2 - Cemburunya Niko
Memendam perasaan sama saja menumpuk luka dan banyak kebohongan.
***
Memendam perasaan pada sahabat sendiri memang situasi yang pelik. Namun, Niko tidak bisa menahan atau mengontrol hatinya yang tiba-tiba sudah merasakan cemburu kalau melihat Niki berdekatan dengan cowok lain, mudah rindu saat mereka terpisah, dan berani memiliki harapan-harapan.
Harapan bahwa suatu saat nanti mereka bisa lebih dari sekadar sahabatan.
Sekarang cowok itu tengah duduk merenung di depan pintu kaca yang terbuka. Langit senja yang cerah tersaji di hadapannya, memperlihatkan perpaduan warna oranye, kuning, dan jingga.
Seharusnya dia menikmati salah satu pemandangan favoritnya itu. Namun, pikirannya teramat sesak sehingga tidak muat untuk memasukan satu topik lagi.
Topi hitam dengan logo mungil berupa seekor kucing sedang memeletkan lidah di bagian depan, diputar-putar Niko di tangan kanannya. Itu kado dari Niki saat hari anniversary persahabatan mereka yang keempat belas kemarin.
"Niko!"
Dia mengerjap, tersadar barusan yang memanggil adalah Niki.
"Nik!" Lagi, cewek itu memanggil.
Niko akhirnya beranjak dari kursinya, kemudian melangkah ke luar kamar. Melewati pintu kaca yang digeser terbuka dengan tirai abu-abu di pinggir, sampai akhirnya tiba di dekat balkon.
Cewek itu melambai dengan ceria tepat di bawah balkon.
"Masuk aja!" teriak Niko. Hatinya sedikit menghangat karena setelah nyaris 24 jam mengabaikan, akhirnya cewek itu menemuinya lebih dulu.
Tidak betul-betul mengabaikan, sih. Setinggi-tingginya rasa cemburu Niko, lebih tinggi lagi rasa takut akan kehilangan Niki. Jadi, dia cuma lebih banyak diam saat bersama Niki atau berpura sibuk harus menemui teman ini-itu.
Mereka bertemu di ruang tengah.
Niki datang dengan membawa satu paper bag buku. Ada dua buku paket, dua buku tulis, satu novel, dan selembar formulir yang ukurannya lebih panjang dari semua buku sehingga terlihat menonjol.
"Mana bukumu? Nggak lupa, kan, ada tugas Bahasa Indonesia sama Bahasa Inggris?" Niki menatap Niko. Sedetik kemudian, dia sadar bahwa ada yang berbeda dari sahabatnya itu, seperti beberapa saat belakangan.
Cewek itu menghela napas, kemudian berdiri, berpindah duduk sehingga jadi di samping Niko yang pura-pura sibuk pada ponsel.
"Kamu marah sama aku, Nik? Kalau iya, aku minta maaf, ya. Aku nggak tahu salahku di mana, tapi kalau kamu bilang, bakal aku perbaiki." Dia berujar dengan sungguh-sungguh. Kedua tangannya saling meremas.
Diabaikan baginya sakit, sesamar apa pun. Apalagi sama Niko.
"Aku marah kenapa coba? Jangan mikir yang aneh-aneh terus, Nik," kilah Niko. Dalam hati merasa tidak enak, tetapi juga bahagia. "Aku nggak bakal ninggalin kamu, tenang aja. Aku, kan, udah janji. Malah udah sering ngobrolin itu."
Hati Niko melunak saat mengucapkan salah satu ketakutan terbesar sahabatnya. Dia memang cowok egois yang tidak bisa mengontrol diri.
"Serius, kan?" Mata Niki berkaca-kaca saat menatap Niko.
Cowok itu mengangguk sembari tersenyum. Kedua tangannya terulur dan menangkup pipi Niki. "Iya. Jangan nangis, ah. Nanti cantiknya nambah," candanya dengan suara pelan.
Air mata Niki malah mulai berjatuhan, tetapi tidak bertahan lama karena dia sudah bisa tersenyum lagi.
Mereka pun memulai agenda belajar sekaligus mengerjakan tugas bersama. Sampai satu jam terlewat begitu saja.
"Nik, menurutmu alasan ini bagus nggak?" Niki telah beralih ke selembar formulir yang dia isi semalam.
Niko yang sedang rebahan sembari memainkan ponsel pun duduk. Dengan malas dia mengambil lembar formulir Niki dan membacanya.
"Alasanku ikut PMR adalah karena suatu saat nanti pengen jadi relawan profesional yang mengabdi pada Tanah Air. Gimana, bagus nggak?" Niki melirik Niko yang mengangguk-angguk pelan.
"Ih, Nikooo!" Kesal, dia merasa cowok itu tidak serius menanggapi.
"Bagus-bagus, kok, Nik. Tapi, lebih bagus kamu nggak ikut. Ikut PMR itu capek, apalagi pelantikannya. Aku aja kapok pas SMP," cerocos Niko. Dia kembali teringat kenangan ketika ikut pelantikan PMR.
Diharuskan mandi lumpur, merayap di selokan besar-meski tidak dalam dan tidak berarus deras, tetap saja dia membayangkan yang jijik-jijik-sembari membawa pasien. Belum lagi saat di tiap pos ada saja tantangannya.
"Kapan kamu serahin formulirnya?"
"Besok," jawab Niki.
"Kurang, tuh, alasannya. Harusnya kamu tambahin ikut ekskul PMR biar sahabatku yang tampan sejagat raya bangga." Tangan kiri Niko menyugar rambutnya.
Niki merengut. "Ih! Pedenya kurangin dikit napa? Geli aku." Dia benar-benar bergidik.
Tawa Niko meledak, disusul Niki. Sore itu, suasana mencair begitu saja. Hubungan kembali seperti semula.
Memang, masalah yang serius adalah yang tidak terlihat, sementara hubungan berjalan baik-baik saja. Tahu-tahu bubaran.
***
"Nanti dan ke depannya, setiap Rabu pukul dua siang ada pertemuan anak-anak PMR. Terutama junior, harus atau usahakan hadir. Tempat di ruangan PMR. Kalau berhalangan hadir, izin aja ke sekretaris, Kak Fitri. Nanti juga kamu akan saya add ke grup WhatsApp," cerocos Joshua setelah membaca formulir yang diserahkan Niki.
Cewek di depannya terlihat menahan senyum. "A-artinya, saya diterima, ya, Kak?"
Joshua mengangguk sekali. Tindakan yang membuat Niki akhirnya tidak bisa menahan senyumnya. Cewek itu malah sampai mengucapkan terima kasih berulang kali sampai Joshua mengiakan dan pamit karena ada urusan.
Sekarang Niki sedang mencari Niko yang tadi bilangnya akan ke lapangan basket. Jadi, tidak bisa menemaninya ke ruangan PMR saat jam istirahat. Namun, di sana hanya ada teman-teman Niko. Menurut info, cowok itu katanya ke kelas sebelas, entah di kelas mana.
Chocho: Aku di XI-IPS 2, tapi tunggu aja. Aku bentar lagi juga turun.
Niki menghela napas setelah membaca pesan Niko.
Selain cowok itu, tidak ada lagi sahabat dekat yang bisa diajak main. Lebih tepat, teman yang membuatnya nyaman. Selama ini, yang datang kepadanya rata-rata karena Niko ; menanyakan Niko ke mana, meminta nomor WhatsApp atau sosmed Niko, bahkan nitip kado buat Niko.
Niko, Niko, dan Niko. Niki sampai pusing harus meladeni fans-fans sahabatnya nyaris setiap hari. Namun, itu lebih baik daripada disangka pacarnya Niko.
Makanya, sekarang dia memiliki tempat pelarian, yakni ke perpustakaan atau menyendiri di bawah pohon mangga dekat lapangan futsal. Di lapangan itu biasanya jarang ada cewek karena berada di area terbuka. Kaum cowok juga pada mikir dua kali kalau ingin main futsal di saat hari terik.
Biasanya dia menghabiskan waktu dengan membaca beragam buku. Namun, karena hari ini pertemuan pertama PMR, dia lebih gugup dari biasanya. Jadi, memutuskan ke perpustakaan untuk membaca beberapa buku tentang ekstrakurikuler itu.
Lima belas menit lebih awal, Niki tiba di ruangan PMR. Kebetulan hari ini jam kelasnya berakhir lebih cepat. Jadi, dia ada kesempatan untuk mengamati suasana ruangan lebih detail.
Ada satu whiteboard di depan kelas, tengah-tengah. Di sampingnya ada karton putih berisi tulisan di dalam kolom beragam bentuk, sepertinya jadwal piket. Di dinding atas, ada tiga foto ; presiden, bapak PMI Indonesia, dan bapak PMI internasional.
Dinding ruangan cenderung rapi, tanpa coretan di mana pun. Adapun, coretan di belakang kelas adalah grafiti bertemakan kemanusiaan.
"Wih, junior baru rajin bangeeet," puji Fitri yang datang beberapa menit setelah Niki.
Niki tersenyum malu-malu. "Halo, Kak," sapanya dengan suara yang gemetar.
"Halo juga, Nik. Kayaknya kita perlu ngobrol, nih, soalnya waktu kumpul juga masih lama. Pak Ketu juga belum nongol." Fitri berdiri lagi dari kursinya, kemudian berjalan menghampiri Niki.
"H-hah? E-eh, boleh aja, sih."
Fitri tersenyum geli. "Santai aja kali, Nik. Nggak usah sampai gugup gitu. Aku udah intip formulirmu, lho. Suka banget sama motivasi kamu."
Dapat teman seperti Fitri sepertinya asyik. Tipe yang sekalinya ngomong bisa makan waktu banyak. Berbeda dengan Niki yang menghabiskan banyak waktu karena memikirkan matang-matang dulu sebelum mengeluarkan sebuah kata.
"Ah, terima kasih, Kak," kata Niki. Pipinya sudah bersemu saja.
"Sama-sama. Ah, ya, kenalin aku Fitri Rahmawati. Panggil aja Fitri atau Fifit. Ehm, kalau mau berkunjung, aku anak XII-IPA 2. Tetangganya Shua." Fitri tersenyum lagi. Dihitung-hitung, dia sudah banyak menyedahkan senyumnya sejak beberapa menit lalu.
"Senior di PMR banyak, sih. Yang tugas ngisi kelas hari ini Kak Verno, Kak Jini, sama Kak Yeni. Sisanya jadi tukang mantau aja, sih. Bedainnya, yang udah senior pake syal kuning, sih. Kayak gini." Fitri mencerocos sembari memegang syal kuning yang baru dipasangkan ke lehernya.
Niki hanya menyimak. Mengobrol dengan Fitri membuatnya tidak memiliki waktu sedetik pun untuk menyela.
Saat Fitri asyik menjelaskan, pintu berderit terbuka. Joshua masuk dan sedikit terkejut melihat dua cewek yang mematung menatapnya. Dia tersenyum canggung selama sesaat, kemudian melipir ke kursi pojok. Membuka tas, mengeluarkan earphone, dan merebahkan kepala setelah memasang kedua benda itu di telinga.
Fitri tersenyum geli. "Hati-hati aja, ya. Shua abis kelas dimulai, jangan harap lihat dia bisa senyum," ungkapnya dengan nada pelan.
Untungnya orang yang mereka bicarakan tidak mendengar. Jadi, mereka lanjut mengobrol sampai anggota PMR muncul satu per satu dan jam kelas yang ditentukan pun tiba.
Ternyata Fitri benar, ketika Joshua berdiri di depan selaku ketua PMR yang melakukan pembukaan, wajahnya berubah datar dan bicaranya teramat serius. Aura yang menguar dari tubuhnya hanyalah serius atau kurebus.
Niki sedikit bergidik ngeri ketika cowok dengan tinggi 180 sentimeter itu lewat di dekatnya.
Kelas pertemuan kali ini diisi pembahasan seputar riwayat bapak Palang Merah sedunia. Jadi, Niki ada pengalihan dengan menyimak penjelasan Yeni di depan kelas dan berhasil mengabaikan perasaan ngeri tiap melihat Joshua.
Hanya saja, entah bagaimana, dia merasa cowok itu beberapa kali seperti mengawasinya.
Dia mendongak dengan perlahan, hanya untuk mengintip Joshua yang baru saja berjalan ke depan, melewati mejanya.
Mati aku! Batinnya ingin menjerit, tetapi tubuhnya terlalu kaku bahkan meski untuk menundukkan pandangan ketika Joshua menatap balik.
Pintu kelas diketuk. Nyaris semua mata memandang ke arah tamu yang ternyata seorang cowok dengan tinggi 168 sentimeter dan berwajah familier-bagi beberapa murid.
"Permisi. Ada Niki?" Niko bertanya, penuh percaya diri.
Niki baru saja menghela napas lega karena perhatian seisi ruangan teralih darinya. Namun, sekarang sudah ketar-ketir lagi.
Joshua melangkah menuju pintu. "Ada urusan apa?" Nada bicaranya datar, tetapi tatapannya mengintimidasi.
"Maaf, Anda siapa, ya?" Niko menghela napas dulu sebelum berujar.
"Saya Joshua, ketua PMR. Jadi, kalau kamu ada urusan sama salah satu anggota saya, kamu harus mendapat izin dari saya," jawab Joshua, tegas.
Sebelum memberondong cowok arogan di depannya, Niko lebih dulu menggulung lidah demi menahan diri. Dia paling tidak suka ada orang yang menahan atau menyulitkannya bertemu Niki. Terlebih orang asing.
"Kalau urusanmu tidak terlalu penting, sebaiknya tunggu pacarmu di luar saja. Kelasnya sebentar lagi berakhir," pungkas Joshua. Kemudian, maju dan menutup pintu tanpa mendengar sepatah kata terakhir dari cowok di depannya.
Niko mengumpat pelan. Amarah menggelegak dalam hatinya, bersiap meledak dan menyembur muka songong cowok itu.
Dengan hati dongkol, dia akhirnya menunggu di depan kelas sembari diam-diam mengawasi kegiatan di dalam.
"Fokus!" Joshua mengetuk meja Niki. Membuat cewek itu tergemap dan nyaris terjengkang saking terkejut.
Niko meremas kedua tangannya saat melihat pemandangan itu dari jendela kelas. Sejak tiba di depan ruangan dan mengintip, bukan sekali dia mendapati cowok itu curi-curi pandang pada sahabatnya.
Benar-benar cowok yang menyebalkan!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro