Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ᥫ᭡˖ ࣪𝐋𝐚 𝐕𝐞𝐫¡𝐭é ¡!•SakuAtsu•






YANG BACA INI TAPI GAK VOTE,
SUMPAH MATANYA SLIWERAN!



**


Sang surya naik di kaki Barat, cahayanya berhasil menembus sela kaca jendela kamar Atsumu yang masih tertutupi gorden tebal. Maniknya mengerjap, wajahnya kusut. Bagaimana tidak? Setelah sidang panjang semalam, Atsumu tidak diizinkan untuk pergi ke sekolah hari ini.

Mamih bilang, akan membawanya ke dokter spesialis kandungan dan memeriksa kandungannya lagi—untuk memastikan sendiri. Papihnya, Yuji juga akan ikut serta bersamanya. Atsumu meringkuk di dalam selimut kedinginan, AC masih menyala 18°C.

Ia malu sebenarnya. Harga dirinya, cita-citanya, semuanya lenyap dalam semalam. Setelah mengetahui bahwa dirinya berbadan dua, Atsumu tidak lagi bisa mendeskripsikan bagaimana perasaannya saat itu. Senang? Sedih? Kecewa? Bersyukur? Atau apa? Semua bercampur jadi satu, membuat moodnya tidak karu—karuan.

Hamil diusia yang bahkan belum genap 18 Tahun, dengan tanpa adanya status pernikahan. Secara tidak langsung, ia memang sudah menenggelamkan nama baik keluarganya sendiri. Mati—matian ia menjelaskan dengan detail apa saja yang terjadi belakangan ini hingga ia bisa berbadan dua.

Mereka tidak terlihat kecewa apalagi marah, sang Papih malah merasa senang karena tidak perlu bersusah payah untuk menjodohkan anaknya dengan Sakusa untuk bisa menjalin hubungan lebih erat dengan sahabatnya Tn. Sakusa. Sedangkan sang Mamih bersikap lebih tenang dari biasanya meski kata—kata pedas tetap terucap beberapa kali. Membuat semuanya nampak lebih berat, bagi siapapun terutama Atsumu sendiri.


"Jadi, apa keputusan Atsu setelah ini?" Ruangan lengang sebentar, seluruhnya menyimak dengan serius. Terushima sesekali memoles pedang Katana-nya dengan kain bersih, sedangkan Osamu membantu memoles Oodachi diatas pahanya. Hanya sang Mamih, Kita dan Atsumu sendiri yang saling tatap, duduk tegap, serius.

"Mempertahankannya." Jawab Atsumu mantap. Ia sudah memutuskan hal ini beberapa menit yang lalu setelah bertarung dengan pikirannya sendiri. Bukan perkara soal karena ini adalah anak Sakusa, well Atsumu sudah menyadari perasaannya pada Sakusa. Ia memang menyukainya, tetapi karena anak didalam perutnya tidak bersalah, dan juga itu adalah anaknya sendiri.

Perbuatannya yang bisa kecolongan (hamil) saja sudah termasuk sikap yang tidak bertanggung jawab—tanggung jawab sebagai anak keluarga Terushima, pemimpin klan FOXMURDER. Yang seharusnya memberi contoh baik bagi semua bawahannya, juga kembarannya Osamu. Jadi Atsumu tidak ingin lebih tidak bertanggung jawab dengan membunuh janin di kandungannya.

Ia memutuskan untuk menerimanya, melahirkannya dan mengurusinya. Sebagaimana seorang ibu menjaga anak mereka. Kita mengangguk mengerti, dan itu keputusan yang sangat bijak. Tetapi bukan berarti dengan itu saja sudah cukup, jadi ia bertanya lagi. "Siap menerima segala konsekuensinya? Mengurus anak itu gak mudah Atsu. Kamu ngurus dirimu sendiri juga belum benar, apa kamu rela belajar dan berusaha lebih banyak hanya untuk dia?"

Atsumu tersentak teringat sesuatu, ia memang tidak pandai merawat diri sendiri. Ia sering bangun kesiangan, terlalu sering mengkonsumsi makanan instan ataupun junkfood, lupa mengerjakan PR, tidak bisa memasak dan hampir membakar dapur sang Mamih jika ia mencobanya, gagal melipat pakaian terutama menyetrika seragam, ia benar—benar buruk dalam semua hal itu.

Yang bisa ia lakukan kebanyakan dibidang akademis, dan olahraga. Seperti mengerjakan soal fisika berjam—jam, memanah, menembak, beradu pedang, berkuda, hingga lompat jauh. Apa anaknya akan baik—baik saja nantinya dengan itu?

"Atsu."
"Iya Mih, Siap!"
Atsumu menunduk sebentar, mengepal kesepuluh jarinya yang bertumpu pada paha yang berlapiskan kain Yukata erat. Ia tidak boleh goyah, ia sudah terlanjur memutuskan untuk maju dan tidak ada celah untuk mundur sekarang. "Tsumu mungkin gak sempurna dan gak akan bisa jadi ibu yang baik buat dia–" Mengusap pelan perut ratanya sebelum melanjutkan, "–Tapi Tsumu akan berusaha sebaik yang Tsumu bisa, Mamih tenang aja!" Kedua ujung bibirnya tertarik keatas.

"Sans, ada gua. Gua siap bantu lu asal nanti pas lahir anak lu buat gua." Osamu menyudahi acara memolesnya, menaruh pedang Oodachi itu kembali ke dalam peti persegi panjang berwarna hitam tempatnya disimpan, kemudian menepuk bahu kembarannya sungguh—sungguh. Atsumu mendelik, "Enak aja lo, bikin sendiri lah!"
"Pelit banget."
"Bodo!"

"Itu bagus–" Kita melirik suaminya sebentar, kemudian menatap Atsumu lagi. "–Kamu punya kami, kami siap bantu kamu buat ngurus calon anakmu. Itu bukan masalah, yang jadi masalah adalah–" Kita menggantung kalimatnya lagi—lagi melirik suaminya meminta agar suaminya itu ikut menjelaskan.

"Pernikahan kalian." Terushima ikut melirik istrinya, mengerti.
"Pernikahan?"
Baik Terushima maupun Kita mengangguk. "Kapan mau bilang ke Kiyoomi tentang ini? Gak mungkin kan calon cucu gwe gakpunya bapak." Atsumu tersentak, baru ingat ada masalah yang lebih penting selain pikiran—pikirannya tadi. Ia memang sangat lega karena keluarganya mau menerima calon anaknya dengan baik, tetapi bagaimana dengan Sakusa? Apa reaksinya nanti saat mengetahui anaknya ada di dalam perut Atsumu?

Apa Omi bakal nerima? Oh engga kemungkinan terburuknya Omi pasti nyuruh...

Karena lama tak menjawab, Terushima berinisiatif. "Apa langsung dateng ke rumahnya aja? Minta tanggung jawab?" Atsumu menggeleng keras dengan ide bar—bar sang Papih, ia tidak mungkin melakukan hal itu. Selain tidak ingin merepotkan orangtuanya, Atsumu juga tak ingin terlihat seperti sangat menginginkan Sakusa untuk bertanggung jawab dan jadi pendampingnya. Itu tidak keren sama sekali.

Atsumu tidak ingin Sakusa terpaksa menikahinya hanya karena rasa tanggung jawab, dan berujung dengan tetap tidak menyukainya. Yang Atsumu inginkan adalah, Sakusa yang memang ingin menikahinya karena rasa sayang tulus bukan karena embel—embel tanggung jawab ataupun menghormati hubungan antara kedua orangtua mereka.

Atsumu tidak ingin pernikahan yang seperti itu, karena pernikahan seperti itu tidak akan bertahan lama. Atsumu ingin Sakusa bisa melihat dirinya sebagai sosok lain yang bisa dicintai, dimengerti, dihormati, berbagi dan lain—lain. Karena Atsumu pun akan begitu.

"Tsum?"
"Keluarin aja pendapat lu Tsum, jangan dipikirin sendiri. Lagi hamil gaboleh banyak pikiran, gabaik buat janin lu." Peringat Osamu yang seolah tau jika Atsumu sedang bergelut dengan pikirannya sendiri, sepertinya Osamu memang sangat mengkhawatirkan calon keponakannya. Alih—alih mengkhawatirkan kakak kembarnya sendiri.

"Tolong beri Tsumu waktu buat ngasih tau sendiri ke Omi." Pintanya.
Terushima dan Kita saling pandang lagi, kemudian mengangguk samar.
"Baik 3 hari, kami harap cukup."
"Apa?!" Atsumu hampir berteriak tanpa sadar menjambak surai pirangnya, tiga hari itu sangat singkat. Atsumu bahkan belum bertemu Sakusa sebulan penuh ini, menghubunginya saja sudah sulit. Bagaimana ia bisa bertemu dengan Sakusa dalam waktu tiga hari?

"3 hari, atau tidak sama sekali."
Final, Atsumu tidak bisa mengeluh lebih jauh. Ia tidak bisa berkutik selain mengangguk pasrah lalu keluar ruangan tersebut dengan lemas sambil memikirkan bagaimana cara untuk menemui Sakusa yang terkesan menghindarinya akhir—akhir ini.


Tok! Tok! Tok!

"Tuan Muda."
"Iya?"
"Kata Tuan Besar, ditunggu dimeja makan sekarang."
"Oh iya, abis ini gw kebawah. Makasih Bi."
"Baik Tuan Muda, saya permisi."
"Ya."

Atsumu menyibak selimutnya bersiap turun. Mari pikirkan hal itu lagi setelah mengisi perut. Berpikir juga butuh tenaga kan?













"HAHAH."
Gelak tawa mengudara, menggema ke segala penjuru ruang makan megah berkesan klasik tersebut. Ada banyak lilin—lilin susun tiga yang tertata rapih diatas meja makan panjang bernuansa hitam gelap.

Berpiring—piring besar hidangan tersaji, dari menu pesisir hingga menu pedesaan ada dimeja, diikuti sepanci besar sup mengerikan disampingnya. Ruang makan itu lengang sejenak, Kyotani tidak menggubris tawa yang dibuat oleh pengantinnya.

"HAHAHAHAHAHA, really. I can't control myself you know?"
Brak! Brak! Brak! Brak!
Gebrakan meja berbunyi kontras dengan dentingan garpu dan pisau yang mengenai piring. Kyotani melirik jengah, makan malam yang seharusnya berjalan istimewa jadi berantakan.

"Ada kabar apaan?" Kyotani mendorong sisa makanan dihadapannya, selera makannya hilang. Manik tajamnya memandang pengantinnya, siap mendengarkan. "Kau pasti gak akan percaya!" Dengan gerakan centil ia mulai menjelaskan. Menaruh benda persegi dengan sticker tempel bergambar kuda putih dengan tanduk dan surai warna—warni khas unicorn yang sedari tadi menempel ditangan.

"Apaan?"
"Aku dapet kabar bagus! Rubah itu sukses hamil." Kyotani menyadari, tatapan pengantinnya itu berbinar tertimpa cahaya lilin dihadapannya.
"Lalu?" Sungguh, Kyotani tidak peduli. Rubah? Siapa juga yang peduli jika seekor Rubah bisa hamil?

"Aku berani bertaruh, akan ada pesta pernikahan sebentar lagi." Mendecakkan lidah sebelum melanjutkan, "Kau mengerti kan maksudku?" Kyotani diam sebentar, mencoba ingat ucapan—ucapan sang pengantin sebelum ini. "Rubah? Gak. Apa orang yang loe temuin dikedai itu?"

"GOTCHA!" Shigeru meninggalkan kursinya dan berjalan menghampiri kaca jendela besar yang terpatri memanjang di ruang makan itu. "Dia sukses hamil, gak terkejut memang. Sakusa Kiyoomi pasti tokcer!" Dengan sorot mata penuh kebanggaan, Shigeru menatap bulan gemintang yang menggantung indah dilangit.

Malam ini nampak lebih cantik dari biasanya, rencananya 75% sukses. Kyotani menggeram tertahan mendengar nama itu disebut, Shigeru menoleh kala menyadarinya. "Gomen love, calm yourself first. Kita bakal bales kejadian tak menguntungkan kemarin." Kyotani membuang wajahnya kemana pun selain menatap pengantinnya.

"Loe enak bisa sesantai itu, sedangkan gue dikejar-kejar kayak buronan." Kedua alis Shigeru terangkat, kaki—kaki panjangnya menghampiri belahan jiwanya yang malang. Gagal dalam misi dan berakhir menjadi buronan, seluruh poster tertempel disegala penjuru kota. Keamanan dibeberapa bar dan gang sempit juga diperketat.

Tetapi bukan DOUGGLASS namanya jika tidak pandai berlari, anjing memang selalu unggul dalam hal berlari bukan? Shigeru menyembunyikan pengantinnya dengan sangat baik, sudah sebulan lebih lamanya. Dan belum ada satupun dari pihak kepolisian atau tim penyelidik yang berhasil menangkapnya.

"Tunggu saja, sebentar lagi kita akan mendapat tangkapan besar love!" Shigeru duduk dipaha pengantinnya, entah sejak kapan sudah memeluk erat lantas mengelus bahu kokoh itu pelan. "Berenti manggil gue gitu."

"Kenapa?! Itu panggilan sayang tau norak deh!"
"Bacot."
"Ululululu~"

Setelah itu tidak lagi tedengar suara apapun selain desahan tertahan keduanya.










Lenggang.
Tidak ada percakapan berarti selain dentingan sumpit pada masing—masing mangkuk di meja makan berbentuk bulat tersebut. Semua sibuk dengan menu makan malamnya sendiri, sup sirip ikan hiu buatan Osamu.

Di atas meja berukuran sedang dan berbentuk bulat itu hanya ada si pirang—Atsumu, si sipit—Suna dan si abu—Osamu. Orangtua mereka tidak ikut makan karena ada peresmian dibukanya bar baru. Mereka pergi dengan Aran, dikawal anak buah yang lain tentu saja.

Setelah tau Atsumu tengah mengandung, Terushima memblokade seluruh jadwal misi untuknya. Menaruh setengah bagian untuk diri sendiri, lalu seperempat bagiannya lagi dimasukkan ke dalam daftar misi Suna dan Osamu. Sampai batas waktu yang tidak ditentukan, Atsumu terbebas dari tugasnya.

Ketika tau mangkuk Atsumu hampir habis, Osamu mengambil beberapa potong daging ikan hiu (selain sirip) yang dipotong dadu dan beberapa brokoli hijau kedalam mangkuknya. Atsumu mendengus, "Gw bukan babi kayak lo, gw udah kenyang!"

Osamu tidak berkomentar, dan meski berkata begitu Atsumu tetap memakan makanan itu dengan lahap, hingga tandas tak tersisa. Mereka selesai makan, kemudian pindah ke ruang TV selagi Bibi membersihkan meja makan.

Lengang, Osamu melirik Atsumu yang menonton siaran drama channel ikan terbang tanpa minat. Sudah dua hari Atsumu nampak tidak bersemangat. Sebenarnya bukan dua hari, tetapi semenjak dirinya tau tentang kehamilannya lah ia mulai berubah, tidak jadi dirinya sendiri.

Ia memang kerap kali masih mengomeli, mendengus dan memaki Osamu tanpa ampun jika Osamu menganggu, memerintah atau terlalu berisik mengenai apapun yang ingin dilakukannya. Tetapi keceriaan dan sisi jenaka Atsumu menghilang entah tertelan bagian bumi mana.

"Tsum, mau es kacang merah gak?"
Atsumu menggeleng halus, kepalanya bersender dibahu Osamu, kakinya diluruskan keatas sofa kecil berbentuk bulat yang tinggi dan warnanya sama dengan sofa yang ia duduki.

Jangan heran kenapa sedari tadi Osamu layaknya pelayan pribadi yang mengurusi Atsumu saat ini. Sepeninggal Terushima dan Kita, mereka berpesan bahwa malam ini Osamu dibebas tugaskan dari seluruh pekerjaan—misi sebagai gantinya menjaga Atsumu. Osamu tidak keberatan, ia malah senang sekali. Secara tidak langsung ia memang menantikan jagoan kecil Atsumu.

"Rin, lu mau es kacang merah juga?" Osamu melirik Suna yang sibuk main game di hpnya. Tubuhnya sempurna berbaring diatas sofa panjang, tepat disamping sofanya duduk. Suna tidak menoleh, juga tidak menjawab ia malah balik bertanya, "Lu mau es kacang merah Sam?"

Osamu meringis, ia memang menginginkannya. Namun Atsumu tidak akan mengizinkannya untuk bangkit dari sana dan mengambilnya sendiri di lemari pendingin. Lihat sendiri, Atsumu sedang merebahkan kepala dibahu kanannya. Jika kondisi Atsumu sedang tidak hamil, maka dengan mudah Osamu akan langsung bangun dan dengan tega membiarkan kepala kembarannya itu terantuk ujung sofa yang keras secara spontan.

Tetapi tidak, Osamu sudah cukup tau kalau akhir—akhir ini Atsumu mengalami masa—masa sulit yang mungkin tidak ada orang yang menyadarinya. Tetapi mereka kembar, jika Atsumu terluka maka secara harfiah luka itu juga merambat tak kasat mata di lubuk hatinya. Dan Osamu tidak ingin menambah permasalahan Atsumu dengan membuatnya kesal.

Meski usia kandungan Atsumu baru satu–dua minggu, terbilang sangat kecil dan ringkih. Namun Osamu tau, ia memiliki semangat hidup yang tinggi di dalam sana. Mengingat paska Atsumu menerima dampak racun mematikan di punggungnya, masuk melalui membran sel darah dan membaur menuju pusat jantung, menyelubunginya, menekan keras denyut jantung agar berhenti, lalu sisa—sisa cairannya berkeliaran memasuki bagian tubuh yang lainnya termasuk rahim.

Tetapi apa? Janin itu sanggup bertahan. Walau seperkian detik saja, itu amat berharga. Mengingat seberapa bahaya dan mematikannya racun tersebut, begitulah yang Osamu ingat dari perkataan Prof. Ukai sebulan lalu.

"Mampus, gua kira keras gak taunya kertas." Ejek Suna lalu bangun dari sofa, meninggalkan benda persegi yang layarnya masih menyala, dari tempatnya duduk Osamu bisa membaca sekilas kalimat yang tertera disana. 'WINNER WINNER CHICKEN DINNER!'.

Atsumu mengambil remot yang tergeletak disampingnya, memindahkan saluran televisi. Terlalu bosan dengan adegan drama dimana si pria menghamili si wanita dan tidak ingin bertanggung jawab, malah menyuruh si wanita untuk menggugurkan kandungannya dengan melemparkan sejumlah uang ke wajahnya. Brengsek!

Saluran berita kini terpampang, seorang wanita kepala tiga mulai bersuara.

"Kabar terkini, diaporkan langsung dari tempat kejadian. Rexeber, yang kita ketahui adalah jalan penghubung antar Kota X dan L itu akan ditutup sementara hingga besok pagi."

Cuplikan jalan besar penghubung antara Kota X dan L itu tersorot sepi, Police Line berwarna kuning hitam tersambung dari ujung ke ujung pembatas jalan.

"Kabarnya sekelompok gengster tanpa nama, lagi–lagi membuat masalah namun kali ini yang menjadi sasaran adalah wilayah tersebut. Dan demi keselamatan seluruh warga, pihak kepolisian memutuskan untuk menutup sementara salah satu jalur utama itu."

Beberapa polisi juga nampak berjaga—jaga di depan jalan. Lalu sorotan kamera beralih ke jalan persimpangan sungai Azure yang mendadak ramai oleh mobil—motor berlalu lalang cepat, seolah tak ingin berurusan dengan gengster tanpa nama.

"Untuk itu ada—" Pendengaran keduanya teralih saat Suna kembali dengan nampan besar berisi tiga mangkuk es kacang merah.

"Apaan tuh?"
Atsumu yang awalnya menolak es kacang merah pun mengambil cepat mangkuknya sendiri. Mulai memakannya, begitu juga dengan Osamu dan Suna. "Gatau tuh jalan rxb ditutup, katanya si ada gangster–" ucapan Atsumu terpotong sesaat kala mengingat sesuatu "–bentar! Itu bukannya masih masuk wilayahnya DEVILMACHINE?"

Suna dan Osamu mengangguk, masih menikmati es kacang merahnya. Sesekali manik berbeda mereka melirik layar persegi panjang didepan. Saluran berita sudah digantikan dengan iklan sabun pencuci wajah yang liriknya ber—putar—putar.

"Tapi kok banyak polisi?"

"Polisi cuma ngebantu nutup jalan aja. Tapi yang beresin pasti DEVILMACHINE sendiri." Suna berkomentar di sela makannya.

"Setuju, paling Sakusa lagi otw sekarang." Giliran Osamu menanggapi.

Atsumu sontak berhenti dari acara makannya. Malam ini, tidak saat ini juga ia akan ke daerah tersebut. Bila ada hal yang menganggu ketenangan sebuah wilayah, maka pemimpinnya akan turun tangan langsung. Tidak semua pemimpin begitu memang, tetapi itu hukum alami Klan Mafia. Ini waktu yang amat pas untuk bertemu Sakusa.

"Tsum, gua gak izinin lu ya kalo lu mau kesana." Osamu menatap serius manik cokelat madu milik Atsumu, seolah tau apa yang ada dipikirannya. "Gw butuh ketemu Omi!! Gak ada yang bisa ngalangin gwwwwww!" Rengek Atsumu.

"Gue bisa." Suna ikut kedalam topik pembicaraan. Baik Suna maupun Osamu sama—sama khawatir dengan alasan yang sama (Atsumu sedang hamil muda). Jika saja tidak, mereka masa bodoh dengan tindak tanduk Atsumu. "Sun, jangan coba-coba."

Atsumu melempar tatapan tajam, ia bersumpah akan melawan siapapun juga yang menghalanginya. Ia tidak ingin gagal untuk kesekian kalinya, sebelumnya Atsumu memang sudah berusaha menemui Sakusa. Disekolah, di bar, di rumah, dan beberapa tempat lainnya. Namun semua sia—sia Sakusa dengan amat terlatih menghindarinya. Alasan apapun digunakan agar Atsumu tidak jadi menemuinya.

Dan sekarang, disaat Atsumu sudah pasrah untuk tidak berusaha menemui Sakusa lagi. Kesempatan emas itu datang, ia memiliki peluang besar untuk bertemu Sakusa disana. Mungkin akan membahayakan dirinya sendiri karena ada gengster tanpa nama disana.

Dan karena itu juga, Sakusa tidak akan pergi dari sana kecuali gengster itu berhasil diringkusnya. Dengan kata lain, Sakusa tidak akan kabur dari tempat itu sekalipun Atsumu datang kesana.
"Lu beneran mau kesana?"

"Iya, dan jangan berani–"
"Yaudah gak, gua gak mau ngalangin lu. Gua bantu."
"Serius???"
"Gue juga."
"Gua izinin lu kesana tapi sama kita, kalo lu nolak gua terpaksa harus pingsanin lu lagi–"
"Ya ya ya!" Atsumu sudah bangkit lebih dulu, berjalan cepat ke kamar untuk bersiap. Osamu dan Suna juga begitu, saatnya pergi ke medan tempur.










Dering pemberitahuan masuk berdenting di dalam mobil. Kita, sibuk mengsecroll aplikasi sosial medianya. Melihat—lihat beberapa gambar cincin pernikahan yang sekiranya cocok untuk Atsumu nanti. Mereka memang memberi Atsumu waktu, tetapi bukan berarti mereka mempercayakan sepenuhnya hal itu kepada putra sulung mereka.

Terushima sibuk menyetir, tetapi tidak terlalu sibuk karena manik cokelatnya sesekali melirik istrinya kalem. Lima belas menit berlalu, jalanan masih lengang tanpa hambatan. "Kau tau, aku tidak marah ataupun kecewa." Tiba—tiba sang istri membuka suara.

Mengerti bila sejak tadi diperhatikan oleh suaminya dalam diam, suaminya sendiri faham istrinya itu bukan sedang mengacuhkannya hanya saja ada saat dimana ia akan tenggelam dalam dunia sendiri sejenak tanpa melupakan apa yang terjadi disekitarnya. Dan ia sudah sangat terbiasa oleh hal itu, ia amat mengerti.

"Aku tau Shin."
"Lagipula dia anakmu." Terushima menoleh cepat, "Jadi secara tidak langsung, kau menyalahkanku?" Tudingnya tepat sasaran, membuat sang istri terkekeh samar.
"Bukan begitu."

Terushima pura—pura kesal dan lanjut menatap kedepan, fokus menyetir dengan masih melanjutkan percakapan. "Lalu?"
"Dia memang anakmu, jadi aku tidak khawatir." Suasana didalam mobil lengang, hanya ada percakapan mereka tanpa iringan lagu apapun.

"Dia benar-benar mirip kamu."
"Ya, kalo mirip tetangga bisa–bisa kita dituduh menculik anak tetangga!" Terushima berdecak, Kita lagi—lagi terkekeh samar, tanpa suara. Ia memang suka sekali menjaili suaminya, begitu juga sebaliknya.

"Bukan, maksudku bilang begitu. Sekali dua kali dia akan melakukan kesalahan, tapi kesalahan itu tidak pernah mengecewakan." Jelas Kita, kini tangannya mengetik sesuatu pada mesin pencarian. Mencari model jas apa yang sekiranya cocok digunakan Atsumu nanti. Terushima mengerling, melirik Kita semangat.

"Oh jadi aku tidak pernah mengecewakanmu selama ini, benar begitu?" Terushima besar kepala, tidak menyia—nyiakan kesempatan itu untuk menggoda sang istri. Kita merenggut dalam hati, dengan spontan menutup senyum dibibir Terushima dengan telapak tangan kanannya.

Alih—alih diam, Terushima malah mengecup telapak tangan tersebut. Ia tau istrinya sedang malu, dulu sekali saat belum menikah dan mereka hanyalah sebatas kenal karena kakek—nenek mereka cukup dekat. Terushima tidak pernah berfikir bahwa manusia sesempurna Kita akan bisa merasa malu. Tetapi setelah bertahun—tahun bersama, berbagi kehidupan.

Terushima sadar, setidaknya ia membawa pengaruh baik kepada istrinya yang dulu nampak seperti robot. Terushima juga ingat bahkan Kita pernah berkata, "Kau tau Yuji, kurasa sekarang pandanganku berubah setelah bertemu denganmu."

"Pandangan? Pandangan tentang apa?"
"Sesekali melakukan kesalahan, itu wajar." Terushima hampir tertawa terpingkal—pingkal jika saja yang mengatakan hal tersebut bukanlah istrinya. Melakukan kesalahan amatlah wajar dan biasa dimata banyak orang.

Tetapi hal itu tidak berlaku untuk seorang Kita Shinsuke—manusia paling sempurna idaman seluruh makhluk dimuka bumi. "Bagaimana dengan remedial? Apa itu juga wajar?" Goda Terushima.
Kita menggeleng, "Tidak. Kebiasaan remedial sepertimu tidak bisa dianggap wajar." Terushima kecewa berat, semenjak itu ia tidak ingin lagi mengungkit tentang remedial dengan istrinya.

"Tapi dia anakmu juga Shin." Terushima kembali dari ingatannya, beberapa saat lagi mereka akan tiba ditempat tujuan. Kita mengangguk tersenyum samar, "Karena itu juga aku jadi lebih tidak khawatir lagi." Membuat Terushima mengangguk setuju lantas tersenyum juga.

Setelah puas dengan sosial medianya, Kita membuka aplikasi chat dan mengetikkan sesuatu pada ruang obrolan grup.





👙Momma Kece👙


Saya
@semi sem, minta katalog
khusus pengantin bisa?

Semi
BISA BANGET DONG! mau
sekalian lgsg pesen?

Suga
WAHHH SIAPA YANG MAU KAWINAN?

Yaku
EHEM EHEM, sipirang apa siabu nih? :>

Akaashi
Wahh, omedetou Kita-san🎉

Moniwa
Serius anak lu mau kawin Kit?

Iwaizumi
Gercep ye

Yaku
Iya! Pdhl gue pikir yg bakal nikah duluan anak gue

Moniwa
Ngadi-ngadi

Semi
Anak gua duluan ya ntr yg nikah!

Sugawara
Beresek kalyand, biarin Kita duluan.

Saya
😁😁, @semi gak langsung
pesen sih biar Atsumu aja
nanti yang milih sendiri

Sugawara
OH ATSUMU

Yaku
^2

Semi
^3

Akaashi
^4

Iwaizumi
^5

Moniwa
^6

Saya
Iya, jd tolong kirimin
copy an katalognya ya sem?

Semi
Aman aman, malem ini jg gua lngsg kirim ya Kit! Congratss anyway😚😚

Sugawara
Asikkk kondangan lageeee🥳

Akaashi
Selamat Kita-san! Ditunggu undangannya😇

Yaku
KAPAN KAPAN? SPIL DONGGGGG😏

Moniwa
Berisik banget kalian heran.
Congratsss Kitttt, moga cepet dapet cucu ya!

Saya
Amiin, nanti dikabarin
thanks all. Gue off
dulu ya nanti lagi see u






Tepat setelah Kita menyudahi percakapan, mobil mereka tiba di tempat tujuan. Bangunan besar bertembok bata merah, kusen putih yang kontras dan beberapa lampu tempel bertuliskan 'ALCHEMY BAR' diikuti kerlap—kerlip lampu berwarna mencolok menyapa. Ada plang papan tulis kapur didepannya, bertuliskan list menu beserta price listnya.

Dua bodyguard yang berjaga dengan seragam serba hitam—hitam, kacamata hitam, berkepala pelontos berdiri gagah. Siap menyambut kedatangan Terushima dan Kita. Pita besar berwarna silver lapis emas menjuntai indah di sepanjang sisi depan bangunan tersebut.

"Siap?" Terushima memberi aba—aba lalu turun setelah mendapati anggukan dari sang istri. Melangkah cepat memutari mobil dan membukakan pintu untuk Kita. "Silahkan Nyonya." Yang dihadiahi pukulan halus dari kipas kayu bermotif bunga sakura berwarna pink dengan batang kecokelatan ditangan Kita saat ia keluar.

Terushima meringis, namun sepuluh detik kemudian tangan kanannya menepuk kencang bokong sang istri. Kita memerah hingga ke telinga, kipas tadi tergelincir halus dari tangannya jatuh ke aspal. Senyum kemenangan terukir kentara diikuti wajah tengil khas Terushima.

"Ayo masuk." Ajaknya tetapi diabaikan karena Kita sudah jalan lebih dulu meninggalkannya mencak—mencak karena tertolak.









         Setengah jam kemudian.
Ketiganya baru tiba di jalur pemukiman penduduk rute M, rumah—rumah dinas milik pegawai kantor milik negara berjajar rapih dengan warna seragam. Pemandangan bukit—bukit hijau dengan aliran sungai Azure yang bersih mengalir indah menghiasai pemukiman tersebut.

Mobil Osamu melaju lebih cepat kala lampu merah di depan berubah hijau, diikuti mobil Atsumu dan terakhir mobil Suna. Itu keputusan Atsumu sepihak, ia akan membiarkan Osamu dan Suna ikut serta dengan damai dalam perjalanan itu asal mereka harus berangkat dengan mobil terpisah.

Osamu memimpin didepan, mengarahkan jalur teraman dan tercepat untuk dilalui tanpa harus menghindari polisi. Mereka tau, seluruh wilayah ini akan dijaga ketat oleh pihak kepolisian selagi Klan DEVILMACHINE meringkus gengster tanpa nama itu. Dan Atsumu sudah mendapat izin khusus dari Om Daichi beberapa menit yang lalu.

Mereka akan mudah melewatinya. Posisi Atsumu ditengah, diikuti Suna dibelakang. Yang bertugas melindungi serta memastikan mereka tidak dibuntuti siapapun termasuk gengster tanpa nama. Sebentar lagi, setelah dua belokan didepan mereka akan langsung memasuki kawasan Rexeber.

"Tsum, siapin suratnya." Osamu berbicara lewat Car Kit Handsfree-nya yang sudah terhubung baik ke Atsumu maupun ke Suna. Tangan kiri Atsumu yang bebas langsung mengambil kertas yang diberikan Om Daichi via email. "Udah."

Mobil Osamu berhenti ketika ada beberapa pihak kepolisian yang menghadang di depan, mereka sudah tiba di pintu masuk jalan utama Rexeber. Ada gapura super besar menyambut, "Selamat Malam Pak. Kami ingin melintasi jalan ini." Osamu berujar ramah menyapa dua polisi yang bertugas.

"Maaf Nak, tetapi jalan ini ditutup untuk sementara waktu. Kami tidak bisa mengizinkan kalian lewat, sebaiknya kalian memutar lewat rute K untuk bisa sampai diujung jalan Rexeber yang lain." Saran salah satu polisi tersebut.

"Terimakasih atas sarannya Pak, tapi kami sudah punya surat izin untuk melewati jalan ini. Ini sangat mendesak, jika tidak keberatan silahkan cek suratnya. Ada di mobil kedua." Dua polisi itu nampak beradu pandang sebentar, kemudian mengangguk meninggalkan mobil abu—abu Osamu dan mendekati mobil kuning Atsumu.

Atsumu langsung menyerahkan surat tersebut begitu dua polisi itu mengetuk kaca mobilnya. Salah satu polisi nampak menghubungi seseorang lewat Handy Talky di tangan. Setelah puas memastikan surat izin tersebut tidaklah palsu, polisi dengan senang hati membukakan jalan tersebut untuk mereka.

Tanpa berlama—lama mereka langsung melesat, membelah jalan besar yang amat sepi karena tidak beroperasi sampai besok pagi. Desing mesin terdengar di telinga masing—masing, menandakan seberapa cepatnya laju kendaraan mereka. Atsumu bertanya—tanya dimana sekiranya Sakusa berada?

Daerah Rexeber cukup luas, banyak perempatan, juga pertigaan pada setiap lampu merahnya.
"Sam, kira-kira Omi ambil jalur yang mana?" Atsumu mencoba untuk bertanya, ia benar—benar tidak punya petunjuk.

"Rin, udah ready kan?" Bukannya menjawab Osamu malah menghubungi Suna, "Dari tadi, bentar gue sambungin dulu ke maps kalian." Jawab Suna. Tidak lama, maps mobil Atsumu yang tadinya normal hanya berupa garis—garis dengan nama jalan dan warna—warna khas penanda padat atau tidaknya jalan tersebut berubah.

Ada titik merah menyala berkedip, titik itu tidak diam. Berjalan sesuai jalur seperti sedang mengejar sesuatu. "Itu?–"
"Itu posisi Sakusa, tadi Suna ngubungin Motoya langsung pas lu lagi ganti baju. Minta bantuan buat masang alat pelacak di mobil Sakusa." Jelas Osamu, kini mereka berbelok mengikuti berniat mencegah laju mobil Sakusa dari ujung jalan yang lain, walaupun memutar, di ujung sana nanti mereka akan bertemu.

"Motoya gak curiga?" Atsumu menancap gasnya, ketiga mobil itu melaju seirama layaknya truk gandeng, tidak ada banyak celah diantaranya. Mereka bertiga memang cukup terlatih dijalanan, khususnya untuk mobil dan motor.

"Curiga haha, tapi cepet ngerti gimana situasinya." Lanjut Osamu, titik merah itu sudah semakin dekat. Atsumu tersenyum senang di kursi kemudinya, tangan kirinya sibuk menekan dan memutar beberapa tombol audio mobil, memutar musik. "Momot emang the best!"

"Terimakasih juga lu ama Suna." Sergah Osamu tidak terima, jika bukan karena Suna yang menghubungi Motoya maka bantuan Motoya juga tidak akan pernah datang. Jadi sukses tidaknya perjalanan mereka karena ikut campur tangan Suna juga. "Iye iye makasih Sun! Lo emang bisa diandelin."

"Tau." Suna terkekeh bangga dari mobilnya. Osamu berbelok, selesai memutar dan langsung masuk jalur penghubung begitu titik merah hanya berjarak beberapa kilometer lagi, mereka sudah cukup dekat. Rencana utama mereka memang untuk menemui Sakusa, bukan untuk membantu meringkus gengster tanpa nama.

Tetapi dimana pun Sakusa berada itu berarti gengster tanpa nama juga ada disana. Mereka dikejar Sakusa, Sakusa dikejar Atsumu, begitulah siklusnya. Jadi sebisa mungkin Osamu menghindari pertempuran, bukannya tidak mau. Semua demi keselamatan Atsumu, dan juga Klan DEVILMACHINE bisa—bisa tersinggung jika mangsanya ikut dimangsa oleh predator lain. Itu bukan hak FOXMURDER sama sekali, ini wilayah kekuasaan DEVILMACHINE.

"Tujuh menit lagi, hindari tabrakan." Osamu memberi intruksi, jarak mereka semakin sempit, Atsumu memperhatikan titik merah menyala berkedip yang semakin maju ke arahnya. Atsumu memegang kemudinya erat, bersiap menghindari tabrakan fatal.

Benar saja, dari kejauhan terlihat beberapa pengendara motor dengan cepat melintasi jalan, menghindar dari tembakan sengit Sakusa serta anak buahnya dibelakang. Sakusa tidak sendiri, ia dikawal dua belas anak buah lainnya yang menggunakan mobil terbagi enam. Yang Atsumu yakini bukan hanya itu saja, tidak ada Motoya disana. Atau mungkin team Motoya berpencar?

Dari kejauhan yang sama para pengendara motor itu nampak terkejut karena ada tiga mobil berbaris rapih yang melaju cepat dari arah depan, siap menghadang mereka. Bagi para pengendara motor yang adalah gengster itu merupakan sebuah bala bantuan, mereka mengira itu juga anggota Klan DEVILMACHINE.

Tidak bisa mundur, dan tidak punya pilihan selain maju. Mereka benar—benar terkepung, sedangkan Sakusa menatap bingung, ia tidak merasa meminta bala bantuan guna menghadang laju mereka dari depan, dan juga mobil—mobil itu bukanlah mobil Sakusa.

"Bersiap, dalam hitungan ketiga pisah dari barisan Tsum!" Osamu mempercepat laju mobilnya, jarak mereka semakin sempit. Rencananya kedua mobil Suna dan Osamu akan berbelok seirama (ngepot) menjadi dua dinding yang menghadang gengster tersebut, sedangkan mobil Atsumu yang bebas bisa langsung menghindari tabrakan itu dan menghampiri Sakusa di belakang gengster.

"Satu."

Tanpa mengurangi laju mobilnya, Atsumu bersiap memegang setir.

"Dua."

"Tiga!"

Osamu membanting stirnya ke kanan bersamaan ditarik tuas rem belakang mobilnya, hal itu juga dilakukan Suna terlatih. Mobil mereka berdua berbelok cepat dan berdecit hingga menjadi dinding bagi siapapun. Sedangkan Atsumu sudah memelankan laju mobilnya dan diam—diam menghilang dari kedua mobil itu.


Cyiiiittttt!
BRAK!
BRUK!

Tidak sempat! Seluruh pengendara motor yang berusaha menghindar kalah cepat dengan gerakan Osamu dan Suna. Tabrakan itu tidak bisa dihindari lagi, mereka telak mengenai sisi kiri mobil Suna dan Osamu.

Keenam mobil anak buah Klan DEVILMACHINE menghampiri, berniat mengakhiri komplotan gengster yang sudah terjatuh tidak bisa bangun. Benturan mereka cukup keras, motor mereka hancur, darah banyak bercucuran, mobil Osamu dan Suna juga sedikit ringsek dan penyok di sisi kirinya. Tetapi mesin mobilnya tidak apa—apa, mereka sendiri juga baik—baik saja.

Karena mobil mereka bukanlah mobil produksi pabrik biasa, Terushima sudah mengganti seluruh suku cadang dan lapisan luar mobil tanpa mengubah model dan warna mobil tersebut. Hal ini sangat penting dalam pertarungan jalanan, sangat berguna. Karena akan lebih bertahan lama dimedan tempur.

Mobil Sakusa sudah berhenti sejak enam menit terakhir, memperhatikan pergerakan dua mobil abu—abu hitam yang menghadang didepan lamat—lamat. Membiarkan anak buahnya mengambil alih untuk mengakhiri nasib gengster tanpa nama tersebut.


[[ Dengerin lagu
di mulmed ]]



High dive into frozen waves
(Terjun menyelam ke dalam ombak yang beku)
Where the past comes back to life
(Dimana masa lalu hidup kembali)

Desing mobil berwarna kuning melaju, menghampirinya. Setelahnya kaca mobil terbuka, Sakusa tidak terkejut. Tidak lagi terkejut, ia sudah tau ada yang tidak beres. Dan tau siapa pelakunya, Motoya pasti membantu mereka.


Fight fear for the selfish pain
(Melawan rasa takut untuk luka diri)
And it's worth it every time
(Dan selalu saja itu patut dilakukan)

Manik mereka bertemu, lagi. Degup jantung mereka berdetak tidak seirama. Bagai tau apa yang mereka alami, langit mendadak mendung diikuti kilatan petir menjalar lebar dalam langit gelap.


Hold still right before we crash
(Diam tak bergerak tepat sebelum kita berbenturan)
'Cause we both know how this ends
(Karena kita berdua tahu bagaimana akhirnya)

Ingatan mendadak kembali ke masa lalu, rasa sakit, rasa sayang, ditinggalkan, melepaskan, meninggalkan, bertemu lagi, melupakan, mengingat, bercumbu, berpisah, dan bertemu lagi.



Our clock ticks till it breaks your glass
(Jam kita terus berputar hingga gelasmu hancur)
And I drown in you again
(Dan aku tenggelam dalam dirimu lagi)

Udara mulai terasa dingin, keduanya masih diam hanya beradu tatap. Hingga...

"OMI!" Teriak Atsumu marah, mobil mereka bersampingan berjarak beberapa meter saja, ia bersiap turun dari mobilnya, tetapi Sakusa tidak membiarkan itu terjadi. Ia mengabaikan Atsumu, memutari mobilnya dan meninggalkan Atsumu cepat.



Cause you are the piece of me
(Karena kau adalah kepingan dari diriku)
I wish I didn't need
(Ku harap aku tak perlu)

Atsumu menggeram tertahan, sesuai dugaannya Sakusa memang menghindarinya selama ini. Alasan—alasan itu hanya untuk mempermulus rencananya. Tidak bisa dibiarkan! Mana bisa Atsumu melepaskan Sakusa begitu saja sekarang?



Chasing relentlessly
(Mengejar tanpa lelah)
Still fight and I don't know why?
(Masih berusaha dan aku tak tahu sebabnya?)

Atsumu menginjak pedal kuat—kuat, hingga bannya berdecit mengeluarkan kepulan asap lantas meninggalkan tempat menyusul Sakusa. Osamu yang melihat hal itu buru—buru melanjutkan perjalanan, memutar diikuti Suna yang mengerti situasi. Tugas mereka bukan untuk mengurusi gengster tanpa nama, tetapi untuk membantu sekaligus melindungi Atsumu.




If our love is tragedy why are you my remedy?
(Jika cinta kita adalah tragedi, mengapa kau jadi obatku?)

Air hujan pertama mulai turun, membasahi jalanan aspal yang sepi. Sakusa menghubungi Motoya secepat yang ia bisa, selagi Atsumu masih mengejar dibelakangnya. "Mori, gue keluar duluan. Abisin sampe gak tersisa. Ada sesuatu yang harus gue urus, setiba gue dirumah gue harap lu bisa jelasin apa maksud dari semua ini."




If our love's insanity why are you my clarity?
(Jika cinta kita kegilaan mengapa kau jadi kewarasanku?)

Sakusa melepas Car Kit Handsfree-nya, ia sudah tidak membutuhkannya. Ia akan meladeni apa mau Atsumu malam ini, 'Kita liat seberapa lihai lu naik mobil?' Ada smirk dibalik maskernya, onyxnya menatap lekat mobil kuning Atsumu dibelakang.

Sakusa terus melajukan mobil hitam metaliknya cepat, tanpa ampun menerobos jalan aspal yang licin tertimpa hujan. Ia tak gentar menghindari Atsumu. Ketika terhadang dua jalur didepan pun ia tidak ragu dalam mengambil keputusan. Mobil Sakusa berbelok, mengarah keluar jalur Rexeber untuk kembali ke jalanan Kota L yang tidak sepi.

Bertahan dijalanan yang sepi memang bukan pilihan bagus, Atsumu bisa mengejarnya dengan mudah ditambah dengan datangnya dua bala bantuan—Suna Osamu. Satu lawan tiga, Sakusa tidak keberatan jika itu yang dimaui Atsumu. Tetapi bukan berarti Sakusa pasrah menerima jadi sasaran empuk mereka.

Sakusa akan membawa mereka ke tengah jalan kota yang ramai oleh pengendara lainnya, hingga kondisi mereka berbalik. Jadi banyak lawan tiga, bukan lagi satu lawan tiga. Osamu yang menyadari hal itu berteriak, "Batal kejar Sakusa!"

Atsumu menolak keras, "Gak! Udah sampe sini masa gak jadi?!" Suna mengangguk setuju, "Batal kejar Sakusa, ini jalan yang ujungnya bakal masuk ke tengah kota, rame Tsum." Atsumu tetap tidak gentar, ia sudah menunggu terlalu lama dan berusaha terlalu banyak hanya untuk bertemu Sakusa.

Setelah berhasil bertemunya sekarang, Atsumu tidak akan membiarkannya lolos begitu saja. Tidak akan! "Kalo lo bedua mau mundur, mundur. Gw bisa sendiri." Atsumu mempercepat laju mobilnya, bersiap mempersempit jaraknya dengan Sakusa.

"GAK TSUM! BAHAYA ANJING LU GAK NGERTI." Teriak Osamu frustasi, mengejar mobil Atsumu yang sudah melesat lebih dulu disampingnya. Disusul Suna dibelakang, menyamakan laju mobilnya.

"GAK ADA BAHAYA YA OASU, GW UDAH SIAP SAMA SEGALA KEMUNGKINAN. GAK USAH LEBAY!" Balas Atsumu tidak kalah nyaringnya, Suna sampai melepaskan Car Kit Handsfree nya dari telinga sangking sakitnya.

"Lu gak ngerti GOBLOK! Di jalan kota itu rame banyak warga!" Jelas Osamu masih berusaha menyamakan mobil Atsumu dari samping, namun Osamu mengerem mendadak karena sadar di hadapannya ada tembok tebal yang melapisi dinding jalan aspal di atas, itu belokan!

"Kalo gitu, jangan sampe ada korban. Lakuin aja kayak biasa." Suara Atsumu mengecil diikuti desingan mobil kencang menjauh ke arah kanan. Atsumu sudah lebih dulu berbelok, mengejar Sakusa didepan. 'Kayak biasa endasmu.' - batin Osamu.

"Gimana Sam?"

"Lanjut, kita terus maju. Gak mungkin kita ninggalin orang TOLOL kayak dia sendiri." Osamu dibuat tidak punya pilihan oleh kembarannya. Itulah yang juga sempat dikhawatirkan olehnya sebelum berangkat tadi, kemungkinan terburuknya Sakusa kabur. Karena well, ini bukan sepenuhnya salah Sakusa yang kabur menghindari Atsumu ataupun salah Atsumu yang keras kepala ingin mengejar Sakusa.

Semua terjadi karena ada ikut campur Osamu di dalamnya, jika Osamu tidak menyuruh Sakusa menjauhi Atsumu maka kejadian kejar—mengejar ini tidak akan terjadi, tetapi Osamu melakukan hal itu juga karena tak ingin kembarannya itu terus terluka saat bersama Sakusa.

Slash!

Ban mobil Sakusa menerobos basah aspal, langit menghitam sangat pekat. Guyuran air hujan beberapa menit yang lalu sudah mereda, beberapa pengendara mobil dan motor berlalu lalang normal. Sakusa melirik kaca spion, mobil Atsumu masih mengejar dalam jarak yang terbilang aman. Onyx itu berpindah, menatap keempat jalur yang saling terhubung didepan.

Lampu merah! Mendadak menyala ketika ia ingin terus melaju, tanpa ragu Sakusa berbelok kekiri mengubah rutenya. Membuat segerombol pengemudi memekakkan klakson ramai—ramai. Beberapa dari mereka ada yang mengumpat, mengerem mendadak hingga turun dari mobilnya siap memukuli Sakusa namun mobil hitam Sakusa lebih gesit melesat meninggalkan mereka tanpa bisa berbuat apa—apa.

Atsumu lah yang menjadi sasaran, bagian belakang mobilnya terantuk oleh sesuatu yang Atsumu yakini adalah kaki pengemudi ataupun batu kerikil yang dilemparkan karena kekesalan mereka oleh mobil Sakusa sebelumnya. Atsumu tidak punya waktu untuk mengaduh, manik cokelat madunya terfokus ke arah depan. Sesekali melirik kaca spion, memastikan Osamu dan Suna tidak tertinggal.

Namun mereka tidak ada, "Lo pada kemana? Pulang?"

"Pengennya sih gitu, tapi gak bisa yakan?" Suna berkomentar.

"Gua sama Suna mencar, kita jegat Sakusa rame–rame itu rencananya." Jelas Osamu kurang jelas sesekali suara klakson mobil terdengar sahut—sahutan tanda protes banyak pengemudi dengan gaya berkemudi Osamu yang seperti pembalap cap gajah nungging.

"Maksud L?"
Osamu menghela nafas, malas menjelaskan karena tadi Atsumu tidak mau mendengarkannya. Suna mengambil alih, "Lu ambil rute barat, gue timur, Samu utara." Atsumu mengangguk setelah mengerti maksud dari rencana itu.

"Jadi sebisa mungkin kita arahin Omi biar ambil jalur selatan kan?" Tebak Atsumu mudah.

"Iye, jadi kita kepung di tengah–tengah." Setelahnya lengang, tidak ada lagi yang berbicara. Manik cokelat madu Atsumu menatap truk kontener besar di depan, sangking besarnya truk itu seperti mempunyai celah dibawahnya. "Jangan bilang–"

Sebelum Atsumu sempat melanjutkan kalimatnya, mobil Sakusa melesat lebih cepat dari pada yang tadi, berusaha mengejar laju truk kontener bermuatan barang itu. Saat sudah sejajar, mobil Sakusa menyalip masuk ke dalam kolong. Menghilang dari pandangan Atsumu.

"Kenapa?"
"Omi kamuflase."
"Pake apa?"
"Kontainer."
"Pastiin lu gak kehilangan dia Tsum." Atsumu mengangguk, tentu saja! Mobil Sakusa hanya bersembunyi di dalam kolong kontainer bukan berarti hilang sepenuhnya.

Sakusa melirik lagi pada kaca spion, menatap pantulan wajah Atsumu dari balik kemudi. Pandangan itu sangat serius, dan begitu mobil Atsumu mendekat. "Come here."

Pelan—pelan Sakusa keluar dari kolong kontener lewat sisi yang lain. Lantas bergabung dengan mobil sedan lainnya kemudian sebelum Atsumu menyadarinya, Sakusa lagi—lagi hilang masuk ke dalam gang sempit sisi kiri bangunan—bangunan tinggi berada.

"Shit!" Gebrakan terdengar dari seberang membuat Osamu memotong, "Apaan?"
"Mobil Sakusa masuk jalan yang gak ada di maps." Suna mengerti dengan cepat, manik sipitnya terus memperhatikan maps dan jalan bergantian. Atsumu berbelok didepan, masih kehilangan jejak Sakusa meski titik merah masih terlihat di maps, tapi jalan yang digunakan Sakusa tidak terdaftar di dalam maps.

Ada dua kemungkinan mengenai itu, pertama itu adalah jalan buntu yang sudah tidak digunakan. Kedua, jalan itu berbahaya sehingga dihapus dari peroperasian. Sehingga tidak terdeteksi oleh maps. Atsumu menggeleng cepat, ia tahu percis saat seseorang dikejar ia tak mungkin masuk ke jalan buntu karena itu akan mempercepat proses penangkapannya.

Boleh jadi, kemungkinannya yang kedua. Jalan itu berbahaya sehingga dihapus dari maps dan tidak dioperasikan. "Tsum, lu gak muter balik kan?" Osamu memperbesar peta maps dengan ibu jari dan telunjuk. Mempertegas jalan yang dilalui Sakusa. Meski tidak tercatat dalam maps, ada banyak sekali kemungkinan jalan itu memiliki ujung atau akhir. Itulah yang sedang dicari Osamu sekarang.

"Gak, betewe Sun. Omi ngarah ke arah lo!"

"Iya gue liat."

"Kejar Sun! Gw nyusul."

"Roger."
Atsumu menancap pedal gas kencang, ia harus segera tiba diujung jalan ini. Ujung yang akan mempertemukannya dengan jalan Suna dan Sakusa beberapa kilometer lagi.

Drrtt... Drrrtt..

Tiba—tiba ponsel Sakusa bergetar, nama Komori terpampang jelas dilayar. Sakusa memang melepas Car Kit Handsfree-nya tadi, membuatnya tidak terhubung dengan siapapun. Jadi Motoya menghubunginya lewat panggilan biasa, menawarkan bantuan.

Klik!

"Need some help Mi?" Dengan nada mengejek Motoya bertanya suaranya menggema di dalam mobil, Sakusa menggeram tertahan. "Gue gak butuh penghianat macem lu, taro surat pengunduran diri besok pagi dimeja gue." Motoya menahan nafas, lalu tawanya berderai.

"Hahahahaha, sorry aja nih tapi lu gabisa mecat gua Mi. Bos gua kan bapak lu." Motoya lagi—lagi membully Sakusa naas. Seperempat tanda melengkung tercetak jelas di dahi Sakusa yang bertahi lalat.
"Fuck off."

"Mending udahin aja kejar-kejarannya, temuin Atsumu apa susahnya sih?" Sakusa berdecak, Motoya memang selalu cerewet selama ini. Tetapi ia akan lebih cerewet dari biasanya jika itu menyangkut Atsumu. "Lu sebenernya dikubu mana dah? Mau ikut FOXMURDER yodah sono pindah." Sakusa kesal, Motoya kembali terbahak—bahak diujung sana.

"Hahahaha yaudah gua tutu–"
Sakusa sudah lebih dulu menutup sambungan, membiarkan Motoya mencak—mencak di seberang sana. Langit kembali meneteskan air, hujan lagi. Sakusa melanjutkan perjalanannya dengan penuh rasa kemenangan, karena tidak menemukan adanya mobil Atsumu mengejar lagi.

Tetapi rasa bangga itu tidak bertahan lama, karena Sakusa melupakan sejenak kehadiran anggota FOXMURDER yang lain. Mobil hitam Suna sudah berada percis dibelakangnya, siap mengejar bahkan hampir menyamakan laju mobilnya.

Membuatnya lagi—lagi menggeram tertahan di balik masker, onyxnya menajam. Pedal gas sudah ditekan kuat—kuat, melaju gesit menyalip beberapa pengendara mobil yang sedang berlalu lalang tenang. Berkali—kali klakson memekak diikuti suara pengemudi yang marah—marah.

Suna tidak kalah gesit, meski Sakusa berusaha mendahuluinya Suna selalu berhasil mengikis jarak diantara mereka. Memepetnya rapat—rapat, membuat Sakusa lebih cepat lagi melajukan mobilnya masih berusaha kabur dari kejaran Suna.

Proses tarik ulur itu amat memakan waktu, karena dari kedua sisi tidak ada yang ingin menyakiti ataupun mengambil resiko. Bukan hanya mereka yang ada disana, ada banyak warga biasa yang berkendara entah untuk pulang, baru berangkat ataupun hanya sekedar mengemudi tanpa arah (jalan–jalan santai).

Dan beberapa Klan Mafia besar seperti FOXMURDER juga DEVILMACHINE sudah terikat kontrak dengan pihak kepolisian untuk tidak membahayakan warga biasa apapun misi yang sedang dijalankan mereka. Mereka juga bahu—membahu dalam meringkus musuh, bekerjasama walau tidak dalam segala hal.

Jadi sebisa mungkin baik dari pihak Sakusa maupun Atsumu tidak ada yang ingin mengambil resiko, bukannya takut dengan pihak kepolisian tetapi mereka menghargai warga biasa. Dengan kejar—kejaran seperti ini saja sudah cukup menganggu mereka. "Dikit lagi Sun, pastiin Omi belok ke kiri. Jangan biarin dia lurus!"

"Roger."
Suna menancap gas, mempercepat mobilnya lagi. Berpacu dengan waktu, lima belas detik lagi jalan didepan akan terhenti karena lampu merah, dan giliran pengendara dari arah kanan lah yang melaju. Itu akan membuat Sakusa yang tidak berhenti mau tidak mau belok kiri untuk tetap melanjutkan perjalanan.

"Tsum, siap-siap." Atsumu mengangguk mantap, Sakusa akan berbelok lima detik lagi. Dan saat itu tiba brarti Suna akan melepaskan Sakusa karena terhenti di lampu merah, Osamu juga begitu. Jadilah Atsumu yang akan kembali mengejar Sakusa, tugas Suna sudah selesai.

Sakusa menoleh pada spion mobil ketika mobilnya berhasil lolos dari jeratan lampu merah di detik—detik terakhir. Namun hal itu tidak membuatnya lega sama sekali, lihat lah! Mobil kuning Atsumu lagi—lagi sudah berada dibelakangnya, mengejarnya cepat.

"Asli dah, nih mobil ada pelacaknya? Komori minta di kasih cuti 2 tahun kayaknya." Sakusa mencak—mencak memukuli kemudi kencang, kemana pun ia pergi Atsumu dan yang lainnya akan selalu tau posisinya dan bisa mengejarnya sekalipun ia sudah melewati jalur berbahaya tadi. "Koordinasi mereka bangsat."

Tidak berguna! Suna tetap bisa membututinya ketika telah keluar jalur berbahaya tadi. Dan ketika sudah lolos dari Suna sekarang, Atsumu lagi—lagi mengejarnya. Itu berarti mereka memiliki sinyal pelacak yang memancar dari mobilnya. "Kelewatan lu Mor, asli dah kalo gak ada bokap gue pecat lu." Racau Sakusa dari balik masker masih sangat kesal dengan ketidaksopanan Motoya tanpa mengurangi laju mobilnya di aspal yang basah.

Lelah sekali rasanya berlari dari seseorang, ini kedua kalinya. Sakusa ingat dulu juga pernah dikejar—kejar gengster saat kecil, membuat kecelakaan fatal yang menewaskan ibunya.
Aahh kenangan pahit itu!

Ddrrttt... Ddrrttt...

Lagi—lagi ponsel Sakusa bergetar, membuatnya kembali mengumpat namun saat melihat siapa yang menghubunginya, Sakusa terdiam. Itu bukanlah Motoya jadi Sakusa mengabaikannya. Sebenarnya jika itu Motoya, Sakusa sudah bersumpah akan langsung memblock nomornya. Tetapi tidak terbesit dibenaknya kalau Atsumu akan menghubunginya.

Sesaat kemudian,
Layar ponselnya menggelap, getaran berhenti. Menandakan Atsumu memutus sambungannya disana. Sakusa tidak bergeming, masih melajukan mobilnya gesit diantara kerumunan mobil—mobil pengendara lainnya.

Drrtt... Drrtt...


Lagi, Atsumu kembali menghubunginya. Sakusa tidak bergeming, dan tanpa diketahuinya hal itu amat sangat membuat Atsumu murka dibelakang sana. Sakusa tidak punya banyak waktu untuk memedulikan panggilan masuk dari Atsumu, itu akan merepotkan.

Srek! Srek!

Suara kencang terdengar.
"SAKUSA KIYOOMI, FERRARI HITAM DENGAN PLAT '4NT1 KUM4N' DIMOHON BERHENTI SEKARANG JUGA JIKA TIDAK INGIN MALU LEBIH DARI INI." Atsumu meneriaki Sakusa menggunakan TOA yang entah dari mana asalnya. Sakusa mengintip dari kaca spionnya, siluet rambut pirang—Atsumu yang menyembulkan kepalanya dari kursi kemudi dengan membawa TOA terlihat.


Mendadak Sakusa jadi pusat perhatian, beberapa pejalan kaki dan penjajal foodstreet setempat menoleh bersamaan ke mobil Sakusa yang terus melaju diikuti mobil Atsumu dibelakang.

Tetapi bukan Sakusa Kiyoomi namanya jika tidak bisa mengacuhkan Atsumu. Ia menulikan pendengarannya, mematikan seluruh syaraf eternal-nya seakan tidak peduli jika jadi pusat perhatian. Ia terus melajukan mobilnya cepat, tidak berhenti.

"SAKUSA BANGSAT KIYOOMI GW BILANG BERENTI!" Teriakan itu kembali bersamaan dengan Sakusa yang berbelok, kali ini jalur yang dipilih Sakusa benar—benar fatal. Karena tanpa sadar, ia telah membawa malapetakanya sendiri. Aksi lolosnya sedari tadi tidak akan terjadi lagi.

Atsumu lelah sudah, ia membanting kesal TOA nya ke kursi kosong disebelah, hingga suara dengungan nyaring melengking dari sana. Buru—buru ia mematikan tombol on pada TOA dan berbicara dengan Suna Osamu lewat Car Kit Handsfree-nya. "Jingan si Omi bangsat gamau berenti."

"Ngakak, untung bukan gua yang diposisi Sakusa." Sembur Osamu.

"Sama, kalo gue sih udah malu bet." Susul Suna.

"Gw capek banget ya ANJIM! Gw pen pulang pen rebahan ah elah gak kelar-kelar dari tadi ngejar dia doang!!!" Atsumu mulai mengeluh, memang benar ia lelah. Sudah terhitung dua jam berada di dalam mobil dalam posisi menyetir. Tubuhnya tidak nyaman, pantat dan pinggangnya juga sudah kelewat pegal, ia ingin segera menyudahi permainan kejar—kejaran ini.

"Yaudin pulang aja kuy, gua juga laper pen makan." Osamu memegangi perutnya.

"Yok mangan duru, ada tukang nasgor tadi dipinggir jalan ato gak pecel lele gak apa ntar gue traktir kalyand." Suna mengusulkan.

"NAH CAKEP!" Osamu kegirangan.

"KAGAK YA KAGAK LO DUA HARUS BANTU GW! GW HARUS SERET OMI MALEM INI." Atsumu murka.

Atsumu menaikan gigi kemudi, lantas menekan pedal kuat—kuat. Manik cokelat madunya sesekali menatap maps, dan seperti tersambar aliran listrik Atsumu mendapat ide cemerlang. "Guys, tolong bukain jalan buat gw di kilometer 9."

Mendengar itu baik Osamu maupun Suna sama—sama langsung menatap maps di layar persegi yang menempeli dashboard mobil mereka. "Kilometer 9, brarti perempatan terakhir sebelum tikungan yang ke arah desa SUKANGEWE?"

"Oh gue ngerti, tikungan itu emang sepi banget jadi aman kalo mau ngapa-ngapain. Lu mau berentiin dia disitu?"

Atsumu mengangguk samar walau tau keduanya tidak bisa melihat.
"Iya, sekali lagi. Kali ini gw bakal bener-bener buat dia berenti telak. Jadi tolong bukain jalan buat gw."

"Tapi dari mana lu tau kalo dia bakal terus lurus, gak belok?" Osamu memperhatikan maps, masih ada satu perempatan lagi sebelum perempatan terakhir.

Atsumu berdehem sebentar, "Feeling."

"Yaudah, Roger."
"Sip. Abis ini lu harus traktir gua gak mau tau."








          Pukul 22:56.
Langit malam terpapar jernih diangkasa, meski tanpa cahaya bulan gemintang. Hujan sudah benar—benar berhenti, menyisakan satu dua genangan air dijalanan yang tidak rata. Jalanan yang lembab mulai lengang, namun masih banyak yang berlalu lalang.

Toko—toko di sepanjang jalan mulai tutup satu persatu, meninggalkan jajanan foodstreet yang buka hingga waktu subuh. Gedung—gedung pencakar langit di sisi kanan kiri jalan tampak lebih megah dan indah di malam hari, lampu—lampunya menyala terang. Sejenak membuat Atsumu melupakan rasa lelahnya.

Ia masih dibelakang Sakusa, mengejarnya. Ingin sekali rasanya mampir sebentar ke warung pecel lele pinggir jalan untuk mengisi perutnya yang mendadak keroncongan sehabis berjam—jam memutari bagian barat Kota L. Tetapi lihat Sakusa di depan sana, ia bahkan enggan menyudahi acara kejar—kejaran ini.

Ia masih saja menjaga jaraknya dari Atsumu, sudah dua puluh menit Atsumu masih tidak bisa menangkap Sakusa.
Atsumu menaikkan gigi, lalu menginjak pedal gas kencang. Laju mobilnya lebih cepat dari yang tadi, berusaha menyamakan laju mobil Sakusa.

Rencana awal masih pada posisinya, tinggal satu kilometer lagi mereka akan tiba di perempatan terakhir. Osamu dan Suna sudah lebih dulu sampai disana, melakukan tugas mereka. Menghentikan dua jalur kanan—kiri pada perempatan tersebut entah dengan apa Atsumu tidak peduli, yang penting hal itu membuat Sakusa terus melaju lurus—lurus dan berakhir pada tikungan sepi di kilometer 9 yang mengarah ke pedesaan SUKANGEWE.

Suara mesin mendesing kencang, Atsumu berhasil mengikis jarak mereka beberapa meter. Namun Sakusa lebih keras kepala, ia melajukan mobilnya lebih cepat mendahului Atsumu tanpa ampun. Atsumu juga tidak mau mengalah, ini bukan perlombaan bukan juga tentang kemenangan. Ini tentang bagaimana harga diri Atsumu dipertaruhkan dan ini juga merupakan mandat dari orangtuanya. Ia harus memberitahu Sakusa tentang kehamilannya, segera.

Jelas Atsumu tidak bermaksud untuk meminta pertanggung jawaban, Atsumu hanya ingin Sakusa tau. Atsumu membanting stir ke kanan dan ke kiri, membentuk zig zag menghindari sekaligus mendahului beberapa pengendara truk dan mobil biasa demi mengejar Sakusa.

Ban mobil mereka sama—sama berdecit ketika menyusuri tanjakan, lalu melejit kencang kala menyusuri turunan tajam. Atsumu buru—buru menuruni kecepatan kala menuruni jalan, ia tidak mau terkena lonjakan keras yang akan membahayakan janinnya. Hal itu membuatnya harus mengejar Sakusa lebih keras lagi karena Sakusa sama sekali tidak menurunkan kecepatannya di depan sana.

Manik cokelat madunya menatap lurus—lurus kedepan, perempatan sudah didepan mata dan benar saja lampu merah yang harus menyala tidak menyala, mereka tidak terhenti, jadi bisa terus melaju cepat lurus—lurus. Tugas Osamu dan Suna sudah selesai.

"UDAH YE BABI, KALO GAK BERHASIL BERENTIIN SAKUSA JUGA GUA PENGGAL PALA LU PULANG-PULANG!" Osamu mencak—mencak diseberang, Atsumu dapat melihat sekilas pantulan wajah kesal Osamu dari kaca spion. Mobil abu—abunya sukses memalang jalan, jadi pusat perhatian dan bahan cacian orang—orang.

"Buruan deh gue mau pulang." Giliran Suna menyela, Atsumu juga sekilas melihat mobil hitam Suna memarkir ganteng di depan jalan. Tetapi anehnya ia tidak terkena omelan, beberapa gadis dan nenek—nenek malah mengerubunginya sambil mengerahkan ponsel tinggi—tinggi, mungkin minta foto bersama?

Entahlah, Atsumu tidak peduli, sekarang gilirannya tiba. "Hahah, thanks a lot bro. Let me take a lead for now." Manik cokelat madu Atsumu berpindah kedepan, tangan kirinya yang bebas mengambil pistol dari laci dashboard. Pelurunya tidak banyak, tetapi cukup untuk menghentikan Sakusa.

Begitu tiba di kilometer 9, Atsumu menyembulkan kepalanya lagi. Tangan kanannya yang memegang pistol mengarah lurus pada mobil Sakusa di depan, tanpa aba—aba langsung menembak.

Trek!
Dor!

Peluru itu melesat cepat, bukan ke arah Sakusa tetapi ke salah satu ban belakang mobilnya.

Cyitttttt!

Dalam kecepatan tinggi hal ini akan sangat berbahaya bagi pengendara manapun, termasuk Sakusa tetapi Atsumu yakin Sakusa bisa bertahan. Mobil Sakusa mendadak oleng, bannya berdecit kencang. Mati—matian Sakusa mengendalikan kemudinya namun belum benar—benar terkendali Atsumu lagi—lagi menembakinya, tanpa ampun.

Trek!
Dor!
Trek!
Dor!

Dua ban belakang Sakusa bocor seketika, membuat mobil itu berputar kencang lalu ujung bagian depannya membentur dinding sempit tikungan berkali—kali.

Brak! Bruk! Brak! Bruk!
"Sial!" Sakusa kesulitan mengendalikan mobil tersebut dengan dua ban depan saja, ditambah jalanan aspal yang sangat licin. Dahinya terantuk—antuk stir hingga berdarah, kaca mobil pecah, body-nya juga sudah tidak karu—karuan.

Brak! Ceklek!
Sakusa memutuskan untuk melompat keluar pada benturan terakhir, tubuhnya terpelanting lumayan keras lalu menggulung—gulung sebentar hingga berhenti dalam posisi menelungkup ke aspal basah.

Brak! Duar!
Onyxnya menatap kosong pada Ferrari hitam yang sudah tidak berbentuk terbalut dalam ledakan api menyala dalam seperkian detik berjarak beberapa meter darinya. Suara desing mobil mendekat.

Sakusa berusaha bangkit, sikunya bertumpu di aspal, begitu juga dengan lututnya. Darah masih mengalir tidak deras dari pelipisnya, onyxnya menatap Atsumu yang baru saja turun dari mobilnya lurus—lurus.

Dalam langkah—langkah besar Atsumu menghampiri Sakusa yang baru saja berdiri, menelaah wajahnya dari balik masker, beradu pandang sebentar sebelum kedua tangannya meraih kerah jas hitam Sakusa. Tatapannya tajam, seolah ingin mengoyak tubuh Sakusa detik itu juga.

"KENAPA LO SEGITUNYA NGINDARIN GW?! GAK MAU KETEMU GW KENAPA?!" Teriak Atsumu marah. Manik cokelat madunya menengadah menatap onyx Sakusa yang menunduk.

Sakusa terdiam, bagaimana bisa ia mengatakan hal yang sebenarnya? Terlepas dari Osamu yang memang menyuruhnya, Sakusa juga merasa bahwa setiap Atsumu terlibat sesuatu dengannya itu akan menimbulkan masalah. Dan Sakusa tidak ingin itu terjadi lagi.

"KENAPA HUH?!" Atsumu mendorong tubuh Sakusa keras bersamaan dengan dilepasnya kerah jas itu. Sakusa lagi—lagi diam, hanya memandang mata madu Atsumu. Jarak mereka terlampau dekat, aroma tubuh Atsumu bercampur dengan bau hujan, membuatnya tenang sejenak. Ia sadar, ia sangat rindu namun belum bisa bersatu.

"ITU!" Atsumu menunjuk ke arah bangkai mobil Sakusa yang sudah tidak berbentuk, "itu bayaran buat lo karena udah bikin gw hampir meregang nyawa gara gara nyelametin lo di Hugen Hills!" Mata madu Atsumu memerah, kebiasaan Atsumu ia akan menangis jika terlalu marah ataupun terlalu bahagia. Seperti malam ini, sorot matanya penuh amarah tetapi air mata mengalir tak terhentikan dari sana.

Dada Sakusa mencelos, rasanya ada sesuatu yang menggores lubuk hatinya saat menatap Atsumu seperti ini. Ia ingin berkata 'stop' lantas merengkuh tubuh itu ke dalam pelukannya tetapi ia sadar itu tidak mungkin terjadi. Jadi ia tetap diam, membiarkan Atsumu memakinya, mengeluarkan segala sumpah serapahnya hingga puas.

"Lo maen ngilang aja kayak poci! Boro-boro bilang maaf, makasih aja kagak!" Dada Atsumu naik—turun, puncak amarahnya masih jauh diubun—ubun.

"Sor–"
PAK!
Wajah Sakusa merangsek ke kanan saat pipi kiri ditampar kuat, tali masker yang digunakannya terlepas, menyisakan noda merah di ujung bibirnya. Itu tamparan yang sangat keras, "ini karena lo udah ngelecehin gw!"

"LO AMBIL KEPERJAKAAN GW BANGSAT! DAN LO PERGI GITU AJA TANPA BILANG APA APA!" Atsumu kembali berteriak, ingin sekali rasanya melempari Sakusa dengan benda tumpul apapun yang ada didekatnya namun urung. Melihat kondisi Sakusa yang sudah babak belur paska kecelakaan tadi.

"Sor–"
PAK!
Berbalik arah, wajah Sakusa kini merengsek ke kiri. Tamparan itu sedikit lemah dari sebelumnya, "ini karena lo ngehindar dari gw."



[[ Dengerin lagu
di mulmed ]]




Walk on through a red parade
(Berjalan menyusuri pawai yang merah)
And refuse to make amends
(Dan menolak berubah)

Atsumu memegangi pelipisnya dengan tangan kanan, seolah tak percaya dengan sikap laki—laki dihadapannya. "Gw gak ngerti sumpah, kalo ada orang yang harusnya ngehindar itu GW bukannya ELO! Yang disakitin disini tuh GW bukan ELO!" Atsumu menunjuk Sakusa tepat di dada.

It cuts deep through our ground
(Semua ini mengiris pendirian kita)
And makes us forget all common sense
(Dan membuat kita lupa pada akal sehat)

Sakusa membatu, onyxnya menatap aspal yang mulai mengering. Ia sendiri tidak mengerti kenapa ia berlari menghindari Atsumu, yang ia tau ia hanya melakukan permintaan Osamu dan tak ingin membawa Atsumu ke dalam masalah lagi. Hanya itu.

Don't speak as I try to leave
(Jangan bicara saat aku berusaha 'tuk pergi)
Cause we both know what we'll choose
(Karena kita berdua tahu apa yang akan kita pilih)

Atsumu berhenti, menyeka air asin dimatanya sekilas. "Ck, segitu gak sukanya kan lo ke gw? Segitu gak mau ketemunya lo sama gw? Segitu bencinya Mi sampe lo bela-belain nyusun rencana sedetail dan serapih mungkin cuma buat ngindarin gw?" Air mata Atsumu berderai tanpa ia sadari.

If you pull, then I'll push too deep
(Jika kau menarik, maka aku akan mendorong dalam-dalam)
And I'll fall right back to you
(Dan aku akan kembali terjatuh padamu)

"Hahaha gw emang orang paling bodoh di dunia, Osamu bener." Atsumu tersenyum dalam tangisnya.

Cause you are the piece of me
(Karena kau adalah kepingan dari diriku)

"Kelewat bodoh karena gw terus suka sama lo, dan ngarepin kalo lo bakal suka balik ke gw." Kepalanya menengadah, menatap langit malam yang jernih. Berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah lebih banyak dari ini. Manik Sakusa membulat sempurna, ada desiran tak kasat mata yang menyelubungi hatinya, hangat.

I wish I didn't need
(Ku harap aku tak perlu)

"Padahal jangankan suka balik, udah pasti lo benci banget sama gw." Atsumu mengelap kedua matanya dengan punggung tangan, menarik nafas lelah. Menyatakan perasaan ternyata butuh tenaga sebanyak ini. Sakusa masih menunduk, tidak mau menatapnya maupun membalasnya.

Chasing relentlessly
(Mengejar tanpa lelah)

Kata—kata pedas yang biasa ia gunakan untuk berdebat dengan Atsumu juga tidak digunakannya. Sakusa tidak melakukan perlawanan maupun pembenaran dalam bentuk apapun, membuat Atsumu semakin berburuk sangka lebih jauh. "Kalo lo ngehindar dari gw karna rasa bersalah, lo bisa tenang sekarang. Lo udah nebus dosa lo tadi." Atsumu mengambil selembaran kertas yang terlipat di saku hoodie nya.

Still fight and I don't know why?
(Masih berusaha dan aku tak tahu sebabnya?)

"Tapi kalo lo ngehindar dari gw karna rasa benci sama gw, gw minta maaf buat itu." Lantas mengambil tiga buah alat konstratepsi dari saku yang berbeda. Maju selangkah kemudian menekan kedua barang tersebut ke dada Sakusa. "Gw gak akan temuin lo ataupun ganggu hidup lo mulai sekarang." Lagi—lagi dada Sakusa mencelos, bak dihujam ribuan pisau, perih tersayat.

If our love is tragedy why are you my remedy?
(Jika cinta kita adalah tragedi, mengapa kau jadi obatku?)

Sakusa menengadah menatap mata cokelat madu Atsumu yang masih berair, "Tujuan utama gw kesini bukan buat usik lo, atau macem-macem. Gw cuma nyampein satu hal yang mungkin lo gak akan percaya atau mikir kalo gw bakal aneh-aneh. Tapi lo bisa baca kelengkapannya dan lo bisa pastiin sendiri keasliannya." Atsumu berbalik membelakangi Sakusa setelah ia menerima kedua barang tersebut, melepas kontak mata dengannya sepihak. Tidak tahan jika harus menatapnya lama—lama.

If our love's insanity why are you my clarity?
(Jika cinta kita kegilaan mengapa kau jadi kewarasanku?)

"Gw hamil."


Lengang sejenak, tidak ada suara apapun selain suara katak yang bersahutan, serta hewan—hewan lainnya yang beraktivitas dimalam hari. Atsumu masih menunggu, semenit, dua menit, hingga sepuluh menit tapi tidak ada tanda—tanda bahwa Sakusa akan meresponnya.

Jadi dari pada tambah sakit hati, Atsumu memutuskan untuk pergi dari sana.
"Gw perg–"
Tanpa peringatan tangan Atsumu ditahan, tidak lama ada kedua lengan besar yang melingkar sempurna diperutnya, bahunya juga memberat seakan menumpu sesuatu. Manik madu Atsumu membulat, kembali berkaca—kaca.

"Sorry."
Sakusa merengkuh erat pinggang Atsumu, dahinya bertumpu pada pundak Atsumu. "Gue **** **** **** lo." Bisiknya.

(Buat yang ngerti apa ucapan Sakusa diatas boleh diterjemahin disamping–>>)

Bersamaan dengan kalimat Sakusa, sebuah pesawat terbang melewati kepala mereka, suara mesinnya yang berisik membuat Atsumu tidak bisa mendengar ucapan Sakusa.

Atsumu memberontak memaksa Sakusa mengulang perkatannya dengan, "Apa?!"
"Gak ada siaran ulang." Jawab Sakusa enteng lantas mengangkat tubuh Atsumu, membawanya duduk di atas kap mobil.
"OMI?!"
Sakusa menatap Atsumu lamat—lamat.
"Prove it to me."
"A-wait what?! Omi!"




Mobil Atsumu.

Mobil Osamu.

Mobil Suna.

Mobil Sakusa.

@_anyanary / twitter.

@throttleetwt / twitter.

@KANAN_GG / twitter.

@KANAN_KING / twitter.

***

TBC!
Next Chapter
(***********)

Hai hai😃🙌🏻, mau ngucapin selamat bergabung buat yang baru aja liat desk book cece terus masukin book cece ke perpus kalian.

Saran cece jangan pernah baca chapternya lompat-lompat kayak poci kalo gamau bingung nantinya. Book ini bukan (oneshot) buat yang engga tau, tapi ini series jadi berkelanjutan!

Akan lebih baik kalo kalian baca berurut, dari atas sampai bawah! Dan buat yang udah masukin cerita cece ke perpus tapi belom baca karena belom selesai, maaf banget! 😩💔 cerita ini akan complete dalam waktu yang sangat lama. Jadi jangan berharap banyak🤸🏻‍♀️.

Selain itu, cece juga mau ngucapin makasih sebanyak-banyaknya buat yang slalu luangin waktu buat baca dan ngasih support ke cece selama nulis book ini😉👍🏻.

Cece tau book ini masih kelewat banyak kurangnya, dan gaakan pernah jadi book favorite siapapun di sini, tetapi cece seneng banget karena kalian bertahan buat terus baca padahal upnya lama🤸🏻‍♀️.

Dan kalian gak akan nyangka karena cece sendiri pun gak nyangka, ini chapter terpanjang yang pernah cece tulis selama nulis KK'S, 9500 kata!!! Ingatkan cece buat beli koyo cabe nanti:)

Well, segitu dulu. Selamat malam readers tercinta😚💓, cece gak akan lelah buat ingetin kalian untuk selalu VOTE cerita-cerita cece! Thankyou❤️

❚❙❚❘❙❘❚❙❚❘❚❙❚❘❙❘❚❙❚❘❙❘❚❙❚❘❙❘❚❙❚❘❚

ellorawsky 2O21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro