Yang Sudah Biarkan Berlalu
"Sok banget kamu udah berani ngelawan aku, Fifi." Gadis berambut kuning menendang Fifi dengan keras di lututnya. Fifi memegangnya erat-erat dengan wajah bersimpuh keringat.
"Lana! Udah! Urusanmu sama aku 'kan?" sambil memegangi adiknya yang kesakitan, Lili memelas pada Lana.
"Berisik, mata empat! Aku lagi nggak ngomong sama kamu! Oi, gimana? Udah ngerti akibat berlagak di depanku? Jawab!" Kali ini Lana menginjak kaki Fifi dengan kencang, hingga akhirnya Fifi menjerit keras-keras.
"Hahaha. Belum sembuh malah nantang. Tahu rasa sekarang!" Lana tertawa angkuh. Lili pada akhirnya tidak tahan lagi, dan ia mendorong Lana hingga membuatnya terjerembab. Pupilnya melebar melihat ekspresi terkejut Lana berubah menyeramkan.
"KAMU!" Lana bangkit dan berniat menampar Lili. Saking takutnya, Lili hanya bisa memejamkan mata.
"HIII!"
"Tunggu sebentar." Seketika, Lana menghentikan gerak tangannya dan Lili membuka matanya pelan-pelan. Di dekat mereka sekarang sudah berdiri Olivia, diikuti oleh Sonia dan teman-temannya kemudian.
"Lili! Fifi!" Sonia bergegas menghampiri kedua bersaudari tersebut lalu mengecek keadaan Fifi yang masih duduk di lantai. Lututnya memar hingga membuat orang yang melihatnya ngilu. Olivia bertanya, "Kenalan kalian?" Sonia mengangguk. Olivia mendekati Lana, yang pelan-pelan mundu.
"A-Anu, i-ini..."
"Diam." Suaranya dingin, langkahnya pelan, dan ekspresinya tidak menunjukkan emosi. Entah kenapa, Lana justru merasa perutnya mual. Keringatnya mengucur dan aura angkuhnya lenyap ditelan sore.
"Kamu tahu kenapa dia sampe begitu?" tanya Olivia sambil menoleh ke arah Fifi. Lana mengangguk pelan. Olivia lalu berkata, "Jawab."
"I-itu..."
"Hei. Jawab yang jelas. Atau mau kupaksa?" dengan satu gerakan, Olivia memojokkan Lana ke dinding. Matanya seolah menusuk dalam membuat napas Lana tak beraturan. Ia akhirnya mundur sedikit, menyilangkan lengannya, dan menggerakkan kepalanya sedikit.
"Pergi. Sebelum aku ngamuk dan ngasih kamu tiket gratis ke rumah sakit." Lana mengangguk cepat dan mengambil langkah seribu tanpa menoleh. Olivia lalu menghela napas panjang, berbalik, dan menepuk pundak Lili.
"Udah aman." Olivia kembali tersenyum seperti biasanya. Entah kenapa, jantung Lili berdegup kencang. Ia mau berterima kasih, tapi ia malah terkelu. Olivia juga melihat keadaan Fifi, dan membantunya berdiri.
"Kamu mesti ke rumah sakit sekarang. Kalau nggak diperiksa secepatnya, bisa gawat. Sonia, aku mau nganter anak ini dulu. Sisanya aku bantu nanti ya. Kamu, temenin aku ke rumah sakit," pintanya pada Lili sambil menggendong Fifi. Semua yang ada di sana langsung terpana. Olivia menelepon seseorang, dan tidak lama kemudian datang sebuah taksi.
"Ayo naik. Tenang, sopirnya kenalanku." Pelan-pelan ia membantu Fifi masuk, lalu ia dan Lili juga masuk. Sonia, Jasmin, dan Utami berpamitan dengan mereka sebelum taksi meluncur ke rumah sakit.
---
Hari itu bukan hari yang baik bagi Lili. Pertama, ia membuat Lana kesal karena komentarnya soal pertandingan Lana kemarin dan Lana merusak gantungan kunci kesayangannya. Kedua, Fifi mengetahuinya dan melabrak Lana sepulang sekolah, Ketiga, Lana mengamuk dan melukai lutut Fifi yang masih belum pulih. Keempat, ia sekarang ada di rumah sakit.
Kepalanya campur aduk. Ia sudah menghubungi orang tuanya, dan mereka dalam perjalanan. Sementara itu, ia ditemani oleh penyelamat mereka. Kakak kelas dengan jaket bertudung yang memakai seragam sekolah secara berantakan. Ia tengah berbicara dengan sopir taksi tadi sebelum sopir taksi tadi pamit. Sekarang ia membeli dua kaleng soda. Lili yang masih melamun, langsung tersadar oleh sensasi dingin di pipinya.
"Kya!"
"Oh maaf. Aku nggak berniat begitu. Ini buat kamu." Diterimanya kaleng soda dan diminumnya pelan-pelan. Sensasi karbonisasi yang menggelitik kerongkongannya membuat ia berhenti beberapa kali. Hal itu membuat Olivia tertawa kecil.
"Ga biasa minum soda?" Lili mengangguk. Olivia membuka kalengnya sendiri dan meminumnya dengan cepat. Tubuhnya menggigil, membuat Lili jadi khawatir.
"Kakak nggak apa-apa?"
"Haha, kalem. Fuh, seger juga minum dingin." Keduanya terdiam lagi untuk beberapa saat. Mata Lili menatap lantai putih rumah sakit. Rumah sakit memberikan kenangan tidak enak baginya, dan melihat adiknya yang sekarang dirawat di sini semakin membuat hatinya pilu.
"Kembaranmu kuat kok." Lili mendongak. Olivia tersenyum sambil memainkan jarinya di tubuh kaleng.
"Sepanjang jalan, aku nggak ngedenger dia merengek sakit atau apapun. Dia hanya menghirup napas dalam-dalam dan dihembuskan. Meskipun jelas banget itu sakit." Lili mengangguk pelan, mengiyakan ucapan Olivia.
"Oh iya, kita belum kenalan. Olivia, dari 9G. Salam kenal ya Lili."
"Kok kakak tahu namaku?"
"Sonia tadi teriak manggil kalian 'kan? Soal bener apa nggaknya, aku baru tahu dari pertanyaanmu."
"Haha. Lili dari kelas 8A. Adikku, Fifi juga di kelas yang sama. Salam kenal kak Olivia dan terima kasih," ucapnya tulus.
"Untung aja kami masih di sekitar sekolah tadi. Bisa-bisa lebih parah nantinya." Lili bergidik memikirkan kejadian yang mungkin terjadi seandainya Olivia dan yang lain tidak datang. Ia gemetar hingga air mata menetes kembali.
"Untung saja. Untung saja kakak datang. Kalau Fifi sampai kenapa-napa, aku..." Lili tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena sesegukan. Olivia mendekapknya sambil mengelus punggungnya. Lalu, ia mengangkat kacamata Lili dan mengusap air matanya.
"Simpan air matamu. Kamu juga harus kuat dong sebagai kakaknya." Lili mengangguk. Olivia terus mengusap wajah Lili hingga tidak ada air mata lagi.
"Nah, kamu lebih manis kalau begini. Hihi," ucapnya sambil menyeringai dan memamerkan taring kecilnya. Lili gelagapan mendengarnya sambil membisikkan 'Ma-Manis...'.
Tidak lama setelah itu, dokter keluar menemui mereka dan memberi tahu kalau cedera Fifi cukup parah, tapi untung segera dibawa ke rumah sakit jadi tidak memburuk. Hanya saja untuk sementara ia tidak boleh melakukan aktivitas fisik. Mendengar itu, bahu Lili merosot. Olivia tidak bicara apapun selain berterima kasih pada dokter dan meminta izin untuk menjenguk.
"Tentu saja. Silahkan." Keduanya pergi ke kamar Fifi. Wajahnya tampak lelah dan lutut serta telapak kakinya dibalut perban. Dengan paksa, ia tersenyum ke arah kakak kembarnya.
"Mbak Lili."
"Fifi." Lili menghampirinya dan memegang tangannya. Ia menatap Fifi, lalu ke lututnya.
"Maaf ya, Fifi. Mbakmu ini malah nggak bisa bantu kamu. Kalau aja mbak lebih berani."
"Ngomong apa sih mbak? Mbak tadi berani ngebela aku sampe ngedorong dia. Terus mana bisa Fifi diem aja kalau dia ngeganggu kakak terus?" Fifi terus tersenyum sambil menguatkan genggaman mereka. Lili masih tertunduk, menyalahkan diri sendiri. Olivia yang berdiri saja, akhirnya berdeham untuk mendapatkan perhatian keduanya.
"Syukurlah kalau kamu baik-baik saja," kata Olivia. Fifi menundukkan kepala dan meminta maaf.
"Ah, saya lupa berterima kasih. Terima kasih ya kak."
"Haha, nggak mungkin aku biarin orang kesusahan gitu aja, terlebih lagi orang yang nyerang mereka yang nggak bisa ngelawan itu pengecut." Tinju Olivia mengepal keras. Keduanya tidak melihat matanya tadi, tapi mengingat Lana sampai menunjukkan wajah yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya, jangan sampai membuat ia marah.
"Kalau kalian nggak keberatan, boleh kasih tahu dia itu siapa?" keduanya saling bertatapan, lalu Lili bercerita.
"Lana adalah teman lamaku dari saat kelas 1. Kami sering membicarakan banyak hal soal sepakbola. Senang rasanya tahu kalau aku bukan satu-satunya yang suka sepakbola. Lana juga yang mengenalkanku soal pemain sepakbola luar negeri, klub-klub terkenal, dan legenda-legenda sepakbola. Tiap akhir pekan, kami selalu main di rumahnya untuk main game. Suatu hari, ia cerita kalau dia naksir sama ketua kelas kami yang kebetulan jago main sepakbola. Aku berniat membantunya.
"Aku mengajaknya untuk kumpul bersama kami bertiga. Kukira dengan begitu mereka berdua bisa menjadi dekat, tapi bukan itu yang terjadi.
"Suatu hari, Lana datang dengan wajah sehabis menangis dan menamparku. Ia bilang tidak mau berteman denganku lagi." Lili gemetar ketika menceritakan bagian itu. Olivia memintanya untuk berhenti, tetapi Lili memaksa untuk menyelesaikan ceritanya.
"Aku tanya pada ketua kelas kami kalau yang dia suka ternyata aku. Dia bilang dia melihatku menikmati sepakbola dan terus belajar. Kukatakan kalau Lana juga sama. Dia bilang lagi kalau itu benar, tetapi akhir-akhir ini Lana kesannya lebih mencari perhatian dia daripada membahas soal sepakbola. Akhirnya, aku menolaknya dan dia tidak keberatan. Walaupun bayarannya adalah persahabatanku dengan Lana.
"Semenjak itu, ia sering membentak dan menjahiliku. Lana biar begitu, punya pengaruh sebagai siswi populer karena wajah dan penampilannya. Aku terlalu takut untuk melawannya, dan juga karena aku tidak pernah membencinya. Hingga suatu hari, ia mengucapkan kata-kata yang menusuk hatiku." Matanya terpejam sambil menggeleng.
Ilmu pengetahuan sepakbola itu cuma sampah!
Lili ingat bagaimana Lana yang tersungkur ke arah meja sambil memegang pipinya yang merah. Berikutnya, mereka berdua bergumul sampai guru turun melerai. Setelah itu, Lana makin gencar mengejek Lili. Lili sejujurnya tidak suka kekerasan dan menahan emosinya. Fifi, yang selama ini diam saja, yang terang-terangan melabrak Lana.
Olivia berjalan menuju mereka berdua. Ia meletakkan kedua tangannya di atas tangan mereka. Kemudian ia menatap mereka berdua.
"Aku mengerti kok. Bagaimana rasanya ketika teman yang sangat dekat denganmu, sekarang rasanya jauh sekali. Kadang, ingin diri ini melakukan sesuatu untuk memperbaikinya. Namun, kita ternyata tidak bisa." Pikirannya berlari ke saat Erika membuka pintu ruang klub dan tidak pernah kembali di kemudian hari. Sebelum akhirnya, ia pun pergi.
"Meskipun begitu, bukan berarti kita tidak bisa minta bantuan orang lain 'kan? Mungkin orang yang tidak kenal sama sekali atau orang yang tidak terduga sama sekali, merekalah yang mampu menjembatani kita. Kalau kalian berdua nggak keberatan, aku bisa membantu kalian. Dengan satu syarat."
"Syarat?" tanya Lili dan Fifi bersamaan. Olivia tersenyum. Walaupun dirinya seolah terbawa perasaan, ia tidak bohong soal ingin membantu keduanya. Dilihatnya langit senja di luar jendela sejenak, sebelum mengutarakan syaratnya pada kedua saudari tersebut. Keduanya mengangguk sebelum menerima pelukan dari Olivia. Hati Olivia serasa tergelitik melakukannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro