Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

! 𑁍 ָ࣪ ˖𝐏 𝐮 𝐫 𝐬 𝐮è ¡!•KageHina•

•••

••




'Rambut oren, badan pendek.'

Dengan susah payah Tobio menerobos lautan manusia dan berjalan melawan arah. "Sho, matte yo!" Panggilnya cepat, netra blueberry-nya sama sekali tak melepas pandangan dari laki—laki bersurai oranye yang berlari ringan. Tobio sangat yakin itu Shoyo, dan ia akan menangkapnya! Pasti.

"Air panas... air panas, awas kesiram... minggir!" Tobio terus mengejar laki—laki pendek bersurai oranye tersebut sambil memegang boneka burung gagak yang lebih mirip seperti buntalan karena gendut layaknya sebuah panci berisi air panas. Mendengarnya mau tidak mau kerumunan itu memecah kerapatan dan membuat Tobio lebih mudah melewati mereka. "Tobio-kun, wait!"

Suara gadis bersurai pirang yang tidak lain adalah Yachi kian mengecil tenggelam dalam jarak yang semakin jauh memisahkan keduanya. Ditambah hiruk pikuk suara mesin permainan dan obrolan menyenangkan dari beberapa pengunjung. "Sho, matte!" Tobio mempercepat langkahnya, sesekali ia mengelap dahinya yang berkeringat, mengingat sang surya yang tingginya tepat berada diatas kepala menyorot tanpa penghalang.

Tangan kirinya yang bebas mengambil kacamata hitam dan topi dari tas kecil yang memeluk erat pinggangnya. Langkahnya terhenti ketika laki—laki berambut oranye tersebut menoleh sekilas ke arahnya sebelum melanjutkan langkahnya lagi memasuki sebuah terowongan besar yang dipenuhi tumbuhan merambat serta bunga—bunga di berbagai sisinya.


Bunga—bunga berwarna ungu yang entah Tobio tidak tau apa nama bunga tersebut turut menggantung bagai hiasan dalam hijaunya tumbuhan yang melingkar membentuk pintu masuk. Disamping—samping pintu masuk tersebut sudah tersusun tanaman serba hijau yang sudah dipangkas serapih mungkin berdiri kokoh layaknya tembok raksasa.


"Taman Labirin?"
"Ahahaha!" Suara Shoyo menggema dari dalam sana, untaian surai oranye nya melambai halus di salah satu gang kecil dari dalam labirin tersebut diikuti gestur kepala yang menyembul mengintip, membuat Tobio ikut melangkah masuk siap mengejar lagi. "Sho?! Matte!"



𖧧̣̩ 𖧧̣̩ 𖧧̣̩




        "Huh...huh... kemana perginya sih Tobio-kun?" Yachi mengatur deru nafasnya sambil mengelap keringat di pelipis dengan punggung tangan. Maniknya menatap kesana kemari mencari—cari keberadaan sosok tinggi berwajah rupawan yang entah lenyap dimakan apa. Jalannya terlalu cepat, Yachi tak sempat mengejar.

"Duh g-gak aktif juga p-ponselnya." Yachi menekan lambang panggilan terus menerus, mencoba menelfon Tobio meski suara operator wanita selalu menyapa gendang telinganya dengan mengatakan hal serupa berulang—kali. 'Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, silahkan hubungi beberapa saat lagi.'

Belum juga ketemu, seseorang dengan pakaian serba hitam datang menghampiri. Pakaian itu sangat panjang bagai daster hingga menutupi seluruh bagian tubuh dan kakinya. Ada topeng putih dengan ukiran rumit yang menyeramkan diwajahnya. Tingginya menjulang sampai—sampai menjadi payung bagi pantulan sinar matahari yang menerpa kepala Yachi.

"Hah?" Yachi melangkah mundur sangking terkejutnya, memasukkan HP ke dalam saku roknya. "A-ada apa ya?"
"Hallo gadis cantik..." sosok serba hitam itu menyapa, sedangkan Yachi hanya bisa menahan nafas seraya mengangguk takut. "Boleh minta waktunya sebentar?" Suaranya perempuan? Gumam Yachi dalam hati.

"A–sebenernya a-aku l-lagi nyari o-orang, mungkin lain k-kali?" Jawab Yachi ngeri. Sosok hitam dengan topeng putih itu nampak terdiam sebentar, "Baiklah, aku akan meminjam waktumu kalau begitu." Sosok itu memaksa, mengabaikan penolakkan Yachi terang—terangan.

Yachi menoleh ke kanan kiri, entah mengapa ramai pengunjung bak hilang ditelan badai raksasa. Area tempatnya berdiri kini sangat sepi, bola matanya berputar menyapu kesekeliling. Tidak ada siapapun selain dirinya, sosok hitam itu dan bangunan rumah hantu berdiri reyot tak jauh dari kakinya berdiri.


Apa mungkin saat mengejar Tobio barusan tanpa sadar membuatnya tersesat menuju area rumah hantu yang sepi pengunjung karena katanya meski hanya sebuah wahana, rumah hantu di taman hiburan tersebut cukup terbilang angker? Sehingga arena permainan itu digadang—gadang akan tutup dan digantikan dengan wahana permainan baru yang lebih diminati pengunjung.

"Eh ano, a-aku harus p-pergi." Yachi pasti sudah lari tunggang langgang jika saja tangan sosok hitam itu tidak mencekal salah satu lengannya kuat. "Jadi kau mau pergi dari sini?" Nada bicara sosok itu tidak terdengar menyenangkan, Yachi menoleh takut—takut. "Kau juga mau pergi dari sini seperti yang lainnya?!" Yachi tak berani buka suara.

"Baiklah tidak apa-apa, tapi setidaknya terima dan minum ini. Aku tidak akan mengganggumu lagi." Sosok itu mengacungkan sebotol minuman berwarna cerah bertuliskan 'Guava Juice' melingkari ditubuh botol. Yachi melirik botol itu, sangat dilarang baginya bahkan bagi siapapun juga untuk menerima minuman begitu saja dari orang asing.

Tetapi Yachi merasa cekalan pada lengannya tidak akan mengendur jika ia tidak menerima minuman itu. Yachi memghela nafas, merampas botol minuman itu cepat bersamaan dengan senyum puas yang tertarik kebawah seraya melepaskan cekalannya.

Sosok itu tidak tahu saja isi pikiran gadis pirang dihadapannya saat ini, ia menerima bukan karena ingin menuruti keinginannya. Melainkan hanya agar dilepaskan dan sesudahnya Yachi akan membuang dalam—dalam botol minuman tersebut ke tong sampah terdekat! Namun, sebelum berhasil melakukannya sosok itu lebih dulu bersuara, terdengar sirat kesedihan yang mendalam dari sana.

"Dulu sekali, rumah hantu ini sangat diminati pengunjung. Bahkan antriannya bisa sampai ke toilet di ujung sana." Yachi menatap dua pintu bersebelahan dengan tulisan toilet dan tanda perempuan/laki-laki di depannya. "Tapi sekarang, bahkan rumah hantu ini mau ditutup minggu depan!" Yachi memandang aneh sosok hitam disebelahnya, apa lagi sekarang?

"Kau.." Sosok itu menatap Yachi tepat dimanik, "Satu-satunya yang datang kemari, jadi izinkan aku menunjukkan rumah hantu terbaikku." Pintanya begitu saja. Yachi nampak menimang—menimang sebelum menjawab. Kemanasih perginya Tobio-kun?! Aku harus segera mencarinya, hari ini kencan terakhir kami! Yachi menggeleng ringan.

"Gomennasai, t-tapi a-aku harus p-pergi sekarang juga!" Yachi memberanikan diri, kemudian siap balik kanan melanjutkan mencari Tobio. "Tidak boleh." Balas sosok hitam itu, suaranya sarat akan peringatan. Alis Yachi berkedut, apa—apaan orang dihadapannya ini? Melarang ini itu, memaksa ini itu, memangnya dia pikir dia siapa?

Hap!

Baru saja ingin membalas ucapan sosok hitam itu, indera penciumannya menghirup aroma menyengat dari kain yang entah menempel sejak kapan ditekan kuat pada area hidungnya. Lama—lama kesadarannya menghilang diikuti tubuhnya yang limbung jatuh ke tempat berpijak. Botol minuman yang dipegangnya ikut jatuh.

"Hah ngerepotin banget, akhirnya kicep juga dia." Ujar Kai berdiri dibelakang Yachi. Gadis berponi rata dengan untaian rambut pendeknya itu mendengus. "Lu lama banget sialan." Eluh Heera, melepas topeng lantas membuka tudung kepala, mengibar—ngibarkan rambut panjangnya sekilas sebelum memutuskan untuk mengikatnya dalam satu ikatan kuat.

"Sorry sorry, gw sibuk nyiapin sesuatu tadi disuruh Alpin." Kai mengelus pelan poni ratanya, lantas mengunyah permen karetnya dan meniupnya hingga suara 'CETOK!' terdengar. [ Heera ; Kaiya ; Alpin (Alvira) = Anggota SCAD ]

"Hah, gue mati-matian ya nahan dia disini. Dia mau kabur terus dari tadi." Eluh Heera, mengambil botol minuman yang terjatuh barusan, menenggaknya hingga setengah. "Eluhin itu ke Alpin nanti, baydeway kita masih harus angkat dia ke dalem kan?" Tanya Kai melempar pandangan ke rumah hantu di depan mereka.

Heera mengangguk, "Gue gak kuat gotong dia, kita naikin ke troli aja." Pandangan Kai beralih pada satu—satunya Troli yang memarkir ganteng di pinggir rumah hantu. "Sate to, IKOUZAE!" Kai berjalan gontai mengambil Troli sedangkan Heera mengetikkan sesuatu pada ponsel pintarnya.

'Yachi aman, kita serahin Tobio ke kalian.'  Send.









             "Hah...hah..."
Tobio berhenti, setelah cukup lelah berlarian mengejar pria mungil yang ia yakini adalah Shoyo sejak beberapa waktu lalu. "Are? Udah capek nih ngejarnya?" Laki—laki pendek itu turut menghentikan langkahnya, jaraknya hanya beberapa meter dengan Tobio dibelakang.


Tobio memusatkan fungsi gendang telinganya, suara itu bukanlah suara Shoyo, melainkan suara gadis. Namun ia yakin betul saat diawal tadi, suara tawanya mirip sekali dengan suara tawa khas milik Shoyo yang amat sangat dikenalinya. Ia tidak mungkin salah dengar, atau mungkin karena terlalu memikirkan Shoyo dan merasa bersalah padanya apapun yang didengar dan dilihatnya jadi nampak seperti Shoyo padahal bukan!

Tobio mencoba untuk tidak panik, pelan—pelan netranya berputar melirik jam tangan hitam yang melingkar dipergelangan tangannya, pukul 13 siang. Menandakan sudah berlangsung 1 jam sejak ia mulai mengejar sosok oren tersebut. Dimana ini?


Berpasang—pasang tembok terbalut tumbuhan menggunung tinggi mengepung dari sisi kanan dan kiri. Bagian depan juga terhalang tembok dengan lapisan tumbuhan serupa terbentang panjang dengan dua jalur kanan—kiri yang menjadi rute perjalanan berikutnya. Jika tidak dilihat dari ketinggian, labirin itu bak tidak memiliki jalan keluar.

Semakin dalam, maka akan semakin susah menemukan sisi keluar, kembali lewat jalur belakang juga belum tentu pintu masuk tadi akan mudah ditemuinya. Dan jika ingin menemukan pintu keluar maka ia harus terus maju, minimal menemukan titik tengahnya terlebih dahulu.

"Bang Tobio gak kangen sama Sho?" Tobio tergemap, "Gak mau tau gitu kenapa aku gaada dimana-mana?"

"Sho?!" Kali ini Tobio sangat yakin, kalau suara yang baru saja ia dengar merupakan suara Shoyo.

"Ikutin aku kalo gitu." Ujarnya, kemudian berlari melanjutkan perjalanan labirin sepihak yang secara tidak langsung mengikut sertakan Tobio didalamnya. "Eh tunggu sebentar!" Sosok oren itu nampak berhenti sesaat, kembali berujar tanpa menoleh. "Kalo bisa selamanya kenapa harus sebentar?"

"Kita masih punya banyak waktu kok buat sama-sama terjebak dalam love maze ini. Daijoubu yo!" Lagi, lagi—lagi sosok oren itu berlari dan meninggalkan Tobio yang mau tidak mau ikut berlari dengan tampang bingung , penasaran , lelah bercampur kesalnya. Ia tidak mengerti, teka—teki apa yang sebenarnya sedang ia lalui sekarang, dan siapa sebenarnya laki—laki yang sedang ia kejar saat ini?

Kenapa sosok itu terasa mirip dengan Shoyo namun diwaktu bersamaan juga tidak terasa demikian? Apa sebenarnya tujuannya? Persetan sudah dengan final date dalam game pencarian jodoh bodoh yang sedang dijalaninya. Ia lebih muak sekaligus frustasi dengan labirin tidak berujung ini!











Dari kejauhan, lima langkah gadis pemberani nan percaya diri saling beriringan menyusuri koridor bawah gedung IPS kelas 3.

"Jadi fix jenguk Shoyo pulang nanti."

Kedatangan mereka yang tidak biasa, membuat beberapa pasang mata menatap mereka bak kembang sekolah. Ada yang menatap penuh kagum, bersiul genit hingga tersenyum bodoh.

"Fix jangan kasih tau Tobio soal ini."

Tidak sedikit juga beberapa pasangan sesama jenis (gay) yang melempar senyum manis mereka seraya mengangguk kecil ketika manik mereka saling bertubrukan tanda sapaan serta rasa terimakasih yang begitu besar karena merekalah yang membuat hubunganya berhasil.

"Fix cuekin Tobio biar sadar sama kesalahannya."

Semua tau siapa SCAD, meski masih duduk di bangku kelas satu. Mereka cukup menjanjikan sebagai murid di HHS. Prestasi mereka berada di puncak kelas yang berbeda, dan mereka bukanlah orang dari kalangan bawah.

"Fix!"

Masing—masing dari mereka mengambil tiga club untuk diikuti. Total dari empat puluh kegiatan ekstrakulikuler ada lima belas yang akan dijalani mereka. Jika Ocong memilih Klub Kesenian, Klub Panahan, dan Klub Buku.

"Oke Fix!"

Alvira memilih Klub Debat, Klub Bela Diri dan Klub Futsal Wanita. Kemudian Vanilla berada di Klub Penulis Kreatif, Klub Berkuda dan Klub PMR. Lalu ada Kaiya yang memilih terjun di Klub Skateboard, Klub Musik, dan Klub Bahasa Asing.

"Ini misi kita, cuekin Tobio sampe dia sadar sama kesalahannya sendiri." Seru Atsumu membara.

Dan terakhir Heera, yang lebih memilih untuk berada di Klub Fotografi, Klub Teater dan Klub Berkuda. Semua dilakukan mereka juga demi kepentingan SCAD, yang akan selalu siap membantu pasangan (gay) manapun yang sedang mengalami masalah di HHS.

"Dan usahain bonyok kita jangan sampe tau hal ini, terutama Mama Aka sama Bunda Iwak." Tambah Noya sambil menekankan kalimatnya.

Dengan menyebar, mereka bisa meraup informasi tanpa harus dicurigai. Sekaligus menambah dan mengasah skill apapun yang bisa dipelajari selagi bersekolah di HHS.

Hal tersebut dilakukan begitu saja bukan tanpa sebab, pasangan sesama jenis adalah asupan sehari—hari bagi mereka. Jadi tidak terbayangkan oleh mereka jika satu persatu kapal kesayangan mereka tenggelam, hal tersebut pasti akan sangat berdampak hebat pada mereka sendiri juga. Dan mereka tidak menginginkan hal itu.

"Iyasih bener banget, smoga aja mereka belom tau." Ucap Ryuu seraya mengangguk.

Bagai pengintai handal, seluruh kabar burung tidak ada yang berhasil lolos dari pendengaran, penciuman bahkan penglihatan mereka. Telinga mereka menempel disetiap dinding kelas, mata mereka tersorot tajam disetiap sudut ruangan.

Banyak siswa—siswi biasa di HHS yang menyangka bahwa SCAD merupakan kumpulan mata—mata profesional dengan fisik Onee-san, yang menyamar sebagai murid SMA yang sengaja dikirim ke sekolah mereka demi mencapai suatu tujuan tertentu.

"Smoga."

Tidak salah jika mereka berpikir demikian, karena siapapun juga akan berfikir begitu jika memadang SCAD dari sudut padang orang biasa. Tetapi jika tidak...mungkin itu terdengar menggelikan, karena mereka sungguh hanyalah siswi biasa.

Tidak ada yang tau hubungan serta asal muasal mereka sebelum bersekolah di HHS, namun satu hal yang pasti, mereka bisa amat sangat baik dan jahat diwaktu bersamaan. Dan lagi—lagi semua karena tujuan yang hanya SCAD sendiri yang tau, mereka berteman baik, mereka saling menjaga, mereka mandiri dan mereka berkomitment tinggi.

"Amiin."

Setidaknya, beberapa jenis manusia seperti itu memang benar adanya, dan biasanya mereka akan tersebar secara terpisah di berbagai daerah. Namun kasus kali ini khususnya SCAD, ada di satu sekolah yang sama.

Tap!

Langkah mereka berhenti tepat setelah pembicaraan terakhir Seme Gang selesai. Dalam jarak yang cukup dekat untuk melakukan negosiasi Alvira memutuskan untuk membuka suara lebih dulu, disusul keempat temannya.

"E-kh-em...kalo misi kalian sesederhana itu, kita bisa bantu sama misi yang lebih rumit dan menjanjikan." Manik tajam Osamu, saudara kembar Atsumu yang merupakan anak kedua dari keluarga Terushima memindai kelima gadis berdiri di belakang mereka.

Atsumu ikut melongok, "Kalian nguping?"
"Nguping? Beraninya..." Timpal Tsukishima, anak semata wayang keluarga Hisashi. Ada senyum mengerikan yang menempel di sudut bibirnya.

Ocong tersenyum tak kalah mengerikan, seraya memiringkan kepalanya. "Mochiroun de-su, kalo kita aja berani nyela pembicaraan kalian brarti nguping bukan hal yang aneh lagi yakan?" Vanilla tersenyum seraya mengangguk, "Sonotouri, kalo kita gak berani kita gabakal bisa ikut campur dan bantu hubungan Tobio dan Shoyo kedepannya."

"Ikut campur?" Heera memperhatikan wajah Ryuu yang ikut tersenyum disamping saudaranya Nishinoya. "Huh, beneran tuh?" Kanji dan Kejirou saling tatap lantas mencuatkan bahunya tanda tidak peduli.
"Emang kalian bisa apa? Adik manis?" Atsumu mengedipkan sebelah matanya diikuti alis yang digerak—gerakkan berlebihan.

"Haha, mau jawab bisa bikin kalian baper tapi..." Heera menatap keempat temannya lantas melanjutkan ucapannya bersama. "...itu kedengeran aneh sekaligus mustahil karena kita semua tau kalo kalian semua belok, kecuali Ryuu dan Noya senpai, mungkin?"

Alvira tersenyum puas dengan reaksi dari kesepuluh laki—laki dihadapannya saat ini. "Dan ya, kalo boleh jujur kami lebih suka cowok manis kayak kelima adik kecil kalian (Sosisayambakargosokkunik)."

"Huh?!"
"Maksudnya, Shoyo, Yamaguchi, Shibayama, Goshiki dan Kunimi." Kaiya merotasikan bola matanya malas.
"Jadi lo serius gak tertarik ama gw?" Tunjuk Atsumu pada wajahnya sendiri, kelima gadis cantik itu menggeleng.

"Lu ganteng sih Tsumu senpai, cuman kita lebih seneng liat lu yang keenakan di bawah kukungan Kiyoomi senpai." Jawab Kaiya jujur di sela—sela kunyahan permen karet yang sudah tidak manis. Hal itu cukup untuk membuat wajah Atsumu bersemu merah bak saus tomat.

Suna yang parasnya lebih cocok menempati peran utama dalam cerita manapun memasang smirk-nya. "Hahaha kalian tau sampe sejauh itu? Kenapa ga join gue di lambehtura HHS aja?" Tawarnya.

Mereka menggeleng tanpa beban, "Makasih ajakannya Suna senpai, tapi tugas kita bukan ngorek informasi tentang murid sekedar buat digibahin atau diposting, tugas kita lebih dari itu." Jelas Heera. Vanilla menambahkan, "Ya, kita bakal turun tangan alias ikut campur sama hubungan pasangan gay yang mau ancur gitu."

Kaiya menggelembungkan permen karetnya lantas meletuskannya sambil berkata, "Anggep aja kita nih ibu peri yang bantu Shoyo buat ketemu Pangerannya." Alvira menoleh lantas berbinar berlebihan, "BAGUS, dapet ide itu dari mana Kai?" Tanyanya seakan mendapat ide gila yang lebih bagus dari pada terjun dari gedung pencakar langit.

"Huh, semalem ade gw abis nonton cinderella sih."
"Cinderella... brarti buat kasus ini namanya jadi Shoyorella?" Tanya Vanilla heran, jari telunjuk ditaruhnya di dagu.
"Hahaha Shoyorella." Fukunaga tertawa, diikuti Kanji. Bagi mereka, nama itu cukup lucu untuk ditertawakan, sementara yang lainnya masih bingung.

"Kiyoomi? Siapa tuh!" Nishinoya bertanya—tanya, ia belum pernah dengar nama itu bahkan ia ragu jika ada murid dengan nama tersebut di sekolah mereka.

"Ceritanya panjang! Buat sekarang, sebenernya apa mau kalian?" Atsumu kesal, dan hal itu membuat kelima gadis itu makin ingin tertawa. "Nahkan cocok banget jadi pihak bawah, Tsumu senpai!" Ledek Ocong.

"Hahaha, jadi kita boleh ngomong sekarang?" Tanya Alvira lagi untuk memastikan dan kesepuluh laki—laki yang adalah Seme Gang itu mengangguk.

"Ngomong aja, kita penasaran juga soalnya." Jawab Kindaichi, raut wajahnya terlihat tidak sabaran.







Pelan—pelan Yachi membuka mata, begitu terbuka cahaya terang benderang menembak jitu tepat dimanik membuatnya mengerjap—ngerjap mencoba untuk berteman dengan silau.

Kepalanya menengok ke sisi kanan kiri yang gelap, bola matanya berputar mencoba mengenali ruangan tersebut. Semua dinding nampak terbuat dari kayu yang sudah reot dan mengelupas, ada banyak lubang sebesar bulatan tangan di beberapa sisi, sarang laba—laba yang melingkar di tepian dinding. Serta suara desisan kelalawar yang tidur menggantung tidak nyaman berkat sinar dari jendelan besar dihadapan Yachi.

"Oh udah bangun sleeping beauty?" Goda Kaiya, mengelus poni ratanya abai. "Yamero, Kai." Yachi membulatkan matanya ketika entah sejak kapan Heera sudah bersandar di samping jendela besar yang menyorot kearahnya, bersembunyi dari sinar matahari yang sudah tidak tinggi. Menggosok kuku—kukunya dengan alat perawat kuku.

Sadar jika orang—orang yang berdiri tidak jauh darinya kini adalah dua dari lima anggota SCAD yang sempat membullynya dulu , ralat memperingatinya untuk segera memutuskan hubungannya dengan Tobio dan menjauhinya membuat Yachi tergemap. "K-kalian?!"

Yachi tidak mempunyai ide tentang bagaimana kedua gadis itu bisa berada dihadapannya sekarang. Namun, yang lebih mengherankan adalah ketika tubuhnya reflek bergerak tangan dan kakinya serasa di paku. Matanya membulat kala merunduk, menemukan tangan dan kakinya yang memang terikat dimana ia duduk saat ini.

GREK! KRIET!

Pantulan kaki bangku yang membentur lantai kayu menggema seirama ketika Yachi semakin sering menggerak—gerakkan kursi duduknya. "L-lepas! Ken-napa kalian g-giniin aku?!" Kedua alisnya berkedut.

"Huh? Mau protes?" Kaiya mendekati Yachi dengan permen karet yang terkoyak dimulut. "Kenapa ya?" Kaiya memutari kursi Yachi, dan berhenti tepat di senderan kursi yang adalah sandaran bagi Yachi. Menumpuk kedua lengannya lalu membenamkan bibirnya ke telinga Yachi. Membuat balon dari permen karet dan langsung meletuskannya hingga tubuh Yachi berguncang karena kaget.

Heera ikut mendekat, kedua tangannya sudah kosong. Dengan masih memandangi kesepuluh kukunya yang sudah mengkilap ia bergumam, "Kami sendiri juga bingung, kenapa lu tega mengkambing hitamkan Shoyo."

"Maling teriak maling, wooooo! Gak Aci." Ejek Kaiya, lantas menepuk tangannya riang. Tepukan itu bagai alarm, karena ada yang datang karenanya. Sosok pria tinggi dengan jubah serba hitam dan topeng dengan ukiran rumit diwajah. Siapa lagi?! Teriak Yachi dalam batin.

Salah satu tangan sosok itu membawa sekotak besar dengan gembok berwarna keemasan bergelayut di lubang yang menjadi penutup kotak tersebut. Lebih mirip seperti kotak harta karun namun bukan, karena ada beberapa lubang disekitar kotak tersebut. "Sesuai request kan?" Tanya Kaiya dan sosok itu mengangguk tanpa suara.

"Bagus, buka kotaknya sekarang! Siapin!" Perintah Kaiya tanpa keraguan, Yachi terperangah ketika sosok itu cekatan membuka gembok, membuka penutup kotak hingga mengeluarkan satu persatu kotak bening tertutup dengan beberapa lubang yang sama diberbagai sisi yang disertai suara cicitan, suara liukkan maupun desisan.

Semuanya ditaruh pada meja yang entah sejak kapan berada di depannya, mungkin sangking takut dan terkejutnya Yachi tidak menyadari bahwa sejak tadi Heera mendorong meja berukuran sedang dan menaruhnya ke hadapan Yachi. Seluruh kotak bening tertutup itu disusun dalam jarak yang cukup aman dari binatang satu ke satunya.

Yachi menatap ngeri, apalagi saat melihat kelabang besar berwarna merah dan hitam yang saling meliuk menekan kaki—kaki di dinding kotak berpisah dengan para saudaranya yang memenuhi dasar kotak, dikotak sebelahnya ada empat kalajengking super besar berwarna hitam pekat yang berjalan—jalan santai di dalam kotak.

Dikotak sebelahnya lagi, ada dua ekor tarantula berukuran cukup besar, bulu—bulu halus menyelimuti seluruh tubuh hingga ke delapan kakinya, delapan matanya mengkilap hitam sesekali kedipan matanya tertangkap Yachi, sangking besarnya mata si tarantula.

Dan kotak terakhir berisi tumpukan ular hitam kecil yang entah jenis ular apa, saling meniban, melilit dan meliukkan tubuhnya didalam kotak. Mungkin ular tersebut tidak lebih menakutkan dari tiga kotak lainnya, namun melihat mereka saling menumpuk dan melilit satu sama lain saja sudah cukup untuk membuat Yachi bergidik ngilu sekaligus jijik.


"Sa, Yachi Hitoka... mau ngaku sendiri atau mau ngaku secara paksa?" Tawar Kaiya, sudut bibir kanannya menukik keatas diikuti alis kirinya yang ikut naik keatas. "Saran gue sih ngaku sendiri aja, Kai agak sinting soalnya...jadi gue harap lu gak mempersulit diri lu sendiri, paham kan maksudnya?" Heera melirik malas melihat Kaiya yang nampak bersemangat, tangannya menggerakkan capit penuh semangat, siap mengambil salah satu dari hewan—hewan mengerikan didalam kotak.

Tanpa Heera sadari, perkatannya semakin membuat tubuh Yachi berguncang hebat karena ketakutan, jika saja itu hanya seekor tikus atau katak Yachi pasti akan baik—baik saja. Karena kedua hewan tersebut merupakan objek bedahnya selama ini, tapi tidak dengan hewan yang kini berada dalam kotak tersebut! Perbandingannya jauh sekali.

Yachi menggeleng, kepalanya penuh dengan pikiran campur aduk. Disisi lain ia tidak bisa membayangkan dirinya akan berakhir seperti apa di tangan hewan—hewan mengerikan itu. Disisi lain, ia tidak bisa begitu saja mengaku. Heera dan Kaiya jelas tidak berdiri dalam kubunya, mereka adalah anggota SCAD. Akan berbahaya jika mengaku, selain reputasi Yachi yang akan tercemar, resiko kehilangan Tobio juga sangat besar.

Bagaimana ini?

"Masih mikir? Ngapain mikir kelamaan?" Tanya Kaiya, dengan ekspresi wajah yang tidak berubah. "Oya? Hari ini...bukannya final date lu sama Tobio ya?" Kaiya mengubah raut wajahnya, pura—pura tercenung menempelkan satu jari telunjuknya pada dagu. "Ahh...waktu jalan terus, sayang banget kalo kebuang percuma kan?" Kaiya menoleh kearah Heera, meminta persetujuan. Heera mengangguk saja, ia sedang tidak mood.

Kaiya menatap Yachi lagi, "Oya, bukannya hari ini juga yang jadi penentu hubungan kalian bakal lanjut atau enggak?" Saat ini Yachi merasa sedang berdiri di atas ujung papan kayu di salah satu kapal bajak laut yang tengah mengarungi lautan, dan Kaiya sedang menodongkan pedang runcing padanya dari belakang, siap mendorong kapan saja. Didorong sekaligus didesak, tidak memiliki jalan keluar selain bicara atau Yachi akan jatuh ke laut dalam.

Namun, otak cerdasnya tidak tinggal diam. Diam—diam dia memikirkan cara agar bisa membalas perbuatan orang—orang dihadapannya ini. Ia akan membalasnya nanti, liat saja! Yang terpenting sekarang bukanlah pengakuannya, tetapi waktu yang seharusnya dihabiskannya dengan Tobio akan terbuang percuma jika ia terus berada disini. Jadi apapun halang rintangannya, ia harus keluar dari sini dulu.

Yachi meneguk ludahnya susah payah lantas mengangguk pelan. "B-baik, a-aku a-kan menga-kuinya."

Pak! Pak!

"Nice toss! Oke...1, 2, 3! waktu pengakuan dimulai!" Ujar Kaiya menepuk tangan.

"P-pertama,"
"Pertama?"
"A-apa jaminan kalian b-bakal lepasin a-aku abis a-aku ngaku!"
"Jaminan? Ahahahaha!" Kaiya tertawa sebentar, "Jelas gak ada jaminannya, karena mau gak mau lu bakal tetep ngaku disini." Tunjuk Kaiya pada lantai yang diinjaknya.

"Gue sama Heera mah gak rugi apa-apa, lu yang rugi karena semakin lama lu ngaku semakin lama juga lu balik ke Tobio nee?" Yachi menggigit bibirnya kesal, Kaiya membuatnya benar—benar terpojok. Mau berkata tidak pun Kaiya sudah pasti akan menjejalkan hewan—hewan mengerikan itu padanya. Tidak bisa bilang tidak, menyebalkan sekali.

"B-baiklah, a-aku mengaku!"
"Mengaku?"
"A-ku m-memang mengkambing h-hitamkan Shoyo!"
"Ehhhhhhh, hontou? Padahal tadi Heera cuma asal nebak aja kan ya?" Kaiya melirik Heera yang menghela nafas.
"Btw, kenapa? Lu tega ngelakuin ini ke Shoyo, padahal Shoyo gakenal SCAD samsek."

"A-aku ngelakuin i-itu karena pengen j-jauhin Shoyo d-dari Tobio-kun!" Kedua alis Yachi menyatu.
"Jauhin? Beneran cuma biar jauhin tuh?" Kaiya mulai membuka kotak yang berisi ular hitam berukuran kecil, mirip cacing namun lebih besar dan panjang. Entah apa nama dari jenis ular tersebut. Kaiya mencapit tubuh ular tersebut dan mengangkatnya tinggi—tinggi, seakan memberi aba—aba jika ia siap menyodorkan ular tersebut kepada Yachi kapanpun ia mau.

"GAK! A-aku melakukan i-itu sebenarnya a-agar Tobio-kun mem-benci Shoyo d-dan menyuruhnya p-pergi."
"Aahh, ngerti! Jadi lu sengaja ngelakuin itu biar Tobio ngusir Shoyo? Ha... pinter juga lu Chi." Puji Kaiya, "Kalo dipikir-pikir lagi sifat Shoyo yang kayak gitu, emang gabakal mau buat pergi atau ngejauh gitu aja dari Tobio, kecuali Tobio sendiri yang nyuruh."

Yachi menelan ludahnya kasar, entah pujian itu berarti baik atau buruk baginya, ia tak begitu peduli. "Ternyata lu cukup licik juga ya...terus terus!" Sambung Kaiya yang masih penasaran. "Hm, p-parahnya lagi a-aku membakar a-api itu terlalu besar s-sampai Tobio-kun sanggup m-mengatakan hal b-buruk tentang ajaran o-orang t-tua Shoyo..."

"Ah, iya! Jadi intinya lu berhasil bikin Tobio marah banget karena kecewa ke Shoyo, terus Shoyo ikut kecewa karena sikap Tobio? Kalo salah satu aja yang sakit kemungkinan bisa balik, tapi kalo dua duanya sakit dan kecewa diwaktu bersamaan bakal sulit buat kembali. Gitu kan?" Yachi mengangguk, sedikit merasa lega karena Kaiya mengerti tipu muslihat dari setiap perbuatannya.

"Tapi dari mata lu, kenapa gue ngeliat keraguan ya? Bukannya lu udah berhasil nyingkirin Shoyo dari jalan lu? Kenapa lu masih gak puas?" Tanya Kaiya to-the-point, tangannya mengembalikan ular ke dalam kotak bening. "Karena a-akhir–akhir ini Tobio-kun..." Yachi menunduk.

"Sikapnya aneh?" Tebak Kaiya tepat sasaran, "Oh gue paham, jangan bilang Tobio kayak mikirin atau nyariin Shoyo pas lagi berduaan sama lu?" kedua sudut bibir Kaiya terangkat penuh semangat, sedangkan Heera menguap bosan memainkan HPnya.

"Dan pasti lu udah punya rencana buat langkah selanjutnya kan? Gue gak yakin orang yang penuh persiapan kayak lu gakpunya rencana apapun Chi." Lagi—lagi Kaiya memuji Yachi, sekaligus mengorek lebih dalam informasi dari pelakunya langsung. Yachi yang terlanjur sudah masuk dalam perangkap pun mengangguk penuh percaya diri.

"Haha, oke cukup! Gue gak pengen tau apa rencana lu selanjutnya so cukup sampe sini aja pengakuannya." Kaiya berjalan, memunggungi Yachi. Ia sibuk memasukkan kembali kotak—kotak bening ke dalam kotak mirip harta karun tadi, menyusun satu persatu disana. Yachi mengedipkan matanya bingung, eh?

"Lepasin ikatannya." Suruh Kaiya pada sosok tinggi yang sejak tadi hanya berdiri bak patung, bahkan hawa keberadaannya tidak begitu terasa. Lalu kemudian Kaiya menghampiri Heera yang nampak asik menonton sesuatu.

Yachi yang sudah tidak terikat melangkah gontai mendekati keduanya, "Eung, ano... a-aku akan p-pergi sekarang." Pamitnya.

"Oke, jangan lupa ucapin byebye dulu ke mereka juga!" Heera memutar layar HP yang sejak tadi dipegangnya. Dan ketika Yachi baru ingin mengucapkan kalimat perpisahan itu, maniknya membesar. Menatap Alvira, Vanilla, Ocong dan juga Tobio. Jika ketiga gadis itu tersenyum sambil melambaikan tangan, maka Tobio terduduk dengan wajah tidak percaya dan penuh amarah. Dalam sekejap Yachi mengerti, ia melempar pandangan pada Heera dan Kaiya yang kini tertawa seraya berkata, "SKAKMETOU!"

Oh tidak, Yachi dalam masalah besar. Ralat, sangat besar.


𖧧̣̩ 𖧧̣̩ 𖧧̣̩




"Hah..."
Tobio lagi—lagi berhenti, tetapi kali ini ia berhenti tepat setelah kaki mungil si surai oranye itu diam dipijakannya. Entah kemana perginya buntalan buruk gagak yang didapatkannya dengan susah payah tadi, mungkin terjatuh disuatu tempat.

Dengan masih mengatur nafas, dan mengenali pandangannya dengan menyapu sekitar. Tembok hijau menjulang yang sering dijumpainya kini terbuka, menyisakan air mancur besar didepan dengan dua gadis yang tengah duduk dipinggirannya, menatapnya lurus—lurus.

Siapa?

Kedua rambut mereka dikuncir satu, memakai baju casual, dengan senyum memukau. Bayangan mereka terpantul pada tanah tertimpa sinar matahari yang masih cukup menyengat. "Okaeri Ocong." Sapa salah satu dari mereka, "Welcome, Oikawa Tobio." Sapa yang satunya lagi.

"Tadaima! Huh cape juga lari-lari." Orang yang dipanggil Ocong barusan menghampiri mereka, tangannya menarik paksa surai oranye yang menempel dikepala, lantas membenarkan rambut pendek sebahu berwarna kecokelatan dengan tangan yang lain setelah rambut palsu berwarna oranye itu terlepas sepenuhnya. Hanya tubuh pendeknya saja yang tidak berubah. "Are? Tobio-chan beneran anggep gw Shoyo? Hahah!"

Tobio mengerutkan dahi, "Kalian?"
"Ah, kenalin gue Alpin, ini Vanny dan dia Oncom. Yoroshiku nee Si Tanpa Mahkota?" Alvira tersenyum, giginya berderet rapih.

"Terus?"
"Shoyo mana?" Tobio celingukan, mencari sosok Shoyo yang ia yakini kalau ia berhasil mengikutinya tadi. Apa ia benar—benar tertipu? Semudah itu? Memalukan sekali. Vanilla sibuk dengan ponselnya, maka Ocong menjawab tidak yakin, "Dirumahnya mungkin."

"Gak, maksud gue–"
"Kita anggota SCAD." Manik blueberry-nya membulat, "SCAD??!" Rombongan yang membully Yachi tempo lalu, ia ingat sekarang. "Oh jadi kalian yang ngebully Yachi?" Nada suara Tobio mendadak berubah, tatapan matanya juga mendadak tajam. Siap mengiris siapapun yang ditatapnya saat ini.

"Iya, kita yang bully Yachi." Jawab Alvira lantang, "Kalian mau-mau an aja disuruh Shoyo?! Dibayar berapa kalian?" Selidik Tobio, tidak punya ide lain tentang bagaimana mereka bisa tergiur suruhan Shoyo begitu saja jika bukan uang sebagai alasannya.

"Oya? Siapa yang bilang kalo Sho-chan yang nyuruh kita?" Ocong nampak tidak terima, jelas mereka tidak sefakir–miskin itu untuk menerima uang dari salah satu donatur di sekolah, semua anggota SCAD merupakan anak—anak dari orangtua yang berkecukupan.

Walau sebenarnya ia sudah tau siapa pelakunya. Namun, Ocong tetap ingin mendengarnya langsung dari bibir Tobio sendiri. "Yachi punya buktinya." Tobio mendekat satu langkah.

"Ckckckck udah gue duga emang uler banget tuh cewek!" Vanilla mendelik, merasa jijik sekaligus kesal terhadap Yachi. Sudah dari awal ialah yang paling mencolok tentang bagaimana perasaan tidak sukanya kepada Yachi, namun Heera selalu menyuruhnya untuk menahannya. Sekarang lihat, dikasih hati malah minta es krim.

"Hontou, lu percaya ama Yachi Tobio-chan?" Ocong benar—benar tidak habis pikir, Tobio memang sebodoh itu ternyata. "Yachi punya bukti." Tobio masih bersikeras membela Yachi di depan mereka. Meski sedikit rasa tidak percaya masih bernaung dalam hati, tetapi itulah kenyataannya.

"Asli, lu sakit." Sembur Alvira pedas.
"Bukti apa emang yang dikasih sama Yachi?" Selidiknya, Tobio mulai menjelaskan bagaimana Yachi menceritakan semua rentetan kejadian beserta bukti—buktinya. Dan setelah mendengar itu semua mereka bertiga memasang wajah terkejut se—alakadarnya.

"Maji desu ka?" Tanya mereka serempak, Tobio mengangguk ringan. "Maji?" Tanya mereka lagi, dan kali ini Tobio hanya menghela nafas. "Dan lo percaya gitu aja?" Vanilla mendecak lidah. "Bahkan direkaman suara itu gak ada bukti kalo Shoyo yang nyuruh kita."

"Dengan kalian nuding Yachi pake bawa-bawa nama Shoyo udah jelas bukan?" Balas Tobio, santai. "Gak Tob, gak segampang itu. Lu ambil keputusan atau percaya sama asumsi palsu yang dikasih Yachi."

"Tapi bisa aja kemungkinannya bener." Tobio masih mengelak keras kepala, Ocong mengangkat kedua tangannya untuk menyudahi perdebatan tak berujung mereka. Percuma berusaha untuk meyakinkan seseorang jika orang tersebut terlanjur telah memutuskan akan percaya kepada siapa, jadi perdebatan itu sudah tidak ada gunanya lagi.

Satu—satunya cara membuatnya percaya adalah dengan bukti nyata atau membuatnya mendengar pengakuan dari si pelaku itu sendiri. Itu cara biasa yang sudah digunakan ribuan kali dalam beberapa kasus yang sering ditangani orang—orang penting diluaran sana. Yang kebetulan akan dipakai juga oleh kelima gadis tersebut.

"It's time, kita gaakan ngomong apapun lagi buat bikin lu percaya Tobio-chan. But, please watch this with us!" Pinta Ocong secara pribadi, jari—jari mungilnya menunjuk layar HP yang sudah dihadapkan kearahnya, dan ketika manik blueberrynya menangkap siluet Yachi di dalam layar, membuatnya bertanya—tanya tanpa sanggup menolak lagi.


••



@_lie173 / twitter

Anyway... silahkan follow akun kedua cece ya kalau gak keberatan, karena akun ini fb nya gabisa dipulihin pas cece mau nulis di laptop... so cece prepare akun kedua. Jaga-jaga kalo akun ini gabisa dilogin lagi, cece bakal lanjut ceritanya di akun kedua ini : RELLORAWSKY

Dan cece tau mungkin telat banget buat ngucapin happy new years! Sekarang. Intinya kalian semua sehat-sehat, baik-baik dan rajin-rajin buat ngelakuin seluruh tugas dunia maupun akhirat. Terus lakuin hal-hal yang kalian sukai dan buat kalian bahagia, kejar mimpi-mimpi dan masa depan yang gemilang dimasa mendatang! Jangan lihat hasil, tetapi cobalah nikmati bagaimana prosesnya. Smoga habis baca kata-kata ini kalian bisa lebih menghargai dan mencintai diri kalian sendiri ya!

Diri kalian itu berharga dan layak untuk bahagia, jadi jangan menyerah ya! Terutama untuk diri cece sendiri dan kalian yang baca ini^^

Jaa nee, mata ai masho


cece, 11 January 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro