Part 10
-Tujuh Tahun Lalu-
Seorang lelaki muda dengan rambut panjang yang diikat melompati dahan-dahan pohon meninggalkan kediaman nya. Iris merah lelaki muda itu menatap sekeliling dengan tajam dan ia bersikap waspada akan seseorang atau sekelompok orang yang mungkin saja akan menyerangnya.
Usia lelaki itu empat belas tahun, namun ia telah menjadi kapten pasukan mata-mata kerajaan, posisi yang belum tentu dapat diraih oleh orang dewasa sepanjang hidupnya sekalipun.
Lelaki itu bekerja layaknya seorang dewasa dengan menjalankan misi yang diberikan padanya tanpa sekalipun mengalami kegagalan sepanjang karier nya. Dan kini, ia sedang berada dalam misi untuk membuntuti sebuah organisasi bernama Akatsuki yang berisi orang-orang bayaran yang melakukan banyak pekerjaan kotor.
Tiba-tiba saja lelaki muda itu bergidik saat ia merasakan chakra gelap yang begitu kuat bersumber tak jauh dari tempatnya berada saat ini. Chakra itu begitu kuat hingga ia merasa takut dan tak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Dengan cepat lelaki itu bersembunyi dibalik semak-semak yang berada di hutan tak jauh dari tempat yang merupakan markas organisasi rahasia itu. Lelaki itu berusaha mengatur nafas nya yang memburu akibat rasa takut sekaligus berusaha menyembunyikan chakra nya.
Chakra kuat itu semakin dekat dan lelaki muda itu tak bisa melakukan apapun selain bersembunyi. Kini ia bahkan menahan nafas dan entah kenapa otak nya terasa kosong seketika. Ia tak pernah menemui pemilik chakra sekuat dan segelap itu dan jika pemilik chakra itu menemukan keberadaannya, ia yakin jika ia akan segera mati dalam pertarungan yang berakhir tak lebih dari sepuluh menit.
Terlihat sosok dengan jubah hitam yang mendekati lelaki muda itu dengan topeng berbentuk lingkaran dan lubang di bagian mata sebelah kanan. Sosok itu adalah pemilik chakra kuat dan gelap yang dirasakan lelaki muda itu.
"Seseorang mencoba memata-mataiku, hn?"
Lelaki muda itu terkejut mendengar suara sosok itu. Sosok itu bahkan telah mengetahui keberadaan nya meskipun ia telah menyembunyikan chakra nya.
Dengan rasa takut memenuhi pikiran nya, lelaki muda itu berdiri dan berusaha menggunakan menyerang sosok itu dengan taijutsu yang digabung dengan ninjutsu. Ia tak yakin serangan nya akan berhasil, namun ia yakin sosok ini bukanlah orang biasa dan ia berharap taijutsu adalah kelemahan lelaki itu.
"Gakido," gumam sosok itu dengan suara pelan.
Seketika lelaki muda itu tersentak ketika tonjokan nya mengenai sosok itu Chakra nya seolah tersedot dan tubuh nya benar-benar lemas hingga ia jatuh terduduk.
Sosok itu menatap tajam wajah lelaki muda itu dan segera memukul kepala lelaki muda itu denga keras hingga lelaki muda itu kehilangan kesadaran nya.
.
.
Lelaki muda itu membuka mata nya dengan perlahan dan memperlihatkan mata hitam kelam yang sebetulnya terlihat menawan. Kepala nya terasa benar-benar sakit dan berdenyut-denyut seolah kepala nya terasa akan meledak. Ia hendak mengerakkan tangan untuk menyentuh kepala nya, namun seluruh tubuh nya terikat dan ia benar-benar lemas setelah chakra nya tersedot.
Sekujur tubuh lelaki muda itu benar-benar sakit dan kini ia bahkan tak tahu dimana ia berada. Ruangan tempatnya berada saat ini benar-benar gelap tanpa satupun penerangan dan mata nya tertutup dengan beberapa lapis kain hitam. Ia berusaha untuk mempertahankan rasionalitas serta melarikan diri dari tempat nya berada saat ini.
Lelaki muda itu berusaha menggeliat dan melepaskan diri dari ikatan. Ia berusaha melawan rasa sakit dan rasa berat pada tubuhnya serta mencoba melepaskan ikatan di tubuh nya. Namun semakin ia mencoba melepaskan ikatan, tubuh nya malah semakin lemas dan chakra nya semakin tersedot.
Lelaki muda itu hampir kehilangan kesadaran nya meskipun ia berusaha keras untuk tetap sadar. Ia tak mempedulikan rasa sakit akibat memaksa mata nya untuk tetap terbuka.
Terdengar suara pelan seperti pintu yang terbuka dan terlihat sosok berjubah hitam yang masuk ke dalam ruangan itu serta menutup pintu tanpa menimbulkan suara.
"Siapa kau?" ucap lelaki muda itu dengan suara sekeras mungkin meski sebetulnya suara nya terdengar parau.
"Senang bertemu dengamu, jenius dari klan Uchiha yang kini hampir mati di tanganku."
Tak ada jawaban dari lelaki muda itu dan sosok muda itu tertawa sinis dengan tawa yang memuakkan.
"Hn? Rupanya kau tipe orang yang tidak suka banyak bicara, Uchiha Itachi?" ujar sosok itu dengan penekanan pada nama lelaki muda yang kini berada dihadapan nya.
Itachi merasa terkejut dengan ucapan sosok itu. Dalam hati ia bertanya-tanya darimana sosok itu mengetahui nama nya ketika ia sendiri tidak membawa kartu identitas kependudukan resmi nya dan hanya membawa kartu identitas yang diberikan kepada setiap pasukan mata-mata kerajaan.
"Darimana kau mengetahui namaku?"
Sosok itu kembali tertawa sinis dan berkata, "Suatu kehormatan bagiku jika seseorang sepertimu menaruh perhatian padaku."
Itachi tak mempedulikan ucapan sosok itu. Ia bukan tipe orang yang mudah kesal terhadap apapun yang dikatakan lawan nya terhadap dirinya. Ia hanya akan marah jika seseorang berani menghina keluarga nya atau kerajaan.
"Bukankah kau hampir mati sekarang, Uchiha Itachi?" ujar sosok itu sambil menyeringai dibalik topeng yang menutupi wajah nya. "Bagaimana jika aku menyelamatkanmu dan kau mengikutiku mulai sekarang?"
"Tidak."
"Kau lebih memilih mati ketimbang mengikutiku?"
"Hn."
Sosok itu menarik nafas panjang dan menatap Itachi yang masih saja menolaknya meskipun lelaki itu hampir mati saat ini. Chakra nya yang tersisa begitu lemah dan lelaki itu sepertinya berusaha keras mempertahankan diri agar tetap terjaga.
Sungguh mengecewakan, semula ia menduga Itachi akan menyerah dan memilih mengikutinya dalam kondisinya saat ini. Saat ini Itachi masih begitu lemah jika dibandingkan dengan dirinya, namun ia yakin Itachi akan menjadi semakin kuat seiring waktu berjalan.
"Kau lebih memilih dimanfaatkan oleh orang sekelilingmu ketimbang bersamaku? Jika kau bersamaku, maka kau tidak perlu bekerja begitu keras seperti saat ini."
Itachi mencerna segala ucapan lelaki itu. Sebetulnya kali ini ia berangkat untuk menjalankan misi dengan setengah hati dan ia merasa sangat lelah secara fisik dan emosional hingga ia ceroboh dan kini tertangkap.
Misi yang dijalaninya kali ini begitu berat dan akan mencurigakan jika dijalankan beberapa orang sehingga ia yang merupakan mata-mata terbaik kerajaan terpilih untuk menjalankan misi.
"Bukankah kau juga sedang berusaha memanfaatkanku, hn?"
"Lebih tepatnya untuk keuntungan bersama," jawab sosok itu dengan nada yang terkesan meyakinkan.
Itachi kembali memikirkan ucapan sosok itu. Selama ini ia merasa seolah diperbudak oleh keluarga dan kerajaan nya. Jabatan sebagai kapten pasukan mata-mata kerajaan hanyalah jabatan yang tertulis di kertas belaka. Sebetulnya ia menjalankan berbagai pekerjaan, mulai dari memata-matai, berperang dalam berbagai perang, hingga melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor yang diperintahkan kerajaan, misalnya memusnahkan sebuah daerah kumuh yang dipenuhi rakyat miskin agar rakyat miskin tersebut tak menjadi beban bagi kerajaan. Dan Itachi terpaksa menanggung dosa dan resiko demi kepentingan kerajaan, bukan dirinya sendiri.
Tak hanya kerajaan, keluarga nya terkadang juga memintanya mencari informasi mengenai keluarga daimyo demi kepentingan pribadi atau terkadang melakukan pekerjaan kotor serta menutupinya dengan berbagai alibi. Begitupun dengan para anggota tim maupun tentara yang berperang dengan nya, mereka semua mengandalkan dirinya dan tak banyak berusaha ketika sedang bersamanya dengan harapan ia dapat menyelesaikan misi atau membantu kerajaan memenangkan perang tanpa perlu mereka bersusah payah mengerahkan tenaga maupun pikiran. Tak hanya itu, mereka semua juga mengharapkan perlindungan secara fisik darinya dalam setiap misi atau peperangan tanpa peduli jika ia juga perlu melindungi dirinya sendiri.
Itachi benar-benar lelah dengan orang-orang yang berusaha menumpukan harapan padanya hingga terkadang ia merasa ingin melarikan diri dari keluarga maupun kerajaan. Ia bahkan bekerja begitu keras hingga memiliki waktu libur kurang dari lima hari dalam setahun ketika bawahan nya memiliki waktu libur yang lebih banyak sehingga ia tak memilki kehidupan pribadi diluar misi, termasuk waktu luang untuk berkencan dengan kekasih nya selain kunjungan ke kuil setiap tahun baru bersama-sama.
"Sesuatu yang manis di awal akan berakhir dengan kepahitan," jawab Itachi dengan kalimat yang terdengar ambigu.
Sosok itu tersenyum di balik topeng nya dan menjawab, "Kau mengira aku hanya memberikan janji manis yang berlawanan dengan fakta, hn?"
Tak ada jawaban dan sosok itu mengartikan sebagai persetujuan. Ia melirik Itachi yang semakin melemah dan berkata, "Jika kau bergabung bersamaku, kujamin kau tak akan menyesal. Aku akan membuatmu semakin kuat dan mengajarkanmu teknik-teknik rahasia klan mu yang tak dikuasai oleh ayahmu sekalipun."
"Kau Uchiha Obito?" tanya Itachi dengan rasa keterkejutan yang memenuhi benaknya.
"Bukan," jawab sosok itu sambil menggelengkan kepala.
Itachi merasa ganjil dengan sosok itu, namun rasa penasaran membuatnya tertarik dengan tawaran lelaki itu dan ia menganggukan kepala.
"Aku bersedia bergabung denganmu."
Sosok itu tertawa sinis dan ia mengeluarkan pedang serta menusuk pedang itu ke ibu jari Itachi hingga mengeluarkan darah serta mengudap ke seluruh bagian jari dan menempelkan jari itu ke sebuah kertas yang telah dipersiapkannya, membentuk cap sidik jari di atas kertas dengan darah.
.
.
Sepang iris merah bak darah menatap kearah sinar bulan yang memancarkan cahaya lembut. Ekspresi wajah sang pemilik iris merah itu tampak datar, namun sejatinya lelaki itu sedang larut dalam pikiran nya hingga mencapai titik dimana jiwa nya seolah meninggalkan raga nya.
Lelaki itu tak menghiraukan rekan setim nya yang sedang tertidur sambil bersandar pada batang pohon sementara ia duduk diatas pohon tersebut. Saat ini tengah malam, namun ia tak bisa memejamkan mata sedetikpun.
Tanpa sengaja lelaki itu memundurkan tubuh nya hingga membentur batang pohon yang berada di belakang nya dan kaki nya menendang batang pohon dengan keras menggunakan bagian belakang kaki sehingga terdengar suara benturan yang cukup keras.
Lelaki berambut biru yang sedang tertidur sambil bersandar ke batang pohon seketika terbangun dan mengambil pedang nya yang diletakkan di samping tubuh nya serta menatap sekeliling dengan tatapan tajam.
"Kembalilah beristirahat, Kisame," ujar lelaki yang sedang duduk diatas pohon sambil menatap rekan setim nya yang terbangun akibat suara benturan yang ditimbulkannya.
"Oh, Itachi? Apa yang kau lakukan diatas sana?" tanya Kisame sambil menatap rekan setim nya yang tak bergerak sedikitpun dari atas pohon yang didudukinya.
Tak ada jawaban dan Kisame menganggukan kepala. Ia sangat mengenal sikap rekan setimnya yang tak akan menjawab pertanyaan yang menurutnya tidak penting.
"Mengapa kau tidak tidur?" Kisame kembali bertanya dan melirik Itachi, berharap agar lelaki itu mau turun dan duduk menemaninya.
"Aku tidak bisa tidur."
"Oh? Kau masih memikirkan informasi yang kau dengar dari klien mu?"
"Hn."
Itachi tak bisa melupakan informasi dari salah seorang klien yang menyewa jasa nya untuk melakukan sebuah pekerjaan di ibu kota. Klien itu adalah seorang lelaki yang cukup berpengaruh dalam pemerintahan dan biasa menyewa jasa Itachi untuk mencari informasi atau terkadang melenyapkan sesuatu atau seseorang yang menganggunya.
Klien itu memberinya informasi mengenai Obito yang telah dieksekusi mati beserta informasi yang diberika Obito kepada kerajaan dihadapan publik tepat sebelum ia dieksekusi mati. Kini penjagaan di ibu kota dan kota-kota sekitarnya diperketat dengan adanya pasukan elite Hyuuga yang memiliki byakugan.
Kini Akatsuki yang semula dapat bergerak bebas kini mulai kesulitan dan Itachi berpikir keras untuk menjaga keselamatan anggota tim nya. Ia bukanlah tipe orang yang memikirkan keselamatan orang lain, namun ia terpaksa melakukannya saat ini.
"Obito telah mengkhianati kita. Sungguh brengsek lelaki itu. Selama ini ia hanya memperdaya kita semua," desis Kisame dengan kemarahan yang terlihat jelas dalam setiap kata yang terlontar darinya.
Ucapan Kisame membuat Itachi tersadar jika ia benar-benar telah diperdaya demi keuntungan pribadi Obito. Ia tak lebih dari sekadar boneka yang dapat digerakkan sesuka hati oleh Obito. Hampir ucapan Obito mengenai misi yang diberikan demi keuntungan bersama hanyalah bualan belaka.
"Hn."
'Apakah kau menyesal telah bergabung dengan Akatsuki, Itachi?"
Pertanyaan Kisame membuat Itachi semakin menyesal atas keputusan nya untuk bergabung dengan Akatsuki. Beruntunglah ia memiliki ketahanan mental yang sangat baik sehingga mampu mempertahankan kewarasan nya saat ini, Namun tetap saja ia tak bisa berhenti memikirkan masa lalu nya sedetikpun.
Jika saja saat itu Itachi tak mengikuti Obito dan bergabung dengan Akatsuki serta memilih untuk mati, setidaknya ia akan mati dalam keadaan terhormat. Ia juga tak perlu menghabiskan malam-malam kesendirian yang dipenuhi penyesalan akibat membantai keluarga nya sendiri dan membunuh Izumi, kekasih nya serta menyakiti Sasuke, baik secara fisik maupun emosional.
Obito memang mengajarkan teknik rahasia serta sejarah kelam mengenai keluarga Uchiha hingga usaha kotor yang dijalankan hingga seluru keluarga Uchiha terbantai. Namun teknik rahasia yang diajarkan Obito sama sekali tidak berguna. Obito mengajarkan teknik mendapatkan rinnegan, yaitu dengan memasukkan sel klan Hashirama Senju ke dalam tubuh. Namun keturunan Hashirama yang terakhir telah meninggal tanpa memiliki keturunan sehingga keluarga Senju telah punah.
"Bagaimana denganmu?"
"Tentu saja menyesal. Kini kita semua berada dalam bahaya setelah mengikuti pengkhianat itu. Kau juga menyesal, kan?"
"Hn."
Itachi melompat turun dari pohon dan kini ia duduk di bawah pohon bersama Kisame. Kisame menatap wajah datar rekan setim nya dan dalam hati bertanya-tanya, bagaimana bisa lelaki itu tetap mempertahankan ketenangan tanpa menampilkan sedikitpun emosi dalam situasi saat ini.
"Omong-omong, kau benar-benar akan menerima misi pergi ke ibu kota saat ini dan mencuri dokumen-dokumen yang diminta di kantor mentri? Penjagaan sedang diperketat dan ki-"
Itachi memotong ucapan Kisame dan segera berkata, "-Kita telah menerima bayaran sebelum menjalankan misi."
Biasanya Kisame akan memilih untuk diam, namun kali ini ia memilih untuk membantah lelaki disamping nya dan berkata dengan suara meninggi, "Kembalikan uang nya, Itachi! Kau ingin mati konyol di ibu kota, huh? Apakah kau tidak ingin bertemu Sasuke?"
Seketika sepasang sharingan aktif menatap tajam kearah Kisame dan membuat Kisame terdiam seketika. Jika Itachi telah menatapnya dengan mata merah menyeramkan, maka itu adalah sebuah pertanda jika ia seharusnya diam.
"Jika kau tidak ingin menjalankan misi, pergilah sekarang juga."
Kisame menggelengkan kepala. Ia tak akan meninggalkan Itachi meski harus mati bersama lelaki itu sekalipun. Ia tak memiliki tempat untuk kembali dan Itachi satu-satunya tempat untuk kembali baginya.
"Tidak. Aku akan tetap bersama denganmu."
"Hn."
Tak lama setelahnya, kedua lelaki itu memejamkan mata dan tertidur sambil bersandar satu sama lain.
.
.
Naruto membuka mata nya setelah tertidur begitu pulas dan mengernyitkan dahi saat ia berada di sebuah ruangan sempit yang sepertinya merupakan sebuah penginapan. Ia merasa begitu nyaman setelah begitu lama tak pernah merasa tidur lebih dari lima jam.
Terdengar suara langkah kaki yang mengarah menuju ruangan tempat nya berada dan Naruto seketika meraih pedang yang diletakkan di samping tubuh nya. Terdengar suara kunci yang diputar dan seketika Naruto berjalan kea rah pintu dengan suara langkah yang tak terdengar dengan pedang yang telah terhunus.
"Ohayo," ujar Sasuke dengan tenang tanpa mempedulikan pedang Naruto yang telah terhunus dan hampir saja diarahkan kepadanya.
"Eh, teme? Kau membawaku ke penginapan?"
"Hn."
Naruto menatap sekeliling ruangan itu dan menyadari ruangan itu sangat kecil dan tidak cukup untuk dua orang.
"Lho, kau tidur dimana? Kau tidak mungkin tidur sekamar denganku, kan?"
"Kamar ku tepat di sebelah kamar mu."
Naruto merasa agak kecewa dan berharap jika ia berada di kamar yang sama dengan Sasuke. Kini ia bahkan merasa jauh lebih aman bersama Sasuke ketimbang sendirian dan merasa nyaman bersama lelaki itu.
"Kau datang kesini dan ingin mengajakku berlatih, teme?"
"Tidak, hanya mengecek jika kau sudah bangun atau belum."
"Oh, ya? Kalau begitu aku akan mandi terlebih dahulu. Kau menungguku disini atau kembali ke kamarmu?"
"Aku menunggu disini."
Naruto tersenyum dan segera mengambil pakaian di dalam tas nya serta berjalan ke kamar mandi. Tepat sebelum ia masuk ke dalam kamar mandi, ia menoleh kearah Sasuke dan berkata, "Omong-omong, terima kasih telah membawaku ke penginapan."
Sasuke hanya menjawab dengan senyuman tipis yang ditujukan pada Naruto. Belakangan ini ia bahkan tak bisa menahan diri untuk tersenyum dan terkadang menahan diri untuk tak memeluk Naruto. Baginya, saat-saat bersama Naruto adalah saat paling membahagiakan dalam hidupnya dan melihat senyum Naruto adalah suatu kebahagiaan baginya.
Sasuke tak pernah tahu apa yang dimaksud dengan cinta, namun ia khawatir jika apa yang dirasakannya saat ini adalah cinta, sebuah cinta terlarang yang ditujukan terhadap sesama jenis.
Hukum di Kerajaan Hyuuga terhadap hubungan sesama jenis sangat ketat. Prostitusi bukanlah hal terlarang di kerajaan Hyuuga, namun hubungan sesama jenis merupakan hal terlarang dan hukuman yang diberikan sama berat nya dengan hukuman yang diberikan pada pemberontak. Hukuman bagi hubungan sesama jenis ialah kematian, tak peduli jiks pria atau wanita tersebut hanyalah korban pemerkosaan sesama jenis.
Sasuke khawatir jika ia benar-benar mencintai Naruto dan suatu saat akan kehilangan kendali atas dirinya sehingga berakhir dengan mencelakai Naruto. Ia tak akan membiarkan dirinya menyakiti Naruto lebih dari yang telah dilakukannya hingga saat ini.
'Haruskah aku mencoba berhubungan dengan wanita atau mungkin merasakan tubuh wanita?' batin Sasuke.
Sejujurnya Sasuke tak pernah membayangkan dirinya bercinta dengan wanita. Ia hampir tak mengenal sosok wanita selain ibu nya dan ia juga tak begitu ingat dengan pelayan wanita maupun ibu nya. Yang ia ingat, ibu nya adalah seorang wanita baik dan cantik.
Kebanyakan wanita yang ditemui Sasuke saat ini berbeda dengan ibu nya. Mayoritas dari mereka adalah wanita genit yang menjajakan diri nya atau berusaha menggoda pria yang menarik perhatian mereka dan Sasuke merasa jijik hanya dengan membayangkannya.
"Teme, ayo makan. Aku benar-benar lapar," ujar Naruto sambil mengusapkan handuk ke rambut nya yang masih basah.
Sasuke segera tersadar dari lamunan nya begitu suara Naruto terdengar di telinga nya dan ia segera berkata, "Kurasa penginapan belum menyediakan makan pagi saat ini."
"Kalau begitu berjalan-jalan saja, yuk? Sudah lama aku tidak berjalan-jalan di kota."
"Hn."
Sasuke segera bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu mengikuti Naruto yang telah terlebih dahulu membuka pintu. Sasuke segera menutup pintu dengan perlahan serta menguncinya.
Naruto dan Sasuke berjalan dengan langkah pelan meninggalkan penginapan. Matahari belum terbit ketika mereka meninggalkan penginapan dan mereka hanya berjalan-jalan menikmati udara pagi yang dingin tanpa tujuan.
"Omong-omong, apakah kau sudah sering pergi ke kota ini, teme?"
"Cukup sering."
"Sepertinya enak sekali dapat berpergian kemanapun tanpa perlu merasa khawatir akan bahaya."
Sasuke menggelengkan kepala, "Hidup sepertiku juga penuh resiko, dobe."
"Maksudmu? Memang nya hidup mu seperti apa? Kau hanya berkelana dari satu tempat ke tempat lain, kan?"
Sasuke terdiam, tak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Ia memang tak pernah mengambil pekerjaan apapun semenjak ia memutuskan untuk membawa Naruto bersamanya dan berfokus untuk melatih Naruto. Mereka berdua hidup di gunung tanpa mengeluarkan uang sepeserpun dan Sasuke masih memiliki uang dalam jumlah yang cukup banyak untuk dapat menghidupi mereka berdua selama lebih dari enam bulan meski mereka tinggal di penginapan setiap hari sekalipun.
Sasuke tak menyangka Naruto cukup polos hingga tak menyadari apa pekerjaan Sasuke yang sesungguhnya meskipun ia telah melihat sendiri Sasuke yang tengah melakukan pekerjaan nya.
"Aku menerima berbagai jenis pekerjaan. Misalnya saja seseorang memintaku untuk mengawal mereka pergi ke suatu tempat, maka aku akan mengawal mereka dan mendapat bayaran. Lalu aku juga..." Sasuke sengaja memutus ucapan nya sendiri, tak tahu bagaimana harus menjelaskan pekerjaan nya agar tak mengingatkan Naruto akan apa yang diperbuatnya beberapa bulan lalu dan menyakiti perasaan anak itu.
Naruto mengerti maksud Sasuke dan tiba-tiba merasakan nyeri tak kasat mata di hati nya. Bagaimanapun ia tak bisa melupakan apa yang telah diperbuat Sasuke dan ia hampir meneteskan air mata, namun ia tak ingin merusak suasana dan berpura-pura tersenyum, "Tak kusangka kau benar-benar melakukan berbagai jenis pekerjaan, teme."
"Tentu saja, dobe. Jika memilih-milih pekerjaan, maka aku tak akan bisa menghidupi diriku."
Naruto menyentuh dada nya sejenak dan menghembuskan nafas perlahan untuk menghilangkan rasa nyeri tak kasat mata yang dirasakan nya.
"Suatu saat nanti, aku juga ingin bekerja sepertimu," jawab Naruto dengan serius. Ia tak memiliki pilihan lain jika ia ingin hidup dengan kenyamanan, atau setidaknya tidak hidup dalam kemiskinan. Lagipula ia harus bekerja agar tak terus menerus menjadi beban bagi Sasuke.
"Kau... yakin? Mengapa kau ingin bekerja?"
Naruto mengernyitkan dahi dengan reaksi Sasuke dan menoleh kearah Sasuke serta mendapati ekspresi wajah lelaki itu tak terlihat datar seperti biasanya.
"Maksudmu? Tentu saja aku tak bisa selamanya mengantungkan hidupku padamu, teme. Aku juga tak yakin bisa mendapatkan pekerjaan yang bisa membuatku hidup dengan nyaman dengan kondisiku."
Ada perasaan tak rela dalam diri Sasuke untuk membiarkan Naruto menjalani kehidupan yang sama. Ia terkesan begitu munafik jika menginginkan yang terbaik bagi Naruto ketika ia sendiri telah merengut yang terbaik dalam hidup lelaki itu. Namun inilah yang dirasakan nya saat ini.
"Kau siap mengorbankan apapun yang kau miliki, dobe?"
"Tentu saja, soalnya aku tak memiliki apapun untuk dikorbankan," jawab Naruto dengan ekspresi tenang. Ia memang tak memiliki apapun untuk dikorbankan. Ia telah kehilangan keluarga, harta, maupun kedudukan sebagai putra daimyo, juga kehidupan nya. Saat ini tak seorangpun yang tahu jika ia masih hidup selain Sasuke.
"Baka," ujar Sasuke sambil tersenyum pahit dan mengacak surai pirang Naruto, kebiasaan yang belakangan ini dimilikinya. "Tentu saja itu yang kuharapkan sejak awal. Kau tak bisa terus mengandalkanku, dobe. Aku akan melatihmu dan setelah kau siap, kau akan melakukan pekerjaan pertamamu."
"Arigatou, teme."
"Hn."
Apa yang diucapkan Sasuke sangat berbeda dengan apa yang dipikirkannya. Ia memang sempat berpikir untuk menjadikan Naruto seorang pembunuh seperti dirinya. Namun belakangan ini ia berubah pikiran dan malah berpikir ingin melindungi Naruto serta mengajari Naruto teknik-teknik bertarung untuk melindungi dirinya sendiri.
"Omong-omong, disana itu tempat apa?" Naruto menunjuk sebuah kawasan dimana terdapat bangunan-bangunan yang terang benderang. Dari salah satu bangunan terlihat seorang geisha yang keluar bersama seorang lelaki yang terlihat agak lelah.
Terlihat beberapa kereta kuda telah menunggu untuk menjemput tuan-tuan yang baru saja menikmati malam yang panjang penuh dengan gairah bersama geisha yang telah mereka sewa.
Sasuke segera tersadar jika mereka berdua telah berjalan cukup jauh dari penginapan dan kini berjalan menuju distrik lampu merah. Biasanya di malam hari tempat ini dipenuhi maiko (calon geisha) yang berdiri di pinggir jalan untuk menyambut para lelaki agar mau datang ke okiya (tempat tinggal geisha). Pada pagi hari, hanya terdapat kusir jinrikisha (kereta yang ditarik manusia) serta kusir kereta kuda yang menjemput tuan.
"Itu tempat tinggal para geisha. Anak-anak sepertimu tak seharusnya datang ke tempat seperti itu."
"Mengapa tidak boleh? Aku tidak boleh berkunjung ke tempat tinggal penyanyi?"
Sasuke meringis saat mendengar ucapan Naruto. Naruto benar-benar polos dan dapat dipastikan jika anak itu belum memiliki pengalaman berhubungan seksual. Sudah menjadi pengetahuan umum jika keluarga-keluarga berkedudukan tinggi akan membiarkan putra-putra mereka memiliki 'pengalaman pertama' di usia tujuh belas tahun meski belum menikah sekalipun. Beberapa keluarga bahkan membiarkan putra mereka memiliki pengalaman pertama di usia lima belas tahun atau sebelunya.
"Lihatlah, lelaki muda itu bahkan keluar dari tempat tinggal geisha," ujar Naruto sambil melirik seorang lelaki yang terlihat masih sangat muda keluar dari okiya dan menaiki kereta kuda mewah.
Sasuke segera menarik tangan Naruto dan berbalik untuk meninggalkan tempat itu. Ia tiba-tiba merasa jengkel karena teringat dengan ucapan Itachi padanya untuk tak mengunjungi tempat-tempat seperti itu. Saat itu ia hanya mengiyakan saja, namun jika dipikirkan lagi, ucapan lelaki itu ada benarnya dan mungkin saja untuk kebaikannya sehingga ia merasa muak.
"Lelaki yang baik tak berkunjung ke tempat seperti itu, dobe."
Sasuke merasa ingin meludah seketika setelah menyelesaikan kalimat yang diucapkannya sendiri. Ia benci untuk mengakuinya, namun pengaruh Itachi dalam kehidupannya begitu besar meskipun lelaki itu telah menghancurkan hidupnya dan kini ia bahkan mengikuti nilai moral yang diajarkan lelaki itu padanya meskipun ia ragu jika lelaki bajingan itu masih memiliki moral.
"Maksudmu mereka semua adalah orang yang jahat? Memangnya kau mengenal orang-orang itu, teme?"
Sasuke menepuk pundak Naruto dan menyeringai, "Itulah tanda jika kau masih seorang bocah, dobe. Suatu saat nanti kau pasti akan mengerti."
"Aku bukan bocah, teme. Jangan meremehkanku!" ucap Naruto dengan suara meninggi sambil memukul lengan Sasuke.
Pukulan Naruto sama sekali tak terasa sakit bagi Sasuke dan ia menatap Naruto dengan sinis, "Terserahlah."
Naruto merasa jengkel, namun ia agak terkejut dengan reaksi Sasuke yang tak membalas pukulannya meskipun ia telah memukul lelaki itu terlebih dahulu.
"Omong-omong, kau ingin pergi ke ibukota?"
Naruto seketika menatap Sasuke dengan antusias dan menganggukan kepala. Sudah lama ia tak pergi ke ibu kota dan sejak dulu ia begitu bersemangat setiap kali keluarganya mengadakan kunjungan ke ibu kota karena ia bisa berkunjung ke bermacam-macam toko dan membeli apapun yang diinginkannya.
"Tentu saja, teme."
Sasuke tak bisa menahan diri untuk tak mengangkat sudut bibir nya sedikitpun melihat reaksi Naruto atas ucapan nya. Naruto bahkan merangkulnya dan mengucapkan 'arigato' dengan ekspresi yang dibuat-buat dan malah terlihat lucu.
Perasaan hangat kembali muncul didalam hati Sasuke saat melihat Naruto yang begitu antusias. Perasaan nya pada Naruto bagaikan kuncup yang mulai mekar, dan kini ia telah menyukai Naruto.
-TBC-
Author's Note:
Gomen ne kalau fanfict ini mulai jadi mellow & terkesan mendayu-dayu.
Sebetulnya author pengen nunjukkin sisi romance di fanfict ini, tapi rasanya malah terkesan berlebihan.
Semoga kalian suka sama chapter ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro