Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 18

Naruto meninggalkan kediaman Natsume bersama dengan Ryo, Ichiro dan Tetsu dengan membawa uang yang telah dijanjikan. Ryo, Ichiro dan Tetsu tampak sangat senang meskipun tubuh mereka luka-luka dan merasa sangat kelelahan setelah mengendarai kuda sepanjang malam hanya dengan satu kali berhenti utuk membersihkan luka di tubuh dengan asal.

Tetsu menatap sekeiling dan berbisik dengan suara pelan, "Bagaimana jika kita pergi ke 'markas' dan membagi uang?"

"Markas? Bolehkah aku pergi kesana?" tanya Naruto dengan perasaan tidak enak.

"Tentu saja. Taiko bahkan pernah pergi kesana," ucap Tetsu dengan suara pelan, "Kau harus merahasiakannya."

Naruto menganggukan kepala dan tersenyum, "Tenang saja. Jika kau bilang rahasia, maka berarti rahasia."

Tetsu menatap Ichiro dan Ryo yang kelihatannya tidak setuju. Tetsu sendiri khawatir, namun ia tak memiliki pilihan selain membagi uang di 'markas' yang menurutnya merupakan satu-satunya tempat yang paling aman. Ia berharap agar Ruki juga dapat dipercaya seperti rekannya.

Naruto menyadari Ichiro dan Ryo yang masih khawatir dan segera menepuk bahu mereka, "Kalau aku menyebarkannya, kalian bisa melakukan apapun padaku. Tak akan kubiarkan Taiko meghalangi kalian."

Ekspresi wajah Ichiro dan Ryo sedikit melunak, namun tetap saja masih menyimpan kecurigaan. Mereka berempat berjalan menuju sebuah kedai kecil yang baru saja akan tutup.

"Oi, Hiroki. Kau akan tutup?" seru Ichiro pada seorang lelaki yang tampak bersiap-siap menutup kedai kecil yang menjual robatayaki.

Hiroki, seorang lelaki berusia dua puluh akhir berkulit coklat itu menatap Ichiro dan tiga orang yang bersamanya. Tatapannya tertuju pada Naruto yang memakai topeng.

"Siapa dia?"

"Rekanku," sahut Ichiro. Ia menyadari Hiroki yang tampak curiga dengan Ruki yang wajahnya sendiri tak pernah ia lihat. Ia tak meghiraukannya dan malah menatap Hiroki dengan tajam. Toh sebetulnya kedai berukuran tiga kali empat meter ini miliknya. Ia tak menggunakan tempat itu selain sebagai 'markas' di hari-hari tertentu dan meminjamkannya pada Hiroki untuk berdagang.

Naruto menundukkan kepala dan tersenyum sopan dibalik topengnya, "Aku Ruki. Senang bertemu denganmu."

"Hiroki," ucap lelaki muda itu dengan nada yang tidak ramah.

Naruto mengangkat kepalanya dan berdiri di samping Tetsu. Ichiro tampak mendekati Hiroki dan membicarakan sesuatu dengan suara yang amat pelan. Keduanya saling menatap tajam, namun akhirnya ekspresi keduanya tampak melunak dan Hiroki segera meninggalkan kedai itu.

"Masuklah. Setelahnya kita yang akan menutup kedai," ujar Ichiro sambil melangkah memasuki kedai. Meja-meja sudah disusun dan kursi-kursi sudah ditumpuk, pertanda jika kedai siap ditutup.

Ryo, Tetsu dan Ichiro segera mengambil kayu-kayu yang biasa dipakai untuk menutup kedai. Naruto segera mengambil beberapa potong kayu besar dan membantu menutup kedai. Kayu-kayu sengaja disusun agar tidak terlalu rapat sehingga cahaya matahari masih bisa masuk ke dalam kedai.

Tetsu segera mengeluarkan sebuah kantung besar berisi koin yang telah ia hitung sebelumnya. Terdapat dua ratus lima puluh buah koin satu koban di dalam kantung.

"Satu orang mendapat enam puluh dua koban dan lima ratus sen," ujar Tetsu.

Koin-koin itu segera diletakkan di tanah dan Tetsu mulai membagi-bagi uang secara merata. Ichiro dan Tetsu mengambil enam puluh tiga koban dan memberikan uang lima ratus sen dari kantungnya, sementara Naruto dan Ryo mengambil sisanya.

"Apakah kalian akan mengambil pekerjaan lagi?" tanya Naruto pada Ichiro, Ryo dan Tetsu.

"Kurasa... aku akan beristirahat selama beberapa bulan dan pergi ke suatu tempat," ucap Ryo dengan wajah memucat. Ia masih tak bisa melupakan kepala yang dilemparkan kearah mereka oleh wanita bertubuh tinggi itu. Sejak awal ia sudah merasa curiga dengan fisik wanita itu yang agak tak biasa.

"Saat ini kita semua harus berhati-hati dan berusaha agar tak menarik perhatian, baik di dunia atas maupun dunia bawah," ujar Tetsu dengan suara pelan. Ia mendekatkan kepalanya dan berkata, "Bisa saja wanita itu sebenarnya memata-matai kita. Bagaimana mungkin ia mengetahui detil misi kita ketika kita bahkan tak pernah melihatnya sebelumnya?"

"Bagaimana dia memata-matai kita? Apakah dia juga salah satu anggota 'dunia bawah'? Lalu mengapa dia tak melukai kita?" tanya Ichiro dengan rasa penasaran yang memenuhi kepalanya.

Naruto membuka mulut, "Aku tak tahu di dunia ini ada wanita yang menyeramkan seperti itu. Apakah dia benar-benar wanita?"

Tetsu menggelengkan kepala dengan bulu kuduk meremang. Sepanjang kariernya sebagai pembunuh bayaran, ia telah menghadapi berbagai jenis musuh, mulai dari yang lemah hingga kuat. Ia tak pernah begitu ketakutan bertemu dengan seseorang hingga kemarin malam.

Tetsu tak menampik jika ia merasa penasaran dengan sosok dan tujuan orang itu. Namun ia tak berani mengambil resiko dengan menjadi batu kerikil yang menghalangi jalan seorang raksasa. Ia tak ingin membuat orang itu menganggapnya sebagai ancaman dan membantainya dengan cara yang sama seperti orang itu membantai Teru, atau bahkan lebih brutal.

"Simpanlah rasa penasaran dalam diri kalian sendiri. Berhati-hatilah dan anggap saja kejadian semalam tak pernah ada. Ini demi kebaikan kalian," ujar Tetsu dengan suara bergetar.

Entah kenapa ucapan Tetsu tidak terlalu membuatnya takut. Ia masih memiliki Sasuke yang akan melindunginya dari wanita sadis itu.

Tiba-tiba saja ia teringat dengan wajah wanita itu ketika membayangkan wajah Sasuke. Rasanya, wanita itu agak mirip dengan Sasuke.

.

.

Bagian samping Naruto terasa nyeri setelah tertusuk pedang. Darah telah berhenti mengalir, namun luka itu masih belum mengering. Tubuh Naruto juga terasa sakit setelah tergores pedang hingga sebagian kulitnya mengelupas dan ia merasa benar-benar lelah meskipun telah membersihkan lukanya dengan asal di perjalanan pulang.

Naruto ingin berkunjung ke tabib, namun ia khawatir jika Sasuke sudah pulang dari misinya. Bagaimana jika lelaki itu curiga dan merasa marah padanya?

Naruto memutuskan memacu kudanya menuju tabib yang sempat ia lewati dalam perjalanan meninggalkan kota. Ia memutuskan turun dari kuda dan memasuki tabib itu dengan alasan yang telah ia pikirkan matang-matang jika tabib itu sampai menanyakan alasannya terluka.

Naruto segera memasuki tempat praktik tabib yang kebetulan sedang sepi. Hanya ada dua orang yang menunggu dan seorang wanita yang bertugas sebagai resepsionis sekaligus perawat jika diperlukan.

Tatapan Naruto tertuju pada seorang lelaki berusia empat puluhan yang sedang memberikan botol berisi obat herbal kepada seorang pasien serta memberikan instruksi mengenai cara mengkonsumsi.

Pasien itu segera memberikan uang sesuai yang diminta tabib itu dan mengucapkan terima kasih serta meninggalkan tempat praktik tabib itu.

"Selanjutnya," ujar resepsionis itu seraya melirik Naruto, "Kau yang baru datang."

Kedua pasien yang telah menunggu itu menatap Naruto dengan tatapan tidak suka.

"Apa-apaan ini? Aku sudah menunggu hampir satu jam," seru salah satu pasien dengan nada marah.

Resepsionis itu segera menatap Naruto dan menundukkan kepala, "Mohon maaf, Tuan. Namun inilah peraturan yang diterapkan Matsumoto-sama. Pasien dengan kondisi lebih parah akan ditangani lebih dahulu. Wajah orang itu terlihat pucat dan ia tampaknya kelelahan serta kehilangan darah."

Naruto terkejut dengan ucapan resepsionis itu yang tampaknya bisa mengetahui kondisinya hanya dengan melihatnya. Ia tak melihat wajahnya, namun ia merasa agak pusing dan pakaiannya bahkan terkena darah.

Dua orang pasien yang telah menunggu itu terdiam dan menunjukkan wajah tidak suka. Sang tabib menatap Naruto dan meminta seorang perawat pria yang kebetulan baru keluar dari salah satu pintu meletakkan pembatas sehingga dua pasien yang menunggu tak bisa melihat mereka.

Perawat pria itu dengan sigap segera meletakkan pembatas dan tabib itu segera melirik Naruto.

"Lepaskanlah pakaianmu. Aku perlu melihat lukamu," ucap tabib itu seraya melirik bagian samping tubuh Naruto yang terluka.

Naruto segera melepaskan pakaian dan memperlihatkan luka-luka di tubuhnya, termasuk bagian samping tubuhnya yang ia balut dengan kencang hingga agak menggembung.

Tabib itu bahkan tak bertanya apapun pada Naruto dan langsung melepas kain yang membalut luka Naruto. Ia mendapati luka yang lumayan dalam dan masih basah.

"Aah," Naruto merintih saat perban itu dilepas.

"Kau harus beristirahat selama dua hari dan mengurangi aktifitas fisik selama satu minggu. Akan lebih baik jika kau menginap disini," ujar tabib itu.

Naruto menggelengkan kepala. Ia tak bisa menginap di tempat ini. Jika Sasuke sudah kembali, lelaki itu pasti tahu jika Naruto tidak kembali ke penginapan.

"Aku tak ingin membuat rekanku khawatir jika aku tak kembali," ucap Naruto. "Cukup berikan aku obat."

Tabib itu segera mengambil sejenis toples berisi ramua obat dengan bau yang tajam serta membalurkannya ke bagian tubuh Naruto yang terluka. Kemudian ia meminta perawat untuk mengambil perban untuk melilit tubuh Naruto yang telah dibaluri obat sementara ia mengambil secarik kain berukuran dua puluh kali dua puluh sentimeter serta meletakkan banyak ramuan obat serta meletakkan kain itu diatas luka Naruto.

Naruto meringis saat kain itu mengenai luka nya. Namun ramuan itu membuat tubuhnya terasa agak menghangat dan perawat segera membalut tubuh Naruto.

"Pastikan tubuhmu yang dibalut perban tidak terkena air."

Tabib itu menyiapkan bahan-bahan herbal dan membungkusnya dengan kain serta memberikannya pada Naruto, "Rebuslah bahan-bahan herbal ini dan minumlah air nya selama tiga hari. Setelah tiga hari datanglah kembali."

Naruto menganggukan kepala dan segera memasang kembali pakaiannya. Kemudian ia segera membayar dan meninggalkan tempat praktik tabib itu.

.

.

Naruto tiba di penginapan dan berjalan memasuki kamar dengan gugup. Sepanjang perjalanan pulang ia merasa takut jika Sasuke sudah kembali dari misi dan ia sibuk mempersiapkan alasan yang masuk akal.

Naruto berdiri di depan pintu dan segera membuka pintu. Ia terbelalak sesaat saat menyadari Sasuke sudah tiba di kamar. Lelaki itu terlihat baru saja selesai mandi. Rambutnya masih basah dan pakaiannya terlihat baru.

"Kemana kau pergi, dobe?"

Naruto segera menutup pintu dan meneguk ludah, "Aku habis berjalan-jalan. Kau baru saja pulang, teme? Bagaimana pekerjaanmu?"

Sasuke tak menghiraukan pertanyaan Naruto. Ia segera bangkit berdiri dan berjalan mendekati Naruto hingga hanya berjarak beberapa sentimeter.

"Tubuhmu terlihat menggembung."

"Aah... itu karena aku tambah gemuk," sahut Naruto dengan cepat. Tatapan Sasuke membuatnya merasa gugup.

Sasuke sengaja menatap mata Naruto dan lelaki itu langsung memberanikan diri membalas tatapan Sasuke, namun ia terlihat sangat gugup.

"Jangan membohongiku, dobe," ujar Sasuke. Ia segera meletakkan ujung jari di bagian samping tubuh Naruto yang terlihat menggembung dan Naruto langsung meringis.

"Aaw!" pekik Naruto tanpa sadar.

Sasuke segera menjauhkan tangannya dan ia segera melepas pakaian Naruto dengan hati-hati. Matanya membelalak saat ia melihat luka-luka di tubuh Naruto yang telah dibalut perban.

"Dimana kau berjalan-jalan hingga tubuhmu seperti ini?"

Naruto merasa malu dan gugup. Otaknya seolah kosong dan ia tak bisa menjawab apapun.

"Aku tak mengerti denganmu, dobe," ucap Sasuke sambil menatap tajam. "Mengapa kau masih nekat mengambil pekerjaan hingga membohongiku? Lihatlah apa yang terjadi sekarang. Bukankah tertusuk pedang untuk pertama kalinya terasa menyakitkan? Apa yang kau rasakan setelah membunuh untuk pertama kalinya, hn?"

Naruto tersentak dengan ucapan Sasuke. Bagaimana bisa lelaki itu mengetahui jika ia baru saja membunuh untuk pertama kalinya?

Sasuke menatap Naruto dengan kecewa. Ia merasa marah dengan apa yang dilakukan Naruto. Namun ia terlalu kecewa hingga tak bisa merasa marah. Sebisa mungkin ia ingin melindungi 'kemurnian' Naruto dengan tak membiarkan tangan Naruto ternodai oleh darah orang yang dibunuhnya. Ia tak ingin Naruto merasa dihantui oleh dosa sepanjang hidupnya dan menjadi pembunuh sepertinya.

"A-aku... maafkan aku," Naruto hendak menundukkan kepala, namun Sasuke segera menahannya.

"Tubuhmu terluka. Jangan tundukan kepalamu," ucap Sasuke.

"Ah, iya."

"Bersihkanlah tubuhmu dan beristirahatlah. Aku akan pergi sebentar," ucap Sasuke dengan dingin.

Naruto tak berani menjawab dan hanya menganggukan kepala. Terlihat jelas jika Sasuke sedang marah hingga kini tak lagi mau menatap Naruto ataupun menjawab pertanyaan Naruto.

.

.

Sasuke memutuskan untuk berkuda di hutan dan menenangkan diri. Namun suasana di hutan tidak terlalu menyenangkan. Dalam satu jam ia telah mendapati

Sepuluh kuda yang melintas dan ia merasa suasana di hutan terlalu ramai.

Sasuke masih merasa marah dan kecewa dengan apa yang dilakukan Naruto. Sebetulnya ini juga merupakan salahnya sendiri. Mengapa ia tidak menyadari sejak awal jika Naruto pergi mengambil misi? Ia tak bisa menghentikan Naruto pergi menjalani misi karena hal itu akan mengacaukan rencana Ichiro, Tetsu dan Ryo.

Apakah Tsunade tak memperingati Naruto? Rasanya tidak mungkin. Selama beberapa tahun, wanita itu telah membuktikan jika apapun yang dijanjikan wanita itu adalah hal yang pasti akan dilakukannya. Naruto pasti bersikeras untuk diijinkan mengambil pekerjaan.

Kini Naruto akan berubah dan Sasuke membenci perubahan itu. Naruto telah kehilangan kemurnian nya dan berubah menjadi pribadi yang kejam. Jiwa lelaki itu telah ternodai setelah menghabisi nyawa seseorang.

Sasuke menarik nafas dalam-dalam dan berusaha menenangkan dirinya sendiri, Ia khawatir jika Naruto akan berubah menjadi orang yang kejam dan tak berperasaan seperti dirinya, terutama setelah menyaksikan pembantaian secara brutal yang ia lakukan dengan mata kepala sendiri.

Sasuke merasa menyesal telah melakukan pembantaian dengan cara yang sadis.

Ia sengaja melakukannya agar lawan-lawan nya merasa takut dan tak berani menyerang dengan seluruh kemampuan mereka. Ia juga tak ingin terluka dan menghabiskan waktu terlalu lama sehingga memilih cara seperti ini. Seharusnya ia membiarkan tubuhnya terluka atau menggunakan ninjutsu atau bahkan doujutsu (teknik mata) sekalian. Toh tak ada seorangpun yang akan mengenalinya selain Naruto.

Kini Naruto terluka dan Sasuke merasa bersalah. Ia merasa gagal melindungi Naruto meskipun pada saat itu ia sedang bersama Naruto. Ia mungkin memberikan trauma psikologis pada Naruto, trauma yang akan membekas seumur hidup.

"Kuso!" gumam Sasuke seraya mengepalkan tangan erat-erat. Ia merasakan amarah dalam dirinya yang memuncak dan agak sulit dikendalikan.

Sasuke segera berbalik arah dan kembali menuju kota. Ia memutuskan untuk menenangkan diri dengan berendam di salah satu onsen hingga emosinya stabil dan ia siap menghadapi Naruto.

.

.

Naruto berbaring diatas futon dan berusaha memejamkan mata. Jam makan malam telah berlalu sekitar dua jam yang lalu dan Sasuke masih belum kembali.

Kini Naruto semakin merasa bersalah. Ia telah membuat Sasuke merasa marah dan barangkali lelaki itu akan menghindarinya selama beberapa saat. Ia harus segera meminta maaf pada Sasuke ketika lelaki itu kembali.

Naruto memutuskan untuk beristirahat meski terasa sulit. Tubuhnya terasa terlalu sakit hingga ia tak bisa tidur dengan nyenyak. Ia bahkan hanya bisa tidur dengan posisi telentang dan sesekali terbangun akibat rasa sakit yang tiba-tiba ia rasakan saat tanpa sadar ingin mengganti posisi tidur.

Naruto baru saja tertidur ketika terdengar suara pintu yang dibuka dengan sangat pelan. Tak lama kemudian terdengar suara pintu yang ditutup dan suara langkah kaki yang berjalan menuju lemari.

Naruto segera membuka mata dan mendapati Sasuke yang sedang mengambil futon di dalam lemari.

"Sasuke," Naruto memberanikan diri untuk memanggil dengan suara yang terdengar takut. "A-aku minta maaf."

Sasuke segera menoleh dan menatap Naruto lekat-lekat. Ia tak mengatakan apapun, namun ia segera menghampiri Naruto dan menepuk kepalanya dengan lembut.

"Maafkan aku juga, dobe. Aku kecewa padamu dan merasa marah," Sasuke berusaha menjelaskan perasaannya pada Naruto.

"Tidak," Naruto menggelengkan kepala. "Kau pantas marah setelah aku membohongimu."

Sasuke menyentuh bahu Naruto, namun Naruto segera memeluk Sasuke dengan erat dan membuat Sasuke merasa tak nyaman. Ia ingin memeluk Naruto, namun ia tak ingin membuat Naruto kesakitan.

"Aku tak seharusnya mengekangmu," ucap Sasuke dengan pelan. Jari-jemarinya sibuk mengelus rambut pirang sang kekasih.

"Teme," bisik Naruto dengan suara pelan, "Kuharap kau juga mengkhawatirkan dirimu sendri. Kau bahkan menyamar dan membantuku menjalani misi, bukan?"

Sasuke menyeringai. Ia sudah menduga jika Naruto akan menyadari penyamarannya. Naruto sudah pernah melihat kemampuan berpedangnya secara langsung dan Sasuke tak menyembunyikan teknik berpedang yang dipakainya.

"Akhirnya kau menyadarinya?"

Naruto tersipu malu. Ia tak menyadarinya hingga ia tiba di kota. Saat itu ia terlalu terkejut hingga tak benar-benar menyadari teknik berpedang dan mata wanita yang terlihat familiar itu.

"Aku mengenali teknik berpedang dan matamu, teme," ucap Naruto seraya mengeratkan pelukannya. "Darimana kau tahu soal pekerjaanku?"

"Rahasia," Sasuke menyeringai.

"Aku benar-benar penasaran. Tidak bisakah kau memberitahuku, teme?"

"Tidak," sahut Sasuke. "Kecuali kau mau membiarkanku melakukan sesuatu."

"Ya?"

Sasuke segera mendekati bibirnya kearah bibir Naruto yang sedikit terbuka. Kemarahan yang sempat ia rasakan perlahan bertransformasi menjadi gairah dan ia menempelkan bibirnya ke bibir lembut Naruto.

Wajah Naruto memerah dan ia merasa gugup. Ritme nafasnya bahkan agak kacau dan ia segera memejamkan matanya.

Sasuke segera melumat bibir yang terbuka itu dan menciumnya. Ia bertukar saliva dengan Naruto yang kebingungan, tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Bibir Sasuke terus mencium bibir Naruto dan Naruto secara refleks memutuskan untuk membalas ciuman Sasuke dengan mengikuti apa yang dilakukan lelaki itu.

Gairah menguasai diri Sasuke dan lidahnya kini mulai bergerilya dan menggelitik rongga mulut Naruto.

"Mmph... Hmph."

Erangan tertahan Naruto membuat monster dalam diri Sasuke perlahan bangkit. Gairah Sasuke semakin memuncak dan tangan nya menyusup ke balik yukata Naruto, berniat menyentuh puting lelaki itu.

Namun tangan Sasuke terhenti saat menyentuh perban yang melapisi tubuh Naruto dan ia segera tersadar jika ia tak seharusnya melakukan ini.

Sasuke segera melepaskan ciumannya dan ia segera menjauh dari Naruto yang kini membuka mata dan tampak kebingungan.

"Teme?"

"Cepatlah tidur. Aku tak seharusnya melakukan ini padamu, dobe."

"Aku..." ucap Naruto dengan gugup. "Aku suka dengan apa yang baru saja kau lakukan, teme."

Sasuke menatap Naruto lekat-lekat, "Kau tahu apa itu artinya?"

"Itu? C-ciuman?"

Sasuke mengangguk, "Ya. Aku tak seharusnya menciummu dengan gairah seperti tadi."

"Tak masalah," sahut Naruto. "Aku menyukainya. Lakukanlah apapun yang ingin kau lakukan padaku. Aku yakin apapun yang akan kau lakukan adalah hal yang baik."

Sasuke menggelengkan kepala. Naruto masih cukup naïf dan ia khawatir jika suatu saat ia akan kehilangan kendali.

"Kau tak seharusnya mempercayai seseorang semudah ini, dobe. Tak seorangpun berhak memintamu melakukan hal yang melebihi ciuman sebelum menikahimu."

Naruto tertegun sejenak. Dua orang pria tentu saja tak bisa menikah di kerajaan yang menentang homoseksual. Jika Sasuke berprinsip tak melakukan seks sebelum nikah, maka selamanya mereka tak akan melakukannya.

"Jika gairah telah menguasaiku dan aku berniat melakukan lebih padamu, tolong hentikan aku."

Sasuke terkesan berniat mempertahankan moralitas yang masih tersisa padanya. Namun sebetulnya ia hanya tak ingin menodai Naruto. Menurutnya, ia tak pantas meminta Naruto mengorbankan segala hal untuknya.

"Baiklah," ucap Naruto. "Bagaimana dengan janjimu yang tadi?"

"Kau benar-benar penasaran?"

"Tentu saja!" sahut Naruto dengan penuh rasa penasaran.

"Aku mendengar pembicaraanmu di bar."

"Bar? Mengapa aku tak melihatmu setiap kali pergi ke bar?"

"Mana kutahu, dobe."

Naruto mengernyitkan dahi, masih tak habis pikir dengan ucapan Sasuke. Ia yakin Sasuke pasti menggunakan trik sehingga tak seorangpun menyadari jika ia berada di bar.

"Kau menggunakan teknik menghilang, teme?"

Sasuke tertawa mendengar ucapan Naruto, "Hah... kau pikir aku ini dewa? Tentu saja tidak ada teknik yang seperti itu."

"Lalu?"

Sasuke mengecup pipi Naruto dan mendorong tubuhnya dengan pelan, "Cepatlah tidur. Ucapanmu mulai melantur."

"Tidak mau," Naruto menggelengkan kepala.

"Baiklah. Kalau begitu aku akan mengambil pekerjaan selama dua minggu," ancam Sasuke.

Naruto meringis. Sudah lama ia tak tidur bersama Sasuke dan ia sangat merindukan lelaki itu.

"Jangan! Aku rindu padamu, teme. Sudah lama kita tak tidur bersama."

Sasuke tertawa mendengar ucapan Naruto yang ambigu, membuat Naruto mengernyitkan dahi.

"Hn? 'Tidur' bersama?"

"Eh? Itu..." Naruto memutus ucapannya dan memekik dengan wajah emmerah. "Ya ampun! Bukan itu maksudku."

Sasuke kembali tertawa. Terkadang ia merasa senang hanya dengan menjahili sang kekasih seperti ini.

"Sudahlah, ayo tidur," ucap Sasuke seraya masuk ke dalam futon nya.

Naruto mengangguk. Ia segera memejamkan mata dan tertidur dengan Sasuke yang berbaring di sampingnya serta mengelus kepalanya dengan lembut dan menciumi wajahnya.

"Oyasumi, dobe," bisik Sasuke dengan suara lembut sebelum berbaring dan memejamkan mata.

-TBC-

Author's Note:

Mulai dari chapter ini, alur fanfict mungkin akan dipercepat.

Kemungkinan fanfict ini akan selesai di chapter 30, bisa kurang atau mungkin bisa juga lebih.

Diusahakan fanfict ini diupdate lebih cepat karena sementara author akan lebih fokus ke fanfict ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro