Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

! 𑁍 ָ࣪ ˖𝐅 𝐢 𝐬 𝐬 𝐮 𝐫é ¡!•KageHina•


You don't know what goodbye means.
— Alan Walker

𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧

𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧𖡼 𖤣𖥧





           Tetes air hujan mulai turun berjatuhan dari langit, disusul meluruhnya air asin di pelupuk mata pria mungil bersurai oranye malam itu. Perasaannya membuncah, pikirannya penuh, dadanya terasa sesak, nafasnya tersumbat karena terhalang oleh air bening, wajahnya basah kuyup.

Adegan beberapa menit yang lalu masih berputar dalam kepala, diikuti semua reka adegan masa lalu yang seakan menjadi saksi bisu akan kenangan mereka selama ini. "Hah aku gak percaya." Shoyo terus berjalan tanpa menatap ke depan, netra nya terus menerus merabun walau ia sudah berkali—kali mengusapnya dengan punggung tangan.

Jadi, selama ini? Semua cuma karena Mama sahabatan sama Bunda? Shoyo tersenyum miris, ia tak menyangka kalau Tobio selama ini bersikap baik dan selalu ada untuknya hanya karena itu. Betapa bodohnya ia, menyangka jika selama ini Tobio memang menyayanginya dengan tulus.

Suasana ramai mendadak sepi, ketika hujan membesar dan angin bertiup semakin kencang. Beberapa orang nampak berlarian, mencari tempat teduh. Sebagiannya lagi memilih untuk segera menaiki kendaraan masing—masing di area parkir, pulang. Tetapi Shoyo tidak demikian, ia tidak merasa kedinginan sedikitpun bahkan ia tidak peduli bila saat ini seluruh pakaiannya basah.

Ia tidak ingin pulang, tidak juga ingin menetap disana. Ia hanya ingin menyatu dengan derasnya air hujan dan gelapnya malam, berharap semua itu dapat menutupi rasa sakit yang menganga lebar dihatinya.

Kaki—kaki pendeknya terus berjalan, menyusuri pinggir—pinggir pot besar bunga—bunga Taman Kota yang merunduk karena tertimpa derasnya hujan. Sangking derasnya, Shoyo bisa merasakan bagaimana air hujan itu menusuk tulang—tulang dan kepalanya dari luar.

Namun itu tidak cukup untuk menghentikan langkahnya. Jadi apa begini rasanya tidak dipilih? Apa begini rasanya bila digantikan? Dulu sekali sebelum Yachi datang ke dalam lingkaran hidup mereka, Shoyo selalu berhasil mengambil perhatian seorang Oikawa Tobio.

Jangankan perhatian, Shoyo bahkan mampu merebut waktu dan akal sehatnya. Tetapi sekarang? Bahkan sepertinya ia tak ada artinya dimata Tobio. Tidak berarti, tidak berharga, dan tidak pantas? Setidak pantaskah dirinya itu sampai—sampai Tobio sanggup berkata begitu? Kenyataan itu lebih menyakitkan dari pada melihat kebersamaannya dengan Yachi.

"Haaa cukup, aku gak tahan lagi." Shoyo mempercepat langkah kakinya, dari berjalan jadi berlari. Menerobos hujan yang semakin menggila, pandangan pada netranya tidak bisa jelas karena air hujan terus mengalir membasuh wajah dan menutupi penglihatannya.

BRUM!

Dan dari sisi lain jalan yang sepi, tiba—tiba saja ada cahaya terang yang menyorot bersamaan dengan suara klakson yang melengking. Samar—samar Shoyo melihat sebuah mobil datang dengan kecepatan tidak normal.

TIN! TIN!

Aspal yang licin membuat Shoyo terhuyung, tidak dapat mempertahankan keseimbangannya dalam keadaan shock, membuatnya jatuh duduk ke aspal dengan menutupi sebagian wajahnya. "A-AKU AKAN MATI!" Jeritnya histeris.


✤ ✤ ✤



Sudah setengah jam berlalu, hujan belum juga mereda. Tobio berdiri berhimpitan dengan Yachi dan beberapa peneduh lainnya di salah satu bangunan kecil yang memiliki genteng lebih diatapnya. Pintu bangunan itu sendiri terkunci rapat, jadi mereka tidak bisa berteduh didalam.

Dari kerumunan tempat ia berteduh, dadanya terasa janggal. Netra blueberry nya berpendar ke sekeliling, berharap menemukan Shoyo di barisan peneduh lainnya. Tetapi tidak, jalanan di hadapannya nampak sepi, hanya sekali dua kali terlihat pengendara mobil melaju kencang. Apa Shoyo nekat pulang menerobos hujan?

Ia sempat melihat siluet tubuh mungil Shoyo berjalan balik arah paska bertengkarnya mereka setengah jam yang lalu. Namun apa mungkin Shoyo pergi secepat itu? Tapi, kenapa juga memikirkan Shoyo? Bukankah keinginan Tobio buat sama Yachi sudah terpenuhi sekarang?

Greb!

Netra biru blueberry miliknya membulat saat jari—jemarinya digenggam. "Sh–"
"Tobio-kun, pulang aja yuk?" Ada yang melorot cepat dibagian dadanya, bukan sesak bukan juga sakit. Tobio tidak tahu itu perasaan apa tetapi rasanya amat jelas.

"Ayo, kayaknya gabakal reda sampai pagi." Yachi mengeratkan genggamannya pada telapak tangan Tobio, membuat Tobio mau tidak mau membalas genggaman itu.

𖧧̣̩ 𖧧̣̩ 𖧧̣̩

Cling!

Satu pesan masuk ke dalam ponsel Hoshiumi, netra camarnya mengabaikan pesan tersebut, masih setia menatap punggung Shoyo yang melaju cepat melewati kerumunan. Bersiap menemui pangeran tanpa mahkotanya.

Setelah dirasa punggung mungil sepupunya sudah hilang sepenuhnya, Barulah ia menjalankan mobilnya sebentar lantas berhenti di depan minimarket terdekat, mengecek pesan yang sempat ia abaikan tadi.

Hoshi, kembali secepatnya. Pernikahanmu dimajukkan. Your Mummy <3

Hanya dua kalimat, tetapi mampu membuat netra camar miliknya membulat sepenuhnya. Kenapa mendadak sekali sih? Hoshi tidak mungkin kembali ke Aussie sebelum misi Uke Gang selesai. Selain itu Hoshi juga merasa tidak enak dengan Shoyo.

Masa disaat sepupumu sedang sedih atau mungkin memiliki hubungan yang tidak jelas, kau malah merayakan hari bahagia dengan mengikat janji suci? Dimana perasaanmu? Seperempat tanda melengkung tercetak didahi.

Ia sadar betul kenapa harus segera kembali ke Aussie secepat mungkin, bila tanggal sakral itu dimajukan berarti ia harus menemui Grannie dan Grandeu lebih awal untuk meminta restu dan juga mempersiapkan acara itu lebih awal pula.

Baru juga kembali, ia bahkan belum sempat masuk dan menikmati masa—masa sekolahnya di Academy Of Haikyuu. Ia memang telah resmi pindah. Namun Ayah, Ibu, serta keluarga besarnya tetap berada di Aussie menjalankan kehidupan dan bisnis mereka disana.

Untuk saat ini Hoshi ditugaskan untuk mengurus cabang perusahaan yang berada disini, dan secara bertahap seluruh cabang milik keluarga Kourai akan dipegangnya nanti. Hoshi adalah anak dari kakak pertama om Bokuto, dan rambutnya mengambil rambut sang ibu warna putih. Berbeda dengan om Bo yang surainya campuran. Hal itu membuat Hoshi menjadi sepupu Shoyo, dan sudah menjadi hal lumrah perjodohan terjadi demi keuntungan perusahaan di dalam keluarga mereka.

Meski begitu, Hoshi merasa beruntung karena dijodohkan dengan orang yang memang dicintainya. Setidaknya adegan drama menikah tanpa cinta tidak harus dijalaninya. Well, diam—diam Hoshi juga berharap Shoyo bisa mendapatkan pasangan seperti dirinya, karena Hoshi tidaklah naif.

Ia sangat mengerti bahwa tidak semua orang dapat menikah dan menghabiskan waktu seumur hidupnya dengan orang yang dicintainya.

Di sela - sela pikirannya yang penuh, goresan petir berkilat tinggi dilangit diikuti suara gemuruh besar dari berbagai sisi saling susul menyusul. Nampaknya akan segera turun hujan, dan hal itu cukup mengingatkannya pada Shoyo.

Sho kan gak bawa payung!

Dengan cepat Hoshi memutar kemudi dan melajukan mobilnya lagi kembali ke tempat Shoyo untuk memberikannya payung sebelum pulang. Meski Shoyo menyuruhnya pulang, Hoshi tetap saja khawatir, Shoyo sudah seperti adiknya sendiri. Mereka sama - sama anak tunggal dalam keluarga, dan mereka sangat mengerti satu sama lain karena itu juga.

Tes! Tes!

"Yah udah ujan–"

Hoshi menginjak pedalnya kuat - kuat, hujan sudah turun dengan deras. Dan saat berbelok ditikungan, Hoshi melihat siluet Shoyo berlari begitu saja lantas terlonjat kaget hingga terduduk di aspal karena melihat mobilnya melaju kearahnya kencang, dengan sigap Hoshi mengerem mobilnya.

Segeralah ia keluar dengan membawa payung ditangan, menghampiri satu - satunya sepupu lantas memayunginya.

"Sho! Kamu gapapa? Ngapain lari–lari sih? Untung rem mobilku pakem coba kalo gak! Nanti kamu ketabrak! Dan juga ngapain ujan–ujanan?! Mau sakit hah?!" Cerocos Hoshi begitu saja, membalas sorot mata sedih bercampur takut milik Shoyo dengan tatapan marah bercampur cemasnya.

"Dan apa ini? Kenapa sembab gitu matamu? Si brengsek Tobio itu yang bikin kamu nangis iya?!" Jari telunjuknya menunjuk kedua manik Shoyo lalu mengguncang bahunya keras karena diam saja.

"Sho!"
"Hoshi, bawa aku pulang..." Lirih Shoyo meremat jaket biru muda yang dipakai Hoshi kencang.

"Kamu belum jawab pertanyaanku Sho!"
"Hoshi, tolong bawa aku pulang." Tangis Shoyo pecah sesudahnya, setelah puas bermandikan hujan dan melihat sepupunya mendadak Shoyo ingin kembali kerumah, ia hanya ingin segera bertemu ibunya.

"Iya iya ayo, kuat berdiri?" Shoyo mengangguk pelan, tanpa berkedip.

Hoshi dengan sigap melepas jaketnya dan menyampirkannya ke pundak Shoyo agar hangat. Kemudian mereka pergi menyisakkan suara mesin berisik membelah jalan kota yang becek dan licin.

Sepanjang jalan hanya di isi dengan keheningan, Hoshi sempat menanya—nanyai Shoyo tetapi ia enggan menjawab sepatah kata pun. Ia hanya diam, pandangan matanya tertuju pada jendela disamping. Dilihat dari kondisinya sudah jelas jika sesuatu terjadi diantara mereka.

Dan sayangnya Hoshi tidak tau itu apa? Apa pertemuan mereka tidak berjalan mulus? Seingatnya, sirat sumringah sempat terpatri di wajah Shoyo ketika berangkat. Tetapi kenapa sekarang nampak terlihat murung? Seakan baru saja ada yang merampasnya.

Hoshi bisa saja kembali ke tempat tadi yang mungkin Tobio masih berada disana karena terjebak hujan namun Shoyo adalah prioritas utamanya saat ini. Mari urus masalah Tobio nanti, Hoshi akan mencoba meminta Shoyo untuk menjelaskannya terlebih dahulu. Meski sebenarnya tanpa perlu dijelaskan Hoshi mengerti apapun itu bentuknya yang pasti Shoyo tidak sedang baik—baik saja dan penyebab dari semua itu adalah Tobio.

Sho, maafin aku gak ada disana buat jagain kamu tadi. Kamu diapain sama dia?

Hoshi memutar pandangannya kedepan, melajukan mobilnya cepat, seakan berkata kepada hujan dan gemuruh besar tersebut kalau tak akan ada yang bisa menghentikan kepulangan mereka malam ini.

Tidak butuh waktu lama, dalam dua puluh menit Hoshi berhasil memarkirkan mobilnya di gerbang belakang rumah besar keluarga Bokuto sesuai permintaan Shoyo. Begitu mesin dimatikkan, Shoyo langsung keluar setelah berkata "Makasih banyak Hoshi, maaf aku mau nemuin Mama dulu buat sekarang. Oyasumi nasai." Dengan senyum yang dipaksakan berlari menuju Fukurodani Flower Shop yang sedang bersiap tutup disebelah gerbang itu.

"Hufh, Oyasumi mou Sho." Hoshi menyalakan mesin mobilnya lagi, lantas memutar menuju gerbang depan rumah tersebut. Ia harus cepat masuk ke dalam, dan menghubungi orangtuanya malam ini juga.

Dan mungkin, meminta tunangannya untuk membujuk calon mertuanya agar pernikahan mereka tetap dilaksanakan ditanggal yang semestinya. Tidak perlu dimajukkan. Supaya ia bisa lebih lama bersama Shoyo, dan membantu permasalahannya hingga selesai.



𖧧̣̩ 𖧧̣̩ 𖧧̣̩




Keesokkan harinya,

Shibayama duduk di salah satu kursi dengan meja di ruangan bernuansa krem. Tangan kanannya memegang pisau buah, sedangkan tangan kirinya sibuk memutar buah apel merah mengkilap, mengupasnya. Seragam HHS masih menempel ditubuh, sesekali maniknya melirik kearah teman—temannya tanda ia menyimak pembicaraan mereka sambil menelaah satu persatu wajah lantas terus mengupas apel.

"Nee.. nee.. ini udah kelewatan tau." Goshiki melipat wajahnya, bibirnya sampai ikut melengkung kebawah. Ia amat sakit hati mendengar penjelasan Shoyo beberapa menit yang lalu.

Shoyo sendiri menatap langit—langit dengan tubuh terbaring, berselimut tebal, berkaus kaki, dan kompres berukuran sedang dipelipisnya. Nafasnya teratur, Shoyo sempat demam hebat semalaman, tentu saja akibat ia sengaja hujan—hujanan.

Setelah wali kelas memberitahu seisi kelas kalau Shoyo tidak masuk dikarenakan sakit. Goshiki dan Yamaguchi memutuskan untuk menjenguknya sepulang sekolah, disusul Kunimi dan Shibayama yang sempat berpapasan dilapangan.

"Hufh, ini bener - bener gak bisa dibiarin. Udah waktunya kita turun tangan." Yamaguchi mengusap bahu sepupunya, menenangkan. "Setuju! Kita harus susun rencana sekarang juga."

"Mau apel Sho?" Tawar Shiba, datang dengan sepiring apel yang telah dikupas bersih dan dibagi dadu. Ada garpu yang menuncap di salah satu potongan dadu apel. Shoyo menoleh ke Shiba yang sudah duduk di tepian ranjang seraya mengangguk. Siapa yang akan menolak apel? Cece. Cece gak terlalu suka apel, but suka banget sama pear!

Shoyo membuka mulutnya begitu Shiba mengarahkan sedadu apel dengan garpu. "Aku sedikit ngerti, tapi aku juga bukan ahli psikologi yang bisa baca pikiran orang dari gerak-gerik atau mimik mukanya aja. Aku juga bukan detektif yang pinter mecahin masalah rumit kayak Papih Ushi, bukan juga konsultan yang bisa ngasih saran-saran hebat diluaran sana.

Tapi, aku ngerti." Shiba kembali memasukkan sedadu apel ke dalam mulut mungil Shoyo, yang hanya mengunyah sambil menyimak tiap kalimatnya. "Kita butuh langkah awal."

"Ha'i dan dari awal aku udah tau ini ada sangkut pautnya sama Seme Gang. I mean, kejadian Bang Tobio yang tiba-tiba deket sama Yachi dalam waktu deket trus postingan yang ngabarin hubungan mereka di akun official-nya HHS." Lanjut Shiba dengan nada tenangnya.

"Dan mungkin, Kuni mau ngejelasinnya ke kita." Kunimi menoleh cepat, menatap Shiba tidak percaya. Goshiki yang merupakan anak seorang detektif saja tidak mampu mencermati ataupun mencurigai lantas menemukan siapa yang menyimpan rahasia dibalik pertemanan mereka saat ini. Namun Shiba menemukannya.

"Maksudnya Shiba?" Tanya Goshiki, kepalanya menyembul menatap Kunimi dan Shibayama bergantian. "Jadi kamu udah tau Shiba?" Shiba hanya mengangguk. "Bang Inouka bilang sesuatu?" Shiba menggeleng.

"Terus kamu tau dari mana? Bang Naga gak mungkin bilang ke kamu." Sanggah Kunimi masih mencoba mencongkel kebenaran dari Shibayama, sahabatnya sendiri. "Bang Fuku emang gak bilang apapun ke aku Kuni." Shibayama kembali menyuapi Shoyo apel.

"Terus?"
"Gak ada yang ngasih tau aku, tapi aku tau sendiri."
Kunimi menghela nafas kemudian menutup matanya sebentar, "Terserah kamu tau dari mana dan siapa, tapi kayak apa yang kamu bilang barusan itu semua bener." Membuka matanya kembali.

"Seme Gang ada kaitannya sama hubungan Yachi dan Tobio, tapi kata Kinda semua murni kesalahan Tobio." Jelasnya, Shoyo menyudahi acara makan apelnya dengan menolak suapan apel yang disuguhkan Shiba barusan.

"Kinda bilang, Tobio yang dari awal minta dicariin cewek. Dan Bang Tsumu yang daftarin dia ke game pencarian jodoh gitu." Ruangan luas bernuansa krem campur cokelat itu lengang sejenak, menyisakkan detak jarum jam yang menggema.

"Jadi maksud kamu Yachi gak salah gitu?" Sela Goshiki tidak percaya, Kunimi menggeleng. "Aku kenal Tobio udah lama, karena sering main sama Kinda. Mau gak mau aku jadi main sama Tobio juga karena mereka adik-kakak. Jujur aja aku gak percaya Tobio bilang kayak gitu, aku gak bilang kalo dia gak salah, bukan!"

Shiba menaruh piring sisa apel diatas nakas, "Tapi kelakuan Bang Tobio kayak bukan diri dia. Dia kayak dipengaruhin?" Kunimi menoleh tak kalah terkejut dari sebelumnya, entah kenapa ia merasa Shibayama lebih peka dari biasanya. Apakah ia mendapat wahyu untuk bisa membaca isi hati atau kepala orang lain saat ini? Atau tiba—tiba mendapat kekuatan seperti indera ke 6 misalnya.

"Haha tebakan ku bener?" Shiba menjentikkan jarinya senang, "Maaf ya Kuni, aku belajar ilmu kemanusiaan, sosiologi, lingkungan dan beberapa buku psikologi akhir-akhir ini." Kunimi mendesah ringan, entah itu kabar baik atau buruk. Kunimi merasa kepekaan sahabatnya itu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah mereka sekarang.

"Sugoi! Kamu mau jadi psikolog Shiba?!" Goshiki berbinar, ia merasa sikap sahabatnya sekarang lebih mirip seperti papihnya yang sangat ia banggakan. Walau kemampuannya pasti belum mencapai seujung kuku darinya. Shibayama menggeleng, "Belum tau sih, intinya aku seneng mempelajari tentang manusia buat sekarang. Bosen aku liat berkas keuangan terus hehe, main game juga. Itu aja sih."

"Oya, bentar lagi kita naik kelas 11. Dan harus udah mikirin mau masuk Univ mana buat bantu wujudin cita-cita kita!" Yamaguchi meneruskan. "Maka dari itu, sebelum kita fokus sama masa depan. Kita harus sanggup gaet orang yang kita suka minimal nyatain perasaan biar selanjutnya ga perlu pusing-pusing mikirin pasangan lagi terus ga ada penyesalan juga yakan?" Seru Shibayama, yang diangguki oleh semuanya.

"Jadi?"
"Kita bisa pake rencanaku kali ini."
"Apa rencananya?"
"Rencananya..."

Shibayama menyuruh yang lainnya untuk merapat kepadanya, kemudian membisikkan rencananya pelan—pelan. Shoyo yang sedari tadi diam mendengarkan akhirnya buka suara ketika Shiba menghentikan penuturannya. "Gak bisa, jangan bawa-bawa Hoshi lagi."

"Loh kenapa Sho? Bukannya sepupumu mau-mau aja?"
Shiba menoleh ke sekeliling, baru sadar jika tidak ada Hoshiumi sejak mereka tiba. "Oya, kemana Hoshi?" Sambungnya.
"Dia di perpustakaan keluarga."
"Ngapain?"
"Ngerjain tugas mungkin."

"Oh... kok tumben(?)" Goshiki kini yang melirik satu persatu wajah temannya. "Biasanya bakal ikut nimbrung kalo lagi nimbrung kan? Lagian mana mungkin dia belajar pas sepupunya lagi sakit?"

"Bentar lagi kan ujian, wajar kan?" Shoyo menjawab santai. Keempat sahabatnya saling tatap, heran. "Kenapa Sho?" Shoyo menggeleng sebagai jawaban, ia muak sudah membicarakan soal Tobio. Siapa peduli juga? Bukankah sejak malam kelam itu semuanya sudah berakhir? Tobio sendiri yang memintanya untuk tidak mengusiknya, lalu ia sendiri juga yang menyetujui untuk tidak menganggunya lagi. Sudah berakhir bukan?

Lantas mengapa keempat sahabatnya itu semangat sekali membicarakan perkaranya. Tidak penting sekali. "Tonikaku, jangan libatkan Hoshi lagi kumohon."

Ceklek!

Suara pintu dibuka disusul siluet tubuh pendek Hoshi yang menyembul masuk lantas kembali menutup pintu sebelum benar—benar melangkah mendekati kelima laki—laki manis diruangan tersebut. "Hoshi!"
"Hai guys." Senyumnya.
"Kenapa jangan Sho?"
Shoyo memandang Hoshi sebentar, kemudian tersenyum lembut. "Aku sempet denger kemarin pas kamu ngobrol di telfon sama Bibi keren."

Senyum di wajah Shoyo semakin mengembang, ia mencoba bangkit dari acara rebahannya. "Pernikahanmu dimajuin kan?" Hoshi terpekur, berkedip pelan lalu mengangguk. "Kembalilah ke Aussie Hoshi, jangan begini hanya karena aku." Hoshi baru ingin membuka suara namun Shoyo menghentikannya dengan kedipan lamat pada matanya.

"Aku ini sepupumu, bukan bebanmu. Jadi tolong, aku bakal nyusul setelah ujian nanti. Aku pasti dateng! Oh enggak, kita semua pasti dateng!" Shoyo menatap keempat sahabatnya.

"Gak bisa Sho, pernikahanku emang gabisa diundur atau ditunda lagi. Ini demi kepentingan perusahaan tapi, aku masih punya rencana B. Aku tetep bisa mulusin rencana Uke Gang skaligus ngelaksain pernikahan disana, mau denger?" Hoshi berjalan semakin dekat, kemudian ikut duduk di tepian ranjang mengikuti yang lainnya.

"Apa Hoshi?" Goshiki bertanya tidak sabaran. "Mungkin kita harus kasih Hoshi kesempatan, Sho." Bujuk Yamaguchi, dan Shoyo akhirnya mengangguk terpaksa.

Tepat setelah Hoshi menjelaskan rencana serta menyesuaikan rencananya dengan rencana Uke Gang beberapa waktu lalu secara menyeluruh suara pintu diketuk membuat semuanya menyudahi rapat tidak resmi mereka dan sama—sama melempar pandangan ke arah pintu.

Ceklek!

Manik cokelat Shoyo membulat, tidak menyangka Seme Gang akan datang menjenguknya, dan Goshiki menjawab keterkejutannya dengan "Hai kalian! Eummm aku sama Yama yang izinin mereka jenguk kamu Sho! Lagian kita semua keluarga jadi gak ada salahnya kan?"

"Hallooooo, kita masuk ya!"
"Shoooo sakit apa?!"
"Shochan! Kok bisa sakit?"
"Oya ini kita bawain roti abon favorit kamu, sama buah-buahan. Diterima ya!"
"GWS SHOYO!"
"By the way, izinin kita ikut serta sama rencana kalian. Karena kita juga punya rencana..."
Dan mendadak ruangan itu ramai oleh suara—suara mereka. Entah rencana apalagi yang mereka buat? Cece sendiri gak berani menebak—nebak.





✤ ✤ ✤



\
/
\
/
\
/
\
/
\
/
\
/


~3 Hari Kemudian~

GAJETOT ANYING
GROUP CHAT

Tsumur🦫
GES! luangin waktu Minggu ini
Ada yang mau gw kasih
Di restonya Bunda Suga ya!

Ryuuiki Tenkai🙄
Bunda blm bilang apa-apa perasaan

Yamayama😰
Emang mendadak Bang, soalnya
Mami Kita baru ngasih taunya tadi

⚡️No-Yes⚡️
Jam brp Tsum?

Tsumur🦫
Ntar dikabarin Bang Noy, Mamih lg nganuin jadwalnya biar pd bs dtg

Tsukishindir🧂
Ngasih apaan Tsum? Penting bgt?
Kl g pnting gue mls

Osamsul🦫
Mau mls atau engga, gua jamin lu pd dtg Krn nyokap gua ngundang keluarga besar Jamidun Family

🕶Inoupret
Serius bener keknya

KindaSawiBoy🥬
Jd Bonyok jg ikutan dtg?

Tsumur🦫
Iye wkwk

Ryuuiki Tenkai🙄
Widih ade ape nih?

Fuku🐉
Ada berita yang kelewat?

Shibayam🥗
. . .

Sunankalijaga🧂
Banyak bgt ketinggalan berita lu pd
Mau gue ksh clue?

Tsumur🦫
Diem anj @Sunankalijaga🧂

Osamsul🦫
Inget Tsum, gakboleh ngomong kasar

Tsumur🦫
Semua grgr Omi sialan!

👻Iki
Omi?
Siapa Bang?

🥶Kuntimi
Om om?
Selera Atsumu Om Om skrg?
Baru tau gue😒

Tsukishindir🧂
Bener tuh, kurang uang jajan jd si Tsumu ngelonte sama OmOm biar dpt uang

🕶Inoupret
Njir, Keluarga Terushima bangkrut?😧

Shibayam🥗
Setauku sih enggak, Dana Investasi mereka semakin naik malah tiap Tahunnya

Tsumur🦫
Anjing lo Tsuki, enggak gt Nou.

Ryuuiki Tenkai🙄
AHAHAHAHAHA

⚡️No-Yes⚡️
🤣🤣🤣

Osamsul🦫
Pernah denger ITACHIYAMA.corp?

🕶Inoupret
Pernah

Shibayam🥗
Oh Keluarga Sakusa, tau

Osamsul🦫
Nah itu

Shibayam🥗
Knp?

🕶Inoupret
Apa?

Osamsul🦫
Gpp, gua pernah lewatin gedungnya pas ngebeli pangan buat ikan koi sama mas koki

Tsukishindir🧂
Asem, penting bgt? Balikin 2 menit berharga gue Sam🙂💢

Kanjing👾
Ngakak sialan

KindaSawiBoy🥬
Nyesel gua nyimak serius

Kenjorok🪂
Gak lucu su @Kanjing👾

Kanjing👾
Skip

👻Iki
😭💔

Shibayam🥗
🙂

🕶Inoupret
🤾🏻

Osamsul🦫
Wkwkwkwkwkwkwkwk LOL

Sunankalijaga🧂
Receh lu pd🥱

Osamsul🦫
Anj

Tsukishindir🧂
^2

🕶Inoupret
^3

Kanjing👾
^4

Kenjorok🪂
^5

Tsumur🦫
Aiya gw blm ngenalin ke kalian
Makanya dtg hr minggu nnti
Gw kenalin lgsg

Saya
Ajak org selain anggota
Jamidun Fams gpp tsum?

Tsumur🦫
Gpp tob

Sunankalijaga🧂
Gpp kalo gapunya malu mah

Tsukishindir🧂
Bah 🤣🤣🤣

🕶Inoupret
Anjir wkwkwk

Kanjing👾
Ngahahahaha

⚡️No-Yes⚡️
AWOKAWOKAWOKAWOK

Kenjorok🪂
Pd tawa

Saya
Ok




Tobio memasukkan ponsel kedalam kantung celana pendeknya, menghela nafas kencang sebelum melanjutkan aktivitasnya yang tertunda.

Cling! Clung!

Satu—persatu bongkahan es batu dimasukkan ke dalam gelas kaca cembung berkaki panjang. Langit sudah gelap, tetapi udara terasa panas mungkin akan turun hujan entah kapan.

Iwaizumi menyuruh Tobio dan Kinda untuk membantunya menyiapkan es buah. Malam ini, jadwal angkatan kelas 10 untuk ikut pelajaran tambahan di kelas Bunda Iwaizumi.

Iwaizumi memang memberikan kelas tambahan khususnya untuk mata pelajaran Matematika, Fisika, Akuntansi dan Bahasa Inggris. Hanya angkatan kelas 10 dan 11 lah yang mengikutinya, karena angkatan kelas 12 sudah ikut kelas tambahan di sekolah dan tempat les masing—masing untuk lebih memfokuskan mereka demi Ujian Nasional mendatang. Well, itu kesepakatan bersama seluruh orangtua murid Jamidun Family.

Iwaizumi sendiri merasa senang karena ilmunya bisa berguna, walau terkesan tidak sabaran Iwaizumi mampu mengajarkan mereka dengan baik. Khususnya cara cepat pada mata pelajaran Matematika. Itu sangat berguna untuk menghemat waktu pada saat ujian minggu depan nanti.

       "Tadi di grup, maksud lu mau ngajak siapa Tob?" Kinda bersuara, memecah keheningan. Tangannya menyendokkan butiran mutiara berwarna pink dari mangkuk lalu memasukkannya ke dalam gelas—gelas berkaki panjang.

Sebenarnya tanpa perlu bertanya, Kinda sudah tau jawabannya. Sekali saja, Kinda ingin memastikan lagi. Adiknya itu sungguh—sungguh dengan Yachi? Atau memang seluruh hubungannya hanya sebatas game semata layaknya permainan yang kau tak harus serius dalam memainkannya. Karena ini semua tentang perasaan lho! Ulangi, perasaan.

"Yachi lah, siapa lagi?" Jawab Tobio ketus, tangannya kembali menata berbagai macam buah ke dalam gelas, lalu menuang sirup diatasnya memutar. Kinda terkejut namun hanya bisa mengangguk—angguk.

Ia tidak tau harus apa, ia sangat ingin mengomentari hubungan adiknya itu seperti biasanya. Namun ia tersadar akan suatu hal, orang yang tidak bisa mengurus permasalahannya sendiri tidak pantas memberi nasihat ataupun mengomentari permasalahan orang lain.

Dibalik kekhawatiran Kinda sebagai seorang Abang, ia juga merasa gagal diwaktu bersamaan. "Oh, tapi menurut gue lu harus tanya ke Bunda soal itu."

"Apa maksud?" Tobio sampai menoleh, karena lontaran tiba—tiba Kinda. "Lu tau kan maksud gue, soal 'Yachi'." Kinda menaikkan gelas—gelas pada nampan, siap membawanya ke ruangan sang Bunda mengajar.

Tobio masih tidak mengerti, apa maksud abangnya itu ia harus menjelaskan hubungannya dengan Yachi pada Bunda? Atau memperkenalkan Yachi dan membawanya ke hadapan Bunda?

Bagaimana bisa ia melakukan hal itu? Hubungannya bahkan belum resmi bukan? Membicarakan hal itu pada Shoyo saja sudah memakan banyak tenaga.

"Karena gue gak pengen kena omel Bunda juga, kalo mau buat masalah urus sendiri. Dari kecil, apa yang lu lakuin pasti gue dibawa-bawa." Jelas Kinda, menendang jauh—jauh opini Tobio.

"Dan lu paham banget, gue gak ada sangkut pautnya sama hubungan lu dan Yachi. Bener kan?"

Bukannya tidak peduli, atau jahat pada adik sendiri. Tobio sudah cukup besar untuk bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Dan Kinda sendiri sadar, ada sesuatu yang tidak beres terjadi. Entah kapan dan dimana, Kinda tidak tau pastinya.

Angguk Tobio, "Oh, iya gue ngerti."
"Bagus deh." Kinda baru ingin beranjak namun Tobio mencegahnya.

"Gue aja yang bawain Bang." Kinda melirik sekilas, dan memberikan nampannya begitu saja. Lalu memilih untuk membereskan meja dapur selagi Tobio melangkah ke ruangan Bunda mengajar.

Jika Tiga Pangkat Dua Sama Dengan Sembilan, maka dalam bentuk Logaritmanya ditulis Tiga log Sembilan sama dengan Dua.

Tobio berdiri di ambang pintu kecokelatan, suara Bunda yang tengah menjelaskan materi terdengar nyaring hingga keluar. Tobio menelan ludah samar, sudah tiga hari semenjak kejadian malam itu ia tidak melihat keberadaan Shoyo di sekolah. Itu hal wajar, karena ia sendiri yang memintanya untuk tidak menganggunya lagi.

Tobio menghembuskan nafas pelan, lantas mengetuk pintu.

Tok! Tok!

"Permisi Bunda." Tobio membuka pintu, lantas masuk begitu saja ketika suara Bundanya tak lagi terdengar. Menandakan selesai akan penjelasan materi, dan masuk pada sesi pengerjaan soal.

"Ini es buahnya." Iwaizumi mengangguk sebagai jawaban, dan mengarahkan Tobio untuk menaruhnya di meja.

"Yang udah selesai, boleh minum es buah ini ya." Titah Iwaizumi pada semua yang ada dikelas, semua mengangguk semangat lantas segera mengerjakan soal mereka. Netra biru blueberry Tobio berpendar ke seisi ruangan, hanya ada Goshiki, Shibayama, Kunimi dan Yamaguchi yang duduk pada bangku—meja. Dimana Shoyo?

"Ada apa Tobio? Ngapain malah bengong?" Iwaizumi maju, Tobio terperangah seraya menggeleng cepat.

"Eng enggak Bund, anu–"
"Anu?"
Tobio melirik Goshiki, Yamaguchi, Kunimi dan Shibayama yang kini menatapnya aneh dari kursi mereka. "Gak jadi Bund, Tobio permisi." Kemudian lari begitu saja.

"Aneh."
"Aneh."
"Aneh."
"Aneh."

Brak!

Tobio membanting nampan di meja dekat wastafel pencucian piring. Ia tak habis pikir kenapa Shoyo tidak ada disana. Ia cukup tau kalau anak keluarga Bokuto itu tidak akan pernah membolos.

Disekolah tidak ada, diperpustakaan tidak ada, dikantin juga tidak bertemu, dilapangan juga, dan sekarang di kelas Bunda juga Shoyo tidak ada.

Sebenarnya kemana dia? Bisa—bisanya ia membolos kelas Bunda? Sudah merasa begitu pintar huh?! Sampai tidak mau mengikuti kelas tambahan Bunda? Tobio kesal sekali!

Terlalu gengsi untuk bertanya, tetapi terlalu penasaran untuk diam saja. Siapa? Siapa kira—kira yang akan menjawab dengan jujur tanpa menanyainya aneh—aneh? Siapa? Siapa? Bayangan satu persatu teman—temannya terlintas, dimulai dari Atsumu, tidak!

Osamu, tidak! Suna, apalagi Suna! Bang Noya, jangan! Bang Ryuu, tidak tidak! Yang ada diolok—olok nanti. Inouka, ah tidak bisa diharapkan dia cuma mikirin bisnis! Fukunaga, mana mungkin dia tau dimana Shoyo?! Bang Ken, mustahil nanya dia. Kanji, apalagi dia! Aahh sudahlah!

"Hufh!"

Tapi tunggu dulu, kenapa juga aku mencarinya? "Hahhhhhh!" Mengacak—ngacak surainya frustasi.

"Ngapa lu? Setress?" Kinda membuka lemari pendingin sambil membawa gelas, mengambil botol kaca bening berisi air dingin lantas menuangkannya.

"G-gak."
"Aneh lu." Menenggak gelasnya hingga tandas lalu mengembalikan botol tersebut ke dalam lemari pendingin dan langsung balik kanan. Tidak ingin mengganggu adiknya, atau mungkin memang sengaja membiarkannya karena kesepakatan bersama Seme Gang beberapa hari yang lalu.

~ 2 Hari Yang Lalu ~

"Kemaren malem gw liat Shoyo sama Tobio di Taman Kota."

Semua menoleh memandang Nishinoya siang itu. Minggu depan mereka akan melewati ujian sekolah, jam kelas kosong karena ada rapat guru.

Siswa—siswi lain tengah sibuk dengan urusan dan perbincangan masing—masing. Ada yang tidur, mengobrol, jajan dikantin, duduk—duduk di masjid, mampir ke UKS dan lain sebagainya. Begitu juga dengan mereka.

Mereka duduk di jejeran kursi yang menjulang menghadap lapangan utama HHS tempat biasa diadakannya Upacara Bendera maupun Upacara Apel. Cuaca sedang tak begitu ramah, jadi lapangan besar itu kosong dan hanya diisi beberapa kubangan air yang menggenang sebagai bukti.

"Eh? Mereka ngedate?!" Kanji nampak sumringah, alisnya menukik tinggi tak kalah maniknya juga.

"Lah? Emang udah bubar Tsum game tolol yang waktu itu?" Sambar Ryuu cepat. Kepala pelontosnya menoleh ke arah Atsumu yang duduk menyandar pada tembok. Disebelahnya Osamu keasikkan makan onigiri, sedangkan Suna menguap ganteng.

Atsumu hanya menggeleng, sebagai pendaftar ia tau betul bahwa game bodoh itu belum berakhir. "Terus mereka ngapain Noy?" Kinda melirik penuh minat.

"Gw agak kaget sih."
"Kaget?" Inouka bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. Ia sibuk memainkan entah game apa? Yang pasti akhir—akhir ini Inouka sering mencoba banyak jenis game dan melatih kemampuannya dalam bermain game.

"Lagian, Tobio jadi jarang ngumpul bareng kita sekarang." Manik Nishinoya berpendar mengelilingi satu persatu wajah temannya.

"Yaiyalah lagi kasmaran kan si Ou-sama(?)" Sembur Tsukishima, menaikkan bingkai kacamatanya yang tidak melorot. "Gw rada kaget sih bener dah."

"Kaget mulu kenapa si?!" Seru Osamu, mengelap tangan pada tissue.
"Iya Bang, jan bikin gw kepo napa." Atsumu sampai membenarkan posisi duduknya. "Kagat kaget, pasar kaget?" Canda Ryuu cengengesan.
Nishinoya menggeleng halus raut wajahnya mendadak berubah, kekecewaan tercetak jelas disana.

"Gw ngerti kita tuh temenan karena hubungan sambungan bokap nyokap kita, beda sama hubungan bokap nyokap kita yang emang udah temenan real dari jaman sekolah dulu dan mutusin buat ngebentuk Jamidun Family itu pun jauh sebelum kita semua ada." Semua diam mendengarkan.

"Jadi wajar aja kalo semisal kita tetep berkubu atau ngerasa canggung dan gaenakan satu sama lain, walau kita udah kenal dari orok, tapi gw yakin rasa itu tetep bakal ada." Fukunaga mengangguk, ia salah satunya yang merasa begitu.

"Beda sama bonyok kita yang kek urat malunya udah gak ada, keloyalan sama kekompakkannya gausah diraguin lagi. Bahkan walau udah punya keluarga dan pekerjaan masing-masing mereka tetep bisa ngejaga hubungan baik mereka sampe detik ini, apa gw keliru?" Noya menatap satu persatu netra teman—temannya lekat, meminta persetujuan atas argumennya barusan.

Sepertiga dari mereka menggeleng, sisanya mengtidakan dengan suara.
"Tapi gw gak habis pikir ama jalan pikiran Tobio malem itu." Noya mengurut keningnya sekilas. Cengiran khas dan suara semangatnya mendadak hilang saat menjelaskan itu semua. Seakan—akan ada angin badai yang akan datang meruntuhkan bangunan sekolah mereka detik itu juga.

"Maksudnya?"
"Maksudnya...

Ia menjelaskan kejadian malam itu. Malam itu, Sugawara menyuruhnya untuk membelikan Tahu Gejrot yang biasa mangkal di pinggir jalan Taman Kota. Karena Ryuu sibuk mencuci mobil sang Ayah, dan Yamaguchi tidak mungkin keluar malam—malam sendirian jadilah ia yang pergi, sekalian mencari udara segar karena dirumah terasa gerah.

Setelah mendapat lima bungkus Tahu Gejrot ditangan, Noya bersiap balik kanan untuk pulang namun pergerakkan kakinya terhenti ketika mendengar dua suara yang amat dikenalnya berjarak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Membuatnya menoleh dan mendapati Shoyo, Tobio dan Yachi saling berhadapan.

Noya membuka mulutnya spontan ingin menyapa mereka namun lagi—lagi harus terhenti karena melihat mimik wajah mereka yang sulit diartikan. Mau tidak mau Noya mengurungkan niatnya dan mendengarkan mereka dari kejauhan. Suasana terasa tegang, bahkan Noya yakin mereka tidak sadar jika ada dirinya berdiri tidak jauh dari mereka.

Noya tidak mencela, tidak juga ikut campur. Ia hanya ingin tau apasih topik yang sedang mereka bicarakan sampai—sampai memasang ekspresi serius begitu? Surai dwi warnanya terhempas angin yang lumayan kencang, mungkin akan turun hujan.

Noya memandang langit sekilas, dan dalam seperkian detik maniknya membulat sempurna kemudian memandang Tobio tidak percaya. "Mereka berantem?!" Noya melangkah satu langkah namun ponselnya bergetar hebat, ia segera merogoh kantung celana dan melihat nama sang Ibunda berkilat dilayar.

"Hallo Noya, kok belom pulang? Abang Tahu Gejrotnya gak ada?" Terdengar suara sang Ibunda cemas diseberang sana. Noya menggeleng sebagai jawaban, "Ada kok Bund, ini udah beli."

"Ya terus kenapa belom pulang? Disini udah geluduk-geluduk buruan deh pulang nanti keburu ujan sakit repot!" Cerocos Sugawara begitu saja. Noya menggigit bibirnya sekilas, ia ingin menghampiri Shoyo yang kini tengah menangis, dan menghentikan Tobio yang nampak sangat emosi. Sebenarnya mereka kenapasih?!

Ini kali pertama Noya melihat pemandangan itu. Pemandangan dimana Tobio memaki Shoyo, dan Shoyo menangis karena ulah Tobio. Ini sungguh aneh, kedua adiknya itu tidak mungkin bertengkar kan?

"Tapi Bunda–"
"Gak ada tapi-tapi, pulang Sawamura Nishinoya! Sekarang!"
Tut!

Bundanya itu memang sangat tegas dan Noya tidak membencinya, hanya saja...

Noya menghela nafas gusar, sambil mendecak lidah ia balik kanan lantas berlari menuju area parkir untuk mengambil motor dan pulang.

"Oh, pantes Shoyo gak masuk-masuk." Sela Kanji setelah jeda cukup lama.

"Shoyo gak masuk?" Kanji menggeleng sambil menatap Noya. "Kok lo tau Nji?" Meski satu sekolah, karena gedung angkatan kelas 10, 11 maupun kelas 12 terpisah cukup jauh terhalang oleh lapangan besar yang jadi pembatas dan juga dibedakan melalui jurusan. Jadi tidak mengherankan jika mereka tidak sadar kalau salah satu teman mereka tidak masuk, kecuali satu kelas atau minimal satu gedung.

"Ya gue suka ke kelas Iki buat nganterin siomay sama buku basingnya yang ketinggalan dimobil tadi pagi. Terus gue liat Iki duduk bareng Yama dan Shoyo gak ada, tasnya pun gak ada." Jelas Kanji seolah itu hal yang wajar.

"Mirip babu lu Nji." Sindir Tsukishima. "Lah daripada lu mirip anjing liar yang tiap hari dikasih makanan ama Yamaguchi." Balas Kenjiro membela Kanji. "Anj."
"Hahaha."

"Kaga si, Yamaguchi lagi gak bikinin gue bekel dari kemaren, katanya lagi gak mood." Bela Tsukishima miris.
"Mampus."
"Sukurin."
"Etapi, sikap aneh mereka apa ada sangkut pautnya ama Shoyo yang gak masuk?" Tanya Osamu.

Mereka diam sejenak, nampak berpikir. "Mungkin?"
"Shoyo gak masuk dari kapan Nji?" Tanya Suna.
Kanji mengangkat bahunya, "Mana gue tau."
"Hari apa aja lu nganterin siomay sama buku basingnya Iki?" Giliran Fukunaga bertanya.

"Oh, kemaren. Sama tadi pagi doang si."
"Brarti baru dua hari dong." Kanji mengangguk tidak yakin. "Kenapa ya?"
"Sakit kali?" Tebak Inouka.
"Kita tanyain mereka aja, terus kalo emang sakit kita jenguk pulang sekolah nanti." Usul Ryuu yang sedari tadi diam.

Semua mengangguk setuju, "Ajak Tobio?" Tanya Noya. Dan semua langsung menggeleng kompak, "Gak dulu, gak usah."

"Ntar ujung-ujungnya bawa Yachi pas jenguk Shoyo malah nambah masalah." Sanggah Atsumu cepat.

"Bukan itu yang gw pikirin sih Tsum. Tepatnya emang gak perlu, gw nanya cuma karena gw masih gak percaya ama kejadian malem itu." Semua menunduk, tidak tau harus apa.

"Gw juga gak percaya, dan gw agak nyesel walau gw gak ngerasa bersalah." Atsumu membela diri.

"Lu emang gak salah Tsum." Bela Osamu.
Suna mengangguk, "Kan dari awal yang minta dicariin cewek Tobio sendiri."

"Gw juga gatau kalo Tobio bakal dipasangin sama Yachi, I mean gw gak tau kalo si Yachi ternyata milih angka yang sama ama angka yang gw pilihin buat Tobio." Hening melanda.

"Sebenernya emang salah Tobio dari awal." Ucap Ryuu menengahi, "Gue gak permasalahin pilihan Tobio yang jatoh buat Shoyo atau Yachi, karena jatuh cinta tuh emang gak bisa milih bakal ke siapa dan kemana, itu bukan kendali kita."

"Tapi yang ngebuat dia salah tuh cara dia bersikap ke Shoyo. Itu udah kelewatan banget." Semua mengangguk setuju.

"Walau dia gak main fisik tapi batin Shoyo pasti gak aman pas tau aslinya Tobio kek gitu." Tambah Kenjiro.
"Mana bawa-bawa nama Papa Bo sama Mama Aka segala lagi." Imbuh Inouka.
"Seakan-akan Papa Bo sama Mama Aka gak ngedidik Shoyo dengan baik selama ini." Sambung Fukunaga.

"NAH!"
"Itu dia maksud gue, kelewatan!"
Kinda menunduk dalam, sebagai kakak ia sangat malu atas perilaku adiknya tersebut. "Dia bahkan lebih percaya Yachi yang baru dia kenal beberapa hari ketimbang Shoyo yang dari orok udah tukeran air liur ama dia." Atsumu tersenyum miris.

"Sorry nih Kinda, kita gak ada maksud mojokin lu kok." Noya menepuk—nepuk bahu Kinda yang membungkuk, membesarkan hatinya. "Gapapa, gue malu aja Noy. Gue juga jadi gaenak. Dan orang yang paling gue pikirin sekarang tuh Bunda sama Mama Aka." Kinda masih menunduk.

"Gue gaktau bakal sehancur apa hatinya Bunda sama Mama Aka kalo tau Tobio gituin Shoyo. Kek yang lu semua tau Mama Aka sama Bunda gue tuh deket banget." Semua mengerti, dan parahnya lagi hubungan pertemanan mereka benar—benar tulus. Kinda takut, sangat takut jika Mama Akaashi sampai tau Shoyo diperlakukan begitu ia akan memutuskan hubungan pertemannya dengan Bunda Iwaizumi.

Mungkin persentase itu terbilang minim, yang paling dikhawatirkannya adalah Bunda Iwaizumi yang terlalu merasa bersalah sehingga memutuskan untuk menjauhi sahabatnya Mama Akaashi. Itu tidak boleh terjadi!

"Oke udah cukup, kita udah tau permasalahan mereka kek apa sekarang." Inouka menyudahi acara salah menyalahkan tersebut.

"Jadi fix jenguk Shoyo pulang nanti."
"Fix jangan kasih tau Tobio soal ini."
"Fix cuekin Tobio biar sadar sama kesalahannya."
"Fix!"
"Oke Fix!"

"Ini misi kita, cuekin Tobio sampe dia sadar sama kesalahannya sendiri." Seru Atsumu membara. "Dan usahain bonyok kita jangan sampe tau hal ini, terutama Mama Aka sama Bunda Iwak." Tambah Noya sambil menekankan kalimatnya.

"Iyasih bener banget, smoga aja mereka belom tau." Ucap Ryuu seraya mengangguk.
"Smoga."
"Amiin."



𖧧̣̩ 𖧧̣̩ 𖧧̣̩




"Jadi lo berangkat hari ini Kash?" Akaashi mengangguk kentara, memandangi kartu undangan berwarna dasar biru dongker berhias pita abu—abu silver ditangan. "Iya Wak, ini mendadak banget gue juga gak tau kalo ternyata tanggalnya dimajuin." Jelas lelaki cantik bermata biru itu, kini ia berjalan pelan menuju sofa panjang sambil membawa telefon tanpa nirkabel yang ditempelinya ke telinga.

Duduk dan bersandar pada kepala sofa, "Smoga lancar ya acaranya Kash, pasti lancar sih lagian Shoyo layak dapet yang lebih dari anak gw." Maniknya membesar seraya menggeleng halus.
"Apaansih Wak?"

"Kash, gw minta maaf sekali lagi soal anak gw Tobio. Kalo dipikir-pikir dia emang gak pantes buat Shoyo. Dan dia gak tau diri soal itu, makasih buat undangannya tapi keluarga Oikawa gak akan dateng..." Akaashi bangkit cepat dari sofa empuk merah beludrunya.

"Gw masih punya rasa malu, gak kayak Oik atau Tobio, dan selama gw disini gabakal gw biarin keluarga gw semenah-menah ama keluarga lo, sorry Kash."

"Wak jangan–"
"Kash, gw tutup dulu ya. Hati-hati dijalan. Lo gak usah overthinking oke? Lo kenal baik gw kan?" Akaashi merasa maniknya mulai berembun sekarang, ia mengangguk lesu.

"Gue bakal terus ada buat lu–"
"–dan gw juga begitu. Itu janji kita dari dulu." Akaashi lagi—lagi mengangguk meski tau bahwa sahabatnya, Iwaizumi tidak dapat melihatnya.

Ada banyak sekali orang berlainan sifat yang bisa berteman baik hingga maut memisahkan. Salah satu dari banyak orang beruntung tersebut adalah mereka, meski memiliki sifat yang jauh terbalik mereka dapat saling mengerti dan mengisi satu sama lain. Hingga kadang, apapun terdengar mustahil untuk bisa memisahkan atau meruntuhkan persahabatan mereka.

"Biarin gw bergerak–"
"Wak sumpah gapapa, gue gak marah sama sekali soal Tobio! Jangan terlalu keras sama anak lu–" Lagi—lagi Akaashi menghentikan kalimatnya karena Iwaizumi memotong dari seberang sana.

"–Gak kok, lo tenang aja. Tobio bakal nyesel udah giniin Shoyo, dia belom sadar aja sama perasaannya sendiri, maklum Kash begonya dia tuh ngambil Oik."

"Ppfftt."

"Nyebelin banget emang, untung anak ama suami coba kalo bukan." (Untung sayang maksudnya).

"Yaudah Wak, gue tunggu kabar dari lu ya. Hubungin gue kapanpun, kami bakal stay lama kayaknya disana jadi kalo lu berubah pikiran dateng aja gapapa. Keluarga Bokuto gak akan pernah nutup pintu buat keluarga Oikawa, kapanpun dan dimanapun itu, oke Wak?" Akaashi tersenyum, menyeka air asin yang tadi bergumul diujung pelupuk mata. Dan ia juga berniat untuk memberitahu sahabatnya itu tentang hubungan mereka yang tidak akan retak walau anak mereka sedang bermasalah.

Kini ia sudah jauh merasa lebih tenang, dan berharap yang terbaik bagi semuanya. "Haha lo emang paling baik dan ngerti iye ntar gw kabarin bawel, udah sana lo berangkat entar telat, hati-hati salamin salam gw buat Shochan dan siapa satu lagi? Hoshi?"

"Iya Hoshi, oke pasti gue sampein."
"Sip bye Kash."
"Bye Wak."

Akaashi menghela nafas begitu nada sambungan terdengar tut...tut...tut... ditelinganya. "Mama gak berantemkan sama Bunda?" Suara Shoyo membuat tubuh Akaashi terlonjat kaget seraya berbalik cepat. Maniknya mengerjap tak kalah cepat, dahinya berkeringat bahkan suaranya terdengar tercekat.

"Sho?"
Shoyo yang ternyata sejak tadi mengintip dan menguping pembicaraan Akaashi dari ujung pintu melangkah masuk ke dalam kamar sang Mama, menghampiri lalu memeluk tubuhnya erat.

Akaashi mengelus surai oranye lembut Shoyo, kemudian menggeleng menunduk menatap Shoyo yang menengadah. "Shoyo menguping tadi?"

"G-gomennasai Mama! Sho gak maksud nguping! Sho tau itu gak sopan, tapi Sho khawatir banget." Pekik Shoyo secepat kilat, ia tak mau Akaashi salah sangka padanya lantas berfikir jika ajarannya selama ini tidak diterima dengan baik olehnya.

"Hahaha dasar, perlengkapannya udah siap?" Shoyo mengangguk cepat.
"Yaudah bagus, Hoshi mana?"
Tiba—tiba laki—laki bertubuh mungil tidak jauh beda dengan Shoyo muncul mengintip dari luar ruangan, "Disini Tante cantik!"

"A– dasar kalian ini. Hoshi sudah siap?" Hoshiumi mengangguk semangat, "Yaudah kalo gitu, kita jemput Papa sekarang." Akaashi mengecek jam di pergelangan tangannya, semua sudah terjadwal tepat waktu. Mereka akan menjemput Bokuto di kantor lalu kemudian langsung berangkat menuju Bandara. "Ah iya, tadi Bunda Iwak bilang titip salam buat kalian."

"Uhm!" Angguk keduanya.

Semua perlengkapan sudah disiapkan Akaashi dibantu beberapa pembantu, begitu juga dengan Shoyo dan Hoshiumi. "HOREEEEEEEEEEE!" Pekik keduanya bersamaan.

"AUSSIE?" Shoyo menengok ke arah Hoshi semangat.

"FRANCE?" Hoshi balas menatap Shoyo tak kalah semangat.

"I'm coming baby!" Lagi—lagi mereka memekik kompak, bagai pemandu sorak terlatih disusul suara tepukkan keempat tangan yang ikut menyatu dengan kesepuluh jari. Tosseu!

"Iyaiya tapi Mama harap kalian gak lupa kalau senin nanti kalian harus tetep ikut ujian online." Perkataan Akaashi bagai sambaran petir tak kasat mata yang membuat Shoyo maupun Hoshi sama—sama langsung diam mengingat jika mereka belum sepenuhnya bebas dari tanggung jawab sekolah karena masih ada ujian akhir yang menanti diujung sana.


✤ ✤ ✤



Hari demi hari berlalu, sudah beberapa hari ini Tobio tidak melihat Shoyo dimanapun. Tidak diSekolah, tidak diLapangan, tidak diKantin, tidak diPerpustakaan, tidak diGymnamsium, bahkan tidak juga dirumahnya saat kelas Bunda dimulai. Entah kemana perginya Shoyo? Menghilang begitu saja bagai lenyap ditelan kura—kura kelaparan.

Tobio gelisah, merasa kalau ada yang tidak beres. Meski ia tau bahwa ia sendiri yang menyuruh Shoyo untuk tidak mengganggu atau mengikutcampuri urusannya lagi dengan Yachi tetapi ini semua tetap tidak akan dilakukan oleh seorang Bokuto Shoyo. Ia paham betul hal yang satu itu.

Shoyo adalah anak rajin nan pintar yang takkan pernah absen meski tengah terkena flu sekalipun, tak jarang Shoyo tetap masuk walau tubuhnya terkena demam. Dan berujung pulang ditengah jam pelajaran, tetapi didikan keluarga Bokuto memanglah seperti itu, mereka sangat disiplin dan tidak akan meninggalkan tanggung jawabnya begitu saja.

Dan itu semua membuat Tobio berpikir dua kali lipat lebih berat dari biasanya, pasalnya ia ingin tahu tapi enggan bertanya, ia hanya memasang telinga lebar - lebar dimanapun dan kapanpun itu berharap ada sekelebat kabar burung yang akan hinggap masuk ke gendang telinganya. Tetapi tidak...

Dirumah maupun disekolah ia tak berhasil menemukan petunjuk apapun. Sebenarnya perasaan tidak jelas itu mulai muncul pada malam dimana Shoyo meninggalkannya, ralat. Disuruh meninggalkannya, dan dalam rentetan kalimat yang Tobio tangkap dari bibir mungil Shoyo, ia tau betul kalau Shoyo tidak sedang bercanda apalagi main - main dengan ucapannya tersebut.

Tobio belum tau itu perasaan bersalah atau perasaan lain yang lebih darinya. "Hufh." Ia menghela nafas, netra blueberry-nya menyapu seisi arena permainan lempar bola tidak jauh dari tempatnya kini berjalan. Yang mana di salah satu tempat itu ada boneka burung gagak sebagai hadiahnya.

"Tobio-kun?" Melihat Tobio seakan asik dengan dunianya sendiri, Yachi menyela. Maniknya mengikuti arah pandangnya, mencari tau apa sebenarnya yang sebegitu menarik perhatian Tobio.

"Chi, gue mau main bentar disana. Gapapa?" Yachi terpekur sebentar namun memperbolehkan, ia tak tau jika Tobio tertarik dengan game kecil seperti itu. Hadiahnya bahkan biasa - biasa saja namun jika kau tidak handal dalam memainkannya maka kau harus siap untuk meraup kocek yang tidak sedikit.

Zhresss!

Yachi menutup maniknya sesaat kala hembusan angin kencang menerpa wajahnya. Disusul daun - daun yang berterbangan, pelan - pelan kelopak matanya terbuka wajahnya menengadah menatap langit yang biru cerah. Romobongan awan berarak berjalan mengikuti rutenya, sungguh hari yang sangat cerah. Cocok sekali untuk kencan seperti sekarang ini.

"Tobio-kun?" Yachi baru sadar jika sosok lelaki disampingnya tadi sudah menghilang, netra nya dengan cepat berkeliaran dan nafasnya berhembus lega ketika menangkap siluet tubuhnya di salah satu tempat lempar bola. Ternyata dia sudah lebih dulu pergi sebelum Yachi menyadarinya.

Mereka kini sedang berada di salah satu tempat hiburan, sesuai dengan aturan main dalam Blind Date yang mereka ikuti. Ini adalah hari terakhir mereka bersama sebagai pasangan trial. Dan sesuai juga dengan peraturan di dalam game tersebut, di hari terakhir alias hari ke 7 mereka akan mengikuti kencan buta seharian penuh di tempat - tempat yang sudah disediakan oleh MC game tersebut.

Seharusnya permainan lempar gelang itu tidak termasuk ke dalam daftar tempat yang akan mereka kunjungi hari ini. Namun, Yachi membiarkannya karena Tobio menginginkannya. Untuk pertama kalinya Tobio menginginkan sesuatu disaat bersamanya, lagipula Yachi tidak punya alasan menolaknya.

Kaki—kakinya tiba tepat di samping kaki Tobio yang kini tengah serius melempar bola - bola tersebut ke dalam keranjang kecil. Raut wajahnya menandakan kekesalan, dari situ Yachi dapat tau kalau Tobio sempat gagal dalam ronde sebelumnya.

Sekali main, mas mas penjaga permainan tersebut akan memberikan 10 bola seharga 50K untuk sekali main. Syarat permainan itu cukup mudah, memasukkan bola warna - warni ke dalam ring kecil yang lubangnya hanya muat untuk satu ukuran bola saja.

Jika lolos 3X, maka hadiah yang berada di atas ring tersebut boleh dibawa pulang alias jadi hadiah dari permainan tersebut. Yachi memperhatikan hadiah itu dengan seksama, sebuah boneka burung gagak berwarna hitam sampai ke mata. Boneka itu tidak spesial menurutnya, tetapi entah mengapa Tobio memilihnya sebagai hadiah dari banyak hadiah menarik lainnya.

Yachi tersenyum, "Ayo semangat! Tobio-kun pasti bisa!" Ia menyemangati, ia tidak akan mengeluh apapun bentuk dan rupa hadiahnya jika itu dari seorang Oikawa Tobio. Maka dari itu ia ikut menyemangati, tanpa tau aksi dan perilakunya tersebut membuat Tobio tersentak. Teringat suara yang kini menggema dalam pikirannya. "Semangat! Bang Tobio pasti bisa!" Disusul wajah ceria Shoyo yang berkilauan tertimpa cahaya matahari, hari itu terngiang dalam ingatannya.

"Sho?" Tanpa sadar Tobio bertanya, pelan sekali menyerupai gumaman. Namun Yachi mendengarnya, "Tobio-kun mengatakan sesuatu?"
"Ah enggak." Baru tersadar jika saat ini bukan Shoyolah yang berada disampingnya melainkan Yachi.

Yachi menghela nafas lumayan berat, ia akui ia cukup senang dengan kejadian malam itu. Membuatnya leluasa berada disisi Tobio lebih lama dan lebih sering dari biasanya, akan tetapi ada yang dia benci darinya juga. Jujur saja, ia agak tidak senang dengan perubahan pada diri Tobio yang amat jelas dimatanya. Inginnya pura—pura tidak tau tetapi Tobio selalu memberitaukannya.

Meski tidak bicara secara langsung, tetap saja sikap Tobio sedikit aneh. Mungkin bukan sedikit lagi, tetapi sangat. Seperti saat ini, bohong jika Yachi tidak mengakui keanehan pria yang diidam—idamkannya yang tengah berdiri disampingnya, menatap ring bola dengan tajam seolah bola ditangannya harus segera masuk ke dalam sana jika ring itu tidak ingin rusak.

Yachi dengar Tobio sempat menggumamkan nama Shoyo barusan, bahkan ini bukan yang pertama kalinya ia begitu. Beberapa kali Yachi menangkap Tobio memanggil namanya, bahkan tidak jarang itu dilakukan disaat mereka sedang bersama. Menandakan bahwa membuat Shoyo pergi saja tidak cukup untuk menjauhkan dan menghilang Shoyo seutuhnya dari hati dan pikiran Tobio.

Kabar Shoyo sakit digedung kelas 10 saja sudah tersebar dari mulut ke mulut, itu hal wajar karena siapa yang tidak kenal dengan anak semata wayang keluarga Bokuto tersebut? Ditambah kepintaran dan kerajinannya yang dikenal seluruh murid membuatnya jadi bahan perbincangan dan pergunjingan beberapa siswa—siswi lainnya.

Malah tak jarang angkatan kelas 11 dan 12 juga akan ikut membicarakannya. Hanya saja mereka melakukannya secara diam—diam, tidak ada satupun anggota keluarga Jamidun Family yang mengetahui hal tersebut. Karena mereka terlalu takut untuk berhadapan langsung dengan orang—orang penting yang turut mendonasikan sebagian harta mereka demi kepentingan sekolah dan murid yang lainnya. Mental mereka tidak sekuat itu untuk berani melakukannya.

Dan layaknya tuli nan buta, Yachi hanya diam saja mendengar kabar tersebut. Tidak berusaha menjenguk Shoyo ataupun memberitau Tobio yang ia yakini tidak tahu menahu hal tersebut. Karena sudah beberapa hari setelah kejadian malam kelam itu, Tobio selalu bersamanya. Ia bahkan tidak pergi ke kantin dengan yang lainnya seperti biasa, ia juga tidak lagi berangkat dengan sang kakak Kindaichi karena arah rumah Yachi dan Kunimi yang berlawanan arah. Membuat mereka pergi ke sekolah dengan mobil masing—masing.

Yachi meremat ujung rok yang dikenakannya, kesal. Kenapa semua hanya mementingkan Shoyo saja? Bahkan Tobio juga! Yachi menggeleng—gelengkan kepalanya cepat, membuat juntaian rambut pirangnya bergerak kesana kemari. Ia harus mengenyahkan rasa kesalnya terlebih dahulu untuk sekarang, ia akan berusaha menikmati final date mereka dan berusaha semaksimal mungkin untuk meyakini Tobio agar hubungan mereka lekas berlanjut kedepannya meski game kencan buta itu sudah usai nantinya. Itu lebih penting, permasalahan Shoyo bisa di urus nanti—nanti.

Buk! Tuk! Tuk!

Bola itu menggelinding turun dari pantulan tidak sempurna yang menggagalkannya masuk ring. Sudah 2 kali ring dimasuki dengan fantastis oleh bola dengan berbagai warna tersebut, namun Tobio butuh 1 kali lagi agar bisa membawa pulang boneka gagak itu.

Dalam satu tarikan nafas, Tobio mempertajam penglihatan dan memusatkan seluruh perhatiannya hanya pada bola yang dipegangnya agar bisa memasuki ring tanpa cela.

Plop!

Bola tersebut berhasil masuk dengan satu lemparan, membuatnya bersorak dalam hati namun tetap mempertahankan wajah datarnya saat mas mas penjaga mainan memberikan boneka burung gagak tersebut kepadanya. Begitu tangannya menyentuh bulatan gendut perut burung gagak, sekelebat reka adegan dimasa lalu merambat masuk ke dalam kepalanya begitu saja tanpa permisi.

Bruk!

Tobio kecil yang sedang mendorong jok belakang sepedah Shoyo kecil menghentikan langkahnya begitu suara nyaring itu terdengar. "Apa itu Bang?" Shoyo kecil bertanya, jari—jari mungilnya menunjuk tepat ke sumber suara.

Ekor mata Tobio kecil mengikuti arah telunjuk mungil Shoyo kecil, dan menemukan seekor burung serba hitam tergeletak di rerumputan. Mereka sedang bermain di halaman belakang rumah Keluarga Bokuto, Iwaizumi yang sibuk mengajar les private kerap menitipkan Tobio untuk bermain dan menungguinya pulang di kediaman Keluarga Bokuto. Sedangkan Kindaichi menclok dikediaman Keluarga Matsukawa, karena Kindaichi ingin bermain dengan Kunimi.

"Buwyung?" Cepat—cepat Tobio kecil mendorong jok sepedah Shoyo kecil dan menghampiri burung tersebut.

Dilihat dari sisi manapun burung itu nampak kesakitan, kaki—kakinya nampak tak bergerak kaku, ada darah di sebagian sayap kirinya, burung itu terluka. Shoyo kecil melompat turun kemudian berjongkok disamping burung hitam tersebut. Membuat Tobio kecil ikut berjongkok seraya memperhatikan burung itu samar.

"Dia teyuka Bang, ayo bawa ke lumah cakit!" Pekik Shoyo kecil panik, dengan hati—hati Shoyo kecil menggendong burung itu di kedua tangannya, manik kecokelatannya nampak mulai basah. "Huwaa liat Bang sayapna beldalah Bang, ayo pandil ambuyan sekalang!" Shoyo kecil mulai merengek.

Tobio kecil yang ikutan panik buru—buru berdiri, keringat sebiji jagung sudah turun dari pelipisnya yang mulus. "Kita minta Mama Aka telfonin ambulan ya!" Sergahnya yang diangguki Shoyo kecil begitu saja, lalu keduanya berlarian melewati jalan setapak yang membawa mereka masuk ke arah pintu belakang rumah Keluarga Bokuto yang berseberangan dengan rumah kaca.

"Mamah! Mamah!" Panggil keduanya panik, masih dengan alas sandal lantas menerobos masuk ke dalam rumah kaca. "Mamah! Huweeee mamah!" Shoyo kecil menatap bercakan darah burung hitam itu menempel di sebagian telapak tangannya, lantas perut burung yang naik turun cepat menandakannya sedang menahan kesakitan yang amat luar biasa sehingga nafasnya tercekat tidak beraturan membuatnya semakin panik, takut burung malang itu akan mati jika tidak segera dibawa ke rumah sakit detik itu juga.

"Eh kenapa teriak-teriak?" Akaashi keluar dari dalam rumah kaca berisi bermacam—macam bunga dari berbagai belahan dunia. Sarung tangan, pelipis dan bagian helai baju serta celana pendek santainya terdapat noda tanah bagai bukti ketelatenannya mengurusi bunga—bunga di dalam sana.

"Mamah! Buwyung na luka! Cho cama Abang mawuk bawa buwyung na ke lumah cakit! Toyong Mamah teyepon ambuyan ya?" Shoyo kecil berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, sambil menunjukkan burung hitam yang ada di telapak tangannya.

Akaashi mengerti dengan cepat dan merubah raut wajah cemasnya jadi senyuman lembut. "Oya? Malangnya..." Akaashi mendekati Shoyo kecil dan berjongkok menyamakan tinggi tubuhnya dengan sang anak. "Kita gak perlu ke rumah sakit buat nyembuhinnya, yuk ikut Mama. Kita obatin di dalam?" Ajaknya sambil menatap masing—masing mata Shoyo kecil dan Tobio kecil bergantian.

"Mama bisa?" Akaashi mengangguk sebagai jawaban, "Uhm!" Angguk Shoyo kecil tak kalah riangnya. "Jangan nangis lagi. Ayo!" Akaashi mengelap mata basah sang anak lantas berdiri sembari menggendong Shoyo kecil masuk ke dalam rumah, disusul Tobio dibelakang.

Sesampainya didalam, Akaashi meminta Shoyo kecil untuk menyerahkan burung hitam tersebut kepadanya, yang tanpa keraguan langsung diberikannya. Keran air dibiarkan mengalir, Shoyo kecil memperhatikan Akaashi yang tengah membersihkan sisa darah pada sayapnya. "Sho juga cuci tangan, bersihin darah burung yang tadi nempel."  Shoyo kecil dengan cepat ikut mencuci tangannya selepas Akaashi selesai mencuci sayap burung.

Saat dirasanya cukup, ia cepat—cepat mengambil handuk, membalutnya dan memberikannya lagi pada sang anak, selagi salah satu tangannya mengambil sekotak berisi kebutuhan P3K dari balik kaca di atas wastafle toiletnya. "Tobio mau bantu Mama?" Tobio yang sejak tadi diam bak patung berjalan pun mengangguk.

Mereka kini duduk di sofa panjang nan empuk, Shoyo kecil duduk ditengah, Tobio kecil di sisi kanan sedangkan Akaashi di sisi kiri. Shoyo kecil memperhatikan burung hitam yang bergerak—gerak tak nyaman dalam balutan handuk ditangannya. "Mamah." Panggilnya khawatir.

"Gapapa Sho, pegang yang benar ya jangan terlalu longgar tapi jangan terlalu ditekan, nanti burungnya makin kesakitan." Mendengar itu Shoyo kecil mengangguk patuh, raut khawatir masih tercetak jelas diwajahnya membuat Akaashi gemas sendiri. "Nah sekarang Tobio, kasih ini dibagian yang luka, pelan-pelan aja." Tobio menerima kain yang sudah basah dengan cairan berbau aneh entah ia tidak tau itu apa.

Kemudian mengusapkan kain tersebut ke luka pada sayap burung dengan perlahan—lahan. "Oke sudah, Bibi.. Bi.." Akaashi mengambil alih burung hitam yang sudah terbebas dari luka dan darah, namun balutan handuk berwarna pink masih setia merengkuhnya.

"Iya Nyonya?"
Seorang wanita yang usianya lebih tua dari mereka semua datang dengan seragam maid. "Tolong siapkan kotak sepatu dan air hangat dalam botol ya Bi."
"Baik Nyonya."

"Kocak cepatu? Buwat apa Mah?" Kepo Shoyo tidak dibuat—buat.

"Buat gagak ini darl." Tidak lama sang kepala maid tadi kembali dengan sekotak sepatu bersih yang sudah dibuang lapisan kertasnya dan sebotol air hangat. "Ini Nyonya, untuk sang gagak?" Akaashi nampak mengangguk sekilas dan menyusun sebotol kecil berisi air hangat di pojokan kotak sepatu.

Kemudian menaruh burung hitam yang adalah burung gagak itu ke dalam sisi kotak lainnya yang kosong pelan—pelan. "Mereka nemuin burung gagak ini terluka dihalaman belakang." Jelas Akaashi pada sang kepala maid yang mengangguk paham, "Hebatnya Tuan Muda bisa menyelamatkan gagak ini!" Pujinya tulus.

Shoyo kecil hanya tersenyum senang, dan Tobio kecil acuh—acuh saja. "Buwyungnya cudah cembuh Mah? Cho bica ajjak mayyinn sekalang?" Tanya Shoyo sambil memperhatikan gagak dalam kotak sepatu yang nampak terlihat lebih nyaman. Akaashi menggeleng, "Apa kita udah bisa main sama sang gagak Tobio?"

Tobio ikut menggeleng, "Menurutku belum boleh Mah. Tunggu sampai benar-benar pulih."

"Pintar." Akaashi menepuk puncak kepala Tobio pelan, "Kita tunggu sampe bener-bener sembuh burungnya baru diajak main ya? Sekarang kita biarin sang gagak istirahat dulu. Kalian lanjut main aja atau mau makan camilan?"

Keduanya bersorak gembira kala mendengar kata 'camilan' dan tentu saja mereka tidak menolak. Tetapi lagi—lagi Shoyo kecil menyembulkan kepala mungilnya seraya bertanya, "Apa bwuyung na boyeh ikwutt matan camiyan Mamah?" Dan lagi—lagi Akaashi menggeleng sambil membiarkan Tobio menjelaskan. Apakah sang gagak boleh makan camilan atau tidak?

"Tobio-kun?"
"To-bi-o...kun?"
"Tobiokun!"

Tobio terperangah, sadar dari sengatan listrik yang tiba—tiba saja membawanya pada masa lalu dimana sekiranya ia masih berumur 6 tahun dan Shoyo 5 tahun. Tetapi Shoyo masih cadel waktu itu, sedangkan dia tidak.

Netra blueberry-nya membulat ketika wajah Yachi maju tepat didepan wajahnya. "Tobio-kun daijoubu?" Tobio buru—buru mundur kemudian menggeleng kentara, "Gapapa gapapa, kaget aja gw tiba-tiba muka lu nongol depan muka gw Chi."

"Eh? H-habisnya Tobio-kun b-bengong gitu dari tadi, dipanggil-p-panggil juga gak n-nyaut. J-jadi kukira T-tobio-kun k-kenapa?" Yachi salah tingkah sendiri, sedangkan Tobio sudah memutar tubuhnya membelakanginya. Menghela nafas, dengan adanya Yachi disisinya saat ini berarti mereka masih terjebak dalam game pencarian jodoh dan sedang menjalani final date mereka hari ini.

Ia sudah berjanji untuk memainkan game tersebut secara profesional, semua juga demi mencari jati dirinya sendiri. Apakah ia seorang gay atau normal, "Abis ini kemana?"
"Oh sebentar." Yachi nampak membuka layar HP nya cepat, mengecek jadwal jam dan tempat tujuan yang sudah dikirimkan oleh MC game tersebut.

"Ah, udah jam 11:45 brarti 15 menit lagi makan siang di restaurant mie ramen..." Yachi mengangkat wajahnya dari layar Hp dan entah kemana perginya Tobio karena tiba—tiba saja tubuhnya sudah meringsek maju beradaptasi dengan keramayan tempat wisata yang entah sedang mengejar apa. "Tobio-kun?" Teriak Yachi yang hanya dijawab, "Bentar Chi, gue liat sesuatu!"

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kira—kira apasih yang dikejar Tobio? Sampe ninggalin Yachi gitu aja ditengah keramaian? Ayo tebakkkk yang bener dapet mimpi ketemu husbu malem ini! 🌻💛👑🌙✨









gambar hanya untuk pemanis


©️®️ @kinako_1238 / twitter.


©️®️dunno, can't find the artist omg😬

Well, anggep aja burung gagak ya

©️®️ https://pin.it/5HPOI9G / pinterest


***



TBC!
Next Chapter
(***********)

Hayyi! Apakabar guys? Sehat? Masih hidup kan? Gimana liburannya? Gimana hasil rapornya? Wkwkwkwkwk😅, well maapin ya seperti biasyah cece lama bgt UP nya. Dan well, cece back insyaallah kalo gaada kendala lagi diusahain Up-nya cepet. Tapi ya kalo ada kendala lagi ya lama lagi.

Betewe cece mau promosi, buat yang sukak JJK boleh banget dibaca ya! Wuehehehehehheheheheheheh XD

Dan ya, karena ada beberapa temen yang request khusus haikyuu ship jadi cece memutuskan untuk nambah beban alias nambah project yang harusnya enggak ada jadi ada. Yaitu 'Wansot Heqi' book yang isinya khusus ship haikyuu random (request or not)

Kedua book ini akan rilis ditahun 2022 jadi tolong nantikan dan dukung cece ke depannya lewat nomor dibawah ini
xxx***^%#_>\€]£¥]+]
Dukungan kalian amat membantu cece untuk masuk ke grand final /plak /ditabok mahiru eve nya sleepyash

Okeyyyy sekyan ya! Maapin kalo banyak typo soalnya cece egx sunting aghi bcs ngantuk sangattttttt:D tetapi harus UP malam ini. Tetapi tetapi sebelum itu, kita main game bentar yuk?

CEK DISEBELAH YA!
ASSALLAMUALAIKUM

❚❙❚❘❙❘❚❙❚❘❚❙❚❘❙❘❚❙❚❘❙❘❚❙❚❘❙❘❚❙❚❘❚

ellorawsky 2O21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro