Chapter 1 - WHO ARE YOU?
Suatu hari, kebahagiaan itu akan berakhir.
Mengetahui itu, apa kau akan tetap bisa menikmatinya?
***
Bangunan tua bergaya victoria, orang-orang yang berlalu lalang dengan pakaian yang tak kalah klasik, dan langit kemerahan yang menandakan matahari hampir tenggelam. Itulah pemandangan yang kulihat ketika membuka mata.
Di mana ini?
Saat tersadar, tubuhku terbaring di pinggir jalan. Jalanan ramai yang dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk dengan diri mereka sendiri dan tidak peduli pada seorang gadis yang tak dikenal tergeletak tak sadarkan diri. Jangankan menolong, melirikku saja tidak. Seolah aku ini makhluk tak kasat mata.
"Apa kepedulian antar sesama manusia sudah tidak ada lagi?" gerutuku sambil berdiri sambil melihat sekeliling dengan hati-hati. "Orang-orang berpakaian aneh. Apa hari ini sedang ada parade?"
Aku melangkahkan kaki tak tentu arah tanpa bersuara. Pemandangan yang terlihat asing ini lama-kelamaan membuatku resah. Tempat yang terdapat banyak orang tapi terasa sepi. Orang-orang seperti robot yang memakai wujud luar manusia. Tanpa ekspresi dan hanya melakukan apa yang sudah diprogramkan pada mereka. Hampa. Seperti tempat itu.
'Tempat itu'?
Dimana?
Kenapa keadaan ini tak asing?
Merasa kesepian di tempat ramai. Merasa sedih di tengah kegembiraan. Perasaan yang bertolak belakang dengan tempatmu berada. Menyesakkan.
Menyebalkan! Aku tidak suka suasana di sini!
Aku berusaha menyingkirkan pikiran yang mengganggu dan tidak berguna dari otakku. Ini bukan waktunya untuk mengkhawatirkan hal yang tidak penting seperti itu. Yang terpenting, sekarang aku harus mencari tahu tempat apa ini dan kenapa aku bisa berada di sini.
Ketika aku memutuskan untuk bertanya pada salah satu orang lewat, terdengar suara lembut dan ramah seorang pria.
"Nona, apa kau baik-baik saja?"
Kutolehkan kepala ke arah sumber suara itu. Seorang pria muda berambut hitam berdiri tak jauh dari tempatku berada, menatapku sambil tersenyum. Mata violetnya yang indah namun, entah kenapa, terlihat menyimpan kekejaman memperhatikanku dengan seksama.
Dia sedikit menelengkan kepalanya kesamping, memasang ekspresi tanya ketika aku tidak menjawab dan hanya memandangnya dengan tatapan curiga.
Pria itu mendekat beberapa langkah. Mengamatiku beberapa saat kemudian berkata, "Kau tidak perlu memasang wajah seram seperti itu, young lady. Itu bisa merusak wajah cantikmu. Tenang saja, aku bukan orang yang mencurigakan ..., mungkin."
'Mungkin'? Benar-benar perkataan yang tidak bertanggung jawab.
Jemari tangan pria itu menyentuh lembut pipiku. Kulitnya yang dingin semakin membuatku bergidik. "Sepertinya tidak baik-baik saja. Kau tampak gelisah dan pucat."
Kau penyebabnya, bodoh!
"Terima kasih atas perhatianmu, tapi aku tidak apa-apa. Singkirkan tanganmu!" jawabku ketus sambil menepis tangannya.
"Kau dingin sekali, young lady .... Aku hanya mengkhawatirkanmu," katanya sambil memasang wajah sedih dan terluka.
Dasar rubah jantan! Apa dia pikir aku tidak tahu kalau dia hanya pura-pura?
Pria ini memang terlihat ramah dan baik, tapi instingku berkata bahwa dia adalah orang yang berbahaya. Sebisa mungkin aku harus menjauh darinya.
Pria itu bertanya keheranan begitu melihatku melangkah secepat kilat untuk menhindarinya. "Kau mau kemana, young lady?"
Aku tak menjawab dan semakin menambah kecepatan berjalanku, nyaris seperti berlari, menuju kerumunan orang untuk membaur dengan yang lain. Sialnya hal itu tidak banyak membantu karena gaya pakaian kami yang sangat berbeda. Ketika aku menoleh ke belakang, pria berambut hitam itu mengikutiku.
"Jangan mengikutiku!"
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Dan lagi aku khawatir kau akan pingsan lagi."
"Aku mau kemana itu bukan urusan---"
Aku belum menyelesaikan kalimatku ketika pria itu menggenggam kasar tanganku dan menyeretku ke gang kecil gelap yang terletak di sela antar bangunan kotor dan dingin. Menjepitku di antara dinding dan tubuhnya yang tinggi. Dengan gerakan cepat tangan kanannya mencengkeram daguku dan mendongakkan wajahku. Terpaksa aku menatap wajahnya, yang terpaksa harus kuakui, tampan namun menyebalkan itu.
Pria itu masih tersenyum, tapi mata violetnya memandangku dengan arogan dan kurang ajar.
"Kalau begitu, akan kuganti pertanyaannya." Nada bicara yang tadinya ramah berganti menjadi intimidasi. "Siapa kau? Apakah kau Alice?"
"Apa maksudmu? Aku bukan Alice." Aku menatapnya dengan pandangan tajam, tidak ingin memperlihatkan ketakutan yang dari tadi kurasakan terhadap pria ini.
"Begitu? Jadi kau salah satu pion juga?" Dia tersenyum, seketika raut wajahnya berubah menjadi kekanakan. "Hitam atau putih? Jadi siapa yang kau perankan? Ngomong-ngomong aku berperan menjadi White Rabbit. Bukankah itu sangat manis dan imut? Walaupun aku tidak mengerti seperti apa perannya."
Orang ini mengoceh apa sih?
'Pion'?
'Peran'?
Aku benar-benar tak mengerti apa yang dibicarakannya. Lagipula kenapa dia yang menjadi White Rabbit? Benar-benar tidak cocok. Ini sama saja dengan penghinaan terhadap kaum kelinci di belahan dunia manapun. Apa dia tidak salah sebut dengan White Fox?
"Hei, kenapa kau diam saja?" Perkataan tajam dari 'White Rabbit' memulihkanku dari lamunan. Senyum palsunya yang mengesalkan telah hilang. Raut wajahnya berubah serius dan penuh kecurigaan. "Jadi apa peranmu?" tanyanya lagi.
"Aku tidak tahu apa yang kau maksud," jawabku. Aku berusaha agar suaraku terdengar tenang untuk menutupi rasa takut dan gelisah yang semakin lama semakin bertambah besar.
Apa artinya ini? Alice? White rabbit? Orang yang tidak kukenal, nama yang langka, dan perkataannya yang luar biasa aneh. Benar-benar membuatku tidak tahu harus berkata apa. Apakah sekarang aku sedang berada di dunia mimpi?
"'Tidak tahu'? Jangan berbohong, gadis kecil. Apa kau tidak diajari oleh orang tuamu kalau berbohong itu tidak baik?" Mata White Rabbit menyipit. Seperti seekor predator yang siap menerkam mangsanya kapanpun dia mau.
"Aku tidak berbohong." Seluruh tubuhku mengkhianatiku. Tanganku mulai gemetar dan terasa dingin. Aku yakin pria di hadapanku ini tahu jika aku sedang ketakutan setengah mati. Tapi aku tetap membalas kata-katanya dengan tajam. "Dan lagi, memangnya kau tidak diajari oleh orang tuamu kalau jangan berbuat kasar pada seorang lady? Bisakah kau menyingkirkan tanganmu dariku?"
Pria brengsek di depanku tertawa mengejek begitu mendengar perkataan yang keluar dari mulutku.
"Apakah aku membuatmu takut? Maafkan kelancanganku, lady .... Aku sangat menyesal," ucapnya, sama sekali tidak menyiratkan penyesalan. Dia juga tidak melepaskan cengkramannya dari daguku yang mulai terasa sakit.
"Aku tak perlu kata-kata kosongmu," cemoohku.
Dia tak menggubris perkataanku dan kembali melontarkan pertanyaan, "Jadi, apakah kau Alice?"
"Aku bukan Alice! Kau salah mengenali orang."
"Jika kau bukan Alice, lalu siapa namamu?"
"Namaku---"
Huh? Siapa namaku? Kenapa aku tidak bisa mengingatnya?
Lagipula, dimana ini? Aku tidak familiar dengan pemandangan di tempat ini. Bangunan, jalanan, dan orang-orang yang berlalu lalang .... Semuanya tidak kukenal.
Aku merasakan aliran darahku turun ke kaki. Membuat tubuhku menggigil.
Melihatku memucat, White Rabbit berkata sambil menyeringai, "Ada apa? Kau sedang memikirkan nama samaran? Mau kubantu?"
"Bukan! Aku hanya tidak bisa mengingat apa-apa! Mungkin kepalaku terbentur keras lalu pingsan di tempat aku terbaring tadi dan mengakibatkan amnesia." Dari pada untuk menjawab pertanyaannya, alasan itu adalah alasan yang kubuat-buat untuk menenangkan diriku sendiri.
"Amnesia? Kau serius?"
Aku tak menggubris pria itu lagi. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam otakku.
Siapa aku?
Dimana aku?
Apa yang telah terjadi padaku?
"Hei, apa kau mendengarku?" tanya White Rabbit tak sabar. "Kau serius berpikir bahwa aku akan percaya dengan cerita kacangan seperti itu? kau membuat kesabaranku habis. Well, sebenarnya aku tidak peduli kau ini Alice atau bukan. Siapapun kau, aku harus membunuhmu sekarang."
Tangan dingin White Rabbit yang semula mencengkeram daguku sekarang berpindah ke leherku dan mencekiknya.
"Apa yang---," kataku terbata-bata. Jeratan tangannya membuatku kesulitan bernapas.
Aku berusaha melepaskan tangannya dari leherku. Tapi pria ini terlalu kuat. Tenagaku yang semakin melemah tidak membuat tangannya bergeming.
Tenang .... Aku harus tenang. Berpikirlah. Aku harus mencari cara agar pria ini menjauhkan tangannya dari leherku.
Kukumpulkan semua kekuatan yang tersisa di kaki kiriku. Kutendang sekuat tenaga tulang kering White Rabbit dengan ujung depan sepatuku.
Seketika cekikan di leherku lepas. Lelaki itu memegangi kakinya yang kutendang sambil mengaduh. Walaupun napasku masih tersengal-sengal, tanpa melepas kesempatan sedetikpun, aku mengambil sebongkah balok kayu tak jauh dari tempat kami berada. Dengan kekuatan yang sudah berangsur kembali, aku memukul kepala penyerangku itu.
Pria itu berteriak kesakitan sebelum tubuhnya ambruk ke jalanan yang lembab dan dingin. Dia mengerang sambil memegangi kepalanya di tempat yang tadi kuhantam.
"Gadis keparat," makinya seraya melemparkan tatapan berang penuh kebencian kepadaku.
Sial! Dia tidak pingsan.
Walaupun White Rabbit tidak kehilangan kesadarannya, kurasa dampak dari seranganku cukup membuatnya lumpuh untuk sementara. Tanpa membuang-buang waktu, aku berlari menjauh darinya. Berlari sekuat tenaga melewati bangunan-bangunan tua asing ditemani dengan langit yang telah menggelap dan teriakan amarah White Rabbit yang semakin samar terdengar.
---
Halo, salam kenal ....
Terima kasih kepada siapa saja yang meluangkan waktu untuk membaca cerita saya.
Saya sadar diri masih ada kekurangan dalam karya ini.
Jadi, silahkan meninggalkan jejak di kolom yang telah disediakan jika ada komentar, masukan, maupun kritik. :)
Sekali lagi, thanks a lot.
Dire
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro