Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

! 𑁍 ָ࣪ ˖𝐒 𝐩 𝐞 𝐫 𝐚 𝐧 ţă ¡!•KageHina•

Typo bertebaran,
enjoy people☺️🙌🏻💃🏻✨


[ Perkenalan Tokoh ]


Nama : Ny. Korai + Ny. Aoi
Status : Menikah
Pekerjaan : Modeling & Investor + Arsitek & Designer
Alumni : HHS
Desc : Kakak pertama (skaligus ibu Hoshiumi) + Kakak kedua Bokuto, tinggal diluar negeri karena karier , bisnis dan keluarga masing—masing. Bokuto sendiri juga menitipkan beberapa bisnis minyak, makanan dan interior di luar negri pada sang kakak untuk diawasi karena Bokuto tidak bisa bolak—balik keluar negri dan punya pekerjaan tetap dikota ia memutuskan menetap dengan keluarga mungilnya.

©️®️ @_10shiko // twitter



Nama : Taketora Yamamoto
Status : Melajang (jones)
Hobi : Nyemilin gundu campur boncabe dikocok di pelastik kiloan
Sekolah : AOH
Desc : Adiknya Akane, semangatnya gede, lebay, alay, berisik, seneng tantangan. Sahabat kecil Yachi dan suka Kiyoko.



Nama : Hirugami Sachirou Beaufort
Status : Tunangan
Hobi : Masak aer biar mateng
Sekolah : luar negri / bakal pindah ke AOH setelah menikah
Desc : Teman bisnis skaligus pacar Hoshi, pintar, cerdas, cekatan dan ramah. Otw nikah sama Hoshi karena kerjasama perusahaan skaligus emang sama sama cinta.



𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯






•••

••






𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯



Tepat di detik ke lima belas, kedua manik Shoyo terbuka. Satu tangannya keluar dari balik selimut, jari—jari mungil itu menyentuh wilayah dahinya yang berkeringat. Degup jantungnya bergemuruh bersamaan dengan hembusan angin kencang di tengah malam yang mampu menyibak gorden tebal dari pintu kaca yang terbuka lebar pada area balcony kamarnya.

Dengan deru nafas yang masih berlarian, Shoyo segera duduk dan bangkit begitu saja dari ranjang. Tanpa memakai sepasang alas sandal, langsung berjalan menghampiri hembusan angin tersebut. Angin itu terasa dingin, namun tetap tidak menghilangkan rasa gerah dan kegelisahan Shoyo saat ini.

Pukul 01.45 dini hari, cuaca disini tidak sama seperti tempat tinggal Shoyo. Suhu udara cukup terbilang panas meski seharusnya di wilayah empat musim sudah turun salju saat ini. Keluarga Bokuto beserta Hoshi tiba sekitar pukul 7 malam, jarak yang tak begitu jauh tidak memakan waktu yang cukup lama untuk bisa sampai di kediaman Grannie dan Grandeu.

Sesuai dengan rencana, mereka akan ke Aussie terlebih dahulu untuk menjemput Grannie dan Grandeu sekaligus meminta doa dan restu untuk kelancaran pernikahan Hoshiumi nanti. Ayah dan Ibu Hoshi, kakak kedua Bokuto beserta keluarga pengantin Hoshi turut hadir. Mereka sudah sampai 5 jam lebih dulu dibandingkan keluarga cemara ini.

Shoyo meremat gagang besi balcony yang melingkar dengan ukirat rumit ditemani hiasan pot kembang—kembang camelia putih kesukaan Grannie yang tertata rapih di lantai. Seberapa keraspun Shoyo mencoba untuk melupakan dan menghilangkan wajah Tobio dari pikirannya ia tetap tidak bisa melakukannya.

Ia tak bisa membenci Tobio seperti Tobio membencinya, ia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana cara untuk mengusir Tobio dengan sumpah serapah agar ia pergi sejauh mungkin dari hidupnya seperti yang Tobio lakukan. Tetapi... rasa sakit yang kembali melekat disaat teringat membuat Shoyo menekan dadanya kuat—kuat.

Berharap rasa sakit dihatinya menghilang dengan cara itu, sebulir air asin kembali menetes dari pelupuk mata. Ia rindu, tetapi untuk apa bertemu? Jika Tobio saja tidak menginginkannya, tidak membutuhkannya, tidak mengharapkan kehadirannya. Apa boleh Shoyo memendam perasaan sepihaknya ini sendirian? Sejak kejadian suram malam itu, Shoyo sudah jauh lebih mengerti tentang perasaannya.

Rasa sakit ini, bukanlah rasa sayang dari adik terhadap abangnya semata, bukan! Mereka bahkan bukan adik kakak!

Ini jenis perasaan yang lebih akurat dari itu, dan Shoyo tidak menyesal karena memilikinya. Tak apa bila Tobio mengusirnya, tak apa bila Tobio tidak membalas perasaannya, tak apa bila Tobio tidak menginginkannya, tak apa bila Tobio lebih memilih gadis lain ketimbang dirinya.

Shoyo hanya ingin agar tetap bisa dekat dan berteman baik dengannya, ia tidak akan meminta lebih dari itu.

Tetapi logika dan akal sehatnya menolak semua kebaikan dan ketulusan hatinya mentah—mentah. Sisi jahat yang semua manusia miliki terus membisikkan kata—kata kejam yang membuat Shoyo terombang—ambing dalam perjalanan menggunakan kapal di tengah luasnya samudera, tak tau kemana arah dan tujuan dermaga yang ingin dicapainya.

Hati Shoyo ingin memaafkan, mengikhlaskan tetapi akal sehat dan logikanya tidak selaras. 'Dia tidak menghargaimu Sho.' 'Dia jahat padamu, dia bukan orang baik.' 'Jangan maafkan dia, dia tak sayang padamu.' Dan kata—kata memuakkan lainnya. Terkadang Shoyo menjawabi hal itu keras—keras di dalam mimpinya hingga Hoshi yang selalu tidur sekamar dengannya saat masih dirumah turut terbangun untuk menenangkannya.

Keceriaan Shoyo juga menghilang, rasanya tak ingin melakukan apapun, tak bersemangat seperti biasanya. Rasanya waktu terasa begitu lambat, semuanya membosankan, tidak ada wajah kesal dan hardikan Tobio yang sering mengomelinya karena tingkah laku atau rasa kekhawatirannya yang berlebihan terhadap Shoyo.

[ putar lagu di mulmed ]



🎶 Oh mengapa harus kulihat kau dengan dirinya 🎶

Tetapi ketika perasaannya mengatakan bahwa mungkin saja Tobio tidak benar—benar khawatir padanya, ia hanya khawatir karena Bunda Iwaizumi sudah menitipkannya pada Tobio, dan Tobio merasa bertanggung jawab karena Shoyo adalah anak Mama Akaashi yang notabenenya adalah sahabat karib Bunda Iwaizumi membuat Shoyo lagi—lagi merasa buruk.

🎶 Terluka tapi tak berdarah 🎶

Mana yang harus dipercayainya? Perasaan dan sudut pandangnya kah? Atau sikap Tobio tempo hari lalu kah? Shoyo ingin menyerah dan ingin terbebas saja dari semua masalah ini, tetapi dengan pergi ke Aussie tidak juga dapat bisa membuat pikirannya tenang.

🎶 Ajarkan aku cara tuk melupakanmu 🎶

Kenapa teringat terus sih?!

🎶 Bila membencimu tak pernah cukup 🎶

Apa yang salah Sho?!

🎶 'tuk hilangkan kamu 🎶

Lupain dia! Lupain!

🎶Ajarkan aku, 🎶

Dia tuh gak sayang kamu!

🎶 sebelum merusak kedalam-dalamnya 🎶

Dia sayang dan sukanya sama Yachi!

🎶 Sebelum aku trauma mencintai sosok yang baru lagi 🎶

Hora, ingat kan? Bagaimana dia membela gadis itu?

🎶 Tak tahu bagaimanakah caranya 🎶

Dia lebih memilih Yachi ketimbang kamu!

🎶 Agar diriku bisa lupakanmu 🎶

Dia gak percaya sama kamu!

🎶 Ajarkan aku cara tuk melupakanmu 🎶

Dia bahkan gak mau dengerin penjelasan kamu, satu kata pun gak!

🎶 Bila membencimu tak pernah cukup 🎶

Kamu bukan siapa-siapanya!

🎶 'tuk hilangkan kamu 🎶

Kamu gak lebih dari sekedar anak dari sahabat karib ibunya!

🎶Ajarkan aku,🎶

Karena itu dia mengusir kamu, jadi tolong jangan...

🎶 sebelum merusak kedalam-dalamnya 🎶

Jangan terus menyukainya!

🎶 Sebelum aku trauma mencintai 🎶

"Hiks, hiks...hiks..."

🎶 mencintai 🎶

Jangan terus memikirkannya!
Ia menekan dan memukuli area dadanya.

🎶 mencintai 🎶

"Ittai."

🎶 sosok yang baru lagi 🎶

Jangan lagi!

Shoyo memejamkan matanya, dan seketika gambaran kebersamaan Tobio dengan Yachi tercetak jelas dikepala. Shoyo menggelengkan kepalanya keras agar gambaran itu segera enyah dari sana, lantas jatuh terduduk di lantai balcony yang dingin.

"Sakit Mah...sakit, Shoyo..." Ia mendongkak, menatap langit—langit malam yang hitam. "Gak mau... jatuh cinta lagi." Hembusan nafasnya pelan—pelan meringan, "Tuhan... tolong buat Sho lupa sama Bang Tobio." Maniknya berkedip teratur, "Tolong ambil perasaan ini Tuhan." Ia menggigit bibirnya yang gemetar setelah mengatakannya lirih, diikuti air asin yang terus terjun bebas dari pelupuk matanya seakan ucapan dan keinginannya  tersebut sangatlah berlawanan saat ini.

Tetapi siapa sangka, permintaan tulus dan kesedihan Shoyo kala itu. Mungkin saja akan segera dikabulkan, tidak lama lagi.




><><><><



Minggu,
Rumah Makan Karasuno.




Tobio duduk gelisah dikursinya, meski berbagai macam hidangan istimewa dengan aroma menggugah terhidang di meja makan tepat didepan mata, tetap tidak mampu membuat perutnya lapar. Mungkin karena kegelisahan dan rasa menyesal yang masih bergumul dalam hati, belum terhilangkan.

Berkali—kali netra birunya melirik jam tangan, bingung dengan keterlambatan keluarga Bokuto yang tidak seperti biasanya. Ia tau benar, Mama Akaashi tidak akan membiarkan keluarganya terlambat dalam acara seperti ini. Apa mungkin terjebak kemacetan?

Mungkin saja karena ini hari Minggu, tetapi... semua keluarga sudah berkumpul disini. Dan anehnya, Mami Kita yang merupakan penggelar acara nampaknya akan segera mulai bicara di depan semua karena Tobio melihat ia tengah berjalan naik ke atas podium dan bersiap memegang mic. Apa tidak menunggu kedatangan keluarga Om Bo dulu?

Mami Kita sudah turun dari podium, Tobio tidak menangkap semua dari pidato panjangnya, ia hanya mendengar samar—samar jika Atsumu akan segera menikah, dan tanggal pastinya telah ditentukan karena berbondong—bondong pria berpakaian gelap membawa undangan berwarna dasar hitam dengan warna emas sebagai hiasan dan font huruf sambung yang meliuk indah diatas undangan tersebut.

Undangan tersebut diberikan satu keluarga satu, dan bukan Tobiolah yang menerimanya. Keheningan yang sempat menyertai rumah makan milik Bunda Suga paska pidato panjang Mami Kita itu kini berganti dengan dentingan sendok—garpu yang saling bertabrakan. Suara obrolan ringan dan tawa riang pun turut meramaikan acara jamuan makan siang itu. Ditambah wajah dan pancaran mata yang membuat senyuman mereka semakin hidup, sungguh kabar gembira yang dinantikan semua orang.

Siapa yang tidak bahagia jika mendengar kabar pernikahan?

Semua duduk memanjang, terpisah dalam tiga kubu. Satu kubunya memiliki tiga meja panjang yang sudah didekatkan, serta kursi—kursi yang pas bagi semua keluarga. Satu meja ditempati KidKat Squad (Ryuu, Nishinoya, Tsukishima, Yamaguchi, Goshiki, Kanji, Kenjiro, Fukunaga, Shibayama, Kunimi, Kindaichi, Inouka, Atsumu, Osamu, Suna dan Tobio sendiri).

Dan dua meja lainnya di isi oleh masing—masing dari Mom Squad (Sugawara, Kita, Semi, Yaku, Iwaizumi, dan Moniwa lalu selain anggota Mom Squad ada Kenma, Ennoshita dan Hanamaki) serta Dad Squad (Daichi, Terushima, Ushijima, Kuroo, Oikawa dan Futakuchi lalu selain anggota Dad Squad ada Lev, Kinoshita, dan Matsukawa).

Jika semua tenggelam dalam obrolan dan hidangan masing—masing, Tobio lebih memilih untuk tenggelam dalam pikirannya sendiri. Seporsi nasi dengan lauk gudeg sisa setengah didorongnya dari meja pelan, bersamaan dengan punggungnya yang menyentuh leher kursi, bersandar.

Maniknya lagi—lagi bergerak cemas, kerutan turut hinggap di dahinya yang mulus. Menatap jam di pergelangan tangan, dengan masih menanyakan hal yang sama 'Keluarga Om Bokuto terlambat?'

Kita semua tau jika keterlambatan seseorang tidaklah begitu penting, apalagi jika bukan orang tersebut yang memiliki acara. Namun, yang dipermasalahkan Tobio saat ini adalah, ia ingin sekali bertemu dengan Shoyo disini. Ia sudah berharap demikian sejak pulang dari acara final date dengan Yachi kemarin.

Sebenarnya kalau saja Bunda Iwak tidak melarangnya pergi ke rumah Shoyo semalam, ia tidak akan sekhawatir ini. Tetapi tidak, setelah sampai dirumah untuk mandi dan bersiap kembali untuk pergi, Bunda Iwak sudah menjegalnya didepan pintu seraya berkata. "Bagus banget pergi dari pagi pulang sore terus mau pergi lagi iya? Senin tuh ujian! Bukannya belajar malah kelayapan." Memelototinya dengan tatapan tajam.

"Kalo sampe dapet nilai dibawah 9, gakusah sekolah lagi!" Bunda Iwak menambahkan dengan kejamnya, lantas membanting pintu menandakan bahwa ia tidak sedang main—main dengan ucapannya. Memiliki Ayah seorang Dosen dan Bunda yang adalah seorang pengajar juga, Tobio tidak lagi heran jika keluarganya menjunjung tinggi nilai sempurna dan itu harus tercetak tebal dalam rapor juga semua bukunya.

Dan setelah itu semua, mana berani ia melangkahkan kaki keluar untuk sekedar duduk—duduk di pelataran teras misalnya, jelas sangat tidak berani. Jadilah ia menyerah, dan berharap bisa menemukan Shoyo di acara makan siang kali ini, ia ingin segera meminta maaf atas perbuatannya tempo hari.

Ia sudah mengancam, mengusir bahkan memfitnah Shoyo. 'Bego lu Tob! Bego banget!' Rutuknya yang tanpa sadar memantuk—mantukan dahinya sendiri ke meja makan, karena hingga detik ini Keluarga Bokuto tak kunjung sampai. Sebenarnya bisa saja ia menghubungi Shoyo via WA atau aplikasi pesan lainnya hanya saja meminta maaf dengan seseorang lewat telefon atau pesan itu terasa kurang sopan menurutnya.

Tobio ingin meminta maaf secara pribadi, face-to-face, sekaligus mencium aroma manis dari tubuh pria mungil itu, yang secara tidak langsung amat sangat ia rindukan. Bohong rasanya jika ia tidak pernah mengingat Shoyo selepas malam itu, justru setelah malam itu Shoyo selalu bernaung dalam ingatannya, sehingga rasa bersalah terus menerus menggema dari dasar hatinya.

Belum lagi ketika Shoyo yang tiba—tiba menghilang, dan semua terjadi begitu saja. Bagai ditelan bumi, Shoyo tidak bisa ditemukan ditempat—tempat normal sekalipun. Dan anehnya, tidak ada sekelebat kabar apapun tentang Shoyo yang menyusup ke telinganya hingga saat ini, dari teman—teman dekatnya sekalipun. Seakan, menghilangnya Shoyo bukanlah hal yang aneh, semua berjalan wajar seperti biasanya.

Yang tidak biasa dan tidak wajar adalah perasaan khawatir dihatinya. Terus menerus mengusiknya seperti mengatakan jika ada yang salah dengan dirinya saat ini. Ia rindu, gelisah, khawatir dan menyesal diwaktu bersamaan, baru tiga hari tidak menemukan Shoyo tetapi rasanya seperti sudah seminggu. Apa waktu bergerak begitu lambat sekarang?

Dan tanpa Tobio sadari juga, kini ia sudah jadi pusat perhatian yang lainnya, tepatnya yang satu meja dengannya. Ryuu yang sedari tadi hanya diam memperhatikan kini mengusak pelan bahu tegap Tobio, "Oi... gapapa lu?" Tobio mendongkak spontan.  "Eh Bang Ryu, gapapa gapapa." Namun bermakna "Gak, gue kenapa–napa."

"Bener gapapa lu?" Kindaichi memberinya segelas air dan ia menerimanya, "Gapapa Bang." Yang dimaksudkan "Gue beneran kenapa–napa." Menunduk sebentar lantas meminum beberapa teguk sebelum menaruh gelasnya diatas meja. "Yaudah, ayo pulang." Ajak Kindaichi, eh pulang? Tobio terperangan ketika menyadari bahwa seluruh orang tua tengah berbondong—bondong membawa kotak—kotak makanan dan juga buah—buahan sebagai buah tangan siap berpelukan bagai teletubies sebelum benar—benar keluar pintu.

Tobio mengangguk lesu, mungkin ia terlalu larut dalam pikirannya sampai—sampai melupakan juga mengabaikan apa yang tengah terjadi disekitarnya. Tapi...apa hari ini juga tetap tidak bisa bertemu dengan Shoyo? Tiba—tiba pemikiran itu tercetus begitu saja diotak, membuat Tobio berdiri cepat. Dan membisikkan seongok kalimat pada sang kakak. Dan Kindaichi nampak diam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk ragu.

"Oke, hati-hati."

Sepeninggal Tobio, Ryuu dan yang lainnya mendekat. "Tobio bilang apa Kind?"

"Dia bilang mau kerumah Om Bo."
"Bah jadi dari tadi dia setress mikirin itu?" Tanya Atsumu cepat, semuanya nampak mencuatkan bahu acuh seolah berkata 'mungkin'.

"Harus ga gw kasih tau dia kalo keluarga Om Bo pergi ke luar negri?" Tanya Kanji polos.
"Jelas gak boleh, dudul." Jawab Goshiki sebal, dan Kanji berkedip cepat. "Dudul?"
"Lupain!"

"Apa gak papa kalo gausah dikasih tauin?" Yamaguchi sedikit merasa kasihan dengan Tobio, meskipun telah menyakiti sahabat baiknya. Tobio terbukti memikirkan dan mungkin saja menyesal dengan perbuatannya itu sehingga ia ingin pergi kerumah Shoyo saat ini. Namun, Ryuu sang kakak tidak mengizinkannya untuk berbelas kasihan kali ini. Ia memegang punggung Yama sekilas, "Gapapa Yams, Kindaichi udah izinin dan sebagai sesama Abang gue ngerti maksudnya apa."

"Gue cuma pengen dia berusaha buat dapetin apa yang emang dia mau, jadi biarin aja. Kalo dia ngerasa salah dan sayang sama Shoyo dia pasti bakal minta maaf dan nyari Shoyo kemanapun itu. Tapi kalo gak, dia pasti gaakan susah payah buat itu semua. Jadi tenang aja, karena Bunda bilang kalo Tobio sengaja nyangkal perasaannya sendiri. Ini masalahnya sendiri, jadi biar dia selesaiin sendiri, gue gaakan bantu apapun bentuknya ini keputusan gue sebagai kakaknya."

Prok Prok Prok

Seketika manik Kindaichi membulat ketika suara tepuk tangan meriah mengakhiri pidato singkatnya barusan.

"Ey pada tepok tangan aja, ayo pulang!" Mama Semi berkacak pinggang sambil menatap galak.

"Iya kalian harus belajar, besok ujian!" Tambah Bunda Suga tegas.

"Jangan lupa siapin contekannya!" Om Kuroo menambahkan, disusul Om Lev yang ikut berujar, "Kalo pilgan, tang ting tung aja biar cepet."

Bak! Bug!

"Aduh Sayang sakit!"
"Aw aw, ampunnn baby~"
Dan berakhir dengan suara gaduh tendangan maut dan pekikan turut menggelegar bersamaan yang disebabkan oleh pawang mereka.

"Ayo pulang anak–anak udah sore! Jangan dengerin dua setan ini!"
"Ha'iiii!"



><><><><




"Maji?" Ucap pria pelontos dengan surai kekuningan membentuk lurus membelah kedua bagian kepalanya yang botak.

"AHAHAHAHA LUCU SEKALI!"

"A-aku sedang t-tidak bercanda ya Tora!" Balas Yachi berapi—api.

Taketora masih menahan tawanya selagi menyanggah, "Hai hai, jadi kalian udah bener-bener bubar kan? NGAHAHAHAHAHA kesian banget lo Chi." Lanjutnya, membully Yachi. Tawanya menggema keras, hingga sofa yang sedang didudukinya ikut bergoyang.

Yachi mempoutkan bibirnya, seluruh area hidung dan matanya nampak kemerahan, bekas menangis semalam. "G-gak usah nga-ngatain kalo k-kamu sendiri ditolak s-sama Kak Kiyoko!" Dan seketika tawa riang yang terdengar dipaksaan itu lenyap, "Anjer ngejleb."
Yachi tidak berhenti untuk membalas perbuatan Taketora barusan dengan menambahkan, "K-kamu kalah Tora! H-hora akui saja kekalahanmu!"

Taketora mengernyit namun tetap mengakuinya, "Yah, gw emang kalah. Tapi lo juga ye!" Yachi mengangguk samar, tangannya meremat ponsel yang tengah menempeli daun telinganya. Bibirnya mengulum kencang, seraya mendongkak diikuti kedipan mata tak teratur berusaha menahan tangisnya yang akan kembali pecah jika ia tidak melakukannya.

Taketora yang mendengar aksi diam Yachi memutuskan untuk berhenti mengejeknya, ia menghela nafas berat. Aneh rasanya, jika kau sedang sedih tetapi harus menghibur orang lain. Lemah tetapi harus menguatkan orang lain, namun Yachi adalah teman sejatinya. Dan sudah menjadi tugas seorang teman untuk itu bukan? Jadi Taketora mengenyampingkan perasaannya dan mendahulukan perasaan Yachi.

Sebenarnya bukan hanya karena itu, tetapi karena mereka sama—sama sudah berjanji akan taruhan tersebut. Taruhan yang melibatkan Tobio dan juga Kiyoko, jika Taketora menyukai Kiyoko dan Yachi menyukai Tobio. Maka cukup masuk akal jika mereka bersekongkol untuk mendapatkan keinginan mereka itu. Yachi akan mengurus Kiyoko dan Taketora membenahi Tobio.

Tentu mereka melakukannya dengan cara aman, intinya saling membantu. Tak urung rencana mereka gagal, namun semua sempat berhasil beberapa waktu. Seperti tempo lalu Yachi yang berhasil berpacaran dengan Tobio tanpa adanya gangguan dari Shoyo. Taketora pun mendapat kesempatan untuk pergi kencan dengan Kiyoko karena suatu hal.

Dan mereka benar—benar menikmati semua itu.

"Oi, masih disana?" Tanya Taketora takut—takut, meski cengeng dan lemah begitu Yachi adalah teman yang berharga baginya. Jelas ia tak ingin mendengarnya sedih, walau sudah seringkali menyaksikannya, hanya saja... hatinya selalu mengganjal karenanya.

"Hiks." Yachi menjawab dengan segukan. "Cengeng lo, udah jelek makin jelek entar!" Candanya, namun Yachi tertawa setelahnya. "A-aku memang jelek... i-itu sebabnya T-tobio-kun pergi." Lirihnya yang semakin memperkeruh suasana, padahal niatnya Taketora tadi adalah mengalihkan rasa sedih Yachi terhadap Tobio menjadi rasa kesal padanya dan semua jadi berantakan.

"Oi oi oi, cowo buta aja yang bilang lo jelek." Cibir Tora ikut kesal, selama belasan tahun mengenal baik Yachi. Tora tidak berpikir kalau Yachi memiliki wajah jelek, malah bisa dibilang Yachi termasuk ke dalam kategori cewe manis dan imut.

"Jadi menurutmu, a-aku cantik?" Tora mematung, pipinya memanas detik itu juga. "Haha jangan bercanda."
"J-jadi k-kau cuma berc-canda Tora?!"
"Bukan, bukan...IYA IYA LO MANIS. Puas?!" Hardik Tora dan Yachi tertawa riang karenanya.

"Puas?!" Ulang Tora dan Yachi mengangguk setelah tawanya mereda. "T-terimakasih." Tora memutar bola matanya malas, namun ikut senang karena Yachi sudah tidak menangis lagi.

"A-aku jadi s-semangat lagi."
"Ya, haruslah. Perjuangin cinta tuh jangan setengah-setengah, kalo kata nyokap nanti bahagianya juga cuma setengah, lo mau?" Yachi menggeleng, jelas siapa yang mau?

"J-jadi, apa k-kamu punya i-ide?" Karena jujur saja, untuk saat ini Yachi tidak memiliki ide apapun. Ia memang terlanjur kesal dan benar—benar kesal karena lawannya memiliki begitu banyak bala bantuan sedangkan dirinya hanya memiliki satu dan lebih sering berusaha dengan jerih payahnya sendiri. Tetapi meski begitu Yachi tidak mau kalah, Tobio harus kembali padanya.

"Gini ye, menurut gw kalo sumber masalah lo belom ilang, masalah-masalah yang laen juga gaakan pernah ilang. Jadi saran gw lo musnahin dulu sumbernya." Tora mengambil secangkir latte diatas meja dan menyeruputnya.

Sumber?

Yachi tau jelas siapa sumber dari masalah ini, tidak lain dan tidak bukan adalah Bokuto Shoyo, haruskah ia berbuat sesuatu padanya? Tetapi seperti apa? Menghapusnya? Menghilangkannya? Memusnahkannya? Apa itu berarti membunuhnya?

"W-wakatta, akan a-aku lakukan."





// mulai dari sini, bagian peran utama dalam ff kali ini akan digabung //

               Tidak terasa sudah pukul 5 sore ketika Tobio menginjakan kaki di depan gerbang rumah besar bercat putih dengan pagar raksasa warna hitam yang tertutup rapat—rapat. Setelah membayar secara cash pada ABANG OJOL barulah Tobio benar—benar mempersiapkan diri dengan menghembuskan nafas pelan seraya berjalan mendekati pagar untuk menyapa Pak Raden lewat lubang kecil dibawah bel pintu pagar.

Tobio menekan bel dan suara khas Pak Raden terdengar dari sana, "Siapa? Ah Den Tobio rupanya...tunggu sebentar ya." Jawab Pak Raden setelah melihat Tobio yang melambai ke layar TV yang sudah tersambung dengan kamera CCTV di seluruh penjuru kediaman Keluarga Bokuto.

Tak! Grek! Greeeeeeek!

Gerbang besar itu pun terbuka secara otomatis, entah tombol atau remot mana yang ditekan oleh Pak Raden. Tobio juga tidak terlalu ingin tau tentang hal itu jadi Tobio masuk saja langsung seperti biasa. Namun, yang tidak biasa adalah ketika Pak Raden menghentikannya untuk masuk lebih dalam menyusuri pekarangan rumah Keluarga Bokuto dengan mencekal pergelangan tangannya.

"Eh Aden tunggu...udah lama banget gak kesini, kemana aja?" Tanya Pak Raden kepo, dan Tobio nyengir kuda sebagai jawaban.

"Ada sesuatu gitu Pak." Pak Raden nampak mengangguk sekilas, mengerti. "Tuan Muda kayak murung gitu sih pas Aden gak kesini sini. Saya mau nanya cuma Tuan Muda lagi sakit waktu itu. Saya juga bingung sih sebenernya...masa pas Tuan Muda sakit Aden gak dateng? Biasanya kan Aden yang nemenin Tuan Muda kalo lagi sakit. Tau sendiri gimana rewelnya Tuan Muda kalo lagi sakit?"

Tobio tercenung, "Si pendek sakit Pak?" Pak Raden mengangguk polos. "Loh jangan–jangan Aden gak tau?" Tobio menggeleng pelan. "Si pendek ada di dalem kan Pak? Saya mau liat sama ngecek langsung keadaan dia kalo gitu." Tobio langsung saja mengutarakan maksud kedatangannya saat ini.

Dan Pak Raden menautkan alisnya, "Eh? Ada apasih sebenernya sama kalian? Kok apa–apa Aden bisa gak tau?" Pak Raden menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Emang ada apa lagi Pak?"

"Tuan Besar sama Ibu Negara lagi keluar negri, dan Tuan Muda sama Tuan Muda Hoshiumi ikut." Luar Negri?

"Kemana Pak? Ngapain?" Tanya Tobio spontan.

"Ke Prancis, katanya persiapan nikahannya Tuan Muda–"

Krack!

Ada yang patah tetapi bukan tulang.

"Pernikahan?!" Potong Tobio sebelum Pak Raden merampungkan ucapannya, Pak Raden mengangguk. Tiba—tiba sekelebat ingatan tentang sosok pendek berambut putih hinggap dikepala. Laki—laki yang acapkali sering bersama dengan Shoyo itu juga mengaku sebagai pacar Shoyo bukan? Ia ingat, apa Shoyo akan menikah dengannya? Tapi kenapa?

"Dari kapan mereka berangkatnya Pak?!" Sergah Tobio cepat, ia harus segera menyusul Shoyo sekarang juga! Tobio tak mengerti bagaimana bisa Shoyo mempersiapkan pernikahan tanpa memberitahunya? Ia tidak akan mempercayainya sebelum melihat dengan mata kepalanya sendiri. Tidak akan!

Dan juga, apa apaan ini? Tobio menekan bagian kiri dadanya sendiri, rasanya ada yang merosot turun dan rasa cemas serta khawatir kembali mencuat hebat, tak terelakkan lagi Tobio harus segera mendengarnya langsung dari Shoyo.

"Oh, dari jumat sore–"

Drap Drap Drap

"Makasih Pak, saya pulang!" Tobio berlari keluar gerbang, langkahnya semakin lama semakin cepat begitu juga dengan ketikan jari—jarinya pada layar handphone. Shoyo sudah sejauh itu, tidak ada cara lain selain menghubunginya lewat telfon, entah Shoyo sedang apa saat ini Tobio tidak begitu peduli.

Chat Via WA

Ndek, ingat aku?
Dimana, sekarang?

Tut.. Tut..

Suara sambungan telfon bertabrakan dengan deru nafas yang menggila. Langit sudah gelap kebiruan, sebentar lagi sore hari akan benar—benar menjadi malam.

Tut! Tut! Tut!

Tobio mengurut dahi bersamaan dengan dijauhkannya ponsel dari telinga, memandang layar sekilas ketika panggilannya tiba—tiba saja terputus. Kemudian mencoba menghubungi lagi dan suara wanita ciri khas operator lah yang menjawabnya dengan 'Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.'

"Lah? Tadi bukannya nyambung?"

Kling! Kling!

Diwaktu itu juga, rentetan pesan masuk dari pesan grup sahut—menyahut minta dibuka segera.

Group Chat WA

Sunanjar Tukang Pijet
Guys, liat dah post annya Shoyo @sipendek

Kanjing
Ada apaan emg? Gue blm buka ige

Inoukancing
Lagi jelong-jelong ya Keluarga Om Burhan

Shibayamayam
Iyaaa, pingin nyusul tapi nanti abis ujian:(

Yamagucchee
Ugh gasabar :(

Kutilmi
Org org pd bljr, doi jelong jelong

Atsumu Gak Perawan
Iye, gw jd iri njer
Enak x ye nikah diluar negri

Osamu Gembrot
Gausah ngadi" lu Tsum

Atsumu Gak Perawan
Bd gw mo blg omi

Sunanjar
Caper bumil

Osamu Gembrot
Caper bumil (2)

Atsumu Gak Perawan
Bacot lo gembrot

Osamu Gembrot
Gua gak gembrot ya syalan, gua gembul. Lu tuh gendut berbadan 2

Atsumu Gak Perawan
Bacot gembrot, gw gak gendut tp semok

Nishinoaah
Berisik

Atsumu Gak Perawan
Yang pendek diem aje udah

Ryuukencrot
Yang uke gausah banyak bacot

Tanpa berlama—lama untuk tinggal di group chat lagi, Tobio buru—buru mengecheck akun sosial medianya dan mencari nama pengguna milik Shoyo. Entah hanya perasaannya saja atau memang benar, karena tidak ada status terbaru apapun dari akun Shoyo. Tapi mana mungkin mereka akan seheboh itu jika Shoyo tidak benar—benar memposting sesuatu?

Jadi Tobio membuka akun kedua miliknya, akun yang biasa digunakannya untuk menstalk akun Shoyo. Tolong diingat, Tobio itu tsundere jadi sudah wajar jika ia memiliki akun lain untuk memperhatikan Shoyo lewat akun sosial media. Seketika bahunya tersentak, bersamaan dengan maniknya yang membola.

"Bohong kan?" Tanyanya pada diri sendiri, kedua ibu jari yang sama—sama menyentuh layar menggeser cepat foto—foto pada postingan terbaru Shoyo. Di slide pertama ia menemukan dua burung merpati yang paruhnya saling mematuk, slide kedua menunjukan kesepuluh jari mungil milik Shoyo yang telah dihias corak bunga serta ranting—ranting sebagai penyanggahnya.

Ada cincin perak yang melingkar di jari manis sebelah kirinya. Menggeser lagi, di slide berikutnya hadir wajah dua insan yang saling tersenyum lebar, dengan kedua tangan terangkat berdekatan menunjukkan sepasang cincin di jari manis masing—masing. Dan di slide terakhir adalah hasil jepretan kembang api di malam hari yang bertuliskan "Will You Marry Me?" dengan huruf sambung yang memukau berkilat indah dilangit.

Bola mata Tobio menelusuri captions yang dituliskan Shoyo besar—besar. "OF COURSE, I DO! OH NO I WILL!"

Prak!

Hpnya terjatuh tanpa sadar, diikuti lututnya yang bertumpu pada aspal trotoar jalan, ia tak percaya jika ini nyata. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa? Apa sudah amat sangat terlambat untuknya? Untuk meminta maaf dan menjelaskan perasaannya pada Shoyo sekarang?

Eh? Perasaannya?

Tes!

Bahunya tersentak ketika ujung ibu jarinya menemukan bulir air asin meluruh di pipi. Kenapa ia menangis? Kenapa ia tidak terima? Kenapa rasanya begitu sakit setelah melihat postingan tadi? Kenapa dadanya sesak? Kenapa ia semakin cemas?

Apa begini rasanya patah hati?



...Sementara itu disisi lain...



      Shoyo menarik nafas dalam—dalam seraya menghembuskannya perlahan. Ini bukan perjalanan pertama baginya menaiki kapal pesiar, namun sedari tadi otaknya terus menampilkan wajah Tobio berulang kali. Padahal Shoyo sedang tidak sedang sengaja mengingat atau memikirkan Tobio, ia hanya ingin menikmati suara deburan air saat kapal menerobosnya lantaran angin menyapu wajah dan menerpa helaian rambutnya lembut. Maka dari itu Shoyo memutuskan melipir di dek kapal, berpegangan pada pagar—pagar kapal.

Note : katanya, kalo tiba-tiba inget sama seseorang padahal kita gak lagi sengaja buat inget dia, itu tandanya orang itu juga lagi inget kita atau mikirin kita. Kata mama cece gitu sih.

"Namamu Shoyo, apa aku salah?" Shoyo terenyak dan segera menoleh, mendapati sosok tinggi dengan senyum rupawan yang rambutnya mirip seperti mangkuk mie yang tumpah. Shoyo mengangguk lalu membalas senyumannya, "Betul sekali Tuan Beaufort, salam kenal." dengan akses prancis yang kental.

Shoyo menilik wajah terkejut calon suami sepupunya itu kemudian ditutupi dengan tawa yang menawan. "Hontou, kau bisa bahasa prancis rupanya." balas Sachiro dengan aksen jepang yang tak kalah kental. Shoyo ikut tertawa tulus, ia sudah tau sejak awal jika Sachiro keturunan Prancis-Jepang.

Jadi tidak heran jika pernikahan mereka akan diselenggarakan di prancis. Dan saat ini, mereka sudah setengah perjalanan ke sana. "Tentu, aku bisa fasih dalam 5 bahasa...sisanya masih dalam proses." Shoyo tersenyum kecil, dan diangguki sekilas oleh Sachiro.

"Jadi, mau bicara pakai bahasa apa?" Shoyo terkekeh, "Kau kaku sekali Tuan Beaufort, bahasa ini saja tak apa." Maksud Shoyo adalah bahasa jepang sehari—hari. "Wakatta, etto aku ingin bicara sebentar, apa aku mengganggumu?" Sachirou berusaha santai meski tetap menggunakan bahasa formal saat bicara. Benar apa kata Hoshi jika tunangannya sangat kolot, alih—alih kolot menurut Shoyo Sachiro lebih mirip dengan laki—laki penuh tanggung jawab nan sopan.

Diusia yang terbilang muda, Sachiro seusia Tobio. Masih duduk di bangku SMA namun seperti nasib para pewaris tunggal yang sudah terjun ikut campur dalam permasalahan bisnis, turut mau tidak mau menjadi lebih matang sebelum waktunya, bahkan di bidang percintaan sekalipun. Beberapa orang tua hanya mementingkan bisnis dan uang, perasaan benar—benar urusan belakangan.

Shoyo mengerti, namun tetap saja Hoshi memegang penuh keberuntungan dalam hidupnya. Jika Hoshi diibaratkan sebuah bintang, maka sudah pasti Sachiro akan menjadi bulannya maka mereka berdua akan bersinar lebih terang. Sedangkan Shoyo selalu diibaratkan sebagai Matahari yang bisa bersinar terang sendirian. Jika Tobio masih bersamanya, akan jadi apa ia kira—kira?

"Iiee, kalau kau menggangguku aku sudah meninggalkanmu sejak tadi. Karena aku tidak bisa mengusir orang." Shoyo menghembuskan nafas lebih lega dari pada sebelumnya, mungkin karena kedatangan Sachiro yang tiba—tiba membuatnya melupakan perihal Tobio sejenak.

"Begitukah? Yokatta." Shoyo melihat Sachiro menghela nafas lantas memandang langit yang semakin lama semakin berubah warnanya. Membuat Shoyo ikut menyaksikan bulatan setengah milik sang surya yang akan segera tenggelam di kaki barat. Sungguh pemandangan yang indah, "Indah bukan?" Shoyo mengangguk dengan opini Sachiro.

"Kau tau, Hoshi sangat menyayangimu?" Shoyo mengangguk lagi tanpa menoleh, tanpa diberitahupun Shoyo sangat mengerti rasa sayang sepupunya itu. "Aku tau kau sedang tidak bahagia saat ini–" perkataan Sachiro terputus karena manik hazel Shoyo yang meliriknya. Apakah sangat terlihat?
"–etto bukan maksudku untuk mengikutcampuri urusanmu. Sungguh!"

Sachiro nampak sungkan, namun tetap melanjutkan kata—katanya karena respon diam yang Shoyo berikan. "Jadi tolong, nikmati pesta pernikahanku dengannya nanti." Ah begitu rupanya... pandangan Shoyo melunak diikuti sudut bibir yang tertarik melawan gravitasi bumi.

"Dan juga, maaf sebelumnya... harusnya aku juga meminta restumu dan minta maaf karena sudah mengambil hati sepupumu satu-satunya." Sungguh? Shoyo tertawa keras. "Pppfffttt hahahahaha!" Sungguh? Sungguh Hoshi mendapatkan pendamping hidup yang sempurna sepertinya. Tampan, kaya, cerdas, berperilaku baik, dan tulus. Astaga! Bolehkan Shoyo iri saat ini?

"E-ah kenapa kau tertawa begitu?" Sachiro melangkah mundur dua kali, kedua tangannya terangkat sebahu cemas. Shoyo menggeleng pelan, "Astaga... kau lucu sekali Tuan Beaufort. Pantas jika Hoshi mau menikahimu." Puji Shoyo apa adanya. Meski Hoshi tau akan dijodohkan tetapi ia tidak menolak, sudah pasti karena alasannya adalah Sachiro sendiri. Karena Hoshi tetap punya kuasa penuh untuk menolak pernikahan itu jika ia memang tidak menginginkannya.

"Lucu?"
"Iiee, aku sudah merestui kalian. Jadi tolong jangan pikirkan apapun selain kebahagiaan kalian berdua. Dengan begitu aku akan bahagia juga, sepakat?" Shoyo menepuk bahu Sachiro dua kali.

"Sepakat!"
"Bagus! Tamu spesial kalian ini akan bahagia, lihat saja nanti." Ucap Shoyo percaya diri, ia berusaha melupakan rasa sakit di dalam hatinya. Setidaknya sampai hari bahagia sepupunya selesai, rasanya tidak sopan jika ia bersedih di hari bahagia seseorang bukan? Hoshi sudah cukup membantu dan menemaninya belakangan ini, jadi biarkan ia membantu meringankan rasa kecemasannya padanya saat ini.

Shoyo harap itu cukup.

"Oke sudah waktunya!!" Ny. Korai yang adalah Bibi Shoyo menepuk tangannya seraya memanggil semuanya keluar dari kapal untuk berkumpul pada teras kapal karena akan ada pertunjukan dari Sachiro dan Hoshiumi sesaat lagi.

"Aah sudah waktunya, aku akan kesana dan tampil dengan Hoshi. Ini... tolong abadikan kami ya?" Sachiro mengalungkan Shoyo sebuah polaroid mini dileher lantas berjalan menjauh dari Shoyo. "Baiklah, ayooo semuanya bersiap!" Shoyo ikut bersorak seraya ikut berjalan mendekati semuanya dan bersiap mengambil foto mereka.

20 menit kemudian...

          Shoyo masih di teras dek, berdiri dekat dengan besi—pesi kapal pesiar. Menggeser beberapa gambar dipolaroid kemudian memindahkannya ke dalam HPnya. Ia ingin memposting beberapa foto. Satu hal lagi yang Shoyo temukan di diri Sachiro, ia sangat romantis. Entah sudah keberapa kali Shoyo mengatakan kalau Hoshi sangat beruntung di dalam hati.

Setelah memilah beberapa foto seperti dua ekor merpati yang ia temukan di kebun belakang rumah Grannie di Aussie, foto kesepuluh jarinya yang terukir corak bunga hasil perbuatan Bibi Aoi yang bersikeras memberikannya art terindah sebagai hadiah dan kedua tangannya lah yang menjadi korban.

Kemudian, gambar dimana ia dan Hoshi berfoto bersama dengan sepasang cincin tersemat dijari masing—masing. Cincin pemberian Grannie dan Grandeu, yang dipakai Hoshi adalah milik Grandeu yang bermakna kesempurnaan. Sedangkan yang dipakainya adalah milik Grannie yang berarti kebahagiaan.

Seketika Shoyo teringat kata—kata Grannie kemarin saat memakaikannya cincin tersebut. "Hoshi sudah bahagia maka Hoshi bisa meraih kesempurnaannya, karena dia sudah lengkap." Shoyo menatap Hoshi yang memanerkan barisan gigi putihnya. "Dan Shoyo tidak harus sempurna untuk bisa bahagia, maka Shoyo akan bahagia sebentar lagi jadi terima ini dan jaga baik-baik."

Dan terakhir, adalah gambar huruf sambung 'WILL YOU MARRY ME?' Yang menghiasi langit malam dalam bentuk kembang api warna warni. Sungguh cantik! Jadi Shoyo mengabadikannya dan ingin sekali mempostingnya. Kembang api itu adalah ucapan dari Sachiro untuk Hoshiumi. Mereka melakukan pentas pelamaran dengan sangat hikmat dan romantis. Karena Sachiro belum melamar Hoshi secara resmi meski sudah berpacaran selama 2 tahun lamanya, tentu Grannie, Grandeu, Papa, Mama, Om, Bibi semua ingin melihatnya secara langsung, jadi mereka benar—benar mempersiapkannya.

"Nah, bagus!" Shoyo menggeser—geser gambar yang telah dipostingnya ke akun sosial media miliknya untuk melihat ada cela atau tidak. Captions menarik juga sudah diberikannya, biarlah para netizen bertanya—tanya padanya apakah ia akan menikah atau tidak, hihi rasanya menyenangkan sekali.

Bokuto_Shoyo

••••

♥️💬↗️
Liked by Futakuchi_Kanji and 12.789.564 others

Bokuto_Shoyo YES I DO! NO, I WILL!
Ushijima_Iki Astaga, Astaga... congratss Shoo!!!🥰🎶
Sawamura_Gucchi CONGRATSSS SAHABAT❤️❤️❤️
Kunimi2022 🎊🎉🎊🎉
Terushima_Atsumu WADUUUUUUUUU! ADA YG NYUSUL NIH? @Sakusa_Kiyoomi 🤪🤪🤪
Zxcghfruit Eh? Bukan sama Tobio? @Oikawa_Milky_Tobio
Xaviera2901 Entah harus SAD atau FEEL BAD but, AKU LEBIH SUKA KAKAK SAMA TOBIO @Oikawa_Milky_Tobio
OCONG19 Lah kok ngatur? @Xaviera2901
Vanilla_Creammy S3 LAH! @Zxcghfruit
Zxcghfruit S3? @Vanilla_Creammy
Vanilla_Creammy SUKA SUKA SHOYO! @Zxcghfruit
Sakusa_Kiyoomi Berisik lu buluk 😷🔪@Terushima_Atsumu
Yachi_Fansclub Bagus deh, gak usah ya lo jadi penghalang kak Yachi sama Tobio lagi! Dasar gay!

View all 1.378 comment

Shoyo menghela nafas sejenak, sudah lima belas menit berlalu dan seluruh notifikasi berisik sahut menyahut sangat menganggunya jadi ia memutuskan untuk melogout akun instagramnya. Toh sudah tidak ada lagi yang ia ingin posting malam ini, ia tak terlalu peduli dengan bagaimana reaksi dan tanggapan netizen karena Shoyo paham betul bagaimana cara mengendalikan diri dari hiruk pikuk tingkah laku netizen.

Dan saat baru saja ingin memasukkan benda persegi panjang itu ke dalam kantung celana, tiba—tiba nada pesan masuk menginterupsi.

Ting!

Bang Tobio
Ndek, ingat aku?
Dimana, sekarang?

Huh?

Manik hazel-nya berkedip cepat, memandang dua buah pesan dari depan layar yang masih terkunci, ia enggan membukanya apalagi membalasnya. Shoyo lebih merasa ke arah ia salah membaca pesan saat ini, halusinasi? Atau mungkin Bang Tobio salah mengirim pesan?

Haha... mana mungkin kan Bang Tobio sudi memberinya pesan? Ia sudah mengusirnya waktu itu, jadi tidak mungkin. Pasti efek terlalu lama berada diteras kapal, jadi angin membuat penglihatannya jadi tidak benar. Ya.. sou sou pasti begitu!

Namun, nada dering panggilan dengan tampilan layar yang berubah menjadi ~Bang Tobio Is Calling...~ membuat Shoyo dua kali lipat lebih terkejut hingga tanpa sengaja meloncatkan HPnya ke dalam lautan yang dalam begitu saja. "Yah?!" Pekiknya karena masih terkejut.

Kepalanya menyembul dari tepian besi silver mengkilap yang menjadi pegangan serta penyanggah ia bertumpu saat ini. "Ada apa Sho?" Hoshiumi buru—buru menarik salah satu lengan Shoyo akibat ulahnya yang sedikit berbahaya.

"Kenapa?" Sachiro menyusul, ikut melongokan kepala seperti Shoyo sebelumnya. Namun tidak menemukan kejanggalan apa—apa, "P-ponselku jatuh tadi, tapi gapapa aku bisa beli lagi." Jelas Shoyo begitu Hoshi bertolak dada. Seluruh orang dewasa sedang berada di dalam, yang tersisa diluar teras kapal tadi memang hanya Shoyo, Hoshiumi dan Sachiro saja.

"Hufh, kok bisa?"
"Gapapa, licin tadi." Bohong Shoyo, tidak mungkin kan dia menjelaskan bahwa tadi Tobio menghubunginya? Kalau ternyata salah liat gimana? Jelas tidak mungkin! Tetapi Hoshi melempar tatapan penuh selidik.

"Yaudah ayo masuk saja, kita makan makanan manis lalu main biliar sebentar. Bagaimana?" Tawar Sachiro sopan, berusaha melonggarkan suasana tegang antara calon pengantinnya dan Shoyo.

Shoyo mengangguk, "Ayo Hoshi?" Ajaknya sambil menengadahkan telapak tangan kanan pada sepupunya itu. Dan dijawab dengan helaan nafas sebelum berakhir menjabatnya dan bergandengan tangan ke dalam kapal.

"Berhati-hatilah lain kali."
"Ha'i!"

𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯𓅯






Ceklek!

"Tadai...ma." Ucap Tobio setelah menutup pintu. Netra blueberry-nya menatap sang Bunda yang bersandar pada dinding dengan kedua tangan bersidekap menghadapnya. "Okaeri."

Tobio membungkuk untuk melepas sepatu hitam putihnya dan menggantinya dengan sandal rumah. Lantas menaruhnya pada rak sepatu dengan rapih. Tetapi melihat sang Bunda masih berdiri diam menatapnya lekat—lekat membuatnya urung masuk ke dalam rumah.

"Bunda, maaf tadi Tobio pergi gitu aja gak bilang dulu... Tobio tadi ke rumah Om Bo.. udah bilang kok ke Bang Kinda." Tobio melirik Iwaizumi takut—takut.

"Hoo... terus?" Iwaizumi masih menatap datar putra bungsunya.

"Tapi keluarga Om Bo gak ada, kata Pak Raden–"
"–pergi ke luar negri?" Sambung Iwaizumi sebelum Tobio berhasil menyelesaikan kalimatnya. Tobio mengangguk lesu, namun setelahnya ia tersadar. "Bunda tau?!"

Iwaizumi mengangguk, "Akaashi ngundang keluarga Oikawa buat hadir, cuma Bunda tolak." Wajah Tobio mendadak berubah, yang tadinya 3L (lemas, letih, lesu) mendadak menjadi terkejut. "Kenapa di tolak Bund?!" Sergah Tobio tanpa sadar.

"Kenapa? Apanya yang kenapa?!" Iwaizumi menatap galak putra bungsunya itu, posisi yang tadinya bersandar kini berjalan mendekat secara perlahan. Tobio tersentak, menelan ludahnya susah payah. "Mak-maksud Tobio, gak baik kan nolak undangan Mama Aka. Bukannya dia sahabat baik Bunda?"

"Hoo begitukah Oikawa Tobio?!" Bentak Iwaizumi tegas, membuat Oikawa dan Kindaichi hampir jatuh kebelakang sangking terkejutnya. Mereka tengah menguping dibalik dinding ruang TV yang letaknya tepat berada disamping kanan pintu masuk rumah mereka.

"Bunda tanya, begitukan Oikawa Tobio JAWAB!" Tobio menutup kedua matanya, lantaran mengangguk pelan. "Sekarang Bunda tanya, jika menurutmu Mama Aka adalah sahabat baik Bunda. Kenapa sikapmu begitu kepada anaknya?" Tobio lagi—lagi terenyak, tidak bisa membalas pertanyaan Bundanya sendiri.

"Apa sopan sikap kurang ajarmu itu Tobio?!" Tobio menggeleng, dari mana Bundanya tau tentang persoalan itu? Dari siapa? Oh tidak! Kenapa bertanya? Sudah pasti dari Mama Aka. Dan percikannya dari Shoyo sendiri, Tobio tau.. Shoyo adalah anak yang akan menceritakan segalanya tanpa harus ditanya, apalagi jika itu adalah orang tuanya sendiri.

Tobio sendiri tidak berani bertemu dan bicara langsung dengan Mama Aka perihal ia yang bertengkar dengan Shoyo, dan memintanya untuk mengerti karena semua demi hubungan trialnya dengan Yachi. Yang ternyata...gadis itu tidak lebih baik dari pada sampah. Gadis itu bisa—bisanya menyakiti Shoyo dan mengkambing hitamkan dirinya.

Jelas semua ini penuh dengan kesalah pahaman dan semua itu karena kebodohannya sendiri! Tobio sudah sadar...namun apa lagi—lagi ia sudah terlambat? Tobio menggeleng keras—keras, "Enggak Bund, Tobio salah...tolong maafin Tobio. Tolong lepasin Tobio kali ini–"

Tobio terduduk dilantai dengan memeluk kaki Iwaizumi. "–tolong terima undangan Mama Aka Bund... Tobio butuh ketemu Shoyo, pernikahan itu gak boleh terjadi!" Tobio menekan dahinya pada lutut sang Ibunda, entah apa lagi yang harus ia lakukan untuk bisa bertemu dengan Shoyo.

Tidak sulit memang ke luar negri menyusul Shoyo, ia bisa segera memesan tiket sekarang juga. Namun ia tidak akan bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan karena selain usianya yang masih dibawah umur, Tobio butuh paspor dan visa juga butuh alamat pasti dimana Shoyo berada saat ini.

"Kenapa gak boleh? Bukankah tidak penting Shoyo akan menikah atau tidak? Apa urusannya denganmu? Siapa memangnya dirimu sampai harus menemuinya sekarang juga Oikawa Tobio?!" Bagai ditampar tiga kali, Tobio lagi—lagi bungkam. Ucapan Ibundanya membuat seluruh indera dalam tubuhnya menerima secara sadar alias mengerti akan maksud tersirat darinya.

Bundanya terus menerus mengingatkannya, dan ia semakin tersiksa karena itu. "Maaf Bunda... maaf, Tobio udah salah–" ia menggeleng keras, "–tobio gak bisa kehilangan Shoyo, gak bisa..." Entah sejak kapan maniknya sudah basah, kesepuluh jarinya menjenggut surai hitamnya sendiri.

Disisi dinding yang lain Oikawa dan Kindaichi ikut menjanggut rambut mereka karena gemas.

Iwaizumi melempar bola matanya ke arah lain, bibirnya terkatup berkedut menahan air asin yang ingin terjun dari salah satu matanya. Walaupun Tobio salah, tetap saja sulit baginya melihat anaknya sendiri terluka, dan malangnya itu semua karena ulah Tobio sendiri. Namun ia tidak punya pilihan lain selain mendorong Tobio keluar dari sarangnya, ia cukup tau jika ada sebagian dirinya di dalam gen Tobio dan itu yang membuatnya begini...sulit mengutarakan isi hatinya.

Dan Shoyo tidak se-agresif Oikawa yang mampu menariknya untuk keluar dari dalam sarang, jadi Iwaizumi lah yang akan mendorong Tobio. Karena Iwaizumi tak ingin lagi melihat ada air mata diantara mereka berdua.

"Kenapa gak bisa huh?! Kenapa?!" Iwaizumi menatap Tobio lurus—lurus, sambil meneguhkan hati jika keputusannya sudah bulat dan menekankan jika ini adalah yang terbaik yang bisa ia lakukan.

"K-karena Tobio, s-sa.. iiee–" Tobio menghentikan kalimatnya sebentar... kenapa sulit sekali rasanya, "–cinta Sho." Cicitnya sambil meremat celana training panjang warna hitam yang dipakai Iwaizumi. Jantungnya berdetak tidak seirama dengan deru nafasnya, apa barusan kalimatnya terdengar aneh? Menggelikan?

Memikirkan hal itu membuat telinganya memerah.

"How pathetic you are? I knew it bcs u're my kid. So hard for u to tell the truth 'bout u're feeling right? Same man! Congratss u just grew up!" Iwaizumi menarik kedua lengan Tobio dan menepuk bahunya kencang—kencang setelah sepenuhnya berdiri tegap.

"Kalo kau mau perjuangin cintamu, Bunda akan bantu tapi kau harus tunggu 1 minggu lagi karena kita cuma bisa berangkat abis ujian, got it?" Ucap Iwaizumi sebelum berbalik dan berjalan menjauh.

Prak!

"YEAY!!!"

Suara telapak tangan yang menyatu disusul pekikan heboh dari balik dinding sebelah membuat Iwaizumi menghentikan langkahnya. "Tepok tepok aja, berisik! Bantu siapin makan malem sekarang!" Serunya galak.


••

< gambar hanya untuk pemanis >




Yaampun semalem lupa bilang sangking ngantuknya😷, CONGRATSSSS FOR ME 4K yeayyyy🎊🎉☺️🙌🏻 HIP HIP HURRAY! ! ! Cece ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya untuk seluruh readers setia KKS❤️🤗😙😉💪🏻. Smoga kalian sehat dan bahagia terus!!! Kalo semisalnya ada yang mau temenan sama cece dan berbagi hal tentang tulis menulis atau ngobrolin haikyuu boleh banget dm cece nanti kita tukeran nomor WA😉🙌🏻

See you papay🥺👋🏻

Cece, 21 January 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro