Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5 - Salah

'Kata pembawa petaka. Apalagi yang terucap dari mulut buaya.'

***

Seandainya Joshua adalah seekor kerbau sakti, niscaya dari hidungnya akan keluar kepulan asap hitam dengan muka bak besi panas. Untungnya, cowok itu masih manusia bermuka tampan—meski lebih sering ditampilkan dalam mode judes dan galak—dan masih mengeluarkan napas seperti biasa.

Joshua menghela napas setelah mendengar kata-kata pedas Niko yang mendebat pernyataannya. "Tulis alasan lain selain demi Niki," titahnya, terakhir bicara. Karena setelahnya, dia berbalik dan melangkah pergi.

Permainan yang telah selesai, membuat para junior mengobrol dengan nada pelan di tempat semula. Termasuk Niki dan timnya yang sedang berbahagia karena keluar sebagai juara satu. Namun, kebahagaiannya lenyap begitu saja ketika mendengar Joshua menyebut namanya dengan ekspresi jengkel.

Dia tahu karena sejak tadi berusaha keras untuk bisa menguping dan tidak henti melempar pandang pada kumpulan senior itu.

Apalagi pas melihat Niko menendang angin. Dia tahu, pasti cowok itu benar-benar kesal.

"Pertemuan sore ini berakhir, ya. Silakan membubarkan diri dan hati-hati di jalan," kata Lili.

Sebelum barisan benar-benar bubar, mereka melakukan tos perpisahan sebagai keakraban. Gayanya berupa beberapa gerakan tangan yang diadu. Niki lumayan sudah menghafal gerakan itu.

Sekarang Niki tengah bersama Niko di area parkir sekolah, menunggu cowok itu mengeluarkan motor dari impitan mobil. Padahal di sana bukan tempat parkir mobil.

Sejak berangkat sampai sepanjang perjalanan, Niko memasang muka yang tidak enak dipandang. Belum lagi tiba-tiba dia jadi bisu. Mulutnya setengah menggunung dengan mata yang berkali-kali menghindari tatapan Niki.

"Nik!" Terlalu gemas dengan sikap diam sahabatnya, Niki mencubit pinggang Niko.

Cowok itu mengaduh. Motor nyaris oleng. "Kamu mau bikin kita jatuh, Nik? Jatuh cinta, sih, iya. Aku mau. Lah, kalo jatuh dari motor terus tubuh atau bahkan mukaku yang lecet, gimana? Kamu mau tanggung jawab? Untung kalo aku oplas jadi mirip Jeon Jungkook, Cha Eunwoo, Asahi, atau Jaemin. Gimana kalo—"

"Berisik! Tuh, cewek-cewek natap ke kamu," potong Niki karena kesal mendengar cerocosan Niko. Cowok itu berteriak masalahnya.

Mereka berhenti di lampu merah. Jelas saja cerocosan Niko bisa mengundang banyak perhatian.

"Ya makanya. Jadi penumpang tuh diem aja di belakang. Gosah maen nyubit-nyubit, geli tahu!" omel Niko, masih dongkol.

Niki merengut, kembali memukul pelan pundak kanan Niko. "Abisnya kamu kayak kesel terus sejak tadi. Kenapa, sih? Gara-gara Kak Shua?"

"Shua, Shia. Geuleuh aing sama cowok songong itu!" sembur Niko, begitu menggebu-gebu.

Di belakangnya, tubuh Niki sedikit bergetar karena menahan tawa. "Emangnya tadi ada apa, sih? Kayaknya bawa-bawa aku."

Lampu merah berganti hijau. Niko mulai menarik gas, mendahului motor dan mobil yang tadi berjejer—tidak terlalu—rapi di belakang zebra cross.

"Aku gak diizinin masuk PMR, padahal udah isi formulir," beber Niko, berteriak sekencang mungkin agar Niki mendengar.

"Apa? Kamu muntaber?" Niki balas berteriak.

"Takbir, takbir apaan, sih?"

Niki membuka kaca helm. "Kok, jadi bawa-bawa tukang parkir. Kamu bikin ulah?" Dia menelengkan kepala ke kanan, menaikkan volume suara.

"Apaan?" Niko melirik Niki dari spion. Dia berdecak jengkel dan berakhir memilih tidak menjawab.

"Apa apaan, sih, Nik?" Niki masih mengajak bicara, tetapi diabaikan.

Habisnya percuma. Ngobrol di atas motor dalam keadaan ngebut dan angin kencang hanya akan menguji iman.

"Tadi apaan, sih, Nik, jawabannya?" Niki sepertinya tidak sabar lagi untuk mengetahui jawaban dari sahabatnya.

Niko menghela napas, menatap datar pada sahabatnya yang sudah turun dari motor di depan gerbang masuk rumah. "Keknya kamu perlu ke THT, deh." Dia garuk-garuk ke kening.

"Perasaan telingaku masih normal. Nih, buktinya masih bisa denger kamu ngomong," kata Niki sembari meraba-raba kedua telinganya.

Kembali terdengar helaan napas dari mulut Niko. Cowok itu mencondongkan tubuh ke dekat Niki yang masih memeriksa kedua telinganya. "AKU BILANG AKU DITOLAK MASUK PMR PADAHAL UDAH ISI FORMULIR!" bentaknya diakhiri senyuman.

"Ih, bau jengkol!" Niki mengibas-ngibaskan tangan di depan mukanya. "Aduh!" Satu jitakan dari Niko mendarat di kepalanya.

"Sembarangan! Mulutku wangi gini, kok. Orang tampan mana ada bau mulut," protes Niko. Dia turun dari motor setelah menurunkan standar.

"Heleh, bohong. Setampan-tampannya cowok, tetap aja bau jigong kalau baru bangun tidur." Cibiran Niki benar-benar membuat Niko kesal bukan main.

Untung cewek di sampingnya ini sahabatnya, gadis yang dicintainya. Kalau bukan, pasti sudah ada satu bogem melayang. Padahal Niki tidak menyebut nama dalam pernyataannya.

"Lah, kok, didorong?" Niki sedikit terkejut saat Niko beralih mendorong motornya.

"Biar hemat bensin!" jawab cowok itu yang sudah berjalan beberapa langkah.

Niki geleng-geleng. Untung rumah mereka bersebelahan.

***

Sepertinya Niki diikuti seseorang, atau mungkin beberapa orang. Lorong ke toilet perempuan cukup sepi, jadi dia bisa merasakan gerakan-gerakan di dekatnya. Namun, karena kebelet, dia menomorduakan masalah itu dulu. Ada urusan lebih penting dan mendesak.

Niki masuk ke bilik terakhir dan berada di dalamnya selama beberapa menit. Saat menggerakkan kenop, pintu tidak terbuka. Jantungnya mencelus selama beberapa saat. Dia kembali mencoba, pintu masih tidak bisa dibuka.

"Hei, tolong! Ada orang di luar?" Niki menjerit-jerit panik sembari terus menggedor pintu.

Terdengar cekikikan yang samar di luar.

"Tolong! Siapa pun!" Jeritan Niki makin kencang, tetapi gerombolan cewek itu berpura tuli. Mereka justru makin cekikan karena merasa puas.

Terdengar sebuah bunyi, seperti benda jatuh. Kemudian, Niki kembali mencoba membuka pintu. Berhasil! Dia bernapas lega ketika pintu terbuka dan segera melangkah ke luar.

Kelegaan dan kebahagiaannya lesap begitu saja ketika air mengguyur tubuhnya. Air itu beraroma anyir dan membawa gumpalan terigu.

"Iiih!" Cewek-cewek serempak bergidik.

Niki masih berupaya menyingkirkan kotoran dari wajah, terutama matanya, sebelum mencari tahu pelaku yang telah menyiram tubuhnya.

"Dih, jelek dan kotor gini mau nempel-nempel sama Niko? Najis banget!" cerca seseorang yang belum berhasil dilihat mukanya oleh Niki. Suaranya cempreng dan kental sekali kejudesan dari nada bicaranya.

"Tau, nih. Kegatelan banget jadi cewek! Hukuman ini masih kurang, sih," imbuh temannya.

Niki bisa menggunakan matanya sekarang. Di depannya ada empat cewek. Keempatnya berpenampilan modis dengan seragam yang diketat-ketatkan. Yang barusan bicara itu si cewek berambut pendek, bertubuh lebih pendek dari yang lain.

"Kalian siapa?" Suara Niki bergetar karena menahan amarah dan kesedihan.

"Dih, sok nggak kenal lo sama kita? Tapi, berani banget nyari masalah sama kita!" Sepertinya si ketua geng, menatap tajam pada Niki.

Nyali cewek itu makin ciut saja. Dia hanya bisa menunduk sembari berupaya meredam gejolak di dalam diri.

"Gue peringatin sama lo, ya! Gue, Rose, cewek penguasa sekolah ini. Niko milik gue, jadi lo jangan kecentilan dan kegatelan deketin dia!" tegas cewek bernama Rose dengan nada penuh penekanan.

Tidak ada jawaban karena Niki terlalu sibuk menunduk.

Rombongan itu akhirnya pergi setelah puas menghujat Niki.

Suasana sepi sekarang. Niki masih menunduk, memandangi tetes air yang terus berjatuhan dari tubuhnya. Selain baju, rok, sepatu, dan tasnya juga terkena air itu. Mau tidak mau sebelum pulang dia harus membersihkan diri lebih dulu.

Niki melakukannya sembari menangis. Disamarkan suara keran, dia mengeluarkan kesedihan berupa tangisan yang ditahan. Kedua pundaknya bergetar, ingus dan air mata terus keluar, sementara tubuhnya gemetar kedinginan.

Tidak mungkin dia bertemu Niko dalam keadaan seperti ini. Maka dari itu, dia segera mengeringkan tangan sebelum mengambil ponsel.

Chichi: Kamu duluan aja, Nik. Aku harus nyari buku dulu di perpus.

Chichi: Kamu tadi katanya buru-buru mau ketemu seseorang, kan? Tolong bilang aja ke Ibu kalau aku bakal pulang agak telat dikit. :)

Chocho: Oke, deh. Kamu kalo sampe sore belum di rumah, aku susulin! ^^

Chichi: Aman. :)

Niki menyimpan ponsel ke tas. Kembali membasuh muka karena kedua matanya terus mengeluarkan air mata sampai sedikit memerah, belum lagi hidungnya yang ikut-ikutan memerah.

Sepuluh menit kemudian, Niki akhirnya selesai membersihkan diri. Dia menenteng sepatu keluar dari bilik toilet. Kemudian, sambil berjalan, dia mengenakan sepatu. Tidak lupa juga sesekali mengecek keadaan sekitar.

Suasana sekolah sudah sepi. Kelas-kelas telah bubar. Hari ini memang kelasnya masuk salah satu kelas yang dapat jam belajar paling lama.

"Niki?"

Niki tergemap saat mendengar seseorang memanggil namanya dari belakang. Suaranya cukup familier. Jadi, dia memilih berpura-pura tuli dan memilih melanjutkan langkah.

"Nik!" Orang itu memanggil lagi. Kali ini dia berlari dan berhasil meraih pergelangan tangan cewek itu.

Niki terpaksa berbalik. Dia memejamkan mata dan menunduk.

Orang di depannya terdiam sembari mengamati tampilan cewek yang hanya sepundaknya itu.

"Kamu diapain?" Satu pertanyaan keluar dengan nada tenang. Namun, justru terdengar begitu menyayat di telinga lawan bicara.

Cewek itu terdiam lama. Sampai kedua pundaknya mulia bergetar, bukan karena kedinginan.

Joshua maju selangkah, kemudian agak membungkuk. "Niki?" panggilnya dengan nada lembut.

Tangis Niki pecah meski mati-matian ditahan.

"Kamu kedinginan, ya?" Joshua menarik diri, kembali berdiri tegak. Kemudian, melepas tas ransel hitam, dilanjut jaket biru dongkernya. "Aku izin makein, ya."

Niki diam saja, menggigit bibir demi menahan tangis yang siap meledak. Kedua pundaknya merasakan ketika sebuah jaket sedikit membantunya menghalau dingin.

Hening sesaat. Joshua masih menatap Niki yang menunduk. Dia mengatur emosi dan berusaha menempatkan diri. Pilihannya jatuh pada ponsel dan earphone. Sebuah musik dengan volume kencang saat ini sepertinya cocok.

"Kalau kamu mau nangis, nangis aja. Aku nggak bakal denger," kata cowok itu setelah memasang earphone. Kemudian, dia mundur beberapa langkah hingga tiba di balik tembok dekat jalan masuk ke toilet perempuan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro