Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tetap Jalan Meski Kantong Kering

Sepulang sekolah, Sonia menghampiri kelas Utami untuk menanyakan soal tadi siang sekaligus memastikan rencana mereka nanti. Utami kebetulan baru saja keluar kelas.

"Tam, gimana jadinya?" tanya Sonia setelah menghampiri sahabatnya.

"Hehe, diterima lah Son. Dengan begini, kita berdua sukses masuk klub masing-masing," ucapnya bangga sambil memberikan simbol 'V'.

"Yeah!"

Keduanya hendak melakukan tos, tapi berulang kali tidak berhasil karena perbedaan tinggi badan keduanya. Pada akhirnya mereka berhasil dan menertawakan tingkah laku mereka barusan.

"Terus latihannya kapan Tam?"

"Mulai hari ini juga bisa, tapi tadi gor basket lagi dibetulkan jadi baru besok kita latihannya. Kamu sendiri?"

"Aku baru mau ke ruang ekskul sekarang. Terus tetep jadi kita jalan?"

"Tetep kalau kamu nggak masalah. Aku nonton latihanmu saja sekalian nunggu."

"Oke oke."

Di tengah perjalanan ke ruang ganti, mereka berpapasan dengan Risma. Di tangannya ia tengah memegang novel sambil menggigit donat.

"Kak Risma, selamat siang."

"Selamat siang kak."

Sapa keduanya yang dibalas oleh lambaian tangan sang kapten.

"Oh halo kalian berdua. Mau kencan?" goda Risma dengan senyum jahil yang membuat wajah mereka memanas.

"Kakak ih! Kan mau latihan kak. Lah kok kakak belum ganti baju?" tanya Sonia sambil menunjuk pada Risma. Tiba-tiba Risma menepuk kepalanya.

"Ahaha, maaf ya Sonia! Sebenernya kita nggak ada latihan hari ini. Kita pake lapangan sekolah buat latihan selang-seling sama tim cowok. Aku lupa ngasih tahu kamu kemarin," ucap Risma meminta maaf.

"Yah, padahal aku udah semangat mau latihan bareng semuanya lagi."

Kepala Sonia menunduk sedih. Utami dan Risma saling bertatapan, meminta tolong satu sama lain dalam hati.

"Maaf, lain kali ga akan kuulangi. Hmm, Sabtu ini kita yang dapet jatah pas hari ekskul. Jadi minggu ini kita dapet empat hari. Kita masih punya tiga hari buat latihan, oke?" Sonia masih kecewa, tapi mencoba menghargai usaha Risma menghiburnya dengan tersenyum.

"Mau gimana lagi Son. Toh lagian kita mau jalan kan? Ayo yang ceria dong."

Utami menepuk pipi Sonia beberapa kali hingga akhirnya Sonia tertawa.

"Ya ya. Ya udah kalo gitu. Kak, kita pergi dulu ya. Ati-ati jalannya, jangan liatin buku terus."

Sonia kembali ke moodnya yang biasanya membuat Risma sedikit lega.

"Eh ya. Selamat bersenang-senang. Hmm, jadi iri nih."

Risma memoncongkan bibirnya sambil menempelkan telunjuknya di bibirnya.

"Selamat siang kak!"

Sonia dan Utami segera berbalik meninggalkan Risma yang melambaikan tangan sambil mengingatkan keduanya untuk tidak pulang larut. Sepeninggal keduanya, Risma mengembalikan fokusnya pada novelnya sambil berjalan menuju arah yang berlawanan dari Sonia dan Utami.

---

Sonia dan Utami sekarang tiba di JT Mall. Kebetulan hari itu masih hari kerja, jadi tidak begitu padat. Selain mereka, ada juga beberapa siswa-siswi sekolah di situ. Hari itu Sonia berniat menemani Utami belanja pakaian untuk latihan yang baru. Sonia sendiri masih menggunakan pakaian lamanya dari SD.

"Emangnya punyamu yang lama kenapa Tam? Kotor? Sobek?" Utami hanya tertawa kecil sambil menggaruk pipinya.

"Anu Son, punyaku yang SD sudah kekecilan. Itu kupaksain pake sampe lulus biar pas SMP sekalian ganti. Sering banget kayak gini, padahal warnanya aku suka."

Sonia hanya menatap tubuh Sonia yang tumbuh pesat dengan tatapan kosong.

"Iya. Ngerti kok."

Dalam hati Sonia menangis sambil mengeluhkan pertumbuhannya.

Rencananya mereka akan mampir ke toko olahraga dulu, kemudian makan bersama sebelum pulang. Mereka sempat berpikir untuk nonton film, tetapi Utami sudah merencanakan nonton bersama teman sekelasnya di akhir pekan dan Sonia tidak diizinkan pulang larut.

"Jasmin bener-bener nggak bisa ikut ya Son?"

Utami berharap bisa mengenal Jasmin lebih dekat, karena mereka berdua sama-sama teman Sonia dan tentunya akan lebih sering bertatap muka.

"Nggak Tam. Warung keluarganya udah nyita waktu dia sepulang sekolah."

Sonia menggelengkan kepalanya sambil mengingat pembicaraannya kemarin dengan Jasmin. Utami memaklumi soal itu dan mengangguk beberapa kali.

"Ah gitu ya. Hmm. Ya udah, yuk kita beli perlengkapannya."

"Eh? Aku nggak-"

"Ayo buruan!"

Keduanya masuk ke toko olahraga langganan Utami. Sonia belum pernah pergi ke toko olahraga yang lebih besar dan banyak menjual barang resmi. Matanya sampai berkilauan tiap kali melihat sepatu, bola, jersey, dan aksesoris lainnya di toko. Sementara itu, Utami langsung menghampiri meja kasir toko di mana seorang pemuda berambut afro tengah bermain gim di smartphone-nya.

"AHH! Kalah lagi!"

Ia mengumpatnya dengan kesal sebelum kedatangan Utami membuat rasa kesalnya lenyap ditelan lubang hitam.

"Yo, dik Tami. Lama nggak mampir nih. Mau beli apa?"

Bicaranya santai dengan akrab. Utami menyandarkan siku kanannya di meja sambil melihat ke smartphone lelaki afro.

"Hahaha, lemah banget Bang Bimo. Makanya, jangan sok-sokan lawan yang level tinggi dulu."

"Eh, ini karena Mbak Yuli yang ngajakin. Ujung-ujungnya dia kalah duluan. Dasar."

"Oh ya si mbak mana? Mau beli 'itu'," tanya Utami sambil mencari-cari orang yang dimaksud.

Mendengar kode 'itu', lelaki afro menekan sebuah tombol dari bawah kasir. Tidak lama kemudian, seorang perempuan berambut panjang keluar dari pintu dalam toko.

"Hei Tam! Gimana sehat?" sapanya sambil memeluk Utami, yang balik memeluk perempuan itu.

"Ya sehat kok. Mbak Yul juga?"

"Hehehe, kemarin sempet demam tapi sekarang nggak apa-apa."

"Sehat. He he..." celetuk Bimo yang tidak lolos dari telinga Yuli. Ia menepuk kepala Bimo cukup keras.

"Hei."

"Aduh."

Bimo meringis kesakitan sebelum perhatiannya teralih pada Sonia yang tengah melihat-lihat jersey. Melihat Yuli dan Utami kembali mengobrol sendiri, ia menyelinap keluar dari meja kasir dan menghampiri Sonia.

"Adik kecil mau beli apa?"

Sonia melompat kaget lalu cepat-cepat sembunyi di balik Utami, yang tengah melotot ke arah Bimo.

"B-I-M-O," panggil Mbak Yuli pada Bimo dengan nada lembut, tapi terasa horor.

Sonia gemetaran sambil memegangi baju Utami layaknya anak hewan yang berlindung di balik ibunya. Keringat dingin bercucuran dari Bimo, dan tidak lama kemudian bogem mentah mendarat tepat di kepalanya, hadiah dari Mbak Yuli.

"Maaf ya dik. Om yang satu ini suka nggak tahu diri. Namamu siapa?"

Mbak Yuli melipat kakinya agar ia bisa persis bertatap muka dengan Sonia.

"Namaku Sonia dan aku teman satu sekolahnya Utami."

"Heh, imut juga kamu. Seleramu bagus Tam," puji Mbak Yuli yang direspon oleh Utami dengan mengacungkan jempolnya.

Firasat tidak enak ngelihat keduanya akrab pas ngelirik aku.

Keringat turun di dahi Sonia melihat keduanya.

"Mbak Yuli, pesananku kemarin udah dateng? Sekalian mau kuambil kalau udah," tanya Utami sambil berbisik.

"Ah iya, tadi udah nyampe. Bentar kuambilin dulu," balas Mbak Yuli sambil berbisik lalu berkata pada Sonia, "Sonia kalau mau lihat-lihat dulu silahkan."

Sonia mengangguk dan berkata, "Terima kasih."

Setelah itu Mbak Yuli pergi ke bagian belakang toko sebelum membangunkan Bang Bimo untuk kembali menjaga kasir.

"Sepatu di mana ya?" gumam Sonia. Utami mendengarnya dan memberitahu Sonia letak rak sepatu.

"Di situ Son. Yuk, kutemenin."

Utami menggandeng tangan Sonia menuju tempat sepatu.

Matanya membelalak kerap kali melihat angka 0 yang banyak di bagian belakang label harga sepatu-sepatu di etalase. Sekalinya ada yang terjangkau oleh kantungnya, ia tidak menyukainya. Berusaha menghibur diri, ia mengecek bagian bola. Dipikirnya kembali bola sepak miliknya sudah lusuh dan jarang ia gunakan lagi. Biasanya ia menggunakan bola milik klub. Dan lagi-lagi, matanya berkunang-kunang melihat harganya.

"Nggak ada yang bagus Son?"

"Bukan gitu Tam. Lagi kanker nih."

Utami tiba-tiba mencengkram bahu Sonia sambil mengeluarkan wajah penuh kecemasan.

"Dari kapan Son? Kenapa kamu nggak cerita?"

"AW! Sakit. Kantong kering Tam, bukan sakit kanker."

Utami langsung mencubit pipi Sonia sambil menggerutu.

"Hih, bikin kaget aja! Udah mau nangis nih."

"Segitunya..."

Walaupun terkadang Utami seperti ini, Sonia jadi nyaman karena ia tidak perlu menjaga image.

"Kamu mau beli yang mana? Kalau kurang aku gantiin dulu bisa kok."

Alis Sonia naik sedikit mendengarnya. Ia bahkan menyilangkan lengannya.

"Eh beneran. Nih."

Ia mengeluarkan sebuah alat konvensional yang dapat membantumu mendapatkan barang yang kau inginkan hanya dengan sebuah cara yang sederhana, gesek.

"Kartu kredit dari siapa itu? Nyolong ya kamu?"

"Hus! Bukan, ini punya papa. Papa punya banyak terus ngasih aku satu begitu denger mau jalan sama kamu," jawab Utami. Sonia berpikir sejenak mendengar penjelasan Utami.

Tami anak orang kaya ya?

Pikirnya dalam hati sebelum akhirnya menggeleng.

"Makasih Tam. Aku tahu niatmu baik, tapi aku pingin beli perlengkapanku terutama bola dan sepatu pake uangku sendiri," ucap Sonia sambil terkekeh.

"Maaf ya Son, aku bakal lebih ati-ati bersikap ke depannya."

Utami merasa tidak enak jadinya setelah Sonia bilang begitu. Beruntung Sonia cepat tanggap dan menambahkan ucapannya.

"Ya, tapi kalau kamu mau traktir aku makan ya gapapa."

Seketika awan hitam yang memayungi Utami lenyap oleh cerahnya ekspresi Utami bak matahari. Tidak lama kemudian, Mbak Yuli datang lagi membawakan pesanan Utami dalam tas.

"Ada lagi yang mau kamu beli, Tam? Biar sekalian dihitung."

Utami memandang ke arah Sonia.

"Son, ada barang yang membuat tertarik di sini?"

"Eh kan udah kubilang Tam-"

"Bukan gitu, maksudku aku mau pesen ke Mbak Yuli buat simpen barang yang kamu mau. Nanti pas kamu udah punya cukup uang, kita dateng lagi buat beli. Gimana?" terang Utami sambil mengedipkan mata. Sonia tidak tahu mesti bilang apa dan akhirnya menatap Mbak Yuli. Mbak Yuli justru tersenyum dan mengangguk.

"Oke oke. Sebenernya aku nggak setuju karena ini bisnis, tapi karena kamu temennya Tami aku kasih pengecualian. Hanya 1 saja oke?"

"Beneran nih Mbak?"

Mbak Yuli mengangguk menyakinkan Sonia. Ekspresi Sonia menjadi berkilauan mendengarnya.

"Terima kasih Mbak. Kalau begitu, aku titip ini ya," tunjuknya pada bola sepak di rak yang berada di sisi kanannya.

"Yang itu kan? Oke, nanti kusimpan sampe kamu mau beli. Kamu sendiri Tam?"

"Nggak, udah ini aja."

Ketiganya beranjak menuju kasir, sebelum Utami melirik ke salah satu rak. Ia mengangguk perlahan lalu ke meja kasir untuk membayar barang belanjaannya. Bang Bimo yang melayani transaksi, tapi ketika ia mulai menanyakan nomor telepon Sonia, Mbak Yuli langsung memberikan bogem mentah kedua hari itu.

Selepas belanja keduanya berhenti di restoran cepat saji untuk 'perayaan' mereka berdua. Sonia memesan satu burger dan soda, sedangkan Utami memesan 3 burger dan satu soda ukuran besar.

"Tam, mesen segitu emang ga masalah?"

"Ah, kalo nggak segini aku nggak kenyang Son. Mestinya aku yang nanya gitu. Kutraktir kentang ya."

Utami berdiri lagi untuk memesan kentang sekaligus mengambil sedotan dan saus. Sonia merasa percuma menolak karena Utami tidak akan membiarkannya. Tempat makan itu memiliki televisi. Saat itu, sedang ditayangkan cuplikan pertandingan liga Eropa.

"Hmmm, keren ya pertandingan kemarin. Gol saltonya Johnson keren sumpah."

"Ya 'kan? Tapi menurutku free kick dari jarak jauhnya Gerson lebih mantep."

Sonia menoleh ke arah sumber suara yang menyahut komentarnya barusan. Rupanya suara itu milik seorang gadis berambut keriting panjang dengan bando putih dari meja sebelah. Ia membetulkan kacamatanya dengan gugup.

"Oh maaf, aku tidak bermaksud menyahut ucapanmu tiba-tiba tadi. Lupakan kamu pernah dengar."

"Eh? Kenapa? Jarang aku ketemu cewek yang ngerti dan suka soal bola."

Gadis tampak senang mendengar ucapan Sonia.

"Ah begitu ya? A-Anu, kamu nonton kualifikasi zona Amerika tadi pagi?"

"Argentina kalah. Buang-buang peluang terus mereka, padahal tahu Brasil serangan baliknya ganas."

"Betul betul! Terus mereka ngotot sekali kasih operan ke Mezz. Bek Brasil ya cepet tanggap buat ngejaga dia."

"'Kan? Bagus udah punya kesempatan penalti, malah ketinggian. Aah!"

"Anu, kayaknya obrolan kalian seru banget."

Suara ketiga tiba-tiba masuk di tengah pembicaraan Sonia dan gadis itu. Utami sudah kembali membawa kentang, soda lagi, dan saus.

"Eh Tami. Ini kita lagi ngomongin soal bola kemarin."

Gadis tadi mengangguk setelah Sonia menjelaskan. Sonia menceritakan singkat kalau soal kejadian tadi.

"Kamu berarti cewek kedua yang kutahu antusias soal sepakbola setelah Sonia."

"M-Mm. Dari dulu aku suka nonton sepakbola. Kelihatannya seru dan mendebarkan. Aku juga main gimnya dengan adikku, tapi dia tidak begitu tertarik sepertinya."

Sonia dan Utami mendengarkan cerita gadis itu. Sonia dan Utami juga menceritakan kalau mereka main bola dan basket di klub sekolah. Gadis itu terlihat senang bercakap-cakap dengan mereka berdua. Di saat mereka tengah asyik-asyiknya membahas kegiatan hari itu, seorang gadis dengan wajah yang mirip dengan gadis itu datang dengan ekspresi anjing penjaga yang menemukan potensi bahaya pada majikannya.

"Hei, kalian ngapain sama mbak?"

Nadanya cukup menekan hingga Sonia dan Utami menjaga jarak dengannya. Untungnya gadis tadi langsung menepuk pundak gadis galak itu.

"Fi, jangan gitu! Mereka cuma ngajak ngobrol soal sepakbola."

"Hmm, kirain temennya dia kak."

"Masa' cewek-cewek ramah dan manis kayak mereka temennya dia. Udah yuk pulang," gadis tadi berdiri lalu pamit lebih dulu pada Sonia dan Utami. "Anu maaf ya adikku rada begini. Makasih buat obrolannya ya."

"Sama-sama. Eh, namamu siapa?" tanya Sonia.

"Lili. Dan ini Fifi."

"Aku Sonia dan ini Utami."

"Salken."

"Kalau begitu, silahkan dilanjutkan makannya. Ayo Fi, pamit yang bener."

Meskipun sopan dan ramah kepada yang lain, Lili tegas pada adiknya yang masih menatap Sonia dan Utami dengan tajam.

"Selamat sore," ucapnya dengan dingin dan masih memberikan tatapan tajam. Keduanya keluar dari restoran sambil bergandengan tangan. Sonia dan Utami menghela napas lalu meminum soda mereka.

"Lili baik ya Son. Keliatan canggung kalau ngomong hal lain selain bola, tapi lumayan lah. Adiknya...hii."

"Kayaknya kita jangan pernah macem-macem sama Lili. Bisa-bisa kita dihajar Fifi."

Utami mengangguk sambil meminum. Tangannya bermaksud menggapai kentang, tapi jarinya menyentuh udara kosong.

"Habis?"

---

Keduanya selesai tidak lama kemudian dan keluar dari mall. Mentari sudah bergeser ke barat dan jalanan mulai ramai dengan kendaraan pekerja kantoran yang sudah pulang. Di perjalanan pulang, mereka melewati stadion salah satu klub kota mereka, Moonlight Rays. Parkirannya penuh dan keriuhan dari dalam stadion terdengar keluar stadion.

"Tam, menurutmu apa keputusanku masuk tim ekskul sekolah ini tepat? Dulu, Rays nawarin aku buat gabung ke tim putri mereka yang bisa dibilang baru. Aku sempat pingin berhubung tim ini pemiliknya adalah pengusaha kaya raya yang otomatis finansial bukan masalah, nggak kayak Hydras."

Matanya mengkilat bermandikan sorotan lampu. Di mata Utami, itu adalah pemandangan yang tidak ingin dilihatnya. Ketika Sonia sedih setiap kali mengingat timnya.

"Son, kenapa? Nyesel sekarang pas udah keterima?" Sonia menggeleng.

Utami menghela napas, lalu bertanya lagi. "Aku nggak pernah ngerasain jadi didikan tim pro, jadi mungkin aku kurang ngerti soal yang kamu rasain sekarang. Nah Sonia..." tangannya yang hangat dan agak kasar itu merangkul Sonia, hingga wajah Sonia merona sedikit. "Apa yang Sonia cari dari main sepakbola?"

Pertanyaan itu seolah meletupkan balon dalam pikiran Sonia. Sonia teringat akan dirinya di masa kecil dulu. Dulu ia bermain hanya karena ia ingin main, seiring berjalannya waktu, ia merasakan menang dan kalah dalam berkompetisi. Ia merasakan bagaimana rasanya berada di puncak dan saat dihempaskan ke bumi hingga sulit rasanya untuk bangkit.

"Nanti kalau Sonia sudah bener-bener ngerti, ngomong ke aku ya? Nggak usah mikir repot-repot dulu, jalanin aja yang ada sekarang. Kan kamu yang dulu kasih tahu aku. 'Untuk menjadi nomor satu, jalannya tidak hanya satu', ya 'kan?" ucap Utami sambil menyunggingkan senyum pada Sonia.

"Hmm."

Sonia mengangguk sambil membalas senyum pada Utami. Keduanya lalu menunggu bis di halte tidak jauh dari stadion. Beberapa menit kemudian, bis tujuan rumah Sonia tiba lebih dulu. Sonia naik ke dalam bis, tapi ia membalikkan badan dan menghirup napas dalam-dalam.

"TAMI! MAKASIH YA! NANTI KUJAWAB PAS SUDAH SIAP!"

Teriakan Sonia membuat orang-orang yang masih berlalu-lalang jadi memperhatikan Utami. Sonia mengedipkan mata sambil menjulurkan lidah sebelum pintu bis tertutup dan melaju. Wajah Utami memerah dan ia membalas dengan tidak kalah kencangnya.

"SONIA!!!!!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro