26 - Bimbang
'Tidak apa-apa. Tidak perlu meminta maaf atas apa yang kamu anggap salah padahal dirimu tidak salah.'
***
Hidup Qiya tenang-tenang saja mulanya. Dia mengambil peran sebagai anak tunggal dari pasangan suami-istri yang doyan bercanda. Masuk SMAN 32 Bandung tahun 2018 dan sekarang terdaftar sebagai murid kelas XI-IPS 1.
Hari-harinya berjalan normal. Sekolah, tugas-tugas-tugas, tidur, bangun. Paling-paling "nyamuk" dalam hidupnya adalah gerombolan cowok kelas yang otak dan akhlaknya sudah diloak.
"Qiya!"
Hanya saja, akhir-akhir ini, cewek yang memiliki tinggi 155 sentimeter itu harus pandai-pandai menyembunyikan diri agar gendang telinganya bisa lebih tahan lama.
Dia sudah hafal bahwa setiap pagi sebelum jam masuk, siang saat jam istirahat, dan waktu pulang adalah saat-saat genting di mana nyawanya terancam. Bahkan, lebih parah, nyaris di setiap langkah dan waktu, dia merasa ancaman itu sudah mengintai dan siap menyerang.
"Ke kantin, ya?" Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih kencang dan dekat.
Duh, Gustiii! Ni setan satu lenyapin aja ngapa, keluh Qiya sambil mempercepat langkah dan masuk rombongan cewek-cewek yang kebetulan lewat.
Lorong kelas IPS saat itu tengah ramai, banyak orang berlalu-lalang, yang sendirian atau rombongan. Namun, entah bagaimana bisa, cowok itu dengan mudah menemukannya. Padahal dia sudah berusaha keras untuk menyamarkan diri.
"Nih, minum sama camilannya. Jangan lupa dihabisin, ya. Buat ganjal perut. Dan, jangan sering keluar, hari ini panas. Nggak baik buat kulit cewek." Niko mencerocos sambil menyerahkan tas kanvas mungil yang berlogo emoji tersenyum.
Qiya merinding dibuatnya. Hanya dalam waktu seminggu dan cowok di depannya ini sudah banyak tahu tentangnya. Niko tahu minuman kesukaannya minuman perisa jambu, camilan gurih-gurih, dan sedang mengikuti program meminimalisir penggunaan plastik.
"Eh, kok, ngelamun?" Suara Niko memecahkan lamunan Qiya. Dia menyodorkan tas kanvas krem ke hadapan cewek itu.
Dengan tangan dan gerakan yang kaku, Qiya ragu-ragu menerima pemberian cowok di depannya. Sejenak mereka bertatapan sampai dia duluan yang mengalihkan pandangan ke arah lain. Kalau cowoknya model Niko, dia akan susah menolak.
"Oke. Aku pamit, ya. Jangan lupa jaga kesehatan dan jangan lupa senyum," kata Niko sebagai penutup perjumpaan mereka.
Cowok itu melenggang pergi, bergerak duluan sebelum Qiya usir. Sikapnya benar-benar membuat Qiya dilema. Dia memang tidak suka cowok yang sok akrab sok dekat dengannya, cowok yang doyan modus dan doyan gombal—seperti Niko kalau kata orang-orang, cowok-cowok agresif apalagi.
Niko berbeda di matanya. Cowok itu kalem, perhatian, dan bisa dikatakan dewasa dari segi kata-kata yang diucapkannya. Dia makin bimbang karena banyak orang memperingatkan buat jangan dekat-dekat sama cowok playboy satu ini.
"Qiy?" Sebuah tangan bergerak-gerak di depan wajah bulat cewek itu.
Rara mengerutkan kening keheranan, tetapi hatinya lebih banyak takut plus cemas saat melihat sahabatnya hanya berdiri mematung di tengah-tengah koridor.
"QIYA!" Febri malah menjerit lantaran Qiya masih bengong setelah berulang kali dipanggil.
"Allahuakbar!" Qiya latah mengangkat kedua tangan. Jelas saja tas kanvas mungil pemberian dari Niko terlihat oleh mata kedua sahabatnya.
"Widih, dari pangeranmu lagi?" goda Rara sambil mengintip.
Qiya memelotot tajam. "Dih, pangeran siapa? Orang gila kali," sangkalnya lalu mendengkus.
Fitri dan Rara saling pandang, kemudian menahan tawa.
"Apaan, sih, kalian?" ketus Qiya yang tidak suka melihat ekspresi kedua sahabatnya.
Tawa dua cewek itu meledak, mengundang perhatian beberapa orang.
"Nah, kan, kataku juga apa. Kamu cuma perlu gerak buat bikin malam Minggumu lebih indah, bukan malah pacaran muluk sama si Asta!" cibir Rara yang keseringan mulutnya mengucapkan kalimat-kalimat julit.
Qiya berdecak, tidak suka "pacar barunya" disebut-sebut. Sebenarnya dia bukan anime lovers, cuma baru kebetulan nonton beberapa judul dan malah kecantol karakter Asta di anime "Black Clover".
Kebetulan saja, keduanya memiliki beberapa kesamaan. Yep, salah satunya tinggi badan.
"Ini juga gara-gara kalian tahu!" murka Qiya dengan nada sedikit tinggi. Kemudian, dengan langkahnya yang kecil-kecil, dia berjalan menuju kantin.
***
Niki sadar, belakangan ini, selain bertemu di ekstrakurikuler PMR, dia dan Joshua sering bertemu dalam beberapa kesempatan. Kali ini, dia malah sengaja mencari cowok itu sampai harus datang ke kelas XII-IPA 3 hanya untuk mengembalikan buku yang dipindam.
"Cari siapa, Dek?" Seorang cowok berbadan tinggi dengan tubuh sedikit tambun, menghalau jalan Niki di dekat pintu kelas.
"A–anu, saya lagi cari Kak Shua," jawab Niki yang sudah gugup bukan kepalang.
Suasana XII-IPA 1 tidak ribut-ribut amat di jam istirahat seperti kelas lain. Kebanyakan dari mereka cenderung cuek karena memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Contohnya membaca buku tebal—pastinya buku pelajaran—atau main ponsel.
"Lho, kok, cari dia, sih? Kenapa nggak cari Aa aja, Dek?" Cowok di depannya bertingkah. Jarinya merapikan rambut yang tidak terlalu panjang, alisnya bergerak-gerak, tatapannya jelas saja genit.
Niki risi. Maka, dia menggenggam erat buku tentang sejarah PMI dunia yang dipeluknya.
"Kok, diem? Nggak usah takut, Aa, kan—"
"Pergi!" Sebuah suara yang berintonasi datar tetapi penuh penekanan dan ancaman, memotong ucapan cowok itu.
"Yah, Pak Kapten udah dateng." Terdengar tawa singkat.
Niki mendengar langkah mendekat dari arah kirinya. Dia melirik dengan ekor mata dan menemukan sepasang kaki yang memakai sepatu Converse hitam.
"Genit mulu lo. Giliran pelajaran aja jeblok mulu nilai," cibir Joshua yang berhasil membuat wajah temannya berubah masam.
"Nggak usah julit juga kali, Bro." Cowok itu pun pergi.
Joshua geleng-geleng, kemudian menghela napas. Dia maju selangkah lagi dan berhenti di depan Niki. Mata elangnya menunduk, menemukan buku yang dikenalinya dipeluk cewek itu.
"Dia udah pergi, tuh, Nik," kata Joshua.
Perlahan-lahan Niki mendongak. Dengan ragu dan takut, dia melebarkan senyum. "Aku mau ngembaliin buku Kakak," cicitnya.
Tangan cewek itu yang gemetar, menyodorkan buku ke hadapan Joshua. Joshua menerimanya dengan enteng dan tanpa melunturkan senyum.
"Udah kelar baca, nih?" Niki mengangguk. "Cepat banget. Beda kalo orang udah terbiasa baca, mah," sambung Joshua, sekadar basa-basi.
Hening. Sampai akhirnya Niki mendongak dengan ragu-ragu. Cewek itu seperti hendak menyampaikan sesuatu, tetapi lebih banyak ragu di hatinya sehingga Joshua terpaksa menunggu.
"Ada apa?" Cowok itu bertanya. Sadar akan susah mendapat jawaban, dia mencoba mengamati sekitar. "Oh, kamu risi, ya, di depan kelas aku?"
Joshua maju menuju meja yang ada di dekat mereka. Bangku itu disediakan karena pemandangan dari lantai tiga sekolah benar-benar bagus. Apalagi mereka suka duduk bergerombol.
"Sini!" panggil cowok itu sambil melambai.
Meski ragu-ragu, Niki akhirnya menurut.
Kini keduanya duduk bersisian, menyisakan jarak sesiku sebagai pemisah.
"Mau nyampaiin sesuatu?" Joshua memancing. Nada bicaranya pelan, ekspresinya lembut. Harusnya itu cukup untuk membuat hati cewek di samping kanannya tenang.
Ditatap oleh Joshua, keberanian Niki langsung lengap. Ada pertanyaan yang mengganggunya dan ingin disampaikan pada cowok itu, sesegera mungkin.
"Anu, nanti sore latihan PMR, kan?" Dia malah mengajukan pertanyaan yang kurang penting.
Kepala Joshua mengangguk dulu sebelum dia menjawab, "Tentu, lah. Selama ketuanya aku dan aku tidak berhalangan, PMR tidak ada kata libur. Ya, kecuali emang harus libur," cerocosnya diakhiri tawa singkat.
Niki ikut tertawa, meski pelan dan kaku. Di saat Joshua masih tertawa, hati dan kepalanya tengah menyusun kata demi kata untuk diungkapkan pada cowok di sampingnya ini.
Tiba-tiba tawa Joshua terhenti. Cowok itu menatap lekat padanya.
"Err, aku mau tanya." Niki memberi jeda untuk mengambil napas dan mengumpulkan keberanian lebih banyak. Pertanyaan ini benar-benar mengganggunya sehingga membutuhkan jawaban.
"Silakan," kata Joshua.
Wajah ramah dan senyum manis cowok itu sedikit memberikan keberanian dan rasa percaya diri pada Niki.
"Waktu ibuku lamaran, kan, aku di luar rumah. Kok, Kakak bisa hadir di sana?" Setelah berhasil mengatakan itu, Niki menunduk.
Joshua diam selama beberapa saat, hal yang membuatnya jadi penasaran sekaligus takut.
"Ma–maaf kalau pertanyaanku aneh dan nyinggung Kakak," bisik Niki yang nyaris tidak didengar Joshua.
"Tidak apa-apa. Tidak perlu meminta maaf atas apa yang kamu anggap salah padahal dirimu tidak salah," kata Joshua yang membuat Niki berpikir. Dia menghela napas.
Niki ketar-ketir di tempat. Pikirannya sudah berlarian ke mana-mana.
"Aku kebetulan lagi ada kepentingan di sana, sih. Dan, nggak sengaja ngelihat kamu," kilah Joshua. Ada sesuatu yang tidak bisa dia ungkapkan.
Sejujurnya Niki agak ganjil dengan jawaban itu. Apa yang dilakukan Joshua sampai bisa tiba di rumahnya?
"Aku diundang juga, sih, ke sana. Sama Adhira," imbuh Joshua untuk meyakinkan.
"Adhira?" Kening Niki berkerut. Dia berpikir selama beberapa saat sampai membuat kesimpulan. "Oh."
Dia pikir Adhira adalah anak Om Rama, yang tiga kali pernah ketemu dengannya. Terakhir kemarin, ketika cewek itu menggertaknya.
Kemudian, ada hubungan apa Adhira sama Joshua? Sudah pasti spesial karena cowok ini sampai diundang ke acara penting. Niki mengangguk-angguk paham.
"Sialan." Seseorang yang sejak tadi mengintip—awalnya karena tidak sengaja—keduanya, merasa geram saat melihat Joshua begitu akrab dengan cewek lain.
Makin membesarlah rasa tidak sukanya pada Niki. Bahkan, timbul perasaan benci terhadap cewek itu. Cewek yang berpotensi merebut apa pun dari tangannya, termasuk Joshua.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro