Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 - Insiden Buku

'Bagaimanapun, menerima kehadiran keluarga baru selalu tidak pernah mudah. Sedekat apa pun, selalu ada sekat yang tidak tampak.'

***

"Apa aku masih layak jadi sahabat kamu, Niko?" Niki mengatakannya dengan nada pelan. Pandangannya teralih ke langit siang yang cerah tak berawan.

Niko terdiam, mata bahkan seluruh tubuhnya langsung memusatkan perhatian pada Niki. Ketika mereka beradu pandang, terlihatlah bahwa kedua mata Niki berkaca-kaca.

Diamnya Niko justru membuat kesedihan makin berkumpul di hati cewek itu. Pikirannya sudah ke mana-mana saja, mengiakan tuduhan-tuduhan yang mengoyak kepercayaan dirinya.

"Nik ...." Dengan takut-takut, Niki memanggil. Bibirnya sudah gemetar tidak karuan, sementara dadanya makin sesak saja.

Membayangkan benar-benar berpisah dar Niko, membuat separuh kebahagiaannya runtuh.

"Siapa yang bilang kalo kamu nggak layak jadi sahabat aku?" Akhirnya cowok itu bersuara, meski datar dan dengan tatapan tajam.

Niki menunduk, setetes air matanya jatuh. Tiba-tiba Niko menggenggam tangan kirinya dan membawanya ke tempat kosong di tengah-tengah mereka.

"Banyak," cicit Niki, kemudian menghela napas dan bergetarlah pundaknya.

Ternyata sesakit ini bersahabat dengan cowok populer.

"Nik," nada bicara Niko melembut, "sahabat kamu itu siapa? Orang yang harus kamu percaya itu siapa? Dibanding mereka, siapa yang kamu kenal lebih dulu?"

Cecaran dari Niko membuat tangis Niki terhenti. Dengan sebelah tangan, dia mengusap sisa air mata. Niko yang melihat itu jelas saja langsung mengambil alih.

Beberapa hati cewek yang mengintip atau tidak sengaja melihat, langsung kebakaran saat melihat Niko mengusap air mata di pipi Niki. Teramat romantis untuk ukuran teman!

"Sampai kapan pun kamu tetap dan akan selalu layak jadi sahabat aku, Niki. Nggak perlu mikirin ucapan mereka. Yang nyinyir itu terlalu ngiri, tapi keinginannya nggak kesampean. Makanya berusaha jatuhin mental orang," nasihat Niko sembari terus mengusap-usap lembut pipi mulus sahabatnya.

Mulus versi natural, tanpa polesan make up seperti kebanyakan cewek yang mendekatinya selama ini.

"Tapi ...." Ucapan Niki terhenti ketika telunjuk Niko terangkat di dekat mulutnya.

"Aku nggak suka orang yang aku sayangi ngejauh dari aku, apalagi dia sudah punya janji," kata Niko, datar tetapi mencurahkan penuh perasaannya.

Niki jadi terdiam setelah mendengar ucapan sahabatnya.

Sebenarnya dia ingin mengungkapkan bahwa hal yang membuatnya tidak percaya diri adalah ancaman nyata. Kejadian perundungan beberapa hari lalu benar-benar masih menghantuinya.

"Kenapa kamu nemuin sutet nyebelin itu?" celetuk Niko, mengalihkan topik. Nadanya kembali ketus ditambah muka yang tertekuk.

"Ha?" Mulut Niki menganga, sementara matanya memelotot pada Niko.

Niko menghela napas. "Siapa lagi kalau bukan ketua gadungan itu?" katanya, tampak begitu enggan membahas orang itu.

"Oh." Suara Niki memelan meski kepalanya mengangguk-angguk. Entah mengapa dia jadi ragu mau jujur, soalnya Niko selalu tampak marah jika dia membahas atau berhubungan dengan Joshua.

"Oh doang?" sinis Niko, menyipitkan mata setajam mungkin seolah siap menguliti Niki.

Kaki Niki jadi bergerak-gerak gelisah, memainkan rumput dan daun-daun kering di bawahnya. "Yaaa, itu aku balikin jaket doang, sih," bebernya, terdengar ragu-ragu.

"Kok, bisa?"

"Yaaa, jaketnya aku pinjem, lah."

Niko menjitak pelan kening Niki sampai poni cewek itu sedikit berantakan.

"Aku ...."

Bel berdering nyaring, memaksa obrolan terhenti. Niki merasa terselamatkan, sementara Niko tentu saja kesal karena belum mendapat jawaban. Namun, dia belum mau menyerah, kalau menyangkut urusan Niki.

"Perasaan kemarin nggak hujan," celetuk Niko ketika berhasil menyusul Niki. Cewek itu buru-buru pergi setelah mendengar bel. Kentara sekali ingin menghindarinya.

Niki diam. Keramaian koridor sedikit memberinya alasan untuk mengulur waktu sebelum menjawab. Banyak murid cewek berlari-lari kecil menuju kelasnya, berbeda dengan para murid cowok yang terlihat santai.

"Soalnya aku .... Bajuku basah." Niki mengungkapkan jawaban setelah lama terdiam.

Jawaban yang tidak memuaskan.

"Kamu bohong, ya? Nutupin sesuatu?" terka Niko.

"En—"

"Niki, Niko! Tolong bantu Ibu bawa buku paket," potong seorang guru wanita yang tampak kesulitan membawa setumpuk buku paket.

Niki segera berlari untuk membantu, sekaligus menghindari Niko.

***

Cowok itu menuruni anak tangga dengan pelan-pelan karena sambil mengecek kelengkapan isi tas. Belum lagi membetulkan letak jam dan dasi. Perhatiannya baru terkumpul ketika melihat seorang pria yang tengah duduk di sofa ruang tengah.

Posisi tangga marmer krem yang bergaya setengah melingkar tentu saja membuat matanya langsung bisa menangkap kehadiran sang ayah. Malah, pria itu melempar senyum lebih dulu kepadanya.

"Pa." Dia menyapa sekaligus mencium punggung tangan kanan orang tua tunggalnya itu.

"Udah siap pergi, hm?" Di muka tua pria itu, senyum tetap terpatri.

"Iya, Pa."

"Hati-hati kalau bawa motor, jangan ngebut-ngebut," pesan sang ayah seraya mengelus pundak kiri Joshua.

"Siap, Pa. Papa juga hati-hati pas di jalan menuju kantor." Joshua membalas disertai senyuman.

"Papa hari ini nggak ke kantor dulu," kata ayahnya. Matanya menerawang dengan bibir yang makin lebar tersenyum.

"Lho, Papa sakit?" terka Joshua, kentara langsung panik, bahkan sampai berdiri.

Ayahnya tertawa kecil. "Kamu ini, doain yang nggak bener ke orang tua."

"Bukan gitu kali, Pa," sangkal Joshua, kembali duduk dengan tenang.

Tiba-tiba suasana jadi hening. Hanya terdengar samar mesin cuci di dapur, terus ada denting benda-benda disertai harum makanan. Pasti para ART sedang sibuk bekerja. Kegiatan rutin di pagi hari.

"Shua, bagaimana kalau Papa nikah lagi?" Pertanyaan pria itu bergema lalu terabaikan cukup lama.

Lidah Joshua mendadak kelu, belum lagi tenggorokan yang tiba-tiba kering.

"Maaf jika Papa egois, tetapi ... Papa juga merasa kesepian setelah kepergian ibumu," imbuh pria itu. Harap-harap cemas menunggu jawaban anaknya.

Joshua menghela napas. Kalau sudah begini ....

"Aku terserah Papa. Bagiku, kalau Papa bahagia, aku ikut bahagia. Karena, maaf, sampai hari ini aku belum bisa bahagiain Papa," ungkap cowok itu, begitu tenang dan santai memberi jawaban. Seolah melupakan bahwa sedang terjadi badai di hatinya.

Bagaimanapun, menerima kehadiran keluarga baru selalu tidak pernah mudah. Sedekat apa pun, selalu ada sekat yang tidak tampak.

"Kamu ini ngomong apa?" Pria itu meninju pelan pundak Joshua.

"Hehe," Joshua nyengir lebar, "kan, sesuai fakta, Pa."

Ayahnya tertawa lepas, hal yang membuat hatinya selalu terasa lebih ringan. Maka, sepertinya tidak ada salahnya mengizinkan sang ayah menikah lagi. Demi kebahagiaan pria itu.

"Ya udah, aku berangkat dulu, ya, Pa," pamit Joshua. Mengambil jaket biru dongker yang tersampir di kursi, kemudian menghampiri sang ayah.

"Baiklah. Terima kasih sudah mengizinkan Papa, ya." Pria itu lagi-lagi tersenyum, bertambah lebar saat Joshua mencium tangannya.

Belasan tahun membesarkan anaknya ini sendirian, tidak terasa sekarang seorang Joshua Ghazanvar sudah besar. Sepertinya sebentar lagi dia akan kedatangan tamu spesial yang akan memberikan cucu.

Topik mengejutkan pagi ini tentu saja mengganggu pikiran Joshua. Sepanjang melangkah menuju parkiran, dia terus melamun. Untung menghampiri motor yang benar, mengambil helm yang biasa, dan memasukkan kunci motor dengan mudah.

Hanya saja, ketika meritsletingkan jaket, dia kelepasan sampai kerahnya menutupi mulut. Aroma yang feminim itu menggelitik hidungnya, membuat kesadarannya langsung pulih.

Bau ini .... Bibirnya melengkung tanpa dikomando.

Salah satu jaket favoritnya itu baru dikembalikan seorang cewek setelah menginap semalaman.

Sekelebat wajah Niki muncul di otaknya. Senyum Joshua makin lebar saja. Hanya saja segera lenyap ketika ingat apa yang telah menimpa cewek itu beberapa hari lalu.

Tiba-tiba, satu tanya muncul di benaknya. Seperti apa hubungan antara Niki dan Niko?

***

Niki sedang menelisik deretan buku yang berbaris rapi di rak buku bagian novel. Matanya memelotot, sesekali menyipit ketika mengecek setiap judul. Kemarin dia baru selesai membaca novel fantasi seri kesatu di perpustakaan sekolah. Sepertinya seri berikutnya masih ada di sini.

Sebenarnya, dia bisa saja memasang aplikasi baca di ponsel. Namun, memegang dan membaca langsung dari buku fisik, rasanya akan lebih beda. Lebih spesial.

Senyum Niki melebar saat menemukan buku yang tengah dicari. Untung letak buku itu bisa terjangkau dengan mudah olehnya. Dia pun segera mengulurkan tangan untuk mengambil buku.

Bukannya berhasil didapatkan, buku itu justru seperti menolak tarikan darinya.

"Eh?" Tanpa sadar Niki berkata demikian.

Buku akhirnya bisa diambil, tetapi lubang yang ditinggalkan membuat wajah seseorang muncul.

"Astaga!" Jantung Niki seperti melompat ke perut saat menyadari ada orang yang menatapnya dari seberang rak. Tatapannya begitu mengerikan.

Suaranya cukup melengking karena perpustakaan cukup sepi. Makanya buru-buru menutupi mulut sampai membuat buku tebal itu jatuh dan menimpa kedua ujung kakinya. Teriakannya untung lebih dulu teredam sebelum menimbulkan kekacauan tambahan.

Langkah seseorang mendekat. Aroma parfum yang familier bagi Niki makin menguat.

Cowok itu berdiri di dekatnya, menatap datar dengan kedua tangan tersimpan di saku. Melihatnya, Niki menahan napas karena ngeri.

Tanpa berkata-kata, Joshua menunduk, hendak mengambil buku yang tergeletak di dekat kaki Niki. Cewek itu menggeser badan, agak menjauh dari Joshua sehingga cowok itu bisa mengambil buku dengan tenang.

"Minjem ini juga?" Joshua bertanya dengan nada sepelan mungkin. Agar terdengar jelas, dia mendekati Niki dan berdiri selangkah di samping kiri cewek itu.

Niki mengangguk, terlalu sulit menggerakkan lidah.

Suasana canggung dengan cepat tercipta. Tiba-tiba saja keduanya kehilangan kata untuk dikeluarkan, tetapi bukan karena peraturan perpustakaan.

Niki merasakan jantungnya berpacu lebih cepat dan kencang, sementara cowok di sampingnya entah bagaimana. Dia tampak fokus melihat-lihat buku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro