Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2 - THE DUCHESS & THE BAR

Apakah kau tidak lelah hidup diantara kebohongan?

Kebohongan yang dibuat oleh orang disekitarmu,

dan juga oleh dirimu sendiri.

***


Aku tidak tahu sudah berapa lama dan sejauh apa aku kabur dari White Rabbit. Berlari di sepanjang gang kecil bagai labirin. Di antara bangunan-bangunan lusuh dengan dinding lembab dan berjamur. Menghindari jalan besar dan kerumunan orang.

Pada awalnya aku tidak mempedulikan otot-otot kakiku yang mulai sakit. Tapi karena sepertinya aku bukanlah seseorang yang menggemari olah raga terutama lari, kakiku tergelincir hanya karena sebuah kerikil.

Tubuhku terjatuh ke genangan air kotor dengan cukup mengesankan. Mengakibatkan bajuku menjadi basah dan mempunyai warna coklat lumpur. Tangankupun lecet karena refleks melindungi tubuhku dari dampak kecerobohanku.

Dengan otot kaki yang nyeri dan luka-luka ini, mustahil untuk berlari lagi. Akupun memutuskan untuk mencari tempat persembunyian sementara.

Aku bersusah payah berdiri dengan tangan dan kaki gemetar, kemudian bersandar pada dinding bangunan yang dingin agar tubuhku tidak tumbang. Susah payah menyeret kakiku agar tetap melangkah, sambil melihat sekeliling mencari tempat persembunyian.

"Aku harap ini mimpi," bisikku terhadap diri sendiri.

Dan tentu saja itu hanya ucapan sebuah harapan kosong karena rasa sakit yang kurasakan sekarang benar-benar nyata. Aku memaki kebodohanku sendiri sambil berusaha mengatur napas dan detak jantung agar kembali normal.

Setelah beberapa saat mencari dengan perasaan setengah putus asa, akhirnya aku memutuskan untuk bersembunyi di gang kecil yang gelap, sepi, dan menyeramkan. Menyelinap di celah yang berada di antara dinding dan barisan tempat sampah besar.

Aku meringkuk di tempat persembunyianku dan mulai mengingat kembali kejadian yang baru saja kualami.

Alice dan White Rabbit. Nama yang tidak asing bagiku. Seperti nama yang terdapat dalam cerita klasik 'Alice's Adventures in Wonderland'. Tapi, kenapa hitam dan putih? Bukankah seharusnya merah dan putih? Dan lagi, White Rabbit MEMBAWA Alice ke Wonderland. Bukan berusaha untuk membunuhnya! Dasar kelinci gila!

Benar-benar tempat yang aneh. Lagipula, apa benar seperti dugaanku bahwa ini adalah Wonderland? Setauku, Wonderland itu seperti alam liar dengan makhluk-makhluk ajaib. Sedangkan yang ada dihadapanku tadi adalah pemandangan kota dengan bangunan dan orang berpenampilan era victoria.

Dan walaupun White Rabbit yang kutemui tadi bisa tergolong tidak normal, tapi dia berwujud manusia. Seorang pria dewasa berumur kira-kira 20-an, bukan seekor kelinci memakai rompi dan membawa jam saku yang berjalan dengan dua kaki.

Tapi, yang paling terpenting adalah tentang ingatanku. Kenapa aku tidak ingat apa-apa tentang diriku? Apakah aku Alice? Atau aku mempunyai peran yang berbeda?

'Peran'. Benar-benar pemilihan kata yang ganjil. Seakan ini hanyalah sebuah sandiwara. Atau memang ini adalah sandiwara yang dibuat untuk menghibur seseorang?

Aku tertawa kecut, geli dengan pemikiran gilaku yang lebih pantas disebut dengan khayalan. Sepertinya aku terlalu letih, membuat mentalku menjadi kacau.

Kesadaran yang setengah mati kupertahankan berangsur-angsur hilang. Aku tertidur dengan posisi tubuh yang sejak tadi tidak berubah. Meringkuk tak bergerak di celah kecil bagai tikus yang sedang bersembunyi dari pemangsanya.

Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur. Udara dingin yang menusuk tulang, kegelapan yang menyelimuti, dan aroma busuk sampah. Suasana yang masih sama dengan waktu sebelum aku tertidur. Namun, sekarang aku tidak sendirian lagi.

Aku terjaga oleh ucapan lembut seorang wanita dan tangan yang mengguncang tubuhku dengan pelan dan hati-hati. Membuatku membuka mata dan menegakkan badan secepat kilat. Terkejut dengan keberedaan orang lain di dekatku.

"Nona, apa kau tidak apa-apa?" Suara merdu seorang kembali wanita terdengar. Aku melirik sekilas pemilik suara itu. Wanita dengan raut wajah khawatir sedang berjongkok di hadapanku.

Aku merangkak menjauhi wanita cantik itu dengan canggung.

Dia kembali berbicara padaku dengan nada panik. "Nona, ada apa?! Kau ketakutan .... Apa kau diserang oleh seseorang? Apa kau terluka?!"

Pertanyaan yang keluar dari bibir merah wanita itu tak ada satupun yang kutanggapi.

Aku ingin berlari menjauh dari tempat ini secepatnya. Tapi, kedua kakiku gagal mematuhi perintah yang diberikan oleh sang otak. Otot-ototnya masih terasa seperti ditusuk-tusuk, ditambah dengan kesemutan karena terlalu lama mendekam di tempat sempit.

"Tenanglah .... Aku tidak akan menyakitimu. Aku berjanji," ucapnya dengan perlahan-lahan dan suara selembut mungkin, mencoba meredakan perasaan takutku. Seperti seorang nenek tua yang sedang berusaha menjinakkan seekor anak kucing yang menegakkan bulu-bulunya karena gelisah.

Sejujurnya, aku tidak takut kepada wanita yang sedang mengajakku bicara ini. Dia terlihat lemah bila dibandingkan denganku. Dan umurku jauh lebih muda darinya. Tentu saja vitalitas gadis yang masih muda lebih besar daripada wanita yang sudah berumur, kan?

Jadi, bila dia tiba-tiba menyerang, tentu saja aku bisa dengan mudah melindungi diri dan balik menerjangnya.

Well, sayangnya itu berlaku jika tubuhku tidak dalam keadaan babak belur begini.

Aku mengamati dengan lebih teliti sosok ramping itu sekali lagi. Dia dengan sabar menantiku untuk membuka mulut. Tersenyum dengan raut wajah bagai seorang ibu yang sedang mencemaskan anaknya. Tidak mempedulikan tatapan penuh selidikku.

"Aku tidak apa-apa. Anda tidak perlu menghiraukanku."

"Bagian mana yang tidak apa-apa?! Kau tidak bisa menilai keadaanmu sendiri?!" ujarnya geram. Manik matanya yang berwarna coklat madu melihatku dengan cermat dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan kembali memuntahkan kata-kata, "Kau penuh lumpur! Tanganmu penuh dengan luka lecet, dan lehermu ... ada bekas kemerahan seperti bekas jeratan ...."

Ekspresi wanita itu menggambarkan kengerian. Namun, dia cepat-cepat menutupinya, kembali memasang senyuman yang menyejukkan hati.

"Nona ...," sapanya lembut. "Aku tidak akan pernah menyakitimu. Jadi, maukah kau ikut denganku? Kau bisa membersihkan diri di tempatku dan akan kuobati lukamu."

Aku tak bergerak ataupun mengucapkan sepatah kata lagi.

Dia tidak menyerah untuk membujukku dan kembali berkata, "Kau pasti sedang lapar, kan? Akan kusediakan makanan dan minuman hangat ..., dan juga kasur yang nyaman. Jika tidur di sini, kau bisa mati kedinginan, nona."

Tawaran yang menggiurkan dan sulit untuk ditolak jika kau berada di posisiku saat ini.

Penampilan kotor dan bau seperti gelandangan, pakaian yang masih basah, tubuh yang pegal dan terluka, perut yang kelaparan, ditambah cuaca yang dingin menusuk tulang. Sudah jelas akan mati membeku bila aku tidur di tempat ini sampai esok hari.

Aku mempertimbangkannya sejenak sebelum akhirnya menganggukan kepala beberapa kali. "Baiklah ...."

Senyum wanita itu semakin lebar. Senyum kelegaan dan kegembiraan. Indah serta hangat. Seperti bunga christmas rose yang mekar pada saat salju turun.

Wanita yang aneh. Peduli dan khawatir seperti itu padaku, padahal baginya aku hanyalah orang asing yang baru ditemuinya beberapa menit yang lalu.

Ternyata di dunia inipun ada bermacam-macam jenis manusia.

Susah payah aku berdiri dengan bantuan dinding. Wanita itu menawarkan dirinya untuk memapahku, tapi langsung kutolak.

Aku tidak ingin terlalu banyak berhutang orang lain. Terutama pada orang yang tidak terlalu kukenal. Bahkan kami belum saling mengetahui nama masing-masing.

"Ayo, hanya beberapa bangunan dari sini." Dia melangkah dengan pelan, berusaha menyesuaikanku yang berjalan dengan tertatih-tatih.

Tidak sampai 5 menit kami berjalan dalam diam, dia membuka pintu sebuah bangunan tua sederhana berwarna abu-abu kusam. Aku memasuki bangunan itu dengan ragu-ragu.

Sang pemilik rumah tak mempedulikan keenggananku, hanya berkata sambil tersenyum manis, "Maaf, kita masuk dari pintu belakang. Lantai satu adalah bar ... dan sedang ramai oleh pelanggan. Kurasa kau tidak ingin dilihat orang lain dengan penampilan begitu, kan?"

Terdengar samar suara beberapa orang yang sedang bercengkrama ditemani dengan alunan musik yang menenangkan dari suatu ruangan.

Well, dia benar.

Aku mengamati sekelilingku. Di dalam bangunan juga sama sederhananya dengan penampilan luar. Ruangan dan lorong yang sedang kulewati bercat coklat muda. Warnanya sudah mulai pudar. Dan aku tidak melihat perabot atau barang yang mencolok. Menandakan bahwa sang pemilik tidak terlalu bersusah payah dalam perawatan rumah maupun mendekorasinya.

Dia menaiki satu-dua anak tangga yang mengarah ke lantai dua dan berhenti. Seakan teringat sesuatu, dia menoleh padaku. "Apa kau perlu bantuan?"

"Tidak. Kakiku hanya kram otot, bukannya terluka atau patah," jawabku tegas.

Wanita itu tersenyum menyerah. "Baiklah ...."

Aku naik menuju lantai dua sambil bertumpu pada pegangan tangga. Benar-benar melelahkan. Napasku terengah-engah begitu tiba di ujung tangga.

Di depan mataku terpajang lorong dengan beberapa pintu menempel pada dindingnya. Sewarna dan sesuram dengan lorong lantai satu.

Wanita penolongku tidak berhenti. Dia terus berjalan menyusuri lorong sampai ke ujungnya.

"Ini adalah kamar mandi. Sebaiknya kau membersihkan diri terlebih dahulu. Tunggulah sebentar, akan kubawakan kau pakaian ganti."

Bola mataku mengikuti ke arah tubuh feminin itu bergerak, sampai sosok itu lenyap di balik pintu. Masuk ke sebuah ruangan yang tak jauh dari tempatku berdiri.

Kumasuki kamar mandi di hadapanku tanpa menunggu wanita itu membawakan pakaian. Aku membasuh wajah dengan air sedingin es yang mengalir dari keran wastafel, lalu menatap pantulan diriku sendiri di cermin.

Rambut panjang lurus sehitam bulu gagak yang kusut dan kotor oleh cipratan lumpur. Wajah pucat. Mata sayu dengan iris berwarna emas kekuningan sayu. Warna bibir yang mulai membiru. Leher dengan bekas cekikan seseorang yang hampir hilang. Penampakan yang menyedihkan.

Aku menghela napas panjang ketika ada suara ketukan. Daun pintu terbuka dan kepala wanita penolongku mengintip ke dalam.

"Ini handuk dan pakaian ganti, semoga pas di tubuhmu. Aku juga membawakan obat dan perban untuk lukamu," katanya sambil menyodorkan barang-barang tersebut.

"Terima kasih."

"Aku The Duchess, tapi orang-orang lebih sering memanggilku dengan Madam Duch. Kalau kau ..., siapa namamu?" ucapnya ragu. Takut jika pertanyaannya membuatku tersinggung.

The Duchess, ya ....

Jadi, dugaanku benar kalau ini dunia dalam cerita 'Alice's Adventures in Wonderland'?

Tapi ada yang berbeda.

... aku harus menyelidikinya lebih dalam sebelum mengambil kesimpulan akhir.

"Joker," jawabku. "Anda bisa memanggilku Joker." Kebohongan yang terucap dengan lancar dari bibirku yang pucat.

Lalu aku menutup pintu dan menguncinya, mengisyaratkan pada si wanita bahwa aku ingin sendirian. Saat ini juga.

Aku melucuti satu persatu pakaianku, detik berikutnya membiarkan tubuhku dihujani oleh air hangat yang keluar dari shower. Tanpa memikirkan apapun. Tak ingin memikirkan apapun. Sampai rasa sakit yang berasal dari lukakupun tak kupedulikan.

Aku berdiam diri di bawah guyuran air shower cukup lama, sampai sejumlah kerutan terbentuk di telapak tanganku. Dengan gerakan lambat aku menggosok kulit tubuh serta mencuci rambutku. Berusaha menghilangkan kotoran dan kenangan buruk yang baru saja terjadi.

Selesai membersihkan diri dan mengenakan gaun tidur berwarna putih gading yang disediakan oleh Madam Duch, aku mengobati luka-luka yang aku dapatkan hari ini.

"Sakit ...," keluhku lirih, yang tentu saja tak dapat di dengar oleh siapapun. "Aku harap aku tak akan pernah bertemu lagi dengan kelinci gadungan itu. Jikapun bertemu, akan kuhajar dia. Sebagai ucapan terima kasih untuk hari ini."

Aku bersungut-sungut seorang diri sambil melangkahkan kaki telanjangku keluar dari kamar mandi.

Di lorong, tepatnya di depan pintu ruangan yang tadi dimasukinya, Madam Duch berdiri mematung sendirian. Kepalanya menoleh ke arahku ketika dia mendengar pintu kamar mandi terbuka.

"Kau sudah selesai? Kau sudah mengobati lukamu dengan benar, kan?" Senyumnya yang indah itu tidak hilang. Tetap menempel di wajahnya yang masih cantik, walaupun umurnya kutebak sudah kepala tiga.

Aku menjawabnya dengan pertanyaan, "Apakah anda berdiri cukup lama di sana menungguku keluar dari kamar mandi?"

Benar-benar wanita aneh.

"Aku menunggumu hanya sebentar saja. Aku sibuk menyiapkan makanan dan minuman hangat di dapur ketika kau mandi."

Madam Duch berjalan ke sampingku kemudian tangannya menggandeng tanganku. Dingin.

Dia juga seorang pembohong.

Aku dibawa masuk ke dalam kamarnya. Sebuah ruangan beralaskan karpet lembut berwarna coklat dan wallpaper merah muda pucat yang masih bagus menghiasi dindingnya.

Di sana terdapat kasur double size yang ditutupi dengan seprei merah, meja rias antik dengan berbagai macam barang untuk bersolek, dan meja tulis yang di atasnya ada senampan menu makan malam yang masih hangat.

Semangkuk sup tomat, sepiring fish and chips, segelas coklat dan air putih hangat. Menu yang sederhana, namun berhasil membuat mulutku memproduksi air liur berlebihan.

"Semoga cocok untuk lidahmu. Makan dan beristirahatlah di sini. Kau bisa tidur kasurku. Tidak perlu sungkan," ucapnya dengan nada keibuan.

Madam Duch keluar setelah mengucapkan selamat malam. Membiarkanku sendirian di kamarnya.

Setelah memastikan suara langkah kaki Madam Duch menjauh, aku mulai melahap makanan dengan rakus. Jamuan yang sederhana tapi sangat lezat. Aku berhasil membersihkan piring dan gelasnya sampai mengkilap dalam waktu singkat.

Kemudian aku berjalan menuju kasur dan merebahkan tubuhku di atasnya. Lembut dan hangat. Rasa lelah yang sempat hilang kini muncul lagi. Membawa serta rasa kantuk yang luar biasa. Tanpa memakan waktu lama, akupun terlelap. Berpetualang di dunia mimpi, yang tak bisa kuingat kembali ketika terbangun.

***

Thanks for reading.

Please vote or comment if you like it.

-Dire

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro