Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kuadruplet

"Pe-Perkenalkan! Nama saya Lili. Saya berniat membantu kalian sebagai manajer. A-Anu, mohon bantuannya teman-teman!" Lili membungkukkan badan dan disambut oleh tepuk tangan oleh semua anggota tim sebagai wujud apresiasi kedatangannya. Melihat senyum dari semuanya, Lili juga ikut tersenyum. Dirinya merasa akhirnya menemukan tempat yang mau menerimanya.

Semalam, Olivia menghubungi Sonia perihal anggota baru dan sudah disampaikan pada Risma kalau Lili dan Fifi akan bergabung. Risma awalnya terkejut karena Olivia yang membujuk keduanya bergabung, tetapi saat bertemu dengan Olivia tadi pagi, Olivia tidak mengatakan apa-apa. Ia memutuskan untuk berterima kasih pada teman lamanya di lain waktu.

Sesudah itu, Risma memberikan pengarahan pada Lili apa saja tugas seorang manajer. Dengan rajin ia catat satu persatu, hingga Risma terkesan karena tidak ada permintaan untuk mengulangi dari Lili. Pekerjaan yang dimintanya, adalah menyiapkan seragam termasuk kaos kaki setiap sebelum pertandingan, menyiapkan minuman dan handuk, membawa alat P3K untuk keperluan darurat, dan satu lagi adalah menganalisis lawan untuk persiapan pertandingan.

Lili tidak mengeluhkan sama sekali meskipun ia sendirian. Beberapa bahkan menawarkan bantuan padanya, tapi ia menolaknya dengan halus. Baginya, semua punya peran masing-masing. Apalagi setelah mendengar ucapan Olivia setelah ia menyetujui syaratnya.

"Mereka itu sedang dalam perjalanan menjadi juara nasional. Menurutku, itu merupakan impian yang terlalu tinggi. Hanya saja, aku mau kalian berdua melihat langsung dulu permainan tim ini. Terutama bocah nakal yang seenaknya berbuat sebelum pertandingan tim lain." Olivia terkekeh sesudahnya. Lili mengerti kalau yang dimaksud pasti Sonia.

Dulu saat bertemu dengannya pertama kali, ia bisa paham betapa bersemangatnya dia dalam membicarakan sepakbola. Sekarang Lili berusaha memotivasi dirinya. Sebagai sesama pecinta sepakbola, ia akan membantu mewujudkan impian itu dalam hal yang berbeda.

"Manajer maaf, boleh minta minumnya?"

"Aku juga ya!"

"B-Baik, sebentar ya!" Dari kejauhan, Olivia bisa melihat Lili yang sedang berusaha untuk melakukan perannya. Akan butuh waktu, tapi tidak masalah daripada tidak pernah memulai. Baru saja ia hendak berbalik untuk pulang, seseorang sudah menantinya di situ.

"Yo. Apa kabar? Nggak sibuk rapat?" tanyanya sambil bercanda pada gadis berambut panjang yang tampak tidak ada niat bercanda sama sekali.

"Kalau kamu penasaran sama Risma, udahlah baikan lagi aja sana. Kayaknya mereka dapet manajer tuh sekarang," kata Olivia sambil mengarahkan jempolnya ke lapangan. Erika menoleh, lalu balik fokus pada Olivia.

"Apa kamu yang membawanya?"

"Kok aku sih? Ngapain aku repot-repot bantuin Risma coba?" Olivia mengangkat bahunya sambil menggeleng. Ia lalu berjalan melewati Erika, sebelum meninggalkan satu kalimat untuknya.

"Jangan macam-macam dengan mereka." Erika tertegun, tetapi tidak membantah maupun menghentikan Olivia yang meninggalkannya sendiri. Ia berpikir bahwa Olivia mungkin memilih kembali ke klub. Jika ya, kata-katanya barusan itu berarti Olivia tidak akan memihaknya lagi. Ia mengeritkan giginya, tertunduk lesu diiringi sayup-sayup suara bola sepak yang ditendang dan pemain-pemain yang berlatih.

---

Di tempat lain, Sonia minta izin untuk tidak mengikuti latihan hari ini. Tujuannya adalah mencari calon pelatih, dan tempat yang cukup baik untuk menyisir daftar calon adalah datang ke pertandingan lokal. Di luar Lapangan Rakyat, tiap kompleks di kota memiliki setidaknya satu lapangan sepakbola. Biasanya, tiap sore ada tim lokal non-profesional yang bertanding. Dasarnya pemain-pemainnya sih anak-anak dari kompleks masing-masing.

Sonia berpikir kalau di tempat seperti ini pun, pasti ada satu atau dua pelatih yang menarik perhatian. Meskipun tidak begitu berharap, setidaknya ia ingin mencoba. Kebetulan hari itu kompleksnya tengah ada pertandingan, jadi sebelum pulang ia bisa mampir untuk mengecek. Setibanya di sana, ia bertemu dengan orang yang tidak diduga.

"Lho kamu?"

"He?"

Tepat di depannya sekarang berdiri pemain Fireflies Putra yang waktu itu memberikan operan sekaligus bertepuk tangan untuknya. Dengan ramah, ia menyapa Sonia.

"Nggak kusangka bisa ketemu kamu di sini. Apa kamu sering datang kemari, Sonia?" tanya lelaki itu.

"Oh nggak haha. Aku baru pertama kali berhenti buat lihat pertandingan di sini. Biasanya aku langsung pulang," terang Sonia. Lelaki itu tertawa kecil.

"Wah, kirain kamu biasa ikutan. Kebetulan aku nganterin adik-adikku buat pertandingan. Lebih tepatnya sih diseret," terangnya dengan nada sebal. Sonia tertawa melihat mulutnya yang cemberut.

"Haha, repot ya jadi kakak. Oh ya, aku belum tahu namamu."

"Benar juga, aku belum kenalan. Namaku Rangga dari kelas 7B. Senang berjumpa denganmu lagi, Sonia."

"Salam kenal juga, Rangga," balas Sonia ramah.

Keduanya berhenti bercakap-cakap saat peluit dibunyikan. Perhatian mereka berpindah pada pertandingan. Bola dikuasai oleh tim dengan seragam biru muda; tim tempat adik-adik Rangga bermain. Sepanjang awal permainan, bola lebih sering berada di dekat lingkaran tengah. Berusaha memecah kebuntuan, nomor 22 tim biru muda meminta bola. Sonia terpana melihat permainannya. Sambil berusaha melewati penjagaan pemain lawan, ia menundukkan tubuhnya hingga pemain lawan kesulitan menjangkau bola. Saat sudah menjauh, ia menggiring bola dengan normal lagi.

"Dwi!" Nomor 21 yang ada di dekatnya memanggil. Tanpa menunggu lama, nomor sepuluh atau Dwi mengoper. Bola operannya terlalu jauh dan dekat dengan kiper musuh.

"Yah, gagal. Sayang banget," ujar Sonia kecewa.

"Belum selesai." Rangga memprotes dengan tenang.

"Eh?" Rangga mengangkat kepalanya sedikit dan Sonia kembali melihat permainan. Ia memekik melihat nomor 21 tadi menggunakan pijakan kakinya untuk melompat maju. Kaki satunya langsung berayun di udara dan menembakkan bola ke gawang. Keduanya lalu berselebrasi dengan gembira. Satu hal yang membuat Sonia kaget adalah wajah mereka.

"Heh? Kembar lagi?"

---

Di babak pertama, kedua pasangan tersebut merebut masing 2 angka. Di babak kedua, keduanya ditarik keluar lapangan, dan yang menggantikan mereka adalah saudari kembar mereka yang lain. Keempatnya berwajah sama. Namun, gaya dan warna rambut mereka berbeda. Rambut Dwi berambut panjang sebahu berombak warna merah muda, rambut nomor 21 berwarna jingga dan pendek, nomor 23 yang menggantikan Dwi berambut kepang warna magenta, dan terakhir nomor 24 yang menggantikan nomor 21 rambutnya diikat poni depan berwarna ungu.

Dalam sekejap, tim biru muda beralih ke mode bertahan. Sudah unggul 4 angka tentunya membuat mereka tak perlu memaksakan diri menyerang. Musuh mengira mereka meremehkan, akan tetapi mereka justru dibuat frustasi.

Semua operan mereka bisa dipotong dengan mudah. Terkadang, mereka diarahkan untuk mengoper ke tempat yang salah. Dan yang paling mengagetkan, pergerakan mereka berdua yang serasi seolah menutupi lubang dari yang satunya.

"Hebat. Tidak ada celah bagi lawan untuk menerobos." Sonia menggumam bersamaan dengan berbunyinya peluit panjang. Dua kembar itu mendapat pujian dari teman maupun lawan. Lalu keduanya mengalihkan pandangan ke arah Sonia. Mereka menghampirinya dengan berjalan cepat.

"Eh?" Sonia awalnya terkejut hingga keduanya melompat ke arah Rangga.

"Mas! Kita menang lho!" Nomor 23 dengan senyum yang menampakkan taring melompat dengan gembira sambil menggerakkan tangannya naik turun.

"Menang." Nomor 24 bicara cukup pelan, tapi senyumnya sudah mewakili apa yang dirasakan. Beberapa saat kemudian, Dwi dan nomor 9 juga datang.

"Hehe, 2 gol ya bro. Berarti 2 mangkok ya traktirannya." Nomor 21 mengangkat 2 jari tangan kanannya sambil menunjuk dirinya sendiri dengan jempol kiri.

"2 jam pake komputer buatku ya abang," ucap Dwi sambil memainkan ujung rambutnya. Rangga menggaruk kepalanya lalu mengangguk.

"Oke oke, aku udah janji. Nggak nambah ya." Bahu nomor 21 merosot sedikit sambil ditepuk oleh Dwi. Nomor 24 menyadari keberadaan Sonia dan menganalisisnya seolah ia spesies langka. Sonia hanya bisa memaksakan senyum karena tidak tahu harus merespon apa.

"Kamu siapa?" wajahnya menyiratkan rasa ingin tahu yang tipis. Sonia baru saja mau menjawab, tapi langsung dipotong oleh nomor 21.

"Wadaw! Kakanda Rangga laku juga! Eh si abang satu ini, punya pacar nggak pernah cerita-cerita." Nomor 21 menyikut Rangga sambil menyeringai. Dwi tampak kaget dan nomor 23 hanya melongo. Nomor 24 berkedip beberapa kali. Rangga memutar bola matanya. Sepertinya bukan pertama kalinya nomor 21 bersikap begini. Sonia yang tidak pernah digoda seperti itu langsung mengibaskan tangannya dengan panik.

"Ha-Wa-Wa Bu-Bukan! A-Aku cuma teman satu sekolahnya..."

"Eh... Sama dong berarti!" Nomor 21 dengan cerianya menggenggam tangan Sonia, lalu menjabatnya dengan cepat.

"Aku Eka! Si sulung dari 4 dewi langit!" dengan nada bicara layaknya drama-drama sejarah, ia memperkenalkan diri. Dari belakang nomor 23 menepuk kepalanya dengan keras.

"Namaku Tri. Maaf ya, aku sendiri rada gimana gitu punya mbak kayak gini. Malunya..."

"Tri! Masa' sama mbakmu bilangnya gitu. Tega kamu." Sambil berakting sakit hati berlebihan yang konyol, Eka mengusap kepalanya yang dipukul. Tri menepuk dahinya kali ini untuk mendiamkannya.

"Udah ah. Yang ini namanya Catur dan yang itu Dwi." Tri memperkenalkan kedua saudarinya yang langsung memperkenalkan diri lagi masing-masing. Sonia memperhatikan keempatnya. Mereka sama dan juga berbeda. Ia belum pernah bertemu kembar empat sebelumnya, jadi ini benar-benar pengalaman baru.

"Ini Sonia. Pemain yang kuceritain tempo hari." kata Rangga setelah diam beberapa waktu. Seketika, ekspresi keempatnya berubah menjadi kagum.

"Ah! Yang bikin sensasi pas mau pertandingan itu." Eka menepuk tangannya ke telapaknya setelah mengingat.

"Ada-ada saja, tapi keren!" Dwi memuji Sonia sambil menggeleng.

"Aku kehabisan kata-kata." Tri bersedekap sambil menghela napas.

"Gila." Catur hanya mengucapkan satu kata dengan wajah datarnya.

Reaksi para kuadruplet membuat wajah Sonia merah padam. Entah karena saking senangnya jadi terkenal atau malah menanggung malu yang luar biasa untuk pertama kalinya semenjak kejadian itu. Kemudian, Rangga menepuk pundaknya.

"Sonia, aku dengar baik-baik yang kamu katakan kemarin. Kamu butuh pemain untuk bisa jadi juara nasional 'kan? Kalau begitu, bagaimana jika adik-adikku ini bergabung?" Sontak keempat gadis itu menoleh pada sang kakak dan langsung mengerubunginya. Keempatnya-maksudnya tiga dari empat langsung memprotes tawaran sang kakak. Hingga akhirnya, adik bungsu mereka berdeham untuk menarik perhatian mereka.

"Mungkin ada baiknya kita dengerin dulu dari Sonia sendiri." Ketiga kakaknya perlahan mengangguk, dan menunggu Sonia bicara. Sonia menceritakan kejadian tempo hari serta situasi klub saat ini. 5 orang di hadapannya terkejut mendengar soal dilarang bermainnya Sonia yang merupakan dampak kecil dari keputusan satunya.

"Kamu, sampai segitunya demi timmu?" tanya Rangga.

"Ya. Ini bukti aku nggak main-main. Aku harus secepatnya menemukan orang-orang yang mau bermain sepakbola sepenuh hati. Kalau aku harus mengorbankan waktu bermainku demi kepentingan tim, aku siap. Karena ini bukan impianku saja, melainkan impian kami bersama." Sorot matanya meyakinkan Rangga soal deklarasinya. Permainannya juga kata-katanya, hati Rangga berdebar-debar menunggu hasilnya. Oleh karena itu, ia merasa tim sepakbola Putri bisa menjadi sarana untuk mengembangkan adik-adiknya juga.

"Aku lihat kalau kalian lebih jago bermain bola dibanding yang lain. Oleh karena itu, tolong bergabunglah dengan kami!" Sonia mengajak mereka dengan menatap mereka serius. Keempatnya tak ada yang berbicara, hingga satu orang membuka suara.

"Boleh saja. Aku setuju," kata Catur. Ketiga kakaknya saling bertatapan, lalu mengangguk juga. Senyum Sonia merekah sesudahnya, tapi Catur mengangkat jari telunjuknya.

"Dengan satu syarat." Mulut Catur melengkung, ditengoknya sejenak kakak-kakaknya lalu menunjuk Sonia.

"Ayo kita bertanding!" Mata kelima orang lainnya membelalak mendengar yang lebih tepatnya tantangan pada Sonia.

"Lalu, setelah kita bertanding apa yang akan didapat?" tanya Sonia.

"Jika kamu bisa meyakinkan kami soal kata-katamu tadi itu bukan bohongan, kami bakal gabung dengan kalian."

"Kalau nggak?"

"Ya, kami nggak jadi bergabung. Dan kamu sementara nggak bisa turun di pertandingan 'kan? Kamu harus ikut bermain dengan kami. Tenang aja, kami bisa buatkan izin khusus biar kamu bisa ikutan."

Catur selesai memberikan tawarannya. Sonia melirik ke arah Rangga, yang hanya tersenyum dan memberikan jempol. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada kuadruplet. Mereka adalah harapan terbesar Sonia untuk membangkitkan klub. Matanya terpejam, dihembuskannya napas sedikit demi sedikit, lalu bertanya lagi.

"Oi, jangan ngerasa udah menang dulu. Asal kalian tahu saja, aku seenggaknya selevel sama salah satu dari kalian," katanya dengan yakin.

"Walah walah, emangnya kamu punya pemain yang bisa bantu kamu buat menang?" tanya Catur yang langsung dibalas oleh anggukan Sonia. Di kepalanya sudah ada pilihan yang akan membantunya dalam pertandingan.

"Lusa sepulang sekolah bagaimana?" tawar Sonia.

"Nggak. Besok aja. Mas Rangga, minta izin ke pelatih buat 15 menit pertandingan." Catur berpaling kepada kakaknya. Rangga menaikkan dahinya lalu menggeleng.

"Eh, ga bisa. Ntar pelatih marah."

"Bisa ya? Bentaaar aja. Yaa?" sambil memasang wajah imut dengan muka memelas yang langsung diikuti oleh ketiga saudarinya, Rangga tidak kuat melawan kekuatan 4 pasang mata seperti itu.

"Iya iya iya! Nanti aku minta izin. 15 menit aja ya?" dengan terpaksa Rangga mengiyakan. Keempat adiknya langsung memeluk sang kakak yang tidak siap oleh serangan pelukan itu.

"Bro, tengkyu ya!"

"Makasih ya abang!"

"Kakak the best lah!"

"Mas gitu loh!"

Rangga tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang dikerubungi oleh gadis-gadis cantik, tetapi berubah canggung ketika melihat Sonia yang menggeleng kecewa. Biarpun begitu, pikiran Sonia sekarang fokus pada bagaimana menyiapkan teman-temannya untuk besok. Sementara itu, latihan hari itu juga sudah selesai bagi tim Putri di sekolah dan Risma baru saja akan mengunci ruang klub sebelum pulang.

"Sip. Hari ini latihan juga lancar. Tinggal ngabarin Sonia soal latihan terus pul- eh?" langkahnya terhenti pada seorang pria berjaket kuning di hadapannya. Pria itu membuka topinya sambil menunjukkan wajahnya. Risma bersiap untuk lari, tapi sesuatu seolah melarangnya kabur. Menyadari Risma mungkin ketakutan dan kabur, pria itu segera membuka mulutnya.

"Apa di sini markas Melati Fireflies?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro