu 'kesibukan' yang dimaksud Sasuke. Jika anak-anak itu tahu seperti apa Sasuke yang sebenarnya dan darimana uang-uang itu berasal, mereka semua pasti akan merasa menyesal telah menikmati uang-uang itu.
Sasuke memasuki bagian dalam panti asuhan itu. Di dalam terdapat banyak anak dari bayi hingga berusia sebelas atau dua belas tahun. Panti asuhan itu terletak agak jauh dari kota dan terlihat tak terawat.
Naruto menahan diri untuk tak berjengit melihat panti asuhan itu. Panti asuhan itu dibangun dengan bahan dasar berupa kayu dan atap menggunakan jerami serta lantai yang terbuat dari semen. Anak-anak itu tersenyum sumringah ketika menyadari kehadiran Sasuke dan menghentikan aktivitas mereka.
Anak-anak di panti asuhan itu menggunakan alas kaki, namun pakaian yang dikenakan beberapa anak telah kumal dan warnanya telah pudar. Beberapa anak bahkan mengenakan pakaian yang telah ditambal di beberapa bagian dan pakaian-pakaian itu jelas bukan pakaian berkualitas baik.
Seorang pria berkacamata dengan rambut putih yang diikat tersenyum menyambut kedatangan Sasuke dan melirik Naruto.
"Halo. Aku Naruto," ucap Naruto dengan sopan sambil mengulurkan tangan.
Pria berambut putih itu membalas uluran tangan Naruto dan mereka berjabat tangan.
"Kabuto. Senang bertemu denganmu," ujar pria itu sambil tersenyum.
Naruto melepaskan jabatan tangan terlebih dahulu. Sasuke mengeluarkan senryobako dari ranselnya dan memberikan pada Kabuto.
"Ada enam ratus koban di dalam kotak ini. Berapa lagi yang kau perlukan untuk membangun panti asuhan?"
"Saya belum memperkirakan dana yang dibutuhkan. Namun saya rasa uang ini cukup untuk membangun sebagian kecil dari bangunan."
"Kau tidak mencoba meminta dana bantuan kepada kerajaan, Kabuto?" tanya Sasuke pada pemilik panti asuhan itu meskipun ia sendiri sudah tahu jawabannya.
"Sudah. Namun mereka menolak proposal yang saya ajukan. Maka saya menggunakan sedikit dana yang tersedia untuk memperluas bangunan ini."
"Bulan depan aku akan mengunjungi panti ini lagi."
"Terima kasih atas bantuan anda, Tuan. Saya sungguh bersyukur dengan bantuan yang anda berikan."
Sasuke menganggukan kepala dan segera berbalik. Ia hendak meninggalkan panti asuhan ini, namunia segera menoleh ketika Kabuto memanggilnya.
"Tuan."
"Ya?"
"Tanggal sepuluh bulan depan bisakah anda datang ke panti asuhan ini? Anak-anak di panti asuhan sangat berharap anda akan hadir di acara ulang tahun panti asuhan ini."
"Akan kuusahakan."
"Terima kasih, Tuan. Berhati-hatilah dalam perjalanan anda. Semoga Dewa membalaskan karma baik anda," ucap Kabuto sambil menundukkan kepala dalam-dalam dan merasa sangat berterimakasih hingga terkesan berlebihan.
"Hn."
Sasuke meninggalkan bangunan itu bersama Naruto. Terlihat beberapa anak yang tampak kecewa ketika melihat kepergian Sasuke. Salah seorang anak lain nya memberanikan diri untuk menghampiri Sasuke serta menyentuh ujung lengan kimono pria itu dengan tatapan penuh harap.
"Kakak akan datang lagi, kan?"
"Tentu saja."
"Kakak bersedia datang ke panti asuhan ini tanggal sepuluh bulan depan? Aku dan teman-temanku berharap kakak dapat hadir ketika acara ulang tahun panti asuhan ini?" tanya anak itu dengan kepala tertunduk.
Sasuke mengelus lembut surai merah anak itu tanpa sadar dan berkata, "Akan kuusahakan."
Anak itu tersenyum, menikmati ungkapan kasih sayang berupa sentuhan lembut yang jarang diterimanya.
"Janji?" anak itu mengulurkan jari kelingkingnya pada Sasuke.
Sasuke teringat dengan masa lalu.Di masa kecilnya, ia pernah berada di posisi yang sama pada anak itu dan meminta Itachi untuk berjanji padanya dengan mengaitkan jari kelingking. Itachi selalu mengaitkan jari kelingkingnya, namun janji-janji itu tak pernah direalisasikan.
"Aku tidak bisa berjanji padamu."
"Eh? Mengapa?" tanya anak itu dengan raut wajah penuh kekecewaan.
"Kesibukanku tak menentu."
"Aku mengerti."
Anak itu melambaikan tangan pada Sasuke dan sejenak membuat Sasuke terdiam. Ia merasa canggung dengan sikap dan senyum tulus yang ditujukan anak-anak itu padanya.
Ia masih merasa tidak terbiasa meskipun ini merupakan kali ketiga baginya untuk berkunjung ke panti asuhan di siang hari. Biasanya, ia selalu berkunjung pada malam hari untuk menemui Kabuto seorang.
Sasuke membalas lambaian tangan anak itu pada akhirnya.
.
.
Naruto berbaring di atas tikar tatami di kamar penginapan yang dipesan Sasuke. Kali ini penginapan yang dipilih Sasuke lebih baik dibandingkan penginapan di desa itu. Pelayanan di penginapan ini juga jauh lebih baik dan penginapan itu bahkan menyediakan yukata meskipun bukan ryokan.
Sasuke dengan sengaja memesan dua kamar di penginapan itu. Ia tak ingin berada di kamar yang sama dengan Naruto dan tak mengharapkan privasinya terganggu.
Siang ini Sasuke tak meminta Naruto untuk berlatih di hutan seperti kemarin. Pria itu meminta Naruto untuk melakukan push up sebanyak seratus kali dalam waktu tiga menit sementara ia mengamati Naruto sambil berbaring diatas tatami.
Nafas Naruto terengah-engah ketika ia selesai melakukan push up. Ia bahkan menyelesiakan push up melewati waktu yang ditentukan Sasuke. Otot nya terasa kram dan Sasuke segera menatapnya dengan tajam.
"Lebih dua menit."
"Tentu saja. Aku belum terlatih, tahu."
"Ulangi lagi."
Naruto dengan terpaksa kembali melakukan push up. Tangannya terasa pegal dan sesekali bergetar. Gerakannya semakin melambat dan tubuhnya benar-benar lemas setelah ia berhasil menyelesaikan push up seratus kali dengan waktu yang lebih lambat.
"Waktumu semakin lambat."
Sasuke berdecak kesal. Ia tak ingin memberikan hukuman fisik meskipun ia sangat ingin melakukannya. Ia tak ingin memiliki kesamaan dengan Itachi. Sasuke tersadar dengan lilitan perban yang terlihat dari balik yukata Naruto dan teringat jika luka di tubuh Naruto masih belum sembuh.
"Pegang ini. Jangan gerakkan tanganmu hingga matahari terbenam" Sasuke kembali meminjamkan dua buah pedang miliknya pada Naruto.
"Kau melatihku memegang pedang ini lagi? Sebetulnya apa tujuanmu menyuruhku memegang pedang ini seperti orang bodoh?" keluh Naruto dengan jengkel. Ia benci melakukan hal-hal yang menurutnya tak berguna.
"Untuk melatih staminamu."
"Stamina? Instrukturku saja tak pernah menyuruhku melakukan hal konyol seperti ini. Ia bahkan langsung melatihku ilmu bela diri dan teknik-teknik berpedang."
"Instrukturmu gagal."
Naruto membelalakan mata nya. Ucapan Sasuke benar-benar kasar dan Sasuke yang dilihatnya di panti asuhan tadi seolah merupakan dua orang yang berbeda.
"Kau sakit jiwa, ya? Tadi kau bersikap sangat baik di panti asuhan, sekarang kau menghina instrukturku."
Dengan cepat ujung pedang Sasuke telah mengenai pergelangan tangan Naruto, siap menebas pergelangan tangan Naruto. Naruto berusaha mengerakkan pergelangan tangan nya untuk menjauh dari mata pedang Sasuke.
"Kalau tidak gagal bagaimana mungkin menghasilkan anak didik sepertimu?"
Naruto terdiam, ia kehabisan kata-kata untuk menanggapi Sasuke. Sepertinya ucapan Sasuke memang benar. Jika diingat-ingat, instruktur Naruto terkesan melatihnya dengan asal.
Ia hanya mengajarkan teknik-teknik seperti cara memegang senjata dengan benar dan cara mengayunkan pedang secara umum tanpa mengajarkan teknik-teknik bertarung yang sebenarnya. Ia bahkan merasa bosan dengan teknik yang 'itu-itu saja' dan terkadang membolos latihan.
"Kurasa kau benar, Sasuke," Naruto dengan terpaksa mengakuinya. "Rasanya instrukturku hanya mengajarkan teknik yang monoton. Aku sama sekali tak merasa bertambah kuat."
"Ikutilah metode ku jika kau ingin bertambah kuat," ucap Sasuke sambil kembali menyerahkan pedangnya pada Naruto.
Naruto menerima pedang Sasuke dan memegangnya dengan kedua tangan. Ia berusaha keras untuk tak mengerakkannya dan bertahan untuk memegang pedang berat itu selama lima jam dari sekarang.
Sasuke berbaring di atas tikar tatami. Ia merasa bosan karena tak ada yang bisa dilakukannya saat ini. Sebetulnya ia ingin mengambil pekerjaan, namun kondisi tubuhnya sedang tidak memungkinkan saat ini. Ia juga tak bisa berlatih apapun. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah mengawasi Naruto.
"Sasuke, apa kau sering berkunjung ke panti asuhan tadi?" Naruto membuka mulut untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini dipendamnya.
"Tidak terlalu."
"Benarkah? Anak-anak itu seperti mengenalimu dan terlihat sangat senang menyambut kehadiranmu."
"Ya."
Rasa penasaran menghantui benak Naruto. Sasuke memang terlihat sangat munafik, namun ia merasa apa yang dilakukan Sasuke terkesan tulus. Sejak tadi ia terus meyakinkan diri jika Sasuke adalah aktor yang ulung dan munafik.
"Kalau boleh tahu, mengapa kau memberikan donasi di panti asuhan itu? Aku sungguh tak mengira seorang pembunuh sepertimu memiliki hati."
Sasuke kembali mengingat kali kedua ia mendapatkan sebuah senryobako berisi seribu koban dari pekerjaan membunuhnya dalam waktu berdekatan. Dalam perjalanan ia bertemu dengan puluhan bandit dan dua kotak senryobako yang berat itu sangat menghambat pergerakannya.
Ia yang saat itu tak sekuat sekarang sempat terkena tusukan pedang dan terluka cukup parah. Akhirnya ia memang berhasil membunuh hampir seluruh bandit itu, namun beberapa berhasil kabur dengan membawa dua kotak senryobako setelah merobek ranselnya.
"Aku tak bisa membawa semua uang yang kudapatkan kemanapun aku pergi."
"Bukankah sekarang terdapat bank nasional kerajaan? Kurasa kau bisa menabung di bank itu."
"Aku tidak bisa menabung tanpa identitas."
"Oh? Menabung di bank harus menggunakan identitas, ya? Aku baru tahu, lho."
Sasuke berdecih. Ia tak habis pikir dengan Naruto yang benar-benar bodoh. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa seorang daimyo terkemuka mempunyai anak sebodoh ini?
"Tch... tentu saja."
"Eh, Sasuke. Kau benar-benar berbeda dihadapan anak-anak tadi, lho. Di hadapan mereka kau terlihat benar-benar baik. Berbeda sekali dengan sikap aslimu. Kau memiliki kepribadian ganda, ya?"
"Tidak."
"Lalu?"
Sasuke mendesah pelan. Ia sudah mempersiapkan diri menghadapi rentetan pertanyaan yang akan diajukan Naruto. Namun ia tak mengira jika pertanyaan-pertanyaan itu akan menguras kesabarannya.
"Mereka mendekatiku terlebih dulu dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan pada mereka," Sasuke menjelaskan sejujurnya sambil menatap Naruto lekat-lekat, berharap ia tak bertanya lagi. "Aku tak akan bersikap kasar karena mereka bukan targetku."
Naruto tersenyum pada Sasuke. Alasan Sasuke terdengar masuk akal, namun ia merasa jika Sasuke sebetulnya memiliki alasan lain yang tak diungkapkannya. Sasuke masih memiliki sedikit sisi kemanusiaan dan ia mulai percaya pada pria itu.
Mungkin Sasuke tak seburuk yang dipikirkannya dan ia memiliki alasan dibalik setiap tindakannya. Naruto tak akan mengakui hal ini pada Sasuke dan membuat pria itu memanfaatkan kepercayaannya.
-Bersambung-
Author's Note:
Berhubung author libur selama 2 minggu & lagi ga WB buat fanfict ini, maka author update fict ini.
Gomen kalau Sasuke nya terkesan aneh & terlalu baik di chapter ini. Rasanya karakter di fict ini mulai nggak konsisten gitu. Sebetulnya author bermaksud ngebuat Sasuke nunjukkin 'sisi kemanusiaan' nya sedikit tanpa ngubah imej nya sih. Semoga para readers ga kecewa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro