23 - Simulasi
'Dalam beberapa situasi, berpikir sambil berjalan itu disarankan daripada terus diam dan tidak membuat pergerakan.'
***
Pertemuan kali ini, para junior PMR harus bekerja keras untuk menyelesaikan misi dari senior. Mereka membentuk kelompok yang terdiri dari minimal lima orang. Sistemnya, mereka praktik lapangan. Jadi, sekarang tengah mengisi lapangan.
Sayangnya, karena di area sekolah tidak ada lapangan asli tanah, akhirnya para senior sepakat menggunakan kelas sebagai bagian dari peta misi. Ada tujuh murid yang ditunjuk untuk berperan sebagai korban. Syaratnya, mereka harus yang paling bertubuh kecil di dalam kelompok.
Untuk melancarkan acara, di tiap kelompok, ada satu senior yang menjadi bagian, tetapi memiliki batasan sebagai pengawas. Jadi, pada akhirnya tetap para junior yang bekerja, sementara senior hanya mengarahkan.
Niki tidak masuk jadi salah satu korban. Ada junior yang lebih pendek dan mungil darinya, padahal dia berharap banyak.
"Semua kelompok sudah siap? Kita memiliki waktu satu jam untuk melaksanakan acara ini!" Joshua berbicara dengan suara lantang.
"Siap, Kak!" Semua yang hadir menjawab serempak, kecuali Pak Cecep selaku pengawas dan pembina PMR.
"Alurnya nanti kalian bayangkan, kalian terjun ke medan bencana langsung. Temukan minimal dan maksimal satu korban yang kemudian harus kalian obati, sesuai dengan luka yang diderita. Untuk itu, setiap korban telah diberi kertas yang menerangkan luka-lukanya," imbuh Joshua, mengedarkan pandangan pada barisan kelompok yang memasang wajah antusias.
Diam-diam dia senang dan merasa makin terdorong melihat semangat seluruh anggotanya. Terutama—entah mengapa—saat melihat Niki begitu bersemangat, hatinya jadi menghangat. Mungkin karena mereka sebentar lagi akan terikat sebuah hubungan spesial.
"Perlu diingatkan lagi, senior menjadi bagian kelompok, tetapi tanggung jawab sepenuhnya diserahkan kepada junior. Kalian hanya boleh mengarahkan dan memberi tahu, minimalisir ikut praktik!" Joshua menajamkan pandangan pada tujuh senior yang masuk barisan para junior.
"Siap, Kak!" Ketujuhnya menjawab serempak, lantang, dan tegas.
Para junior makin merinding merasakan arena yang makin terasa serius. Rasa antusias memenuhi dada mereka sehingga kesulitan menahan senyum.
"Baik, sebelum acara dimulai, mari kita tundukan kepala dan angkat tangan untuk memohon pada Yang Mahakuasa agar acara kita dilancarkan, serta semua yang terlibat dilindungi dari mara bahaya."
Setelah mendengar arahan Joshua, seluruh anggota PMR segera menunduk dan melafalkan doa sesuai kepercayaan masing-masing. Beberapa menit kemudian, mereka mengangkat kepala, menatap pada Joshua, menunggu instruksi berikutnya.
"Sekarang, setiap kelompok, oleh ketua, mohon disiapkan kemudian bubarkan. Silakan menuju tempat yang sekiranya terdapat korban," pungkas Joshua.
Kelompok demi kelompok mulai membubarkan diri. Mereka berpencar, ada yang berjalan sesuai arahan ketua, ada yang berdiskusi, atau ada pula yang tampak ragu-ragu sehingga berdebat. Lokasi korban tentu saja disembunyikan. Masalahnya, karena arena berada di lingkungan sekolah, agak sulit mengidentifikasi karena semuanya tampak sama.
"Kosong," lapor Niki setelah memastikan keadaan kelas X-IPA 2 bersama Aira.
Reni terdiam selama beberapa saat, kemudian pandangannya mengedar ke sekeliling. Kelompok lain ada yang sudah menemukan korban, terbukti dari keramaian yang mereka buat.
"Lanjut jalan. Berpikir sambil berjalan. Membuang waktu di arena adalah tindakan fatal," tegur Mela dengan nada serius.
Mendengar ucapan senior di kelompok mereka, kelima junior itu sepakat melanjutkan perjalanan.
Dua kelas telah lewat dan hasilnya sia-sia. Mereka belum menemukan korban. Sampai akhirnnya, mereka memutuskan bergerak ke area belakang kelas, menuju taman mini. Nasib mujur tengah berpihak, untung mereka datang dari arah terdekat ke korban. Padahal di ujung sana, sudah ada kelompok lain yang tampak tergesa.
"Yah!" Mereka serempak mengeluh dan tampak keberatan. Namun, kompak juga menghentikan langkah, kemudian berbalik.
Niki dan kelompok akhirnya mulai bekerja. Mereka mendapat korban dengan luka ringan. Korban hanya menderita luka robek di tangan, lecet di siku, kemudian luka robek di kepala. Untuk tiap luka, korban diolesi semacam lipstik merah.
Meski demikian, kelompok mulai bekerja dengan serius dan berupaya maksimal untuk kompak serta cepat melakukan pertolongan pertama pada korban. Dua orang bertugas melakukan pembalutan, tiga lainnya—termasuk Niki—dibantu sang senior, mulai membentuk tandu.
Sebelumnya, sebelum simulasi dimulai, tiap kelompok diperintahkan untuk mempersiapkan peralatan lengkap dan itu tidak diperiksa oleh senior. Tentu saja untuk mengetes para junior. Setiap orang di kelompok membawa dua mitela, dua tiang panjang dan dua ruas bambu pendek untuk tandu, tali tambang, serta bidai—papan untuk menopang pada area patah tulang—beragam ukuran.
Niki kebagian membuat tandu darurat bersama Aira. Restu dan Mela kebagian memegangi bambu yang dicat putih untuk tandu. Mereka berusaha bekerja cepat karena selain dikejar waktu, ada nyawa yang harus segera diselamatkan.
Aku pasti bisa! Aku pasti bisa! Niki merapalkan kalimat itu dalam hati.
Sejujurnya cewek yang mengikat satu rambutnya itu agak gugup sekarang ini. Dulu, saat praktik pertama membuat tandu, dia begitu kacau sampai menangis. Meski telah berlatih keras, sampai belajar langsung pada ketuanya, dia tetap saja merasa belum percaya diri.
"Cepat! Cepat!" Mela malah sengaja membuat juniornya panik. Karena sejujurnya dia juga ikut panik.
Selang lima belas menit kemudian, tandu siap. Korban juga telah dibalut. Niki, Restu, dan Aira segera memindahkan korban ke tandu. Kemudian, mereka mengikatkan tali tambang yang masih sisa untuk menahan tubuh korban.
Sejujurnya mereka kehabisan mitela, jadi saat mengangkat korban meninggalkan tempat kejadian, mreeka bergerak begitu hati-hati. Hanya Mela dan Restu yang tidak ikut menggotong tandu. Restu terlalu pendek, sementara Mela tentu saja hanya pengawas.
"Bagus!" Suara Nando terdengar antusias sambil bertepuk tangan saat melihat satu kelompok memasuki lapangan, kelompok kedua.
Niki masuk sebagai kelompok ketiga yang tiba. Dua kelompok lain telah berbaris rapi, sementara korban yang ditolong diletakkan di depan barisan.
Acara simulasi mendebarkan itu rupanya cukup mengasah dan mengguncang mental para junior. Bahkan, ada satu cewek yang kelihatan habis menangis, entah karena apa. Niki bersyukur timnya bisa kompak dan tidak menemui singgungan antara anggota.
"Terima kasih kepada seluruh anggota yang telah bekerja keras hari ini. Evaluasi dari simulasi minggu ini akan saya sampaikan di pertemuan minggu depan. Saya juga berterima kasih kepada para kakak-kakak senior yang telah membantu melancarkan acara." Joshua berbicara panjang lebar di depan barisan.
Sore hampir matang, waktu menunjukkan sudah pukul empat sore. Artinya sudah cukup terlambat jika diadakan permainan, seperti biasa.
"Baiklah, pertemuan minggu ini diakhiri sampai sini. Sekali lagi terima kasih kepada kalian yang telah bekerja dan berjuang keras." Joshua mengedarkan pandangan ke sekeliling, menatap acak anggotanya yang sebagian berwajah lega.
"Jangan lupa sebelum pulang berdoa dulu dan nanti di jalan harap hati-hati. Utamakan nyawa, bukan waktu sampai," pesan Joshua.
Mereka menundukkan kepala sekali lagi sebelum membubarkan diri.
Niki menarik napas lega ketika mengambil tas, kemudian meninggalkan sekolah. Tiba di depan gerbang, dia celingukan. Niko tidak menunggunya, lagi dan lagi. Selama beberapa hari belakangan, mereka sudah jarang pulang bareng.
Niki juga sadar diri setelah melihat ternyata Niko tengah mengejar cewek lain. Entah, kali ini, dia merasa sikap cowok itu berbeda terhadap cewek. Selain biasanya cewek duluan yang mengejar Niko, cowok itu juga bersikap seolah dia benar-benar tertarik pada kakak kelas mereka.
Ya, Niki bahkan tahu siapa gebetan Niko saat ini karena cowok itu sendiri yang bilang.
"Pulang bareng?" tawar seseorang yang suaranya berhasil membuat Niki kaget.
Cewek itu terlonjak, kemudian mengelus dada.
"Eh, kaget, ya? Maaf," kata Joshua, merasa bersalah.
Niki menggeleng, berdeham, kemudian merapikan pakaian sebagai pengalihan. "Nggak, kok, Kak. Akunya aja yang lagi ngelamun."
"Okeee." Mendadak Joshua kehabisan kata. Dia garuk-garuk tengkuk dulu, padahal tidak gatal. "Pulang bareng?"
Melihat reaksi wajah Joshua, Niki menimbang sejenak. Sekali lagi dia melirik jam di ponsel. Sudah setengah lima. Bisa-bisa Sintia panik kalau dia pulang telat.
"Emang boleh?" Niki malah balik bertanya.
"Ya boleh, lah, Nik." Senyum Joshua mengembang. Kemudian, cowok itu memutar badan hingga mencapai jok belakang. Dia meraih helm yang terbungkus rapi dan memberikannya pada Niki.
"Pakai ini, kemudian naiknya hati-hati."
Sikap Joshua lagi-lagi membuat hati Niki luluh. Cewek itu menurut tanpa kata. Sayang sekali, ketika akan memasangkan helm, dia kesulitan sehingga Joshua turun tangan.
"Hati-hati," pesan Joshua sekali lagi. Dia mengulurkan tangan, membantu Niki naik.
Akhirnya cewek itu berhasil duduk di jok belakang. Joshua memastikan sekali lagi. Setelah semua aman, dia pun tancap gas.
Niki meraskan kegamangan sepanjang jalan. Hatinya resah dan gelisah tidak beralasan. Namun, nama Niko terus menghantuinya.
Dia tidak tahu saja, bahwa ternyata Niko sejak tadi sengaja menunggunya di sekolah. Cowok itu sedang apes saja karena harus sakit perut sehingga ke toilet dulu. Ketika kembali, dia sudah terlambat karena sudah ada Joshua yang menawarkan tumpangan pada Niki.
Lagi-lagi hati cowok itu kebakaran.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro