Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

! 𑁍 ָ࣪ ˖𝐋𝐚 𝐥𝐚 𝐥𝐨𝐬𝐭 𝐲ou ¡!•KageHina•

•••

••














Warning : tolong untuk tidak membenci karakter manapun setelah membaca cerita ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.



Cinta sejati adalah melepaskan. Besok lusa, jika dia cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan.

Adalah kutipan pertama yang Shoyo baca dari sebuah majalah trend dengan judul 'Cinta Bermuda' atau biasa disebut Dunia Cintanya Anak—Anak Muda.

Satu alisnya terangkat, bibirnya masih mengunyah, lidahnya ikut mencecap segala rasa manis dari sesendok Chocolate Cake dan otaknya mencerna dari apa yang dibaca oleh kedua manik hazel-nya barusan.

Penggalan quotes tadi adalah milik Tere Liye dari bukunya yang berjudul Rindu. Meski tidak begitu mengerti, Shoyo mencoba untuk tetap menikmati setiap gigitan dari sepotong Chocolate Cake di piringnya. Bibi Aoi, kakak kedua dari Papanya itu menyuruhnya untuk bersantai sebelum pernikahan Hoshi dimulai siang menjelang sore nanti.

Masih pukul 9 pagi, dan Shoyo sudah disuguhi makanan manis dengan sebuah majalah. Saat dipesawat Shoyo memang tidak bisa tidur, banyak pikiran dan rasa sakit hati yang masih menempel membutuhkan tenaga lebih, dan objek pengalihan. Itu juga yang disinggung oleh Bibi Aoi.

"Ara ara anak muda itu harus happy Sho, karena memang begitu seharusnya mereka."

"You know what? Ada banyak definisi cinta didunia ini. Jadi semua tergantung diri masing–masing mau mengartikannya apa dan menanggapinya bagaimana."

"Jangan deh buang–buang waktu cuma sama satu orang saja, terlalu cepat buat kamu untuk belajar apa itu setia."

"Besok, semua orang hebat bakal datang. Jadi gunakan waktumu untuk melupakannya?"

Bicara soal melupakan, mungkin mudah saja untuk diucapkan tetapi nyatanya sulit jika dilakukan. Shoyo menghela nafas, entah harus bagaimana lagi agar ia lupa.

"Ada banyak caranya Sho, objek pengalihan adalah cara yang paling sering orang pakai."

"Objek pengalihan?"

"Well, ya... PDKT sama orang lain, me time bareng dia, bahkan jalan bareng ngedate kemana gitu, ngobrolin something interesting with him, pokoknya ya apa kek."

"Bukannya belum tentu berhasil ya Bi?"

Shoyo melihat Bibi Aoi tertawa sebelum melanjutkan, "Berhasil atau gaknya tetep tergantung sama diri kita sendiri. Kalo pikiran kamu ara ara maju dan percaya bakal berhasil, ara ara pasti berhasil. Tapi kalo kamu ngebiarin diri kamu buat terus–terusan ketarik ke belakang, ara ara ke masa lalu, ke orang itu, ya gak akan bisa."

"Hoo..." Shoyo manggut—manggut mengerti. "And what's the point?"

"Pertama, mulailah dengan membencinya."

Aku tidak tahu cara membencimu dengan baik dan benar, seperti kau tidak tahu cara menyayangiku dengan baik dan benar.

Shoyo termangu, sendok mungil berwarna emas ditangannya hampir jatuh jika saja ia tak sigap memegangnya. Kenapa quotes dari Fiersa Besari itu terasa begitu pas dengan apa yang sedang ia alami saat ini.

Dan sejujurnya dari pada benci, Shoyo lebih merasa rindu. Meski sakit hati dan kecewa tetap menyelimuti hatinya, namun serpihan rasa 'kangen' juga ikut berbaring diranjang yang sama dengannya.

Aku ingin kau rindukan, aku ingin kau kejar, aku ingin kau buatkan puisi. Lalu, aku akan bertingkah tak peduli, agar kau tahu rasanya jadi aku. (Garis Waktu, Fiersa Besari).

Hazel Shoyo bergerak gelisah, apa itu adalah bagian dari balas dendam? Atau hanya sikap yang dilakukan agar si dia mengerti dengan sikapnya sendiri selama ini? Yang manapun tak apa, Shoyo terlanjur setuju dengan quotes yang satu ini.

Kita berdua mungkin punya kesamaan, kita sedang berlari. Aku berlari menuju sesuatu. Kamu berlari menjauhi sesuatu. (Rantau 1 Muara, Ahmad Fuadi).

Huh? Jadi saling menghindar begitu? Gimana bisa ketemu, oh bukan. Gimana mau jadian kalo saling menghindar? Atau mungkin, cinta bertepuk sebelah tangan? Gumamnya.

Sebenarnya aku tidak bermaksud menghindarimu. Aku hanya berusaha menghindari perasaanku sendiri dengan menghindarimu. (Sunshine Becomes You, Ilana Tan).

Begitu? hazel Shoyo menoreh ke atas, menatap langit—langit ruangan yang dihiasi lampu gantung kaca. Kalau begitu, sama saja dengan pengecut yang lari dari masalahnya kan?

Entah pengecut atau bukan, Shoyo mungkin akan melakukan hal yang sama jika memang sesakit itu rasanya. Karena saat ini pun, Shoyo takut jika disuruh untuk bertemu dengan Tobio. Apalagi berhadapan langsung dengannya, tidak usah deh terimakasih!

Orang yang membuat kita sangat terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhannya. (Critical Eleven, Ika Natassa).

Masa sih?
Beneran tuh?
Huh, jadi inget dia lagi deh. Batin Shoyo.

Aku memikirkanmu dua kali sehari, ketika aku sedang sendiri dan ketika aku sedang bersama orang lain. (Amit Kalantri, I Love You Too).

PRAK!

Shoyo menutup majalah itu rapat—rapat setelah merasa muak. Bukannya membaik, suasana hatinya jadi memburuk gara—gara majalah itu. Bahkan sepotong Chocolate Cake yang sisa setengah juga enggan mencukupi kadar gula untuk menaikkan moodnya.

Memijat kening sekilas seraya mendorong piringnya menjauh. Dan diwaktu bersamaan seseorang memasuki ruangan kamarnya tanpa mengetuk, tangannya membawa sebuah note berukuran sedang. "Grannie!" Pekik Shoyo berlari mendekati wanita cantik yang usianya sudah melewati setengah abad.

"Kamu disini rupanya, kenapa gak turun kebawah darl? Nanny mau minta tolong padamu." Mereka berpelukan sebentar.

*Nanny panggilan untuk Grannie

"Maaf Nanny, Bibi Aoi menyuruh Sho untuk menikmati Chocolate Cake buatannya sambil membaca majalah tidak masuk akal itu." Shoyo menunjuk area meja mini berbentuk bulat dengan karpet bulu dibelakang tubuhnya sekilas.

"Haha begitu? Dia hanya ingin memastikan pagimu terasa baik karena ini hari yang sangat baik."

Shoyo mengangguk saat Nanny menepuk puncak kepalanya pelan, ia memang mengerti. Tetapi mungkin lebih baik jika musim salju tidak turun saat ini jadi ia bisa jogging sebentar lalu kemudian memberi makan sepasang burung merpati setelahnya seperti saat di rumah Grannie di Aussie kemarin—marin. Tetapi mau bagaimana lagi? Tidak boleh mengeluh di hari bahagia seperti ini.

Setelah selesai dengan ujian yang menjengkelkan meski berjalan lancar selama seminggu kemarin, Shoyo beserta keluarga besarnya tiba pukul 5 pagi tadi. Perjalanan yang memakan waktu hampir 17 jam itu membuat mereka sudah cukup kenyang istirahat di pesawat. Jadi Shoyo tidak bisa tidur lagi setelahnya.

"Oiya Nanny mau minta tolong apa tadi?"

"Lakukan Final Checking untukku, bisa darl?" Grannie memberi buku note berukuran sedang. Sampulnya berwarna kecokelatan, dengan pita berwarna pink magenta merengkuh erat note tersebut.

Hazel itu bergerak cepat menyusuri barisan list dari mulai rundown acara, speech dari para bestman, penataan serta letak acara, souvenir, karangan bunga, menu—menu makanan dari appetizer, main course hingga dessert dan lain sebagainya.

"Sure, Nanny! Kebetulan Sho gabut banget memang. Dan gak mungkin Sho ganggu calon pengantin kita hari ini...jadi akan Sho lakukan, dengan baik!" Cengiran manis terukir diwajah, tidak lupa dengan jari telunjuk yang menyatu dengan ibu jari membentuk 'OK' diikuti kedipan menjanjikan yang membuat hazel kirinya tertutup.

"Alright then, let's go. Kau juga harus segera bersiap darl." Ucap Grannie sambil mengecup kedua pipi Shoyo basah sebelum akhirnya menutup pintu dan membiarkan Shoyo bersiap dengan costume yang telah disediakan.

Shoyo tersenyum, mengingat bahwa rombongan seme gang beserta bestie—bestie nya juga akan segera tiba tidak lama lagi. Ia, Yamaguchi, Goshiki, Kunimi dan Shibayama mendapat peran penting di acara, yaitu menjadi bestman dari pihak Hoshiumi. Jadi mereka akan mengiringi Hoshiumi menuju altar dan menjabat tangan calon suaminya. Lantas memberikan pidato singkat yang mengharukan di waktu yang ditentukan.

Hoshiumi turut mengundang seme gang, ketika pertemuan terakhir mereka di rumah Shoyo beberapa waktu yang lalu. Tetapi mungkin Tobio tidak akan datang, karena Shoyo sempat mendengar langsung pembicaraan sang Mama dengan Bunda Iwak kala itu.

Ngomong—ngomong soal bestman, ada tugas tambahan yang mungkin hanya didapatkan olehnya seorang. Karena hazel-nya menangkap rentetan kalimat dalam rundown acara, yang berbunyi...

36. Dance at The Ballroom, diiringi lagu oleh Bokuto Shoyo & Uenoyama Ritsuka

Huh?
Seriously?

Ia ternganga, karena merasa Hoshi tidak memberitaukannya apapun. Ini diluar dugaannya. Dasar! Tetapi hei, apa ini ulah Tn. Beaufort?








"Hufh..."

Kaki—kaki dengan sepatu booth cokelat yang hampir menutupi setengah bagian kakinya itu turun keluar dari mobil. Menginjak beberapa sisa lapisan salju yang masih menempel disudut aspal.

Asap terlihat keluar dari sela—sela hidung dan mulutnya. Sweater berlapiskan jaket bulu tebal menempel ditubuhnya yang ramping. Tatapan tajam serta senyum yang mengembang tak urung membingkai wajah manisnya.

Dingin saja tak mampu membuat semangatnya luntur, hari ini ada hal menarik yang akan terjadi, dan Yachi tidak sabar menunggu waktunya tiba.

Jari—jarinya yang berbalut sarung tangan rajut menyentuh sekilas pada kunciran biru berbentuk bintang yang mengikat surai blonde bagian kanannya, terasa pas seperti biasa. Dagunya terangkat, dadanya masih terasa perih sejak Tobio memutuskan hubungan trial mereka begitu saja tanpa menunggu pengumuman siapa pemenangnya.

"Lu, ternyata lebih menjijikan dari pada sampah Yachi."  Tobio mendorong tubuh Yachi ke lantai.

"Kita udahan aja, dan gak perlu lu deketin gue lagi, dengan cara apapun."

"Karena cuma Shoyo yang gue sayang dari awal, gue sama lu cuma trial buat ngetest perasaan gue aja. Gak lebih." 

"Jadi jangan merasa kalo seolah–olah lu berharga dimata gue, lu tuh cuma alat yang gue manfaatin. Tapi bukan salah lu sepenuhnya, Gue yang salah dari awal, gue udah salah melibatkan lu yang ternyata malah memperkeruh segalanya."  Yachi shock berat, tidak pernah terfikir olehnya jika Tobio akan mengatakan semua ini.

"So, bye. Dan inget, lu punya utang permintaan maaf sama Shoyo."

Bisa dikatakan semua usahanya gagal total, dan itu berkat lelaki manis bersurai jeruk yang selama ini terus menerus menghalangi jalannya. Tetapi tidak lagi, Yachi tidak akan membiarkan itu semua terjadi lagi. Berpura—pura bersikap layaknya innocent boy, padahal seluruh orang rela membantunya! Dasar bodoh.

"Bokuto Shoyo, siapa memangnya dirimu? Hanya manusia kan?" Yachi gelap mata. Entah kemana perginya, kebiasaan gagapnya itu.

Ruangan glamour khas hotel bintang tujuh terpampang jelas didepan mata, tempat Yachi menetap untuk sementara waktu selama di Perancis. Membanting tubuh ke kasur empuk, seraya melonggarkan jaket bulunya.

"Berani sekali kau, membongkar rahasiaku didepan semua orang dan membuat Tobio berbalik memihakmu, dasar laki-laki licik!!!" Yachi melemparkan jaketnya ke lantai dengan kasar, tubuhnya sudah duduk tegap, bersila.

Tangannya meraih bantal dan memeluknya, "Huh–" memasang tampang menyeramkan meski tidak cocok sama sekali pada wajahnya. "–kau pikir aku tidak bisa membalasmu? Kali ini ku jamin kau tidak akan bisa membalasku lain kali lagi, kau akan membayarnya! Malam ini." Maniknya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11 siang.

Informasi apapun mengenai Shoyo sudah berada digenggamannya, dan jangan tanya ia mendapatkan semua itu darimana? Meski terlihat menyedihkan, Yachi memiliki sahabat Taketora yang adalah adik dari Akane yang adalah ketua dari REDWOLF. Dan bibinya sendiri yaitu Saeko yang juga ketua dari ANGELVISE.

"Akan kubuktikan, kalau antek–antekmu itu tidak sebanding dengan diriku." Yachi memukul—mukuli bantal yang dipeluknya. "Kau mungkin memang punya banyak teman, tetapi nyawamu hanya satu bukan?"

Senyum miring masih terpatri diwajah, ponsel dalam genggaman ditekan cepat kemudian menempelkannya ke telinga setelahnya, "Moshi-moshi, Bibi Saeko!"

"..."
"Ah iya, aku sudah sampai di hotel tempat mereka akan mengadakan pesta, etto soal orang itu..." Yachi menelaah kuku—kukunya yang runcing dan mengkilap. Ia sudah mengecat kuku—kukunya dengan cantik, mengingat ingin sekali rasanya ia mencakar wajah rupawan Shoyo.

"..."
"Baiklah, terimakasih banyak Bibi! Aku menyayangimu!"
"..."
"Tentu, byebye!"

Yachi tersenyum lagi, memiliki salah satu keluarga yang adalah ketua mafia membuatnya mudah melakukan hal kotor seperti ini. Tetapi dipikir—pikir, kenapa tidak ia lakukan saja ini semua sejak dulu? Mungkin Tobio tidak akan pernah meninggalkannya, dan drama murahan ini tidak perlu berlangsung!

"Hufh, dasar... kamu memang terlalu baik Yachi." Yachi sudah tidak berada di ranjang empuk lagi, tubuhnya sudah berada di depan kaca yang menyorot seluruh tubuhnya. Jarinya menunjuk pada dirinya sendiri dalam kaca tersebut. Pandangannya kosong.

**

"Huh...huh...huh...huh"

Drap drap drap !

"Huh...huh...huh"

Peluh keringat membasahi pelipis meski hamparan salju tersebar luas dimana—mana. Di pohon—pohon cemara yang menjulang tegak disepanjang jalan, genteng—genteng rumah penduduk, serta atap—atap mobil yang terparkir didepan rumah tersebut.

Begitu juga dengan Gereja katedral yang menyongsong beberapa meter dari tempatnya berdiri saat ini. Selimut putih tebal nampak menyatu dipekarangan dan pelataran Gereja.

Ada banyak mobil—mobil mahal yang terparkir rapih, beberapa bodyguard dengan alat persenjataan lengkap, serta karangan bunga besar dimana—mana. Meriah sekali, dan elegant. Bahkan di depan pintu besar Gereja, ada rute jalan setapak yang sudah dihias bunga—bunga disepanjang jalan mengarah ke hotel bintang tujuh yang letaknya lumayan dekat dengan Gereja.

Yang ia ingat, Bunda-nya memang sempat memberitahu kalau acara itu akan dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama adalah janji suci di Gereja, dan yang kedua adalah resepsi di Hotel.

Pemandangan gunung alpen yang kokoh, menjulang raksasa dibalik Gereja dan Hotel itu sendiri. Wilayah ini memang dekat dengan pegunungan es, jika ingin bermain ski, hanya tinggal naik kereta satu kali atau mobil khusus untuk mendaki gunung. Dan bermain ski bisa langsung dilakukan.

"Huh...huh..."

Ia masih mengatur nafas saat memperhatikan Gereja dari luar. Ia menunduk, menatap pakaiannya yang sudah tidak karuan. Mengejar waktu itu memang sangat melelahkan, semua karena Bunda memesan tiket yang akan tiba pada pukul 7 malam nanti.

Sedangkan acara pernikahan Shoyo dimulai pukul 14.25 siang ini. Dan beruntunglah ia masih sempat meski harus terpisah dengan rombongan keluarganya sendiri, setidaknya ia tiba tepat waktu. Ia melirik jam tangannya, pukul 14.20. Gue harus masuk sekarang! Gumamnya, dan bertepatan dengan itu...

TENG!

TENG!

TENG!

Suara lonceng besar di sudut kiri Gereja memekik nyaring membuat Tobio tersentak, seolah memberitahukannya jika sesaat lagi acara janji suci akan segera dimulai.

"Sial."

Blueberry eyes-nya tersorot cemas, membayangkan Shoyo bersanding dengan laki—laki boncel berambut putih waktu itu semakin membuat perasaannya gatal minta digaruk, panas dan gerah. Ia tidak akan membiarkan Shoyo menikahi siapapun selain dirinya, mana sudi!

Tobio buru—buru berlari sambil merapatkan jaket tebalnya, telinga dan hidungnya sudah memerah karena kedinginan. Ia rela naik apapun demi tiba di acara tersebut, lupakan dengan baju casual yang ia gunakan saat ini. Jangankan membawa koper dan mengganti baju. Uang dalam bentuk mata uang Euro saja ia tak punya.

Ia datang dengan cara tergesa, membiarkan barang—barangnya dibawa oleh Kindaichi, sang kakak yang masih dalam perjalanan bersama orangtua mereka.

"Maka tibalah saatnya untuk meresmikan perkawinan saudara. Saya persilahkan saudara masing-masing menjawab pertanyaan saya." Tobio semakin mempercepat langkahnya, ujung sepatuhnya sempat tergelincir di depan gerbang tadi dan membuat pakaiannya lebih kotor dengan salju—salju bercampur kotoran aspal yang basah sukses menempeli pakaiannya.

"Argh!"

Tobio segera bangkit tanpa memedulikan lututnya yang terasa sakit dibalik celana panjangnya dan menerobos pintu utama Gereja tersebut begitu saja.

BRAK!

"HENTIKAN BAPAK PENDETA!"

Ucapnya lantang bersamaan dengan pintu yang terbuka dan kedua kakinya yang mendarat sempurna diatas karpet merah yang panjang menjulur hingga ke atas altar.

Heningggggggg . . . . .

"SHOYO TIDAK BOLEH MENIKAH DENGANNYA!"

Berpuluh—puluh kepala menoleh bingung, berpasang—pasang mata melirik gelisah kearahnya. Seakan bertanya 'ada apa?' 'apa orang itu waras?' 'kurasa tidak, lihat saja pakaiannya.' Dan ejekan—ejekan yang lainnya.

NGINGGGGG!

Bak teko air panas yang mendidih.
Tobio merasa wajahnya merah sepenuhnya, ketika matanya menangkap siluet tubuh mungil Shoyo yang berdiri kaku dibarisan kiri, berjejer dengan Goshiki, Yamaguchi, Kunimi, dan Shibayama yang memakai suit seragam dengan sebuket bunga dan kerajang ditangan masing—masing menatapnya heran.

Eh, ada apaan nih?
Bukannya Shoyo nikah hari ini?

Serta menatap kedua pria yang saling berhadapan di depan pendeta diatas altar. Yang satunya adalah lelaki boncel berambut putih yang ia jumpai beberapa waktu lalu saat dia bersama Shoyo, dan yang satu lagi Tobio tidak mengenalnya.

Bukan?

Kemudian maniknya berpendar, menatap seluruh tamu yang tadinya duduk kini berdiri bersamaan dengan percakapan dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Telinganya terasa berdengung, sampai Akaashi memanggil serta menghampirinya cepat.

"Tobio?"
"M-mama.." Tobio membalas tatapan Akaashi bingung, sebenarnya apa yang terjadi?
"Kamu datang? Bundamu mana? Ayo kesini." Akaashi menggiring Tobio menuju ruangan lainnya dan meminta agar acara segera dilanjutkan lewat gerakan tangannya diikuti permintaan maaf tulus.

Ny. Kourai dan Ny. Aoi segera mengerti maksudnya dan dengan sigap membereskan kesalahpahaman kecil itu sedangkan Bokuto yang kelewat bingung hanya bisa menelfon Oikawa.





Shoyo's Pov

Entah sudah berapa lama, aku merasa kalau Bang Tobio terus menerus menatapku intens dari tempatnya berdiri. Aku sesekali meliriknya lewat bahu tegap beberapa anak client atau kolega dari perusahaan Papa yang tidak ada hentinya berdatangan, mengajakku bicara.

Beberapa kenalan Sachirou dan teman Hoshi juga turut menyapaku. Sudah terhitung 2 jam lamanya, dan aku belum bisa lepas dari orang—orang ini. Tenggorokanku bahkan sudah mulai mengering, tetapi aku harus bisa menjaga sikap dan santun demi kepentingan Papa dan Mama juga.

Aku tidak tau jika mereka sangat suka berbicara, walaupun tidak banyak yang dibicarakan. Kebanyakan membahas bisnis, sekolah, serta kegiatan—kegiatan bergengsi lainnya.

Seperti apakah kau sudah mempunyai bisnis sendiri di usiamu yang masih belasan tahun? Atau apa saja yang kamu lakukan untuk membunuh waktu? Apa saja yang sudah kamu kuasai dan capai diusia segini? Keseharian seperti apa yang kamu jalani sebagai salah satu penerus keluarga yang disegani oleh masyarakat seluruh dunia.

Oh sungguh, kami memang terlahir untuk matang sebelum waktunya. Tetapi aku merasa beruntung, karena Papa dan Mama membiarkanku merasakan hidup seperti anak—anak seusiaku lainnya. Tidak ada jadwal padat yang akan membuatku sakit kepala, atau keseharian rumit yang membuatku tidak nafsu makan.

Semua terasa mudah, dan menyenangkan. Aku bebas melakukan apapun yang kusuka selagi itu dalam konteks positif. Papa dan Mama tidak membebankanku tugas perusahaan layaknya Hoshi ataupun Bang Naga dan Bang Inouka. Papa dan Mama juga tidak memaksaku untuk mengikuti les tambahan demi mengasah kemampuan dan bakat yang tak ku senangi.

Aku les piano dan vokal karena aku memang menyukainya, aku bermain volly karena Papa yang membuatku menyukainya, aku les berbagai macam bahasa juga karena murni keinginanku sendiri. Dan itu semua tak mengganggu nilai sekolahku sama sekali, semua berjalan baik.

Mereka sungguh orangtua yang menganggumkan, kasih sayang mereka tanpa batas. Dan aku selalu merasa kurang untuk membalas segalanya. Maka dari itu aku mengurangi rasa malas dan mengeluh, karena hidupku terlampau amat sempurna. Yang membuatku mengeluh hanya satu, kisah cintaku yang pupus bahkan sebelum mekar.

Meski terlahir sebagai anak Papa dan Mama, aku tak pernah sekalipun berniat untuk memegang kendali perusahaan. Tetapi aku harus melakukannya dan semua hanya demi Papa. Aku melirik sekilas pada wajah ceria Papa yang senyumannya tak pernah luput dari paras cantik Mama yang tangannya digenggam erat—erat olehnya.

Astaga, padahal Mama tidak akan pergi kemanapun, dan gak akan ada satupun orang yang berani ngambil Mama dari sisi Papa sekarang, aku berkedip malu. Tetapi juga bahagia diwaktu bersamaan, kadang aku juga ingin. Dan menunggu, kata Mama semua akan datang diwaktunya masing—masing.

Kapan ya? Pangeranku akan tiba? Kadang aku juga ingin seperti Iki, mungkin dia memang belum menyukai Bang Kanji, tapi Bang Kanji sangat tulus padanya. Atau seperti Kunimi, yang mungkin tidak memiliki hubungan apapun dengan Bang Kinda, tetapi Bang Kinda serius sayang dan mengejarnya.

Mungkin kelihatannya aneh, tetapi perasaan dan hubungan mereka murni, gak pakai embel—embel karena Ayah Ibu mereka berteman baik atau apapun itu namanya. Aku iri...

Bola mataku berputar, semua nampak tenggelam dalam perbincangan masing—masing. Hanya satu yang tidak, Bang Tobio. Kenapa masih menatapku begitu? Sebenarnya aku kaget, dan gak nyangka kalau Bang Tobio bakal dateng kesini. Waktu liat pertama kali siapa yang dateng dengan suara lantang yang sangat ku kenal, spontan jantungku mencelos.

Kupikir semua hanya halunasi atau fatamorgana, karena kata orang kalau kamu terlalu banyak memikirkan sesuatu entah orang, hewan atau benda sekalipun, hal itu bakal hadir dalam bentuk halusinasi dan lewat mimpi.

"HENTIKAN BAPAK PENDETA!"

Tanpa sadar aku mengulum bibirku ketika mengingat kejadian tadi siang, sungguh? Pakaiannya terlihat berantakan sekali, aku menduga—duga apasih yang sebenarnya terjadi?

"SHOYO TIDAK BOLEH MENIKAH DENGANNYA!"

"Pffftt." Aku tertawa sekilas, rasanya sangat malu jika kejadian itu diulang. Menikah katanya? Raut wajah Bang Tobio waktu itu juga serius sekali, aku kasihan. Aku gak nyangka kalau post an usil yang niatku adalah menjahili Netizen malah menjahili Bang Tobio.

Lagian, bukannya Bang Tobio harusnya gak perlu repot—repot datang kan? Ku dengar seminggu yang lalu mereka ngejalanin final date di taman hiburan yang biasa aku dan Bang Tobio kunjungi di hari weekend. Tempat seperti itu memang menyenangkan, dan cuma sama dia aku jadi punya kenangan—kenangan ditempat seperti itu.

Ngomong—ngomong soal kenangan, gak kehitung lagi seberapa banyak jumlah kenangan yang dia kasih buatku. Mungkin dari aku kecil, "hufh." Dan tanpa sadar aku menghela nafas lemas.

Hal itu membuat Kak Uenoyama menepuk pundakku pelan, "Sho, kamu gakpapa?"

Aku sontak mundur pas wajah Kak Uenoyama deket banget sama mukaku, astaga! Aku kaget dan spontan nengok ke Bang Tobio. Pandangan kita ketemu seperkian detik, dia masih natap aku. Dia mau ngomong kah? Tapi kalau pun iya ngomongin apa? Bukannya dia gak mau ya aku ganggu dia lagi?

"Gapapa Kak." Jawabku pelan, aku tatap mukanya yang sedikit memerah, aku gak punya pilihan lain, mungkin dengan begini Bang Tobio akan berhenti menatapku, karena aku gak mau ditatap begitu, tatapannya sulit diartikan. Aku gak suka, dan aku gamau bicara sama dia, aku gamau.

"Eh? Kita mau kemana Sho?" Aku menggandeng lengan berotot Kak Uenoyama, hasil nge-bandnya selama ini. Dia terlihat malu pas aku memeluk lengannya, hah...andai perasaanku bukan buat Bang Tobio, atau lebih tepatnya andai perasaanku bisa kuubah semauku aku mau mau aja buat jadi pacarnya Kak Uenoyama. Dia sempat menembakku, di acara ulang tahun kantor Papa belum lama ini. Tetapi aku gak melakukannya, karena aku gabisa.

Dan kata Mama, sesuatu yang dipaksain itu gak akan baik kedepannya. Jadi dari pada aku nyakitin hati Kak Uenoyama, mending gak usah sama sekali. Aku gak mau jadi orang jahat, yang ngasih harapan lalu mengecewakan orang yang punya perasaan tulus padaku. Aku gak sampai hati buat melakukannya.

"Ayo kita siap-siap sekarang Kak!" Ajakku ceria, kami sudah jalan memunggungi Bang Tobio, jadi aku gak tau lagi respon dia setelah ini apa. Dan, siapa juga yang peduli? Aku akan anggap dia disini bukan karena ingin menemuiku apalagi mau mengajakku bicara, tetapi karena dia salah satu anggota Jamidun Family yang memang Mama ajak buat hadir. Sore dake.

Tobio Pov

Gue cuma bisa diem ditempat gue berdiri sekarang, rasanya kayak ada ribuan paku payung yang nuncep di kaki, udah berjam—jam gue ikut pesta ini tapi gue masih belom bisa deketin Shoyo. Sisi lain dalem diri gue gak berani buat itu, gue tau gue emang super pengecut, tapi gue gamau terus terusan jadi pengecut.

Dan disaat gue pengen nyamperin Shoyo lagi, dia udah pergi sama cowo tadi. Cowo yang dari tadi ada disampingnya, nemenin dia kemana—mana. Dari ngobrol sama si A sampe ngobrol sama si Z. Belasan tahun kenal Shoyo gak pernah sekalipun gue liat orang itu, kenalannya Shoyo kah? Temennya yang tinggal disini? Atau mungkin ... ah gue harus berenti nethink.

Udah berjam—jam berlalu, Bunda, Ayah sama Bang Kinda juga udah dateng dari tadi. Cuma tetep aja gue masih belum bisa deketin Shoyo bahkan sejak tadi gue lewatin adegan malu—maluin didepan semua orang. Gak ada kemajuan. Karena gue lagi nunggu momen dimana Shoyo sendirian, gue gak bisa nyamperin dia kalo dia terus ditemenin sama cowo itu. Siapa sih dia? Gue liat mereka masuk pintu belakang, apa harus gue kintilin?

Plis gue harus jelasin segalanya, gue gak mau Shoyo terus ngejauh dan ngediemin gue meskipun kita sempet liat—liatan tadi. Tapi raut wajahnya lebih ke bingung dan gak seneng sama sekali pas liat gue. Gue ngerti kalo dia pasti kecewa banget, gue nyesel banget demi apapun.

Bahkan dimalem itu gue buat dia nangis, gue bener—bener bodoh banget udah ngelakuin semua ini. Gue cuma ngingkar sama perasaan gue sendiri karena gue pengen mastiin perasaan gue lebih dalem lagi. Dan gue tau cara gue ini salah. Tapi gue juga manusia biasa, gue bisa khilaf dan buat salah. Sayangnya, gue salah ngerangkai kata karena terlalu emosi malem itu.

Gue sempet nanya Ayah tentang ini, dan dia bilang gue butuh usaha lebih yang gak berlebihan tapi juga gak kekurangan buat luluhin hati Shoyo. Gue sih gak kaget kalo bagi Ayah ini gampang karena Ayah tipikal orang romantis yang sanggup ngelakuin apa aja demi dapetin hati Bunda.

Gak jarang gue liat atau denger keributan kecil Ayah sama Bunda, entah mungkin ada juga yang gue gak liat atau denger secara langsung karena gue gak 24 jam dirumah. Tapi Ayah selalu punya 1001 trik jitu yang mungkin bakal nyampe sejuta halaman kalo dibukuin. Yang kerennya Bunda selalu takjub dan luluh, ya walopun Ayah sering babak belur atau minimal keluar masuk kamar mandi karena itu.

Masalahnya sifat itu gak nurun sama sekali ke gue, gue tipe orang yang susah buat ngungkapin atau nunjukkin sesuatu. Jangankan ke orang lain, ke nyokap bokap sendiri aja gue gengsi. Kayak hari Ibu waktu itu, orang—orang pasti ngasih kejutan, hadiah atau minimal ucapan makasih dan selamat hari ibu ke ibu mereka.

Gue gak bisa, ujung—ujungnya cuma ngasih topi pantai itupun tanpa bilang apapun, dan gak pake surat juga. Tapi Bunda tau kalo hadiah itu buat ungkapan rasa terimakasih gue ke dia di hari Ibu. Toh Bunda juga gak bilang makasih, aneh emang keluarga gue. Kita ngerti satu sama lain tanpa bicara, seenggaknya gue sama bunda begitu. Tapi abang gue sama Ayah enggak. Tapi gue percaya kalo hubungan gue sama Shoyo bakal membaik, karena Ayah sama Bunda juga begitu.

Jadi gue bakal berusaha lebih kali ini, karena Shoyo bukan anggota keluarga gue. Jelas dia gak akan ngerti kalo gue gak ngomong, apalagi masalah ini udah bikin hubungan kita selama belasan tahun ancur gitu aja. Gue gak punya pilihan lain selain samperin dia, jelasin segalanya dan minta maaf ke dia. Karena gue gak mau kehilangan dia.

Thanks God, seenggaknya Shoyo gak nikah hari ini. Jadi gue masih punya kesempatan.

Mereka POV selesai.

"Oke untuk acara selanjutnya, kepada seluruh tamu undangan diharapkan menuju area tempat yang sudah disediakan ya, silahkan ikuti tanda anak panah disepanjang dinding!" Ujar MC dari atas mimbar disudut kiri sisi panggung.

Seluruh tamu undangan mulai bergerak mengikuti arahan MC, keluar dari aula utama lewat pintu yang sudah terbuka dengan banyak anak panah di sisi—sisi dindingnya. Berikut Tobio yang juga mengikuti karena Kindaichi terus mendorong bahunya untuk segera maju dan tidak menjadi penghalang bagi tamu yang lainnya.

"Aduh bang, tunggu." Tukas Tobio.

"Ngomong sama Shoyonya entar aja, aula ini bakal kosong. Lu mau sendirian disini?" Kata Kindaichi sambil terus mendorong bahu tegap adiknya. Tobio pun tidak mengeluh lagi.

Setiba di tempat yang sudah ditentukan, yaitu arena dansa atau biasa disebut ballroom yang sudah dihias sedemikian rupa, bahkan pijakannya terbuat dari es. Ballroom itu terletak disudut Hotel, tepatnya di lantai pertama. Sesuai permintaan Sachiro ballroom yang biasa untuk berdansa ala raja—ratu itu kini disulap dengan sihir.

"Oh?" Ucap hampir seluruh tamu malam itu, lampu mulai dipadamkan serempak.

Lantai es, berikut kaca—kaca tinggi yang menjadi jendela serta atapnya yang juga terbuat dari kaca tebal nan transparan. Membuat sinar rembulan dan bintang seakan menembus, tersorot lebih terang ketika lampu dipadamkan. Serpihan salju pun mulai menginjak bumi meski bulan belum sepenuhnya tertutup awan.

Jika melihat secara langsung mungkin tempat mereka berpijak saat ini akan mengingatkan kepada film 'Yuri On Ice!!!' .

Entah apa yang terjadi? Apa ada kerusakan listrik? Tobio pun tak mengerti. Namun satu hal yang pasti, petikan gitar dan alunan indah piano diikuti sorot lampu yang bergerak cepat menyorot dua insan diatas panggung membuat manik blueberry-nya membara.

SRESHHH!

CLACK!

Berikut suara gesekan ujung sepatu luncur dengan lantai es menjadi pengiring suara alunan lembut gitar dan piano barusan. Empat orang laki—laki tersorot, yang dua memegang piano dan gitar dengan mic didepan bibir masing—masing, siap bernyanyi. Sedangkan duanya lagi berdiri diatas lantai es dengan sepatu luncur dimasing—masing kaki, siap menari. Kaki mereka terlipat sempurna dengan kepala yang merunduk diikuti tangan yang berhenti tepat dalam pose melengkung keatas.

Hoshi dan Sachiro memakai kostum ketat dengan bulu—bulu unggas di bagian depan sebagai penutup belahan dada yang terekspose. Sedangkan Shoyo dan Uenoyama memakai setelan jas hitam dengan pin bunga dahlia putih yang ditengahnya ditusuk rantai mutiara. Riasan blink—blink glitter mengkilap diwajah semakin mempersolek keempatnya.

Ada jeda sesaat sebelum suara indah Shoyo terdengar.

͎ keterangan .
      ; shoyo
      ; uenoyama

[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]


You're the light, you're the night

Hoshiumi bergerak lebih dulu, melaju pelan dengan sepatu luncur dan melakukan liukan ringan diikuti gerakan tangan gemulai menukik keatas langit ke arah lampu—lampu gantung yang tidak menyala. Wajahnya tersorot lampu tembak, membuat wajahnya lebih bersinar dramatis.

You're the color of my blood

Hoshiumi meliukkan lehernya dengan tatapan mengarah tepat ke wajah pria yang sudah berstatus sebagai suami, tangannya terulur seolah tengah membelai wajahnya dari kejauhan. Lalu tangan kanannya berhenti diatas lengan kiri, membelai lembut, seolah berkata jika Dia adalah darahnya.

You're the cure, you're the pain

Hoshiumi tersenyum, kakinya meluncur pelan mendekati Sachirou namun tidak sampai menjangkaunya. Setelah dirasa cukup dekat, ia berhenti dalam kaki terlipat, wajahnya tetap menampilkan senyum memukau. Tangannya segera turun kepinggang, menutupi area perut dengan posisi menyilang. Lalu jari—jarinya perlahan naik ke area pinggang atas, dada, lengan dan berakhir di leher, menekan pelan area lehernya sendiri bak mencekik.

You're the only thing I wanna touch

Lalu kemudian tangannya turun, diikuti kaki yang meluncur lebih dekat dengan suaminya. Tangannya terulur kembali ketika tubuh mereka saling berhadapan. Jari—jari lembut Hoshiumi menyentuh area perut dengan dua jari bak pria mungil yang tengah berlari diatas tubuh menanjak keatas dada. Gesturnya erotis.

Never knew that it could mean so much, so much

Hoshiumi seketika merunduk, jari—jarinya masih menempel didada sang suami. Namun selebah tangannya menggaruk belakang lehernya, gestur menahan malu. Kemudian dalam sekali sentak tubuhnya berputar memunggungi suaminya, lengan—lengannya dipakai untuk memeluk diri sendiri.

You're the fear, I don't care

Giliran lampu menyorot Sachiro kali ini, ia mulai bergerak. Kakinya melaju sekali untuk menjagkau tubuh si mungil, ujung jari—jarinya membelai lembut punggung kecil Hoshi dengan gestur ketukan pelan seirama dengan alunan piano. Lalu dalam satu sentakan merembet ke ujung bahu lantas menarik cepat kearahnya. Keduanya bertatapan dramatis.

'Cause I've never been so high

Tangannya yang masih menempel dibahu Hoshi kini turun ke pinggang, menahannya. Berikut memundurkan tubuh membuat tubuh Hoshi memunggunginya dalam posisi masih menempel. Hidung mancung Sachiro bergesekan dengan leher mungil Hoshi, menghembuskan nafas lalu memberi kecupan dengan gestur seksi.

"Whoa?"
"Oh?"
"AAAAAAAAAAAAAAA."
Beberapa pekikan girang fujoshi & fudanshi tamu undangan.

Follow me through the dark
Let me take you past our satellites

Sebelah tangannya yang bebas tidak tinggal diam, jarinya mulai merambat naik dan terulur menggenggam kelima jari kiri Hoshi erat. Seolah tak akan pernah mau melepaskannya. Manik berbeda mereka saling bertatapan lagi.

You can see the world you brought to life, to life

Kini Sachiro tak lagi menekan hidungnya pada leher si mungil, ia memilih untuk menyatukan kedua dahi dan hidung mereka sambil masih dalam posisi intim yang sama, menatap satu sama lain. Salah satu kakinya sengaja bergerak maju dan menggeser pelan salah satu kaki Hoshi membuatnya sedikit hilang keseimbangan dan berakhir tersandar di dadanya.

So love me like you do, lo-lo-love me like you do
Love me like you do, lo-lo-love me like you do
Touch me like you do, to-to-touch me like you do

Keduanya seolah masuk ke dalam lagu, menikmati irama sambil terus berdansa ala raja dan ratu es diatas lantai es dengan intim dan memukau. Saling memegang tangan, berseluncur dan memutar indah.

What are you waiting for?

Seluruh pandangan tamu undangan penuh dengan seakan dipenuhi bintang—bintang, menatap tak berkedip pada pertunjukan memukau baik karena kedua penyanyi maupun pasangan pengantin yang menjadi bintang utama malam itu.

Fading in, fading out
On the edge of paradise

Dan karena terlalu tenggelam tak sedikit tamu undangan yang ikut berdansa disudut ballroom, memilih pijakan dengan lantai Hotel biasa karena tidak memakai sepatu luncur. Seperti Goshiki yang sudah ditarik Kanji, atau Yamaguchi yang melangkahkan kaki dan tangannya mencoba mengikuti gaya berdansa Hoshi dan Sachiro, dan Tsukishima yang menahan tawa dengan telinga merah dari belakang karena baginya itu lucu.

Every inch of your skin,
is a Holy Grail I've gotta find
(  I've gotta find  )

Lantas Oikawa yang tanpa basa basi menyelipkan lengan kanannya ke pinggang sang istri, kemudian tangan kirinya sudah mengapit sebelah tangan sang istri, membawanya berdansa tanpa permisi.

Only you can set my heart on fire, on fire

Atau Akaashi yang sudah diangkat tinggi—tinggi oleh Bokuto di udara sambil berputar—putar. Dan Shibayama yang pendek terhalang banyak tubuh dan kepala tamu undangan lainnya mmebuat Inouka mau tak mau ikut menggendongnya tinggi—tinggi layaknya sedang menonton konser.

I'll let you set the pace
(  I'll let you set the pace  )

Semua nampak larut dalam pertunjukan memukau keempat pria malam itu, hanya satu yang tidak. Oikawa Tobio.

'Cause I'm not thinking straight
(  Straight  )

Setengah bagian dirinya memang meleleh bak lilin bermandikan api, tetapi sebagiannya lagi harus menahan rasa panas ketika melihat duet Shoyo dengan pria yang tidak dikenalnya. Mereka nampak serasi dan saling mengisi didepan sana. Membuatnya jengah jika saja tak ingat alasan kenapa dia berada disana.

My head's spinning around, I can't see clear no more

Shoyo nampak tersenyum di sela—sela menyanyinya, dan tolehan kepala ke arah lawan duetnya juga tak luput dari penglihatan tajam Tobio yang hanya bisa mematung dari jarak aman. Mereka terlihat begitu cocok, membuat sebagian diri terdalam Tobio merasa insinyur.

Oh, what are you waiting for?

Tiba—tiba Shoyo menoleh tepat kearahnya, dan manik mereka bertemu selama tiga detik. Membuat keduanya sama—sama tercengang, dan si submisive memutuskan kontak mata lebih dulu karena malu, sedangkan si dominan masih memandang wajah manisnya sambil menunggu momen seperti tadi terulang lagi.

Love me like you do, lo-lo-love me like you do

Gue harus minta maaf!

Love me like you do, lo-lo-love me like you do

Sial, tadi kenapa tatap matanya sih?!

Touch me like you do, to-to-touch me like you do, oh

Abis ini gue harus samperin dia!
Abis ini aku harus pergi, hindarin dia!

What are you waiting for?

Shoyo memutuskan untuk menunduk, memilih terjebak dalam puluhan tuts piano didepan mata. Membuat Tobio melirik kearah rekan duetnya, yang ternyata diam—diam terus mencuri pandang dengan Shoyo. Yak! Beraninya?

Love me like you do, lo-lo-love me like you do

Sachiro dan Hoshi saling berpegangan tangan saat kaki—kaki mereka meluncur pelan dan tiba—tiba tubuh mereka menjauh dengan masih saling memegang tangan dan berhadapan sambil berputar seirama diatas lantai es.

Love me like you do, lo-lo-love me like you do

Kemudian berpisah sepenuhnya diputaran keenam dan langsung meluncur seolah sedang saling mengejar satu sama lain dalam jarak stengah—stengah mengelilingi luasnya lingkaran lantai es tersebut.

Touch me like you do, to-to-touch me like you do, oh

Keduanya saling tatap dari jarak masing—masing, melempar senyum diikuti gerakan—gerakan tangan serupa kemudian kaki mereka melompat dua ketukan dan setelahnya berputar seirama.

What are you waiting for?

Gerakan itu membuat mereka berjalan mendekat ketengah, saling menghampiri. Tangan Sachiro meraih tangan Hoshi dan menggenggamnya sambil terus meluncur bersama.

Hhmmmmm what are you waiting for?
(   What are you waiting for?  )

Dari bersebelahan jadi berhimpitan, mereka saling pandang sebentar tanpa adanya jarak diantara tubuh masing—masing. Dan dalam seperkian detik kedua tangan Sachiro meraih pinggang mungil Hoshi lantas mengangkatnya setinggi kepala tanpa menanggalkan keseimbangannya, wajahnya mendongkak.

I'll let you set the pace
(  I'll let you set the pace  )

Membuat Hoshi menundukkan kepala dan menumpukan kedua tangannya pada bahu kokoh suami. Pahanya dibuka lebar—lebar, dengan tubuh yang terus berputar layaknya seorang profesional.

'cause I'm not thinking straight
(  straight  )

Mereka saling menatap intens, pertunjukkan itu membuat Kunimi mengencangkan genggaman tangannya pada Kindaichi yang juga melakukan hal serupa. "Kita gak bakal bisa lakuin itu."

"Iya mustahil." Jawab Kindaichi.

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
my head's spinning around, I can't see clear no more

Perlahan tapi pasti Sachiro menurunkan sang istri, dan ketika benar—benar mendarat mereka langsung berpencar dan mengambil ruang dan persiapan matang sebelum bertumpu pada satu kaki dan melipat sisanya.

What are you waiting for?
(  What are you waiting for?  )

Lalu kemudian dari berdiri mulai berputar hingga berjongkok dengan punggung yang agak dicembungkan menutupi area perut. Dan ketika putaran kedelapan keduanya berdiri lagi lantas bersiap meraih tangan masing—masing lagi.

Love me like you do, lo-lo-love me like you do
Love me like you do, lo-lo-love me like you do
Touch me like you do, to-to-touch me like you do, oh ho
Oh, what are you waiting for?

Manik blueberry Tobio membulat, tubuhnya bergetar bahkan ia tanpa sadar menelan air liurnya berkali—kali ketika Shoyo bermain piano sambil bernyanyi dengan memukau didepan sana. Entah kenapa meski diluar salju sudah nampak agak lebat dan cahaya bulan diam—diam sirna ditelan awan. Tetapi sinar terang benderang seolah menguar dari dalam tubuh dan wajah Shoyo, membuatnya benar—benar sempurna dimata seorang Oikawa Tobio malam itu.

Oooooohhh hoooooo
Love me like you do, lo-lo-love me like you do
love me like you do, lo-lo-love me like you do
( love me like you do )
Touch me like you do, to-to-touch me like you do,
aaaahhhhhhh
What are you waiting for?

What are you waiting for?!

Dan ketika sudah sampai pada titik klimaks dari lagu, tanpa sadar Shoyo membuka matanya niat ingin menatap bagaimana tanggapan dari para audience namun naasnya hazelnya malah bertemu dengan iris blueberry Tobio yang tidak pernah melepas pandangan dari wajahnya barang sedetik pun. Membuatnya salah tingkah.

PROK PROK PROK!
PIWITTTTT!

"Kerennn banget!"
"Cieeeeeeee!"
Suara meriah tepuk tangan dan juga sorakan heboh dari seluruh tamu undangan menambah kesalahtingkahan Shoyo didepan sana. Dan itu membuatnya segera ingin tenggelam saja dari hadapan mereka saat ini juga. Jadi Shoyo menoleh ringan kearah Kak Uenoyama yang sejak tadi hanya tersenyum sambil menundukkan kepala menanggapi pujian—pujian dari seluruh tamu undangan.

Hal ini jelas saja sudah menjadi makanan sehari—hari bagi Kak Uenoyama karena ia adalah seorang musisi band yang terikat dengan label-nya. Dan itupun sudah berjalan lebih dari 3 tahun, pasti sudah sangat biasa akan hal itu. Sedangkan Shoyo? Ia tidak terlahir dalam bentuk itu, meski juga tak kalah terkenal dalam jajaran dunia perbisnisan dan perusahaan ternama lainnya.

Tangan Shoyo menoel pelan lengan Uenoyama yang terbalut jas, "kak! Sho mau ke toilet bentar."

Uenoyama menoleh, "oh oke, perlu kuantar?" Shoyo menggeleng. "Kalo ada yang nyariin aku tolong kasih tau ya." Uenoyama menjawab 'baiklah' tanpa suara, dan Shoyo langsung melesat turun dari atas panggung, berjalan menuju pintu yang akan membawanya ke lorong panjang yang akan ada ruangan toilet di sisi kanannya.

**

Shoyo menatap pantulan wajahnya pada kaca panjang toilet, tangannya terulur memegang pin bunga dahlia berwarna putih yang nampak indah dipadukan dengan jas hitam yang dipakainya. Degup jantung yang masih berpacu cepat seolah menjadi magnet penarik tangan untuk merasakannya dari luar.

DEG DEG!

Shoyo merasa gagal, ia memang masih belum sepenuhnya bisa melupakan Tobio dan mungkin tidak akan pernah bisa. Terlalu banyak kenangan, terlalu besar ikatan yang mereka pernah miliki. Yang mungkin bagi banyak orang itu tidaklah penting karena jika kamu sudah disakiti apalagi tidak dihargai maka kamu tidak akan punya alasan untuk tetap tinggal ataupun berusaha lagi, dan pergi atau melupakan adalah jalan terbaiknya. Namun Shoyo tidak seperti itu, perasaan dan rasa sayangnya kepada Tobio tidak sesimpel itu.

BRAK!

Tubuh Shoyo berjengkit kala tiba—tiba pintu dibuka keras hingga menyentuh dinding. Seorang pria bertubuh besar dengan pakaian serba hitam yang memakai masker masuk begitu saja kemudian mengunci pintu cepat. Alis pria itu mencuat tajam, sorotan matanya juga tidak ramah, rambutnya dicepak habis.

"S-siapa?" Shoyo membulatkan matanya, kepalanya tidak bisa berfikir jernih sekarang.

Tanpa menjawab pria itu menyodorkan sebuah ponsel yang menampakkan wajah Yachi didalamnya.

"Hohoho Bokuto Shoyo, apakabar? Ingat aku? Oya Apa kamu sedang sakit? Kok wajahmu pucat sekali."

"Yachi?" Shoyo spontan melangkah mundur.

"Hmm? Tak mau menjawab ya? Baiklah gapapa! Asal kamu harus ikut pria itu sekarang!"

"Apa? Tapi kenapa?!" Shoyo menggeleng keras, jelas ia tidak mau.

"Oke oke, tidak mau ya?"

Shoyo menggeleng lagi, entah meski pria bertubuh besar dihadapannya itu tidak membawa benda tajam atau tumpul lainnya Shoyo tetap dapat merasakan adanya hawa membunuh dari dalam dirinya. Tatapan matanya bahkan sedingin es dan segelap langit di malam hari. Entah akan sebahaya apa jika dirinya ikut dengan pria ini.

Hazel Shoyo kembali pada layar hp ketika suara Yachi menghilang.

"Kamu lihat ini Sho?"

Shoyo memperhatikan sebuah alat yang mirip dengan tumpukan sosis besar saling melekat satu sama lain dengan angka—angka yang mulai menghitung mundur ditengahnya. "Itu bom?"

"Ahh, kamu memang pintar. Itu bom, dan semua melekat diatas atap ballroom juga dibawah meja yang penuh dengan hidangan di aula utama."

Manik Shoyo kembali membulat, alisnya terpaut tidak senang setelah mendengar semua tuturan Yachi. Bom itu nampak menempel dilangit—langit hotel yang penuh dengan lampu gantung, dan juga sisanya memeluk kaki meja.

"Kalo kamu gak mau ikut, maka aku akan tekan tombol ini." Yachi menunjukkan tombol merah diatas pangkuannya, yang bisa ditekan kapanpun ia mau.

Shoyo menggigit bibir, sebagian dalam hatinya merasa takut karena mungkin saja Yachi hanya menggertaknya kan? Ia tak memiliki bukti kuat untuk itu. Dan juga, hotel ini dilindungi oleh orang—orang terlatih yang sudah disewa Sachiro dengan mahal.

"Ohhh kamu gak percaya? Menurutmu apa pria didepanmu itu bisa masuk kalo pengawal–pengawal itu masih berjaga?"

"Apa? Yachi kamu?"

"Ahahahaha cepatlah ikut dengan damai, maka semua akan baik-baik saja."

Haruskah aku ikut? Shoyo menelan ludahnya kasar sambil merapalkan doa—doa dalam hatinya, berharap suara Yachi dan tubuh pria besar dihadapannya ini lenyap sekarang juga, namun hal itu tak berhasil.

"Lama sekali, aku pencet saja–"

"JANGAN!" Shoyo terengah—engah setelah berteriak lantang. Di ballroom maupun di aula utama terlalu banyak tamu undangan dan keluarga besarnya sendiri. Shoyo jelas sangat merasa takut, ia tidak ingin keluarganya kenapa—napa dan itu semua karena dirinya.

"Apa maumu?! Kenapa kamu mau aku ikut dengan pria ini?" Andai saja tubuh pria dihadapannya sebesar dirinya, atau paling tidak setinggi Tsukishima maka Shoyo masih berani untuk sekedar menendang kakinya. Tetapi Shoyo benar—benar tidak berani melakukan itu dengan pria ini.

"Tidak banyak, aku hanya ingin kamu membantuku sedikit Sho. Kita kan satu sekolah, jadi kita teman sekolah bukan?"

Teman sekolah? Bahkan Shoyo tidak pernah berbicara banyak dengan Yachi. Selain melihat kedekatan dirinya dengan Tobio tentu saja. Apanya yang teman?

Dan sejak kapan teman akan mengambil sesuatu yang berharga darimu? Apa definisi teman yang dimaksudkan Yachi adalah Teman Makan Teman? Jika begitu Shoyo benar—benar tidak akan pernah menganggapnya teman sampai hembusan terakhir nafasnya sekalipun.

"Bantuan apa yang kamu inginkan dariku?"

"Aku akan memberitahumu setibamu disini, bawel banget deh!"

Shoyo diam, pikirannya kalang kabut. Haruskah ia ikut? Apa begini cara meminta bantuan kepada orang lain? Bukankah ini termasuk pemaksaan? Tapi jika tidak ikut maka hari bahagia Hoshi akan hancur berikut berjatuhannya korban. Yang akan merusak citra nama baik seluruh keluarga besar penyelenggara acara.

"Aku akan ikut."  Mama, Papa tolong jaga diri kalian, Shoyo takut. Batinnya.

"Ahahaha bagus! Dari tadi dong!"

Shoyo memutar otaknya cepat selagi Yachi asik tertawa geli diseberang sana, ia memang akan ikut dengan pria ini tetapi bagaimana caranya memberitahukan Ayah dan Ibunya jika ia sedang dalam bahaya. Oh tidak, menghubungi Yama atau Goshiki jauh akan lebih efektif. Karena di acara besar ini orang dewasa biasanya akan terlalu sibuk mengobrol tanpa memperhatikan ponsel mereka, berbeda jauh dengan anak muda yang sering mengambil gambar entah untuk mengabadikan makanan ataupun orang sehingga perestase memegang hpnya lebih besar.

Ya Tuhan, beri aku celah. Kumohon! Batin Shoyo lagi.

"Oiya, Shoyo sebelum itu. Ambil hpmu terus taruh diatas wastafel dan sumbat lubangnya. Lalu isi air diatasnya." Titah Yachi.

Shoyo terdiam sesaat, hpnya? Lalu bagaimana ia memberitahu Yama atau Goshiki?

"Kenapa diam saja? Oh ayolah cepat lakukan sebelum ada seseorang yang ke tempatmu. Apa kamu memang berharap agar seseorang datang dan menyelamatkanmu?"

Shoyo menggeleng keras, ia tidak mengharapkan itu meski ia sangat ketakutan sekarang. Ia hanya berharap agar Papa dan Mama baik—baik saja, karena ia anak satu—satunya yang orangtuanya miliki. Dengan kesal Shoyo melempar hp yang baru ada sekitar seminggu ditangannya ke atas wastafel. Menutup lubangnya lantas membuka keran.

"Ahahaha pintar, oke sekarang M bawa dia!"

Shoyo tersenyum sebentar, sebelum berujar. "Yachi, apa mulutku tidak perlu dilakban? Biar kamu yakin kalau aku gak bakal teriak atau semacamnya?"

"Oya, M lakban dia!"

"Tapi aku sedang memegang HP nona." Jawab si pria besar yang dipanggil 'M' dengan nada datar.

"Berikan hpnya pada Shoyo dulu." Shoyo tidak berkata apapun selain menjulurkan kedua tangannya.

"Baik." M memberikan HPnya kepada Shoyo, lantas sibuk mencari lakban atau apapun ke segala penjuru toilet untuk bisa menutup rapat mulut Shoyo.

"Kalau gak ada lakban, kain gakpapa?"

"Pakaikan apasaja asal mulutnya tertutup rapat, mulutnya saja dan pastikan dia tetap bernafas. Aku tidak ingin masuk penjara karena seseorang mati!" M nampak mengangguk lalu mulai membuka satu persatu bilik toilet dan memasukinya.

Shoyo yang sejak tadi hanya melirik kesana kemari memperhatikan situasi kini mulai beraksi. Jari—jari mungilnya dengan lincah membuat layar hp terbelah dua, lalu memasukkan nomor kedua sahabat dekatnya lantas memberikan pancaran sinyal keberadaan lokasi HP tersebut secara LIVE selama 8 jam.

"Oi Shoyo, apa yang kamu lihat huh?! Kenapa sorotan matamu memandang intens pada dadaku?!"

Tubuh Shoyo terguncang sangking terkejutnya, dan ketika sudah selesai dia buru—buru mengembalikkan layar menjadi satu kembali. "Aku hanya menemukan ini." Bersamaan itu M kembali sambil membawa tissue gulung.

"Yasudah cepat tutup mulutnya." M langsung menghampiri Shoyo yang jantungnya seolah ingin melompat keluar. Ia benar—benar takut seolah pria bertubuh besar itu akan meremukkan tulang—tulangnya.

M menarik habis tissue dari gulungannya, lantas memasukkan gulungan tissue ke bibir mungil Shoyo dalam posisi miring. Tangannya merogoh kantung celana dan tali panjang terulur dari sana. Ia memasukkan ujung tali ke dalam gulungan tadi lantas menarik kedua ujung tali tersebut untuk melingkar di sisi kepala Shoyo lantas mengikatnya kuat.

"Sudah?" M mengambil HP itu kembali dari tangan Shoyo tanpa permisi kemudian mengangguk ke arah Yachi.

"Sekarang, gendong dan bawa dia M. Aku tunggu kedatangan kalian. Sampai jumpa Bokuto Shoyo!"

Suara 'pip' diikuti menghilangnya suara Yachi membuat Shoyo menghela nafas. Ia tidak punya pilihan lagi selain ikut pria besar itu, dan menunggu datangnya bala bantuan jika Tuhan memang mengizinkannya.

Tanpa berbasa basi lagi pria dengan nama M itu segera membungkuk setelah menaruh Hp kedalam kantung celananya, meraih pinggang mungil Shoyo dan menggendongnya ala koala. Shoyo mungkin tidak bersuara, namun matanya menyiratkan sesuatu ditambah air asin yang mulai menetes pelan—pelan.






Lorong itu terasa lebih gelap dan sepi dari biasanya, membuat Tobio sedikit bergidik saat menyusurinya. Lorong panjang yang akan membawanya ke toilet dimana Shoyo kemungkinan besar berada disana.

DUG DUG DUG!

Suara tapak sepatunya bahkan terdengar nyaring sangking sepinya lorong tersebut. Lorong itu memang terlampau jauh dari ruangan ballroom tadi. Tobio menghela nafas, ia memang tidak percaya akan adanya hantu apalagi makhluk astral. Namun, degup jantungnya makin cepat ketika langkahnya masuk lebih dalam.

Tetapi ia seketika teringat dengan tujuan kenapa ia berada disana dan menyusuri lorong tersebut. Jelas semua hanya untuk bertemu Shoyo untuk menjelaskan segalanya sekaligus minta maaf. Jadi kepalanya seketika penuh dengan ratusan rangkaian kata yang akan dipilahnya untuk mempermudah diri sendiri. Dan itu semua dimulai dengan mencoba memperagakannya.

Sho, gw minta maaf

Tobio menggeleng sekilas.

Shoyo, gw mau minta maaf

Ia menggeleng lagi.

Ia bimbang harus minta maaf atau menjelaskan terlebih dahulu?

BRAK!

Namun ketika pikirannya masih sibuk, suara gebrakan pintu membuat langkahnya terhenti. Derap kaki dengan langkah besar dengan bayangan seseorang nampak akan muncul keluar dari toilet. Tobio spontan bersembunyi dibalik dinding begitu tubuh pria itu sepenuhnya keluar dari pintu, sambil masih mengintip maniknya membola. Menatap punggung lebar pria besar dengan baju serba hitam, dan wajah pria mungil yang sangat dikenalnya. Berjalan terburu—buru menjauhinya.

Dagu Shoyo bertumpu pada pundak pria itu, wajahnya memancarkan ketakutan yang mendalam. Bibirnya terkunci karena diganjal sesuatu dan diikat kuat, kedua tangannya nampak terkepal melingkar longgar disekitar bahu dan leher pria besar itu.

Sho?!

Tanpa berlama—lama lagi Tobio langsung berlari mengejar pria tersebut. Perasaan campur anduk mengiringi setiap langkahnya tanpa ragu, namun belum sempat meraih ujung kerah baju ataupun menendang telak tubuh pria tersebut. Belasan tubuh bodyguard yang terkapar disekujur lantai lorong menuju pintu keluar membuat Tobio mengurungkan niatnya. Entah bagaimana cara pria besar itu menumbangkan belasan bodyguard yang sudah terlatih, jelas itu berarti pria ini sangat berbahaya.

Alhasil ia hanya terus mengikuti pria bertubuh jumbo itu dari jarak aman, mengendap—ngendap sambil terus sesekali bersembunyi di balik dinding, ia tidak ingin mengambil resiko sehingga gagal menyelamatkan Shoyo. Mengintip dan mengecek kembali wajah Shoyo, manik blueberry-nya bertubrukan dengan hazel Shoyo begitu ia menaikkan pandangannya. Ada gelengan kecil yang diberikan Shoyo kepadanya. Hal itu membuat tubuh besar pria itu berhenti berjalan, dan menoleh curiga kepada Shoyo.

"Kenapa?" Shoyo melirik takut—takut, lantas menggeleng kembali. Ia takut jika M akan menoleh kebelakang dan menemukan keberadaan Tobio disana. Ia tidak mau Bang Tobio terlibat dan akan jadi sasaran penculikan juga atau lebih parah jika M memukul atau menghantam kepalanya hingga terkapar seperti bodyguard—bodyguard tadi.

"Mmhhhmmm." Jawab Shoyo selagi terus menggeleng, dan M yang tak menaruh curiga lagi langsung melanjutkan langkahnya. Tobio meninju dinding disampingnya kesal, betapa menyedihkannya ketika Shoyo sudah didepan mata dan butuh pertolongan namun ia tidak dapat melakukannya.

BRAK!

Pintu keluar terbuka, angin malam berhembus kencang berikut serpihan es karena hujan salju yang mungkin akan berubah menjadi badai salju sebentar lagi. Tubuh Tobio sedikit menggigil, akan tetapi menyaksikan kepergian Shoyo dengan pria tadi dengan mobil salju membuatnya tidak ada pilihan lain selain mengejarnya. Jelas saja ini kasus penculikan, yang dilihat dari sisi manapun sudah direncanakan secara matang.


Kira—kira seperti ini mobil yang dikendarai M.

Tobio melengos ke kanan kiri, hamparan salju dipekarangan hotel nampak kosong melompong. Entah kemana perginya seluruh security maupun bodyguard yang seharusnya berjaga disini. Tubuhnya yang hanya berbalut jas tanpa jaket tebal menggigil kala salju mulai mengenai bagian luar telapak tangan dan wajahnya.

SRRASHHH!

Mobil salju itu sudah melesat cepat melewati air mancur yang sudah membeku kemudian memutarinya dan keluar lewat pagar besi yang sudah terbuka lebar. Dengan mengenyampingkan rasa dinginnya hujan salju dimalam hari, Tobio berlari menuju mobil terdekat untuk segera mengejarnya.


Ini mobil yang dipakai Tobio, entah mobil siapa Tobio juga tidak peduli. Beruntung kunci mobil sudah menggantung didalam, jadi Tobio dapat menggunakan mobil tersebut tanpa kesulitan. Berbeda dengan kebanyakan tempat, menurut Tobio tamu undangan disini tidak khawatir jika mobil mereka akan dicuri atau semacamnya.

**

BIP BIP BIP BIP !

Yamaguchi menghentikan acara makannya sesaat ketika sebuah notifikasi menggetarkan gairahnya, ralat ponselnya.

Unknown Number

LIVE LOCATION 🌐
For 8 hours

Ini nomor siapa?

"Yama, aku dapet pesen dari nomor gak dikenal." Yama seketika menoleh kearah Goshiki yang duduk berseberangan dengannya. Mereka sedang duduk dengan yang lainnya di aula utama, meja makan bundar penuh makanan menjadi penyekat.

"Kamu juga?"
Goshiki yang kini terkejut, "ahh kupikir hanya aku aja, kamu juga Yams?" Yama mengangguk lantas menunjukkan layar Hp-nya.

"Kenapa? Siapa?" Kunimi mengalihkan pandangan dan menghentikan gerak jarinya menscroll layar, apalagi kalau bukan menonton TickTack? Goshiki dan Yamaguchi menunjukkan layar Hp mereka bersamaan. Membuat Inouka, Shibayama, Tsukishima, Kanji, Kenjirou, Fukunaga, Ryuu, Nishinoya, Kindaichi dan Kunimi sendiri menaikkan alis dengan tampang bingung mereka.

Tidak semua anggota jamidun family ikut memang, terutama Terushima Family yang minta maaf secara personal karena berhalangan hadir. Para orangtua pun tidak ikut karena tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka, hanya ada Iwaizumi dan Oikawa sebagai perwakilan dan Akaashi , Bokuto sebagai penanggung jawab acara. Alias pengawas mereka semua.

Anak—anak itu juga hadir karena diundang oleh Hoshiumi secara langsung waktu mereka datang menjenguk Shoyo. Alhasil mereka datang hitung—hitung berlibur sekalian.

"Buka jangan nih?" Yama melirik teman—temannya.
"Buka aja."
"Jangan!" Sergah Fukunaga.

"Kenapa?"
"Paling cuma orang iseng." Fukunaga meminum soda rasa strawberry-nya.

"Masalahnya, nomornya emang gak dikenal. Tapi ini jelas nomor negara kita!" Ujar Goshiki sambil terus memperhatikan pesan tadi.
Yama mengangguk, "tapi lokasi ini kayaknya bukan dinegara kita deh."

"Jadi?"
"Mending buka aja dah." Sembur Ryuu, telapak tangannya mengelus kepala pelontosnya pelan.
Nishinoya setuju, "daripada kepo."

Dengan perasaan campur aduk, keduanya memencet lokasi tersebut. Akan tetapi, suara gaduh yang berasal tidak jauh dari tempat mereka duduk mengalihkan atensi mereka cepat.

"Apa?!" Yama dan yang lainnya ikut berdiri ketika melihat siapa yang berteriak. Papa Bo dan Mama Aka nampak terkejut dan cemas diwaktu bersamaan. "Ada apa?" Ryuu berinisiatif untuk beranjak dan menghampiri keributan tersebut, diikuti yang lainnya.

Salah satu pria berpakaian rapih serba hitam yang dipercayai adalah seorang bodyguard berusaha menjelaskan segalanya dalam bahasa yang tidak bisa dimengerti baik bagi Ryuu maupun yang lainnya. "Dia ngomong apasih?" Goshiki melipat alisnya, menyesal karena selalu menolak ajakan sang Papa untuk memberinya tambahan les bahasa perancis.

Seluruh tamu undangan berlagak panik, berbondong—bondong bangkit dari tempat duduk lantas merapat pada satu sama lain. Hal itu semakin membuat Goshiki dan yang lainnya kebingungan, kecuali Inouka dirombongan remaja itu.

"Gedung ini dimasuki penyusup." Sontak anak—anak itu menoleh ke arah Inouka. "Dia ngajak kita ke ruang CCTV buat ngecek sendiri."

Inouka yang baru sadar jadi pusat perhatian hanya terkekeh canggung sambil ngegaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, "kenapa dah?! Gak pernah liat orang yang nerjemahin bahasa sebelumnya? Norak banget."

"Sombong banget lu ye!" Nishinoya sudah melompat dan menjitak kepala Inouka. Yang dijitak hanya meringis tanpa membalas.

"Setau gw bapak lu campuran russia bukan perancis Nou."
"Yaterus apa hubungannya bambang?"

Dan lagi—lagi suasana serius itu tidak menjadi lebih baik setelah Uenoyama datang dengan nafas tersengal. Matanya menyipit tak nyaman, tangannya membawa benda persegi warna silver yang diyakini Yama adalah Hp Shoyo. Tampak basah karena ada air yang ikut menetes keluar dari sela jari—jemari tangannya.

"Huh.. Tante, Shoyo huh... gak ada di toilet." Jelasnya sambil masih mengatur nafas.
"Shoyo?!" Hoshi yang entah sejak kapan turun dari panggung dan berada dibelakang punggung Mama Aka kini meringsek maju. Uenoyama mengangguk cepat, "tadi abis performence dia bilang mau ke toilet bentar tapi gabalik-balik makanya gue susul. Eh gaada siapa-siapa ditoilet, cuma gue nemu Hpnya ditenggelemin di wastafel." Ia menyodorkan benda mati itu.

"Hp Shoyo?" Mama Aka meraih benda persegi tersebut dan mengangguk, "iya ini Hpnya, Shoyo beneran gak ada Ue?" Uenoyama menggeleng kentara, kedua alis Papa Bo sudah menukik tidak senang, fikiran negatif mulai merayapi isi kepalanya, terutama kepala Mama Aka. Raut wajahnya yang kelewat cemas sangat terlihat dengan jelas.

"Kenapa sih Kash?!" Bunda Iwa ikut menghampiri dengan Ayah Oik, nafas mereka nampak sedikit tidak teratur. Entah habis melakukan apa? "Ada apaan Bok? Kok tiba-tiba suasananya jadi gini?" Oikawa ikut bertanya.

"Gedung ini gak aman, bodyguard barusan bilang kalo hampir 70% keamanan Hotel udah dibobol penyusup. Gue belom ngecek tapi, sebagian udah di handle langsung sama Tn. Beaufort." Mama Aka yang menjelaskan.

Ny. Aoi dan Tn. Aoi sedang mengecek CCTV untuk mencermati apa yang sebenarnya terjadi, sedangkan Ny. Kourai dan suaminya mengecek para kondisi bodyguard yang terluka. Tamu undangan diminta untuk tetap tinggal di aula utama dengan beberapa bodyguard sisi depan yang selamat. Karena penyusup itu hanya membobol pintu belakang, hampir setengah gedung Hotel ditak berpengaman sekarang.

"Yaudah, smoga semua aman terkendali. Gua bantu telfon pihak kepolisian oke! Tunggu bentar." Oikawa merogoh kantung jasnya. Akaashi mengangguk dengan ucapan terimakasih. Yamaguchi menatap layar Hpnya dengan perasaan tidak enak, melirik kearah Goshiki yang juga melirik padanya.

Haruskah ia beritahu saja tentang pesan ini? Tapi masalah ini aja udah gaenak situasinya.

Yama menggeleng jelas ia tidak mau memperkeruh keadaan, namun Ryuu meraih pundaknya. "Bilang aja gapapa dek, tapi nanti kalo Budenya Shoyo bilang hal aneh oke?" Yama menoleh, lalu mengangguk mengerti. Dia akan diam sampai Bude dan Paman Shoyo kembali dari ruangan CCTV.

Jari Iwaizumi menunjuk satu persatu kepala remaja yang rata—rata setinggi bahunya, namun ada beberapa yang mulai setinggi ujung telinganya. Dalam situasi genting begini semua harus tetap tenang dan dalam kondisi berkumpul akan membuat perasaan sedikit aman. "Loh, Shoyo sama Tobio mana?!"

"Shoyo–

"KOUTARO, KEIJI!" Baru saja Akaashi akan menjawab pertanyaan Iwaizumi namun teriakkan lantang Ny. Aoi membuatnya urung.

"DIA MEMBAWANYA!"

Hanya dua kalimat memang, dan hanya dengan dua kalimat itu pula tubuh Akaashi kehilangan kesadarannya.

**

Brak! Brak! Brak!
BRAK! BRAK!

Tobio memukul—mukul gagang stir kuat, sekeras apapun ia mencoba ban mobil yang dinaikinya tetap tenggelam diladang salju. Membuatnya terjebak tertinggal dibawah tanjakkan menukik yang entah akan mengarah kemana. Jelas ini bukan daerah yang biasa dilewatinya, hingga ia bisa menemukan kemungkinan adanya jalan lain untuk bisa mencapai puncak bukit salju tersebut.

SRET! SRET! DUG! DUG!

Auto wipe pada kaca mobil menyapu hempasan salju yang melebat, badai salju itu tidak kunjung reda, malah bertambah lebat saja. Akan tetapi, Tobio tidak memiliki pilihan selain turun dan keluar dari mobil sekarang juga. Kaki mobil mungkin tidak bisa menerobos hamparan salju tanpa ban khusus tetapi kakinya bisa.

Gue harus nyelametin Shoyo

Tangannya secara spontan memeluk tubuhnya sendiri begitu terpaan angin malam kencang bercampur badai salju menerpa kencang membuat menggigil. Kepulan asap tampak keluar dari area hidung dan bibir. Baru beberapa langkah tapi kakinya terasa mati rasa begitu hamparan empuk salju menenggelamkan kakinya hingga sebetis bagian bawahnya.

Perlu diingat, Tobio keluar dengan outift pesta yang masih dipakainya, sepatunya bahkan bukan sepatu boots yang bisa melindungi kaki. Telinganya sampai memerah, begitu juga dengan hidungnya yang mengeluarkan sedikit cairan akibat kedinginan.

Argh! Kenapa dingin banget sih?! Gue gabisa jalan goblok!

Jika suasana sedang tidak segenting ini, mungkin Tobio lebih mirip orang gila karena memarahi salju. Tetapi memang sekesal itu rasanya dia pada hamparan salju disana. Jika saja ada peri dengan kekuatan yang bisa merubah salju menjadi hamparan rumput, itu jelas akan sangat membantu Tobio kali ini. Tetapi jelas itu tidak akan terjadi karena genre book ini bukan Fantasy.

"Ergh!" Tobio menggeram sambil terus mengangkat kakinya yang mulai memberat dan susah digerakkan karena kedinginan. Angin kencang juga tak berhenti mengganggunya, membuat tubuhnya terhuyung ke kanan kiri sesekali. Butuh tekat yang kuat untuk terus maju, sudah setengah perjalan dan tubuhnya benar—benar bergetar menggigil.

Tangannya meraih batang pohon pinus yang daunnya tertimbun salju, tertatih—tatih merambati tiap batang pohon besar pinus yang dilewatinya sebagai penopang. "Gggaawwaaattt."

Hah!

Gawat banget asli, gue gak kuat lagi.

Bibirnya mulai membiru, kakinya gemetar sudah benar—benar lemas dan mati rasa hingga ia berhenti dan berusaha mempertahankan kesadarannya yang sempat mengabur beberapa detik yang lalu. Tidak bisa melangkah lagi membuat tangannya saling menggesek, berharap dapat membuat dirinya sedikit hangat. Namun itu tidak cukup. Serpihan salju sudah menempel diantara kepala dan bajunya.

"Arghh!"

BRUK!

Lututnya terjatuh, tidak sakit. Terasa empuk, namun terasa sangat dingin, dan tubuhnya benar—benar tidak terbiasa dengan suhu dingin ditengah badai salju seperti ini. Matanya terpejam, deru nafasnya tidak seirama dengan detakan jantung didalam tubuhnya. Udara bersih kian menipis, susah bernafas dan sudah pasti Tobio akan jatuh pingsan jika menyerah.

Disisi lain, Shoyo juga kedinginan. Memeluk dirinya sendiri, berusaha menghangatkan diri. Ruangan itu begitu gelap dan dingin, ia dikurung dan dikunci di dalam ruangan yang mungkin mirip disebut gudang. Hanya ada tumpukan kayu yang sudah terpotong rapih disisi kanannya, tanpa serat—serat kayu yang menempel.

Begitu takut, begitu menyeramkan berada disana. Begitu sampai, pria besar bernama M itu langsung memasukkannya begitu saja kedalam ruangan itu tanpa bicara apapun, lalu naik keatas setelah menguncinya rapat. Sehabis itu ia tak kunjung turun, Shoyo sendirian digudang bawah itu. Tidak ada jendela atau ventilasi udara apapun selain celah kecil dari pintu tebal yang tertutup.

"Emmmmhhh! Mmmhhhh! Heuk!" Matanya tidak berhenti menangis, setengah dirinya menyesal karena memilih ikut namun tak kunjung diberi waktu bertemu dengan Yachi yang adalah alasan ia ikut kemari. Setengah dirinya lagi merasa teramat takut, dengan kegelapan, kedinginan serta kesendiriannya.

"Mama, Papa." Bayangan wajah kedua orangtuanya tampil apik didalam kepala. Setidaknya Mama, Papa dan yang lainnya baik-baik saja. Namun, bagaimana dengan Tobio?

Bang Tobio memang sempat mengejarnya tadi, meski begitu Shoyo tau kalau mobil yang dikendarainya tidak akan bisa menyusul keatas sini apapun yang ia usahakan. Karena ban mobil biasa tidak bisa berjalan diatas lautan selimut salju yang super tebal dan licin. Membuat ban mobil biasa akan terus terselip saat mencoba menggerakkannya baik maju ataupun mundur.

"Ehmmmm!" Shoyo menggedor—gedor pintu sambil terus berteriak tertahan karena bibirnya masih ditutupi.

DOK! DOK! DOK!

"Emmmhhh!!!" Shoyo berlutut dibalik pintu, tangannya terkepal.

Disisi lainnya lagi, beberapa rombongan anak—anak dan orang dewasa nampak bergerak cepat melewati jalanan aspal yang licin.

"Belok mana lagi nih?" Ryuu dengan sigap mengikuti arahan dari sang adik, Yamaguchi. Nishinoya, Goshiki dan Kindaichi duduk dikursi penumpang. Sisanya lagi ada dimobil berikutnya.

"Belok kiri didepan Bang!" Ryuu mengangguk, "eh? Serius?!"
"Yakali bercanda." Sambar Nishinoya.
"Tapi didepan bukan jalanan aspal lagi, itu kayak rute luar dari jalanan ini."

"Tapi lokasinya ngarah ke kiri Bang." Yamaguchi kembali meyakinkan dirinya jika penglihatannya tidak salah.

"Yang bener aja." Ryuu hampir mengumpat namun urung. Ban mobil yang dikendarainya memaksa menerobos dan alhasil tenggelam ke dalam hamparan salju. Membuat kepala mereka terantuk kedepan kala mobil berhenti mendadak.

"Bentar, itu ada mobil." Tunjuk Kindaichi, seluruhnya menatap jendela. Memang benar ada mobil Range Rover hitam yang berhenti, pintu mobilnya terbuka, dengan lampunya yang masih menyala, menembak kedepan tepat kearah tanjakkan yang adalah bukit. Mobil itu terhenti karena sama kesulitannya untuk mendaki seperti mereka.

"Apa itu mobil yang dipake Bang Tobio kesini?" Sergah Goshiki, setelah keluar dari mobil. Rombongan mobil dibelakang juga turut berhenti, para orangtua sibuk menelfon seseorang untuk segera mengirimkan mobil salju dalam agar bisa mendaki bukit tersebut.

**

"Ergh!" Bayangan wajah Shoyo yang menangis dan ketakutan digendongan pria yang menculiknya membuat Tobio kembali membuka matanya. Ia mencoba berdiri berkali-kali, namun tetap tidak bisa. Hal itu menjadi sia-sia dan buang-buang waktu.

Semakin lama ia menyelamatkan Shoyo, maka semakin besar kemungkinan bahaya yang akan didapatnya. Memikirkan itu, Tobio semakin menggigil. Dengan kasar ia meraih ranting pepohonan asal, apapun yang ia berhasil gapai maka ia akan menariknya kebawah.

Geraman kembali terdengar ketika telapak tangannya terkena beberapa serat kayu dari ranting pohon, namun ia tidak memedulikannya. Tonjolan pada jakun tampan naik turun, mempersiapkan diri sebelum menjatuhkan tubuhnya ke hamparan salju tersebut.

Kakinya sudah benar–benar mati rasa, tidak bisa digerakkan, jadi ia akan menyeret kakinya untuk tetap berjalan. Kedua tangannya menancap ranting ke hamparan salju lantas menarik tubuhnya dalam posisi duduk menyamping.

Shit!! Gue benci salju!!!

Umpatnya dalam hati, bersamaan dengan itu cahaya lampu membuat kerutan pada dahinya melunak. Secercah harapan membuatnya semakin cepat memaksa tubuhnya berjalan dalam posisi menyedihkan. Menyeret pantatnya untuk dapat mencapai satu–satunya rumah disana, sebuah mobil salju yang digunakan pria besar tadi juga terlihat mermarkir disampingnya.

Diujung bukit yang Tobio enggan menolak kebelakang untuk mengetahui seberapa jauh perjalanannya. Cahaya lampu mobil yang sempat jadi penerang jalannya saja sudah benar-benar lenyap ditelan gelapnya malam.  Ah pasti ini sebagian dari hukuman karena telah menyakiti Shoyo, pikir Tobio.

Sedikit lagi Tobio, sedikit lagi! Tunggu gue Sho! Plis sabar!

CLOP!

Tancapan terakhir dua ranting berlumuran darah berhasil membawa Tobio sampai pada rumah itu. Sayangnya, kakinya masih membeku dibawah sana, ia masih belum bisa berdiri, dan menaiki tangga dalam kondisi seperti ini butuh usaha lebih besar. Tapi apa masalahnya? Jika bukit salju berhasil didakinya, maka tangga ini hanyalah piece of cake untuknya.

Akan tetapi saat Tobio baru ingin membalikkan tubuh, samar-samar terdengar suara gebrakan pintu lemah. Dan suara itu tidak berasal dari atas, tetapi dari sisi kirinya. Kepalanya mencuat sedikit, ada sebuah pintu yang sedikit bergoyang bersamaan dengan suara gebrakan, menandakan jika memang ada sesuatu didalamnya.

Shoyo?

Tobio tidak berhasil meloloskan nama itu dari bibirnya yang sudah membiru, sangking kedinginannya ia tak sanggup bersuara lagi, lidahnya terasa kelu seakan membeku. Tanpa peduli lagi, ia mengurungkan niatnya menaiki tangga dan beralih kepada pintu tersebut.

DOK! DOK! DOK!

"Errmmghhhh!" Manik blueberry Tobio membola, itu benar suara Shoyo. Apa mulutnya masih ditutupi? Suara Shoyo tidak terdengar benar, dan itu membuat Tobio kalang kabut, padahal kondisinya sendiri lebih mengkhawatirkan. Darah segar mulai mengalir dari hidungnya, kepalanya terasa berat karena pusing. Namun ia tak merasakannya, rasa khawatir lebih mendominasi, membuat ia harus melihat kondisi Shoyo, bertemu dengan Shoyo sekarang juga!

Telapak tangan Tobio menyentuh pintu tersebut, berharap bibirnya bisa mengeluarkan sepatah kata, namun tetap tidak bisa. Ia memilih untuk mencari sesuatu karena menemukan gembok besar tercantul didepan pintu tersebut, mengunci pintu dengan kuat.

Dan mungkin Dewi Bulan mengasihaninya malam ini, tanpa mencari ada sebuah besi yang ujungnya meruncing, dan cukup panjang, agak berat. Setidaknya cukup untuk membuat gembok silver itu terbuka, pikirnya. Besi panjang runcing itu tergeletak tak jauh dari posisinya.

Setelah berhasil meraihnya, Tobio mencoba berdiri dengan menjadikan besi tersebut tumpuan. Awalnya tidak bisa, lututnya terjatuh berkali-kali bersamaan dengan angin kencang dan darah yang terus menetes dari salah satu lubang hidungnya. Tetapi ia harus berdiri untuk bisa meraih gembok dan menghancurkannya tepat sasaran. Jadi ia mencoba lagi.

Dengan gemetar hebat kakinya berhasil berdiri, dan dalam satu sentakan Tobio mengayunkan besi panjang beruncing itu berkali–kali menumbuk sasaran yang sudah dikunci matanya sejak tadi. Dan...

CLACK!

Huh! Huh!

KRIEEETTT!

Pintu berhasil terbuka, Shoyo yang meringkuk dipojokkan langsung mendongkak. "Erghh!" Tubuh Tobio ambruk lagi di ambang pintu, kakinya sudah tidak sanggup berdiri lagi, bahkan tidak sanggup menyeret pantatnya sendiri untuk masuk ke dalam ruangan gelap penuh puluhan bongkahan kayu tersebut. Pandangannya pelan-pelan berbayang, padahal ia belum berhasil membawa Shoyo keluar dari sini. Ini tidak baik!

"Erghhh!!" Jari telunjuk Shoyo menyentuh bagian bawah hidung Tobio yang masih mengeluarkan darah segar.

Bang Tobio?!

Shoyo tidak pernah menyangka, bahwa Tobio akan senekat itu untuk tetap mengejarnya kesini. Wajah Tobio benar—benar pucat, bibirnya tampak kebiruan, seluruh tubuhnya menggigil, ini sangat gawat. Jelas ini berbahaya! Tapi ini satu—satunya peluang untuk melarikan diri bukan? Shoyo melongokan kepala, diluar nampak sepi dan badai salju masih terjadi. Terpaan angin kencang pada wajahnya menjadi bukti. Jelas ia tidak bisa keluar sekarang, tidak sebelum badai salju selesai.

Sejujurnya ia sempat berfikir jika yang akan membuka pintunya barusan bukanlah Tobio, dilubuk hatinya yang terdalam memang berharap jika ada seseorang yang akan menolongnya, dengan membayangkan itu Shoyo tidak begitu merasa takut lagi. Tetapi ia tak sampai hati untuk berharap jika orangnya adalah Tobio, orang yang paling tidak ingin ditemuinya saat ini.

Tapi meski begitu, sebagian hatinya merasa teramat lega karena Tobio lah orangnya, walaupun sempat merasa pesimis, mana mungkin Tobio akan repot—repot datang kemari hanya untuk menyelamatkannya? Dan mungkin semua ansumsi itu bisa dikesampingkan sebentar.

Tanpa bersuara lagi Shoyo menarik lengan Tobio untuk masuk kedalam. Pria bernama 'M' itu memang tidak melakukan sesuatu yang buruk padanya, selain mengunci mulut, mamaksanya kesini dan mengurungnya disini tentu saja. Dan seluruh hal itu hanya membuat Shoyo sedikit kedinginan karena dikurung disini, tetapi kondisi Tobio? Benar—benar mengkhawatirkan.

Tubuh Tobio disenderkan ke dinding, Shoyo berjalan kembali untuk menutup pintu dan mengganjalnya dengan sesuatu agar pintu rapat. Menoleh lagi kearah Tobio yang juga menatapnya, tangannya memang tidak terikat tapi Shoyo sengaja untuk tetap memakai penutup mulut agar Yachi memeprcayainya. Akan tetapi sepertinya itu tidak diperlukan lagi, jadi ia melepas pengunci mulutnya sendiri.

Perasaannya campur aduk, melihat kondisi Tobio saat ini sedikit membuatnya tidak percaya, seolah Tobio memberinya harapan. Bahwa dirinya lebih, bahwa Tobio sangat menyayanginya hingga apapun akan ia lakukan demi bisa menyelamatkannya. Tetapi, apa benar begitu? Apa kelakuan Tobio sekarang bukan hanya karena ia adalah anak dari Mama Aka yang notabenenya sahabat Bunda Iwa?

Cahaya dimata Shoyo berubah padam, padahal saat pertama kali melihat Tobio berada diujung pintu itu matanya nampak berbinar. Mungkin rasa kecewa memang tidak bisa dihilangkan secepat itu, meski Shoyo sudah memaafkan Tobio. "Argh!" Tobio memegangi kepalanya, hidung yang tadinya hanya mengalirkan darah dari satu sisi mendadak berubah menjadi dua sisi.

Shoyo gelagapan, setengah panik namun mendekati Tobio dan merawatnya terasa salah. Namun, untuk apa dirinya disini jika nanti Tobio kenapa-napa? Jelas Tobio merasa kesakitan, dan itu karena ia ingin menyelamatkannya bukan? Oh ayolah!

Shoyo mendekati Tobio dan mencoba memegang dahinya, "Astaga dingin banget!" Hazelnya membulat, dengan perlahan ia mendongkakkan kepala Tobio dan memintanya untuk menahan kepalanya lebih lama. Sementara tangannya mulai melucuti pakaian Tobio yang dingin dan basah.

Tanpa bertanya pun Shoyo sudah tau, Tobio hampir membeku maka dari itu ia benar–benar tidak bisa bersuara sedikit pun meski tatapan matanya seolah mengatakan sesuatu. Tetapi Shoyo tidak mengerti arti sorot mata, ia tidak ingin salah pengertian lagi. Jadi akan lebih baik bicara langsung saja.

Setelah membuat Tobio hanya mengenakan boxer hitamnya saja, Shoyo membuka jasnya dan menjadikannya penutup kaki Tobio. Tangannya dengan cepat merobek bagian bawah kemeja putihnya untuk mengelap sisa darah mimisan Tobio, dan meremasnya kecil hingga tak berbentuk lalu memasukkannya pada kedua lubang hidungnya.

Tobio diam saja, tetap terjaga seperti ini saja sudah menggunakan banyak tenaga, ia tidak bisa bergerak ataupun bicara lagi setelah melewati badai salju tanpa baju tebal atau kendaraan apapun. Pertolongan pertama sudah dilakukan Shoyo, namun hal itu tidak mengubah apapun, dilihatnya tubuh Tobio yang terus menggigil sambil meringis dan sesekali menggeram pelan. Hidungnya memang sudah tidak mengeluarkan darah lagi, tetapi telinga Tobio keliatan semakin memerah, apa darah akan keluar dari telinga?

Pikiran aneh mulai berkeliaran dipikiran Shoyo, jelas ia bukan anak kedokteran yang mengerti akan hal ini. Bagaimana jika Tobio tidak selamat? Apa yang harus ia lakukan? Ya Dewi, Tuhan, Kami-sama, siapapun tolong Aku!!!

Tanpa sadar ia menggigiti kukunya gelisah, melihat kondisi Tobio seperti ini benar—benar menyayat perasaannya. Lebih sakit ketimbang melihat Tobio bersama dengan Yachi, apa memang sesayang itu ia dengan Tobio?

Mama, kalo mama diposisi Sho, apa yang bakal Mama lakuin buat Papa???

"Argh! Merrgh!" Shoyo tergemap, melihat Tobio terus menerus meringis sambil memegangi kepala dan bagian dadanya. Kenapa? Apa terasa sakit disana? Shoyo mencoba memegang dahi Tobio lagi, dan tidak kunjung mereda malah rasa dinginnya bertambah dua kali lipat. Apa tidak cukup? Baju Tobio basah nan dingin semua bekas terkena salju, hanya bajunya yang kering karena ia memang merasa sedikit kedinginan tetapi dikurung didalam ruangan ini dan sempat pergi dengan mobil salju membuat Shoyo tidak harus terkena badai salju secara langsung.

Tidak seperti Tobio, apa ia harus menggunakan cara itu? Ah, Shoyo tidak ada pilihan lain, ia harus segera menghangatkan tubuh Tobio, jika tidak sudah pasti Tobio tidak akan selamat. Meski tidak ahli dalam bidangnya, Shoyo tahu jika manusia bisa meninggal karena hal ini.

Entah apa yang sedang dilakukan Shoyo sekarang, Tobio sibuk mengangkat kelopak matanya sendiri agar tetap terbuka. Kesadarannya perlahan—lahan terasa memudar, kepalanya masih sangat sakit. Dan kakinya masih belum bisa digerakkan, ia butuh sesuatu untuk menghangatkan diri. Maniknya melirik kearah tumpukkan balok kayu berukuran besar, jelas tumpukan kayu itu terlalu besar untuk diangkat Shoyo seorang diri. Membuat api akan sangat sulit.

Cara apa yang bisa digunakannya agar hangat? Ah ada satu cara. Tetapi apa itu mungkin? Ia bahkan belum mengucapkan maaf dan menjelaskan segalanya, lantas meminta sesuatu dari Shoyo begitu saja? Jelas Shoyo akan menolaknya secara langsung. Tobio bahkan merasa jika Shoyo menghindari tatapannya sejak tadi, masih belum inginkah dia melihatku?

Sebuah usapan dirasakan Tobio, membuatnya tergemap sesaat. Usapan itu berubah menjadi belaian lembut, rasanya hangat. Tobio melirikkan pandangannya, menatap Shoyo yang juga menatapnya. Seketika tatapannya membola, tubuh tanpa helaian benang satupun terpampang dengan jelas didepan matanya. Bagaimana? Tapi kenapa?

Tobio menggeram tanda menolak lalu Shoyo menekankan jari telunjuknya pada bibir. Menyuruh Tobio diam, "ssshh, cuma ini yang bisa Sho lakukan buat kamu Bang. Jadi tolong, bersabarlah." Shoyo menunduk setelahnya, hazelnya tak berani bersitatap dengan manik kebiruan pria didepannya saat ini.

Tobio menoleh kesamping, dan menaik turunkan kepalanya pelan. Setelah mendapat persetujuan, tangan yang sempat terhenti kembali mengusap. Mengelus lembut bagian dada dan naik kearea leher, berharap sentuhannya mampu membuat Tobio hangat. Akan tetapi, itu belum cukup.

Dengan terpaksa ia memutuskan untuk naik dan duduk diatas kedua paha Tobio, kedua tangannya mencari—cari tangan Tobio dan begitu ketemu ia langsung saling mengeratkan kesepuluh jarinya erat. Shoyo menempelkan tubuh polosnya dengan tubuh Tobio, pipi dan kupingnya melekat ke dada, seolah menguping Shoyo dapat mendengar dengan jelas detak jantung Tobio yang cukup kencang.

Apa yang membuatnya begitu deg-degan?

Shoyo tak habis pikir, namun ia juga tidak ingin terlalu memikirkannya. Bisa saja itu semua karena Tobio terlalu merasa sakit, dan dengan menahannya membuat kerja jantungnya berpacu dengan cepat kan? Itu semua mungkin saja.

Tobio memejamkan matanya, sejak dulu. Jantungnya memang tidak aman jika dekat dengan anak ini. Ia bahkan sempat berfikir untuk konsultasi ke dokter, tetapi itu semua tak pernah dilakukannya. Selain takut, Tobio memang sangat benci aroma rumah sakit.

Mendadak ia teringat sesuatu, "a– agh!" Tobio mengumpat dalam hati. Ternyata ia masih juga belum bisa bersuara, lidahnya terasa kelu. Mungkin karena tubuhnya tidak biasa dengan suhu udara dinegara empat musim, membuat tubuhnya begitu lemah ketika berhadapan dengan badai salju ekstrem.

Perlahan tapi pasti suhu tubuh Tobio mulai menghangat, kesadarannya yang sempat mengabur sudah teralihkan dengan kegiatan mereka saat ini. Bak tersambar aliran listrik Tobio juga merasa lebih bersemangat. Meski tubuhnya belum bisa digerakkan, dan kepalanya masih terasa sedikit pusing. Mungkin sedikit lagi, sebentar lagi.

Remasan pada jari jemari tangannya membuat Tobio menoleh dan menunduk, hazel Shoyo yang menyambutnya membuatnya bertanya—tanya. Apa yang ada di dalam pikiran Shoyo, sampai melakukan hal ini? Kedua tubuh polos yang saling menempel, dengan kedua perasaan yang membuncah, ini tidaklah bagus.

DEG! DEG! DEG! DEG!

Lah dia deg degan juga?

Tobio bertanya dalam hati, tapi apa mungkin?

Kedua netra beda warna itu masih bersitatap beberapa detik sebelum yang lebih muda menurunkan atensinya ke bibir terkatup milik Tobio.

Haruskah aku melakukannya?

Shoyo bertanya, tepatnya bergumam tanpa suara. Ia memang berhasil menghangatkan bagian luar tubuh Tobio, tapi bagaimana dengan bagian dalam tubuhnya? Tubuh Tobio tidak akan sepenuhnya pulih jika bagian luarnya yang hangat.

Dan dengan memperhatikan bibir Tobio, membuatnya menyadari hal itu. Karena bibir itu masih bergoyang, gemetar. Bukti jika memang ia butuh sesuatu untuk membuatnya hangat juga. Dan satu—satunya cara, hanya 'itu' saja.

Shoyo memalingkan wajahnya kekanan, semburat merah nampak menyelubungi area pipi hingga ketelinganya. Melihat itu membuat Tobio ikut memalingkan wajahnya kekiri, merasakan tingkat malu serupa, wajah mereka benar—benar merah.

Meski tanpa suara, entah kenapa tubuh mereka saling merespon dengan baik. Tubuh yang saling menempel, hembusan nafas yang saling menyapu permukaan kulit, serta genggaman erat pada jari jemari. Semua itu seolah menyatu dan berpusat pada jantung, membuat mereka jadi deg-deg an dan salah tingkah seperti sekarang ini.

Shoyo mengepalkan tangannya, tanpa aba—aba lehernya menoleh bersamaan dengan bibirnya yang menyambar bibir Tobio cepat, kedua tangannya yang saling mencengkram terpaku di dada Tobio. Hazelnya tertutup rapat, ia sangat malu dan tidak tau cara melakukannya dengan benar.

Karena respon Tobio hanya diam, merasakan bagaimana bibir mungil Shoyo yang hangat berusaha menorehkan keberadaannya disana, mengecup beberapa kali sebelum menjulurkan lidah membuat Tobio membelalak sambil memutuskan untuk membuka bibirnya atau tidak.

Manik blueberry-nya masih menatap kebawah, dimana Shoyo asik memejamkan mata sambil masih dengan menjulurkan lidah seakan memintanya untuk membuka akses bibir. Oh tentu ciuman lugu dan polos itu membuat Tobio gemas bukan main, dan dengan sisa tenaga yang layaknya tercharger, ia membuka mulutnya.

Lidah hangat Shoyo menyapa lidah kelunya, menjulur keluarkan lidahnya, tanpa mencoba untuk membelitnya. Tobio bukannya tidak menikmati, tetapi dengan Shoyo yang seperti ini membuatnya merasa ia sedang menggodanya, dan karena itu juga tubuhnya lebih bertenanga lagi.

Sebelah tangannya memeluk punggung sempit Shoyo, sedangkan sebelahnya lagi meraih belakang kepalanya dan mendorong untuk memperdalam pagutan mereka. Setelahnya, lumatan dan adegan silat lidah terjadi, Shoyo spontan membuka kelopak matanya terkejut ketika lidahnya dipermainkan dan dimanjakan Tobio. Ciumannya dibalas?

Ia terheran—heran didalam hati karena sejak tadi Tobio hanya diam saja. Rasa hangat yang menjalar melalui bibir keduanya, saling menyelimuti satu sama lain berbagi rasa itu bersama, dan Shoyo mulai menikmatinya. Tobio pun begitu akan tetapi, ada sesuatu yang mengganggu mereka, datang tidak diundang, pulang pun tidak diantar. Siapakah dia?

BRAK!

Pintu dibelakang Shoyo tiba—tiba terbuka kencang, sosok tinggi menjulang dengan baju serupa (masih sama dengan) baju yang dipakai sebelumnya. Tidak ganti baju, mungkin juga tidak sempat mandi? Pasti bau ketek, oke skip.

Membuat Aktifitas Shoyo dan Tobio terhenti. Bayangan pria besar dengan sebongkah kayu panjang ditangan tercetak jelas dari ujung pintu. Pria itu berjalan cepat masuk, dan ketika jarak mereka dirasanya cukup dekat tanpa aba—aba melayangkan kayu tersebut hingga mengenai kepala seseorang.

BUGH!

Kemudian aroma darah segar tercium pekat, omong—omong darah siapakah itu?

••

[[ Picture Hanya Pemanis ]]



All ©️®️ by pinterest, ganemu nama artistnya.

btw, diantara Tobio dan Shoyo yang dipukul kepalanya sama pria bernama 'M' siapa?




Oke guys! Finally bisa publish😭🙌🏻
Why? Selain sibuk RL, cece sempet ngestuck dibagian Tobio. Bukan karena gatau kelanjutan alurnya mau gimana tapi peran Tobio yang gabisa cece dapetin di scene KageHina ini.

Well, buat scene Shoyo itu udah ngefeel bgt sampe berasa sedihnya kesini, tapi pas scene Tobio cece ngerasa aneh dan feelnya kurang dapet. So cece sempet nanya temen-temen cece buat minta saran, dan akhirnya melakukan berbagai macam cara sampe akhirnya nyoba memperbaiki. Tapi bentar coba tebak deh ini berapa kata? Well, 12.598 kata!😀😃😅👏🏻👏🏻👏🏻

So yaudah, inilah hasilnya! Menurut cece ini udah bener-bener pas, so smoga kalian enjoy ya!!!
Maaf untuk keterlambatan publish "Jamidun Family" yang udah cece janjikan tahun ini bakal keluar. Tetep keluar kok ges, cuma gak janji kapan hari dan tanggalnya, abis ini mau lanjut 'sakuatsu' karena udah janji sama temen.

Dan sisanya lanjut 'proteger' karena readersnya udah demo, so setelah itu baru nyicil 'wansot heqi' sambil nulis 'jamidun family' dkk. Mending gausah ditungguin si biar ga berasa lamanya, tau tau cece update trus baca deh🤣🤣🤣 auk ah gelap!

Kalian apakabar btw? Smoga sehat selalu ya! Jaga diri sendiri lebih dulu, yg bener. Biar bisa jagain orang lain suatu hari nanti ciee amiin😫🙌🏻🥺💕👍🏻 okedeh sekian ya! Selamat Malam! Take careeeeeeeee🦄✨

Cece, 01 Maret 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro