Istirahat
5 menit. Waktu istirahat bagi masing-masing tim. Sebentar, tapi sangat berharga. Terutama untuk Fireflies yang digempur hampir sepanjang babak pertama. Risma tengah menghabiskan botol minumnya yang kedua sambil mengusap wajahnya yang penuh keringat. Yang lain pun demikian.
"Kerja bagus anak-anak. Sayang kita tidak bisa menjaga keunggulan sampai selesainya babak pertama, tapi kalian sudah melakukan yang terbaik." Bu Kimi berusaha memuji dan memberi semangat pada semuanya. Semua membalasnya dengan senyum lelah, setidaknya menghargai usaha beliau.
Sementara itu, Sonia memperhatikan Risma. Seandainya digempur lagi, kemungkinan mereka kebobolan cukup besar. Namun, sang kapten menyadari pandangan Sonia. Ia tersenyum sambil mengacungkan jempol untuk memberi pesan kalau ia baik-baik saja. Sonia mengangguk, meskipun hatinya tetap risau.
"Haah. Serem juga si Nindi itu. Ga keliatan sama sekali pas lagi nggak tanding," cetus Gita sambil duduk di samping Sonia. Ayu ikut duduk sambil menimpali.
"Sonia, Nindi itu jago banget dah. Aku jadi ngerti maksudmu tadi."
"Biar begitu, aku kagum sama dia. Nindi semakin kuat aja, Cindy juga begitu." Sonia tersenyum girang sebelum menggeleng. Senyum itu lenyap ketika ia menghela napas.
"Babak kedua kurasa akan lebih berat, kalian berdua bisa bantu aku?" Ketiganya masuk berdiskusi sendiri sambil menunggu waktu istirahat selesai.
---
Di bangku cadangan Dragonflies, ekspresi lega dan senang menghiasi seluruh pemain. Tak henti-hentinya beberapa pemain memuji permainan Nindi. Sedang Nindi sendiri hanya bisa membalas dengan senyum.
"Kerja bagus Nindi. Sepertinya latihanmu setiap hari membuahkan hasil," puji Cindy. Nindi hanya mengangguk saja.
"Menurutmu, bagaimana dia? Sonia maksudnya." Nindi meletakkan jarinya di dagu, kemudian menggeleng.
"Sonia masih tetap jago main sepakbola seperti dulu, tetapi..."
"Kamu juga merasa begitu? Yah, kita tahu apa yang terjadi padanya. Hanya saja, dia masuk ekskul dalam selang waktu yang tak beda jauh dari kita. Setidaknya, aku mengharapkan lebih dari ini." Cindy menghabiskan botol minumnya, lalu berdiri.
"Semuanya! Jangan terlalu senang dulu! Kita masih sama kuat sementara ini. Jangan hilang konsentrasi sampai akhir pertandingan. Selama waktu belum habis, kita masih berpeluang menang. Dan selama ada aku dan Nindi, kemenangan pasti akan menjadi milik kita." Semua pemain Dragonflies bersorak dengan penuh percaya diri. Cindy tersenyum puas, tidak sabar untuk memberikan sentuhan terakhir di babak kedua.
---
"Wew, sayang banget kita kebobolan di menit-menit terakhir!"
"Iya! Sial banget!"
Utami dan Jasmin tengah membeli makan dan minum sebelum babak kedua dimulai. Keduanya membeli es teh dan jus jeruk, serta burger dan sosis bakar. Jasmin membeli 3 potong roti coklat. Utami tidak bisa menahan diri untuk berkomentar.
"Nggak kebanyakan Min? Perasaan ini udah cukup dah," kata Utami sambil mengangkat kantung plastik berisi burger dan sosis. Jasmin menggeleng cepat.
"Aku lagi mau makan yang banyak, mumpung masih di masa pertumbuhan." Matanya mendelik sedikit ke arah Utami. Utami tidak begitu paham, tapi setidaknya ia sedikit mengerti soal masa pertumbuhan itu.
"Bener juga ya."
Keduanya kembali ke tempat duduk mereka, dan alangkah terkejutnya mereka melihat seorang tengah berbaring di sana. Tangannya ia gunakan sebagai pengganti bantal. Kacamata hitamnya melindungi dari sinar matahari. Rambutnya panjang diikat poni di ujungnya. Janggut dan kumisnya memenuhi mulut dan dagunya. Ia mengenakan jaket yang tak diresleting, memperlihatkan kaos bergambar kucing. Celana jinsnya sedikit kotor dengan noda lumpur di beberapa bagian begitu pula sepatu ketsnya.
"Anu permisi." Lelaki itu tidak menjawab panggilan Jasmin, bergerak saja tidak. Mencoba lagi, Jasmin mendekati telinga lelaki itu dan bicara lebih keras dari sebelumnya.
"PERMISI!" Sontak lelaki tadi melompat bangun hingga kepala mereka berdua berbenturan. Keduanya mengaduh kesakitan. Lelaki tadi langsung menoleh ke arah Jasmin.
"HEI! Orang lagi enak-enak tidur siang, malah diteriakin! Diajarin orangtuamu sopan santun nggak?" Murka lelaki itu sampai kumisnya berdenyut. Jasmin masih meringis, tapi tidak mau kalah.
"Ya habis, dipanggil nggak nyahut. Aku nggak bakal sampe gitu ke om kalo om langsung bangun. Lagian ini tempat kami!"
"Eh bocah dasar. Siapa juga yang om? Aku masih 25 tahun! Dan aku nggak lihat namamu di sini." Dilepasnya kacamata hitamnya sambil beradu pandang dengan Jasmin. Utami langsung menengahi sambil meminta maaf.
"Aduh, maaf ya om. Soalnya tadi kami duduk di sini untuk nonton pertandingan bola. Kalau nggak keberatan, kami mau duduk di samping om. Lanjutkan saja tidurnya om, tetapi kami bakal berisik pas pertandingan mulai."
"Dibilangin, aku masih 25. Terserah sih, yang penting aku mau tidur." Ia menggeser tubuhnya ke samping. Utami dan Jasmin akhirnya duduk di samping lelaki itu. Tiba-tiba, suara keroncong perut terdengar keras di antara mereka bertiga. Utami dan Jasmin langsung menoleh pada lelaki itu, yang berusaha keras menahan diri.
"Laper om? Nih, ada makanan lho. Mau nggak?" Dengan wajah mengejek, Jasmin mengeluarkan roti coklatnya sambil mengibaskannya di depan lelaki tadi.
"Nggak usah."
"Yakin? Atau mau ini?" Kali ini ia mengeluarkan burger. Mulut lelaki itu bergerak menegak ludah. Jasmin tersenyum lebar melihatnya.
"Udah nggak usah ditahan. Bilang aja mau." Lama-lama, lelaki itu bangkit dan bermaksud menarik wadah burger. Namun, dengan sigap Jasmin menarik wadah itu.
"Eits, nanti dulu om." Dahi lelaki itu mengeluarkan urat saking kesalnya.
"Minta yang benarnya gimana om? Diajarin 'kan sama ortunya?"
"...minta..."
"Apa? Maaf kurang jelas."
"...boleh minta..."
"Hah? Aduh!" Utami langsung menjitak Jasmin.
"Min, udah ah, jangan jahil terus." Jasmin berubah cemberut karena dihentikan. Utami mengambil burger dari tangannya dan menawarkannya pada lelaki itu.
"Maaf, dia ini suka jahil. Dia nggak jahat kok. Om-eh Kakak nggak usah malu-malu kalau beneran kelaperan. Kalau mau yang lain, di arah sana banyak kok,"terang Utami seraya menunjuk ke kedai di sekitar Lapangan Rakyat. Lelaki itu memperhatikan burger lagi, lalu membuka mulutnya.
"Boleh minta makanannya?" Utami tersenyum, lalu mengangguk. Lelaki itu berterima kasih dan mulai melahap burger itu. Dari kecepatan makannya, ia seolah tidak makan untuk waktu lama.
"Namaku Rian. Aku habis dari luar kota, dan kebetulan ngantukku udah nggak ketahan sebelum sampe tujuanku. Di sini agak panas, tapi anginnya sejuk."
"Saya Utami, dan ini Jasmin." Utami mendelik kepada Jasmin dan Jasmin segera menundukkan kepala sambil memperkenalkan diri.
"Salam kenal kak. Maaf, aku kebablasan tadi."
"Kalem. Aku juga yang mulai duluan tadi." Rian mengibaskan tangannya, membuat Jasmin jadi lebih rileks.
"Nah, yuk kita makan bareng. Biar di babak kedua kita bisa dukung sekuat tenaga Sonia dan Fireflies!" Ujar Utami dengan semangat.
"YEAH!" Jasminmengangkat tinjunya dengan semangat yang sama. Rian menatap ke arah bangku pemain,tanpa menyadari kunyahannya melambat. Sekilas wajahnya tampak sendu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro