Part 5
Naruto tak bisa tidur dengan nyenyak meskipun futon yang disediakan penginapan itu cukup nyaman. Setiap dua jam sekali ia terbangun dan ia selalu menatap pintu ketika terbangun. Ia bahkan meletakkan pedang di dalam futon di samping tubuh nya sendiri.
Matahari baru saja terbit beberapa menit yang lalu dan Naruto memutuskan untuk tak kembali tidur. Ia segera membuka kunci pintu dan membuka pintu. Ia melirik keluar, tak ada seorangpun di koridor.
Naruto mengunci pintu nya kembali dan mandi serta berendam sebentar. Ia mengganti pakaian nya dengan pakaian lama yang telah dicuci oleh pemilik penginapan. Ia berencana untuk pergi mencari Sasuke jika pria itu masih belum kembali setelah ia selesai mandi.
Naruto melirik tubuh nya sendiri. Luka di tubuh nya telah membaik meskipun belum sembuh sepenuhnya. Sasuke sempat menggoreskan mata pedang di tangan Naruto hingga berdarah dan sekarang luka itu telah menutup.
Dengan cepat Naruto mengenakan pakaian nya kembali serta pakaian dalam yang masih sedikit basah. Ia merasa tidak nyaman mengenakan pakaian dalam yang sama terus menerus dan ia merasa risih jika harus meminjam pakaian dalam milik Sasuke. Lagipula Sasuke juga belum tentu mau meminjamkan nya. Setelah sampai di kota, ia harus segera pergi berbelanja pakaian dalam dan yukata.
Naruto segera keluar dari kamar mandi. Ia segera menggeser pintu dan menjerit ketika mendapati Sasuke telah berdiri di depan pintu dan segera melangkah masuk. Sasuke tanpa sengaja menginjak kaki Naruto dan posisi kepalanya agak menunduk.
Sasuke tanpa sengaja mencium puncak kepala Naruto dan Naruto mencium dada Sasuke. Naruto begitu terkejut hingga ia melupakan sejenak rasa sakit di kakinya. Ia dapat mencium aroma obat herbal dari pakaian Sasuke.
Mereka terdiam beberapa detik sebelum Sasuke mengangkat kepalanya dan Naruto memekik kesakitan. Ia tak mengenakan alas kaki sementara Sasuke mengenakan yakigeta. Kakinya benar-benar sakit.
"Aah! Sakit!" Naruto memekik ketika menyadari kakinya memerah akibat alas kayu yakigeta Sasuke yang menginjak nya.
Sasuke segera masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu. Sasuke berjongkok dan menatap kaki Naruto yang memerah serta menyentuh nya.
"Sakit, Brengsek!"
"Maaf"
Sasuke melirik tangannya sendiri. Ia pulang tepat saat matahari terbit dengan sedikit memaksa pada tabib. Tabib mengatakan luka nya akan sembuh dalam satu minggu, namun ia tak boleh mengangkat barang berat jika tak ingin luka nya kembali terbuka.
"Mengapa kau tidak pulang kemarin, Sasuke? Aku menunggumu sepanjang malam karena kau tidak pulang. Kupikir kau berniat meninggalkanku."
Sasuke berdecih mendengar kalimat panjang lebar dari Naruto. Sebetulnya ia senang Naruto memperhatikannya hingga pria itu terkesan seperti istri yang sedang mengintrogasi suaminya.
"Tch.. aku tidak akan sebodoh itu untuk pergi tanpa membawa apapun."
Naruto menganggukan kepala dan mengalihkan pandangan dari Sasuke. Ia merasa dirinya sangat bodoh.
"Benar juga, sih. Kupikir kau tak peduli dengan barang-barangmu lagi."
Sasuke segera berjalan menuju lemari dan mengambil ransel nya. Ia berniat untuk mandi dan mengganti pakaian nya.
"Apakah kau pergi menemui tabib kemarin, Sasuke?"
Sasuke segera menatap Naruto dengan bingung. Ia tak merasa pernah mengatakan pada siapapun bila ia akan berkunjung ke tabib. Ia bahkan tak berniat menemui tabib pada awalnya jika ia tidak merasa hampir pingsan tiba-tiba.
"Kau tahu dari mana?"
"Aku mencium aroma obat dari tubuhmu. Kupikir kau pergi ke tabib untuk membeli obat."
"Tunggulah sebentar. Aku akan mandi dan setelah itu kita kembali ke tabib," ujar Sasuke tanpa menghiraukan ucapan Naruto sebelum nya.
"Tabib? Untuk apa? Kau ingin kembali berobat?"
"Untuk mengobatimu."
"Aku? Aku baik-baik saja."
Sasuke berdecak kesal. Ia mengerti jika Naruto tak ingin menunjukkan kelemahannya. Namun ia tak ingin jika pria itu malah menyusahkan nya dan menghambat pekerjaan nya.
"Turuti aku jika kau ingin tetap mengikutiku."
"Bagaimana jika aku tidak mau?"
"Aku akan membunuhmu sekarang."
Naruto bergidik ngeri, tatapan Sasuke terlihat sangat serius. Ia tak memiliki pilihan lain selain mengikuti Sasuke dan segala yang diucapkan nya selama hal itu tidak merugikan nya. Fakta nya, pria itu bahkan memperhatikan nya hingga membawa nya untuk mengunjungi tabib..
.
Naruto dan Sasuke berada di ruangan milik tabib yang kemarin mengobati Sasuke. Tabib itu hanya memberikan obat herbal untuk diminum Naruto dan menutup luka Naruto dengan sedikti obat dan membungkusnya dengan perban.
"Kau akan membaik dalam beberapa hari, Nak. Jagalah kesehatanmu dan sebisa mungkin banyaklah beristirahat," ucap tabib itu sambil tersenyum pada Naruto.
Naruto tersenyum pada tabib itu dan berkata, "Terima kasih."
"Jangan lupa meminum obatmu, ya."
"Tentu saja."
Naruto tersenyum lebar pada tabib itu. Sasuke melirik Naruto dengan heran, apakah ia melupakan kesedihan akibat kematian orangtuanya secepat ini? Satu minggu bahkan belum berlalu sejak kematian kedua orangtua Naruto dan Naruto dapat tersenyum seperti ini? Sasuke benar-benar tak habis pikir dengan bocah itu.
"Berapa?" Sasuke bertanya kepada tabib itu.
"Tiga ratus sen saja. Luka anak ini tidak terlalu parah."
Sasuke mengeluarkan kantung kain yang diselipkan dibalik yukata nya dan mengeluarkan uang satu koban. Naruto hendak mengeluarkan koin satu oban miliknya dan Sasuke menahan tangan Naruto.
"Ambil saja kembalian itu jika kau mau," ujar Sasuke sambil menepuk pundak Naruto. "Aku menunggu di rumah penjahit di sebelah."
Sasuke berjalan meninggalkan rumah tabib itu dan menutup pintu. Kini hanya terdapat Naruto dan tabib itu. Naruto berdehem sebelum bertanya dengan ragu.
"Apakah kemarin Sasuke datang ke tempat ini?"
"Sasuke? Maksudmu pria berambut hitam yang tadi bersamamu?"
Naruto menganggukan kepala.
"Ya. Kemarin dia memang datang kesini. Apa kau saudara nya?"
Naruto menggelengkan kepala, "Bukan. Kami hanya rekan seperjalanan."
"Rekan seperjalanan? Orang tua mu mengijinkanmu untuk berkelana di usia semuda ini?"
Naruto mengernyitkan dahi. Ia tak tahu banyak mengenai kehidupan orang-orang dengan status sosial dibawah nya. Namun yang ia dengar, anak-anak kelas bawah dilatih untuk mandiri sejak kecil. Di usia lima atau enam tahun mereka membantu di sawah dan mayoritas dari mereka cukup berani untuk berpergian ke kota atau desa lain sebelum berusia sepuluh tahun.
"Orangtuaku? Tentu saja mereka mengijinkan nya." Naruto tersenyum. Ia tak sedang berbohong saat ini. Naruto tak memiliki tujuan dan seandainya orang tua nya dapat berbicara padanya, mereka pasti akan mengijinkan Naruto ikut dengan Sasuke sekalipun terpaksa.
"Apakah anak-anak dari kaum bangsawan juga sama sepertimu?"
Naruto terkejut. Ia tak mengira jika tabib itu dengan mudah mengetahui identitas nya.
"Hah?"
"Bukankah kau berasal dari keluarga daimyo Na..." Tabib itu memutus ucapan nya dan mencoba untuk mengingat. "Namikaze?"
Naruto segera menggelengkan kepala. Ia tak ingin jika seseorang mengetahui identitas nya dan mulai menginvestigasi kasus kematian orang tuanya serta mencurigai Sasuke. Ia masih membutuhkan Sasuke untuk menemani nya dan mencuri teknik-teknik milik pria itu.
"Bukan. Aku hanya berkerabat jauh dengan keluarga Namikaze."
"Oh." Tabib itu menyerahkan uang tujuh ratus sen yang diambilnya dari laci kepada Naruto.
"Tolong ingatkan kepada temanmu yang tadi bersamamu itu untuk meminum obat dan sebisa mungkin mengurangi aktivitas fisik. Luka di tubuh nya parah dan ia juga mengalami anemia."
Naruto menerima uang itu dan memasukkan nya ke dalam saku yukata. Ia terkejut dengan penjelasan tabib itu mengenai kondisi Sasuke. Di mata nya, Sasuke terlihat baik-baik saja.
"Anemia? Ia terlihat baik-baik saja sekarang."
"Kemarin wajahnya pucat sekali. Sekarang pun seharusnya dia masih berada disini. Hanya saja ia memaksa untuk meninggalkan tempat ini pagi-pagi sekali."
Naruto mengangguk mendengar penjelasan tabib itu. Ia kesal dengan pria sok kuat seperti Sasuke. Ralat, ia memang benar-benar kuat. Namun ia tetap harus mempedulikan kesehatan nya.
"Terima kasih. Aku akan segera mengingatkannya." Naruto menundukkan kepala dan meninggalkan rumah tabib itu.
Naruto melangkah dengan cepat menuju rumah penjahit yang dimaksud Sasuke. Ia terlihat ragu untuk mengetuk dan memasuki rumah penjahit yang sama sekali tak terlihat seperti sebuah toko. Ia memutuskan untuk masuk setelah melihat alas kaki milik Sasuke yang menurutnya agak aneh.
Yakigeta bukanlah alas kaki yang umum karena bentuk nya agak berbeda dengan geta pada umum nya. Geta pada umum nya berbentuk seperti hak kayu yang tidak memenuhi seluruh alas, sementara yakigeta hak kayu memenuhi hampir seluruh alas.
Naruto mengetuk pintu dan memasuki rumah penjahit itu. Iris sapphire nya bertemu pandang dengan iris onyx Sasuke yang menatap nya dengan sinis.
"Apakah kau memiliki pakaian jadi seukuran anak ini?"
Wanita tua dengan uban yang terselip disana sini itu menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Aku tidak menjual pakaian jadi, Tuan."
"Bisakah kau membuat sepotong yukata dari sutra untuk anak ini? Aku ingin yukata itu selesai hari ini."
"Sutra? Harga nya tidak akan murah, Tuan," jawab penjahit itu dengan ekspresi terkejut.
"Ya, tidak apa-apa."
Naruto melirik Sasuke dan menggelengkan kepala. Sasuke telah mengeluarkan uang untuk nya dan ia merasa tidak enak membuat pria itu terus mengeluarkan uang untuk nya meski pria itu telah 'mengambil' kebahagiaan nya sekalipun.
"Tidak usah yang terbuat dari sutra juga tidak apa-apa, Sasuke."
Seolah tak mendengarkan apa yang diucapkan Naruto, Sasuke bertanya kepada penjahit itu.
"Berapa harga nya?"
"Jika tuan ingin yukata dari sutra harga nya tujuh koban, itupun bermotif polos dengan warna hitam. Jika yukata dari bahan katun harga nya hanya tiga koban."
"Sasuke, yang katun saja," ucap Naruto dengan serius. Ia selama ini selalu menggunakan pakaian-pakaian terbaik tanpa menyadari jika pakaian-pakaian itu mahal dan tak semua orang bisa memakainya. Kini ia tahu bila mencari uang tak semudah yang dibayangkannya dan ia tak bisa lagi mempertahankan gaya hidup lamanya yang mewah.
"Aku pilih yang sutra saja, untuk bocah ini." Sasuke menunjuk Naruto dengan dagu.
Naruto mengepalkan tangan nya dengan kesal dan menatap Sasuke dengan tajam. Ia hampir membuka mulut nya untuk mengajukan protes, namun mengurungkan niat ketika ia menyadari Sasuke mengeluarkan uang dalam jumlah besar hanya untuk membeli sepotong pakaian untuk nya.
Sasuke segera mengeluarkan tujuh buah koin satu koban dan membayar kepada penjahit itu. Ia tak menghiraukan Naruto yang hendak protes. Ia sadar jika harga yukata itu mahal, namun ia yakin Naruto tidak akan nyaman jika memakai yukata dengan bahan katun.
Ia sendiri sempat merasakan kehidupan sulit sesudah Itachi menghabisi kedua orangtuanya. Ia tidak nyaman dengan barang-barang berkualitas jauh dibawah yang biasa dipakainya. Sedikit banyak ia memahami perasaan Naruto dan ia merasa bertanggung jawab karena telah merengut kebahagiaan Naruto.
"Terima kasih,Sasuke."
Sasuke mendesah pelan mendengar ucapan terima kasih yang begitu sering diucapkan Naruto. Entah bocah itu terlalu baik atau terlalu bodoh. Bodoh dan baik memiliki perbedaan yang terlalu tipis.
.
.
"Kenapa kau mengajakku keluar desa?" Naruto berdecak kesal pada Sasuke yang tiba-tiba mengajaknya ke penginapan dan menaiki kuda menuju hutan yang tak jauh dari desa.
"Berlatih."
Naruto menatap lengan Sasuke yang masih terluka dan berdecak kesal. Sasuke bagaikan anak kecil yang melawan permintaan orang tua dan Naruto sendiri bagaikan seorang ibu yang memperhatkan anaknya.
"Berlatih? Tabib sudah mengatakan agar kau tidak banyak beraktivitas."
"Bukan aku yang berlatih."
"Kau---"
Sasuke memotong ucapan Naruto dan menatap pria itu dengan tajam.
"Kau harus segera berlatih agar tidak terus menyusahkanku."
Naruto terdiam mendengar nada suara Sasuke yang terdengar penuh paksaan. Naruto menghela nafas dan menatap Sasuke lekat-lekat sambil mengucapkan sesuatu yang selama ini menjadi alasannya mengikuti Sasuke.
"Iya juga. Kalau terjadi sesuatu padamu maka aku akan ikut terkena dampaknya. Jika kau mati sebelum aku menguasai ilmu pedang, maka hidupku akan berada dalam bahaya."
Sasuke tersentak mendengar ucapan Naruto. Pria itu menatap Naruto sebelum akhirnya mengerjapkan mata. Kini ia mengerti alasan Naruto untuk terus ikut dengannya. Bocah itu ingin menjadikan Sasuke sebagai tameng untuk sementara dan meminta pria itu mengajarinya ilmu pedang untuk bertahan. Bocah yang cerdik rupanya.
Naruto terbelalak dan ia mengepalkan tangannya erat-erat. Ia merasa bodoh dengan begitu saja membuka 'kartu rahasia' nya dihadapan musuh. Kini hidupnya berada dalam bahaya, Sasuke pasti akan segera melakukan sesuatu padanya.
"Um... maksudku bukan begitu. Bayangkan jika sesuatu terjadi padamu hingga kau meninggal, kau pasti menyesal jika belum melakukan apa yang ingin kau lakukan. Misalnya menjadi samurai pengikut daimyo paling terkemuka atau apalah itu." Naruto terkekeh dan memalingkan wajah untuk menyembunyikan kegugupannya. Posisi Naruto saat ini tidak aman, ia duduk di atas kuda di depan Sasuke dan pria itu dapat menyerangnya dengan mudah dari belakang.
Sasuke menatap pedang yang diselipkan di pinggangnya sendiri. Kini ia tahu apa tujuan Naruto, namun ia masih tak berniat membunuh pria itu. Padahal akan jauh lebih mudah jika ia sendirian. Ia bisa menghemat biaya dan tidak perlu mengurus serta melindungi bocah yang tak bisa apa-apa seperti Naruto. Namun sisi lain dalam dirinya mulai merasa nyaman bersama Naruto setelah hidup sendirian selama enam tahun tanpa teman ataupun saudara.
Ia tak akan membunuh Naruto dan mengajarkan seluruh ilmu berpedang yang dimilikinya. Hanya ilmu berpedang saja, tidak termasuk dengan ninjutsu. Ia masih dapat mengalahkan Naruto dengan ninjutsu dan dojutsu yang dimilikinya sekalipun Naruto telah menguasai seluruh teknik berpedang yang diajarkan Sasuke atau bahkan mengembangkannya. Itulah keputusan Sasuke.
"Aku tak akan mati sebelum berhasil membalaskan dendamku," ucap Sasuke dengan suara pelan dengan tatapan menerawang, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Naruto mendengar ucapan Sasuke dengan jelas dan ia mencerna setiap kata dalam kalimat yang diucapkan Sasuke. Dendam? Pria itu memilki dendam? Apakah dendam itu ditujukan pada orang tua Naruto atau berkaitan dengan orang tua Naruto? Naruto yakin dan percaya jika orang tua nya bukanlah orang yang jahat hingga berniat mencelakai seseorang.
"Apakah dendam itu berkaitan dengan kedua orangtuaku, Sasuke?"
Sasuke menghentikan kuda di bagian hutan yang sedikit tertutup dengan pepohonan dan jauh dari jalanan menuju kota. Ia turun dari kuda dengan gerakan yang sedikit lambat dan menatap Naruto seolah memintanya untuk turun dari kuda.
"Apa?"
"Cepat turun."
Naruto menatap sekeliling nya, berusaha mengobservasi tempatnya berada saat ini. Ia mengira apa yang akan dilakukan Sasuke padanya dan memikirkan cara untuk melarikan diri.
Dengan ragu Naruto turun dari kuda dan menyentuh pegangan pedang yang terselip di pinggangnya.
"Berikan pedangmu."
"Tidak mau."
"Berikan padaku, Bodoh."
"T-tidak. Apa yang ingin kau lakukan dengan pedangku?"
"Kita akan berlatih."
"Berlatih? Sudah kubilang jangan. Nanti terjadi sesuatu padamu."
Sasuke berdecak kesal. Sungguh munafik, Naruto kembal berpura-pura khawatir padanya? Sepertinya bocah itu tidak berpura-pura, ia memang khawatir karena saat ini memanfaatkan Sasuke sebagai tameng sementara.
"Kau yang berlatih, bukan aku."
Wajah Naruto sedikit memerah. Ia merasa kesal dan malu saat ini. Ia benar-benar konyol saat ini.
Sasuke mengeluarkan salah satu pedang yang terselip di pinggangnya dengan menggunakan tangan kirinya yang tidak terluka. Ia memberikan pedang itu pada Naruto.
"Lho? Mengapa kau memberikan pedang ini padaku?"
"Aku meminjamkan padamu untuk berlatih. Berikan pedangmu padaku."
Naruto dengan terpaksa memberikan pedangnya kepada Sasuke dan menerima pedang yang diberika pria itu. Naruto berjengit, pedang itu sama sekali tidak ringan dan tenaganya seolah terkuras jika harus memegang pedang itu dengan satu tangan.
Naruto memegang pedang itu dengan kedua tangannya. Dalam hati ia tak mengerti bagaimana bisa Sasuke mengayunkan pedang dengan cepat seolah pedang itu begitu ringan hanya dengan satu tangan. Naruto yakin jika berat pedang itu setidaknya lebih dari lima kilogram.
"Pedang ini berat sekali. Bagaimana bisa kau menggunakan pedang seperti ini dengan begitu muda?"
"Pegang pedang itu dengan satu tangan, dobe."
"Satu tangan? Kau gila!" desis Naruto dengan kesal. Ia mencoba memegang pedang itu dengan satu tangan dan mencoba mengayunkan pedang itu. Gerakan nya sangat kacau seolah pedang itu digunakan oleh wanita yang tidak terlatih. Naruto tetap mencoba mengayunkan pedang itu, namun gerakannya semakin kacau dan ia menusukkan ujung pedang itu ke tanah.
"Tidak bisa. Aku tidak mau berlatih dengan pedang ini."
"Pedang seringan ini hanya untuk amatir." Sasuke mencemooh pedang milik Naruto yang menurutnya terlalu ringan dan dengan sengaja mengangkat pedang itu hanya dengan jari tengah dan dan jari telunjuk yang menjepit pedang itu di sela-sela jari.
"Jangan meremehkan pedangku! Itu pedang pemberian orang tuaku!" bentak Naruto dengan kesal. Menyebut kata 'orang tua' mengingatkan Naruto akan insiden pembantaian itu dan membuat darahnya mendidih akibat emosi.
"Aku tak akan kalah darimu. Dan ketika aku sudah menjadi kuat nanti, aku juga akan membalaskan dendamku dan membunuhmu."
Sasuke menyeringai tipis mendengar ucapan Naruto. Ia sangat yakin jika Naruto tak akan berhasil membunuhnya, maka ia tertawa dalam hati dan memperlihatkan seringaian di wajahnya.
"Bagus. Lakukan saja kalau kau bisa."
"Aku pasti bisa. Jangan meremehkanku."
"Saat ini saja kau sudah menyerah dengan pedang itu, hn?'
Naruto mengepalkan tangan erat-erat dan menatap Sasuke dengan tajam. Latihan yang diberikan Sasuke sangat menyebalkan.
"Itu karena aku tidak mau berlatih menggunakan pedang orang lain. Untuk apa aku berlatih dengan pedangmu?"
Sasuke kembali tersenyum tipis. Naruto masih belum memiliki pengalaman bertarung ataupun membunuh sehingga masih naïf. Situasi di pertarungan tak sepenuhnya dapat diprediksi dan untuk memenangkan pertarungan, seseorang harus mampu mempersiapkan diri menghadapi apapun yang akan terjadi di pertarungan.
"Ketika berada di dalam pertarungan, kau tak bisa memastikan berapa banyak musuh yang akan kau hadapi. Ketika pedangmu tak bisa digunakan, setidaknya kau masih bisa memakai pedang musuhmu yang telah kau bunuh sama baiknya dengan pedangmu sendiri," jelas Sasuke sambil melirik Naruto dengan jengkel,
Dalam hati Naruto membenarkan apa yang diucapkan Sasuke. Ia sendiri menggunakan pedang berkualitas baik yang tidak terlalu berat dan mudah diayunkan. Namun bisa saja terjadi sesuatu pada pedangnya dan ia harus menggunakan pedang milik musuhnya yang tidak sebaik pedang miliknya sendiri.
"Kalau begitu kita harus belajar menggunakan segala jenis senjata?"
"Hn."
"Bisakah kau memberiku contoh cara menggunakan pedangmu?"
Sasuke menerima pedang yang diberikan Naruto. Ia memegang pedang itu dengan satu tangan dan menebas ranting pohon terdekat yang dapat dijangkaunya dengan satu kali tebasan yang terlihat mudah untuk dilakukan.
"Coba lakukan."
Naruto memaksakan diri untuk memegang pedang itu dengan satu tangan dan mengangkat tangan tinggi-tinggi. Tangan Naruto terasa benar-benar pegal dan kram, otot di tangannya menegang.
Ujung pedang yang dipegang Naruto berhasil mengenai ujung ranting terdekat dan menggoresnya, namun tak berhasil mematahkan ranting itu. Kini Naruto memegang lengannya yang terasa sakit.
"Bodoh. Coba lagi."
Naruto membuat gerakan memijat dan mencoba memotong ranting itu. Kali ini ia masih gagal dan hanya ujung pedang nya yang mengenai ranting itu.
"Coba lagi. Itu sangat mudah."
"Mudah apanya? Tanganku terasa seolah akan putus, Sasuke," balas Naruto sambil menatap Sasuke dengan tajam. "Lagipula kau sedang berada dalam masa puber. Tenagamu jelas akan lebih kuat dibandingkan aku."
"Hn? Memangnya kau tidak mengalami masa puber?"
Sasuke membalik pertanyaan Naruto dan membuat pemuda itu merasa malu. Ia adalah seorang pemuda normal berusia tiga belas tahun, tentu saja ia sudah mengalami masa pubertas.
"Hey! Tentu saja aku mengalaminya. Intinya kau jauh lebih tua dan berpengalaman sehingga tenagamu lebih kuat. Jadi jangan samakan aku dengan dirimu."
"Jangan membuang-buang waktu. Coba lagi."
Naruto berdecak kesal dan ia berusaha keras untuk memegang pedang itu dengan satu tangan dan menebas ranting pohon terdekat. Kali ini ia menggunakan tangan kiri setelah sebelumnya menggunakan tangan kanan. Naruto mengayunkan pedang dengan asal dan berhasil menebas ranting pohon, namun ia terhuyung dan mata pedang itu hampir mengenai tubuhnya sendiri jika Sasuke tidak sigap menahan mata pedang yang hampir melukai Naruto dengan sarung pedang itu.
Sasuke memegang pedang itu dan wajah Naruto tanpa sengaja kembali bersentuhan dengan tubuh Sasuke. Sasuke mengamati Naruto kini menjauh dari tubuh Sasuke dan mengibaskan wajahnya. Sasuke menyeringai sinis pada Naruto yang tampak kesal.
"Kau lemah."
"Apa? Aku tidak lemah!"
"Tunjukan padaku jika kau tidak lemah."
"Baiklah akan kutunjukkan sekarang juga," ucap Naruto dengan semangat membara.
Sasuke memberikan pedang lain yang terselip di pinggangnya. Berat pedang itu tak berbeda jauh dengan pedang yang sebelumnya diberikan pada Naruto.
"Aku akan pergi sebentar. Peganglah kedua pedang ini hingga aku kembali."
Naruto tersenyum dan menganggukan kepala. Kesempatan yang bagus, ia akan meletakkan pedang itu ketika Sasuke telah menjauh. Atau setidaknya ia dapat merusak pedang Sasuke sehingga pria itu tak memiliki senjata apapun untuk sementara. Sasuke benar-benar bodoh dengan meminjamkan pedang kepada musuh.
Seolah dapat membaca pikiran Naruto, Sasuke segera berkata, "Jangan letakkan pedang itu atau mengerakkan tanganmu. Aku akan mengawasimu dari kejauhan."
Sasuke menatap Naruto dengan tajam dan menampilkan sharingan nya pada Naruto untuk mengancam. Naruto cepat-cepat menundukkan kepala ketika melihat mata merah itu, ia benar-benar ketakutan hingga tubuhnya bergetar tanpa sadar.
Sasuke menyeringai tipis. Ancaman nya berhasil.
.
.
Sasuke berjalan menuju bagian hutan yang tak jauh dari Naruto. Ia dengan sengaja memasang kekkai dan mulai berlatih ninjutsu sendirian. Terkadang ia mengawasi Naruto dari kejauhan.
Naruto masih memegang pedang itu dengan tangan yang sesekali bergetar akibat kelelahan dan wajahnya terlihat muram. Mulutnya terus bergerak-gerak mengumpatkan sesuatu yang tak bisa didengar Sasuke. Benar-benar bocah yang manja.
Kini Sasuke paham mengapa Naruto masih begitu lemah meskipun sudah berusia tiga belas tahun. Naruto mudah mengeluh dan mudah menyerah meskipun Sasuke hanya memberikan latihan yang sangat ringan.
'Sudah bagus aku memberikan latihan yang begitu ringan. Jika si brengsek itu yang melatih Naruto, dia pasti akan menangis saat ini,.
Ia teringat dengan latihan intensif yang dijalaninya bersama Itachi. Pria itu sempat menemani Sasuke selama enam minggu sebelum menghilang tiba-tiba dan meninggalkan Sasuke dengan sedikit uang di hutan pada suatu malam.
Enam minggu terasa bagaikan neraka bagi Sasuke. Itachi tak pernah membiarkan Sasuke tidur di penginapan yang nyaman dan tidur tak lebih dari empat jam setiap hari. Pria itu melatih Sasuke setidaknya sembilan jam setiap hari dengan sedikit jeda untuk istirahat, menyiapkan tenda dan makan siang.Itachi bahkan tak segan memberikan hukuman fisik yang sangat berat dan menyakitkan saat ia menyadari Sasuke bergerak lambat, mengeluh atau memperlihatkan ekspresi muram.
Satu-satunya hal yang menyenangkan ialah makan yang disediakan Itachi untuknya selalu lezat, entah pria itu memasak sendiri atau mengajaknya makan di restaurant di desa atau kota yang mereka singgahi. Namun tetap saja pria itu mengawasinya dengan sangat ketat untuk memastikan Sasuke tidak kabur dan membuat Sasuke semakin giat berlatih untuk segera membalaskan dendam.
"Sial," gumam Sasuke. Elemen listrik yang dihasilkan dari ninjutsunya perlahan menghilang dan Sasuke menyentuh lengan kanannya yang terasa sakit. Ia sejak tadi berlatih menggunakan berbagai jenis teknik ninjutsu dan terus menerus mengulang karena ninjutsu yang dihasilkan memburuk jika dibandingkan biasanya.
Luka di tangan kanan Sasuke terbuka, ia dapat merasakan sakit dan darah yang kembali mengalir dari lukanya yang terbuka. Kepala nya terasa agak pusing dan langkahnya mulai terhuyung. Mungkin ia memang harus beristirahat sesuai permintaan tabib dan Naruto.
Sasuke mendeaktivasi kekkai dan segera menghampiri Naruto yang masih memegang pedang itu dengan tangan yang terasa seolah akan patah.
"Sial! Mengapa aku merasa tidak kuat hanya dengan memegang pedang seperti ini?" ucap Naruto pada dirinya sendiri.
Sasuke dengan sengaja memperlambat langkah, ia merasa penasaran dengan apa yang diucapkan Naruto.
"Kalau seperti ini bagaimana bisa aku membunuh bajingan itu?" ucap Naruto pada dirinya sendiri sambil meringis.
Sasuke sedikit terkejut dengan apa yang diucapkan Naruto sebagai umpatan. Naruto tidak seburuk yang dipikirkannya, setidaknya bocah itu tidak mengeluh jika latihan itu begitu berat dan menyerah dengan mudah.
"Oi."
Naruto menoleh dan mendapati Sasuke yang berada dihadapannya. Naruto tampak lega dan ia dengan segera menatap kearah Sasuke, berharap Sasuke mengambil pedang itu. Sasuke dengan sengaja tak mengambil pedang itu, ia menunggu reaksi Naruto.
"Aku sudah memegang pedangmu hingga kau kembali. Aku bahkan tidak mengerakkan tanganku sedikitpun."
"Hn."
"Cepat ambil pedangmu. Pedang ini berat sekali."
Sasuke mengambil pedang di tangan kiri Naruto dan menyelipkan ke pinggangnya. Kemudian ia memberikan pedang milik Naruto yang diletakkan di pinggang sebelah kanan dan menyelipkan pedang miliknya sendiri.
Tatapan Naruto tertuju pada bagian lengan Sasuke yang terlihat basah dan terdapat bercak merah. Ia segera berjengit ketika menyadari darah itu berasal dari lengan kanan Sasuke.
"Sasuke, kita harus kembali mengunjungi tabib itu. Lengan kanan mu berdarah."
Sasuke hanya menatap sekilas lengan kanan nya. Darah bahkan telah mengenai pakaiannya dan meninggalkan sedikit bercak di yukata nya.
"Aku baik-baik saja."
"Baik-baik saja? Kau gila? Kita harus segera kembali menemui tabib itu."
"Ini bukan urusanmu."
"Ini jelas urusanku. Kau teman seperjalananku. Bagaimana bila sesuatu terjadi padamu?"
"Aku tak pernah mengajakmu pergi bersama denganku."
Naruto berdecak kesal dengan sikap keras kepala Sasuke. Memang ia sendiri yang meminta untuk ikut dengan Sasuke, namun kini mereka adalah teman seperjalanan.
Otot di tangan Naruto menegang akibat ia menggunakan tenaga berlebihan untuk memegang pedang itu berjam-jam tanpa jeda sedikitpun. Mereka tiba di hutan mendekati pukul dua belas dan saat ini matahari sudah hampir terbenam. Tangan Naruto bergetar hebat dan terasa kram.
"Berlarilah sampai desa," ucap Sasuke sambil menaiki kuda dan tak membiarkan Naruto menaiki kuda itu.
"APA?! Kau gila! Matahari akan terbenam sebentar lagi," pekik Naruto. "Lalu kau akan meninggalkanku sendirian di hutan?"
"Tidak."
Naruto mengumpat dalam hati. Tangannya masih terasa lemas dan tak bertenaga. Kini Sasuke akan membuat kakinya terasa lemas juga? Pria itu pasti ingin membunuhnya secara perlahan.
Kuda mulai berjalan dan Naruto mulai berlari. Ia tak akan membiarkan Sasuke meremehkannya kali ini. Ia memiliki kemampuan berlari yang sangat baik dan ia akan membuat Sasuke takjub dengan kemampuannya.
Naruto berlari secepat yang ia bisa dan Sasuke mengendalikan laju kuda agar tidak terlalu cepat. Jarak kuda Sasuke sedikit di depan Naruto.
Keringat mulai bercucuran di kening Naruto dan nafasnya mulai tersengal-sengal. Langit mulai gelap dan ia merasa takut jika Sasuke tiba-tiba meninggalkannya. Ia takut dengan kegelapan dan membayangkan hal-hal menyeramkan. Ia bahkan tak pernah mematikan lampu di dalam kamarnya.
"S-sasuke, kau tidak akan meninggalkanku sendirian, kan?" ucap Naruto tanpa sadar. Ia benar-benar takut dengan kegelapan dan khawatir Sasuke memacu kudanya dengan cepat dan meninggalkan Naruto.
"Hn?"
"Langit mulai gelap dan kita masih berada di dalam hutan."
Sasuke mengernyitkan dahi, ia tak begitu mengerti dengan apa yang dimaksud Naruto. Namun jika dilihat dari sikap Naruto selama ini, sepertinya pria itu takut dengan kegelapan. Saat tertidur, Naruto terus mendekat kearah Sasuke dan terkadang menyentuhnya tanpa sadar.
"Kau takut kegelapan?"
Naruto dengan terpaksa mengakui ketakutannya. Ia yakin Sasuke telah menyadarinya setelah menghabiskan beberapa hari bersama didalam hutan.
"Ya. Aku takut kegelapan."
Sasuke mengangguk perlahan. Saat ini ia dapat meninggalkan Naruto di dalam hutan dan memberikan sedikit uang sama seperti yang dilakukan Itachi padanya. Namun Sasuke tak ingin melakukannya, ia mulai terbiasa dengan kehadiran seseorang yang berbicara padanya diluar konteks pekerjaan. Ia tak lagi merasa kesepian.
"Sasuke, aku merasa penasaran. Seperti apa latihan yang kau lakukan agar menjadi kuat seperti saat ini? Apakah kau juga menjalani latihan seberat yang kulakukan saat ini?"
"Jauh lebih berat."
"Seperti apa?"
Sasuke mengingat-ingat latihan yang diberikan Itachi padanya. Pertama-tama pria itu mengajarkan Sasuke untuk 'membunuh' hati nuraninya dengan memintanya membunuh banyak hewan yang lucu dan menggemaskan seperti kelinci atau tupai dan meminta Sasuke untuk mengulitinya. Lalu setelah itu latihan fisik ekstra keras, berpedang dan latihan ninjutsu serta sedikit teknik mata.
Sasuke memutuskan untuk tak menjawab Naruto. Mengingat hal itu membuatnya merasa marah meskipun di saat yang sama ia berterimakasih pada Itachi. Setidaknya pria itu cukup bermurah hati dengan mengajarkan Sasuke teknik-teknik yang tak pernah diajarkan ayahnya kepadanya meskipun dengan cara yang sangat kasar.
Gerbang desa telah terlihat dan Naruto tersenyum sumringah. Matahari telah terbenam beberapa saat yang lalu dan malam telah menjelang. Naruto tak lagi berlari, ia kini berjalan dengan cepat menuju gerbang desa.
"Sasuke, kita harus kembali ke tabib dan meminta obat untukmu."
Sasuke melirik Naruto, pemuda itu benar-benar peduli padanya meskipun masih menyimpan dendam di saat yang sama.
"Hn."
.
.
Sasuke kembali mengunjungi tabib dan tabib itu mengganti obat dan perban di lengan Sasuke serta kembali memberikan nasihat pada Sasuke untuk banyak beristirahat. Setelahnya ia dan Naruto menemui penjahit dan membayar kimono untuk Naruto.
Kini mereka berdua telah kembali ke penginapan dan membersihkan tubuh mereka serta menikmati makan malam yang disediakan pemilik penginapan untuk mereka.
"Selamat makan," ucap Naruto sambil mengambil sumpit yang terletak diatas nampan berisi makanan.
Naruto mulai makan dengan lahap. Nasi dengan seporsi sukiyaki dan sup misoshiru serta buah-buahan sebagai pencuci mulut terasa begitu lezat bagi Naruto yang sejak tadi merasa lapar.
"Untukmu." Sasuke memberikan sepiring kecil berisi natto.
"Kau tidak suka natto? Padahal natto enak, lho."
Sasuke menggelengkan kepala dan menghabiskan makanan tanpa mengatakan apapun pada Naruto. Ia merasa lelah hari ini dan ingin segera beristirahat. Tubuhnya terasa benar-benar sakit dan tenaganya seolah tersedot.
Sasuke membaringkan tubuhnya di atas futon yang bersebelahan dengan Naruto setelah meminum obat herbal yang diberikan tabib. Ia merasa lelah, namun kesulitan untuk memejamkan mata.
Naruto hendak masuk ke dalam futon untuk tidur dan segera melirik Sasuke. Ia berjalan ke sudut ruangan dan hendak mematikan seluruh lampu minyak yang terdapat di ruangan itu. Ia yakin jika Sasuke lebih suka tidur dengan lampu dimatikan dan ia tak ingin membuat pria itu tak bisa tidur malam ini. Ia akan mencoba mengendalikan ketakutannya terhadap kegelapan.
"Tidak usah mematikan lampu."
"Kau bisa tidur dengan lampu menyala, tidak?"
"Hn."
Naruto mengernyitkan dahi. Ia tak mengerti dengan maksud dari gumaman Sasuke.
"Sudahlah. Kumatikan saja, ya."
"Tidak usah."
Naruto mengernyitkan dahi. Bersama dengan Sasuke beberapa hari membuat Naruto merasa ragu dengan penilaiannya terhadap pria itu. Semula ia memang mengira Sasuke adalah orang yang jahat. Namun pria itu terkadang menunjukkan kepeduliannya dan membuat Naruto tak merasa pria itu sebagai musuh.
Sasuke melirik Naruto yang tertidur pulas dengan cepat sambil memunggunginya. Selama enam tahun ia terbiasa sendirian dan anehnya kini ia mulai terbiasa dengan kehadiran seseorang serta menikmati kepedulian yang ditujukan kepadanya. Ia bahkan tanpa sadar mulai mempedulikan Naruto hingga memperhatikan hal-hal yang sebetulnya bisa diabaikannya. Sasuke sadar jika Naruto memanfaatkannya hanya sebagai tameng dan iapun memanfaatkan Naruto untuk menghilangkan kesepiannya.
-Bersambung-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro