13 : Child Under The Rain
"U-Uh.." Desah Miyu yang kesulitan menggapai pisang di meja makan. Ifa yang melihatnya pun berinisiatif untuk mengambilkan pisang tersebut untuk Miyu.
"Nih." Kata Ifa sambil memberikan pisang tersebut kepada Miyu.
"Arigatou, Ifa-neesan." Kata Miyu.
Ifa pun mengangguk dan pergi ke ruang tengah bersama Miyu. Setelahnya, Miyu langsung pergi ke arah kamarnya untuk memberikan makanan kepada monyetnya.
"Nah, Ifa-san, kita mulai kenalan dari yang tertua aja. Anzu-nee, silakan!" Kata Yui.
"Ah iya, namaku Anzu. Sebenarnya aku cuma anak asuh, bukan anak kandungnya emak. Tapi emak ga pernah beda-bedain jadi Anzu ngerasa nyaman dan lagian anak-anak disini juga udah nganggep aku kayak nee-san mereka sendiri kok."
"Kalo namaku Yui! Inget ya, Yui! Y-U-I. Bukan M-O-N-Y-E-T ataupun S-E-T-A-N! Oiya, aku anak kandung emak! Ehe~"
"Namaku Macha. Karena aku ama Karen kembar dan udah kayak paketan, sekalian aja kukenalin. Ini Karen, dia kakak kembarku. Walau dia kakakku, tapi dia lebih gob一maksudku bodoh dibanding aku. Kita berdua sama-sama anak kandung emak. Yakali Karen anak emak terus aku anak tetangga sebelah tapi bisa kembar. Lawak kali kau."
"Meooow~"
Tiba-tiba muncul dua kucing berbulu tebal, yang satu berwarna hitam putih, satunya lagi berwarna jingga atau yang biasa disebut oren.
"UWAAA KUCING! :3" Jerit Karen antusias dan menghampiri kucing tersebut. Namun Karen salah memilih, karena kucing yang ia pilih untuk didekati pertama adalah kucing berbulu jingga. Kucing itu langsung menyakar tangan Karen. Karen pun menangis dengan suaranya yang melengking. Segera, Pooru menghampiri anaknya yang menangis itu.
"Hah? Karen-chan kenapa?" Tanya Pooru. Kemudian ia melihat bekas cakaran di tangan Karen.
"Dicakar Machan." Jawab Yui singkat. Macha yang merasa namanya disebut langsung menoleh dan mengelak.
"Apaan sih nyet! Boong mulu! Kusumpahin lidahnya kegigit!" Rutuk Macha.
"AHAHAHAHA! MANA MWLUNGKIW一AW!" Tawa Yui yang disusul dengan lidahnya yang tergigit. Karma instant.
"Karen-chan tadi dicakar ama kucing oren." Jawab Anzu.
Sedangkan Miyu malah membanggakan monyetnya, "Makanya Karen-nee peliharanya monyet aja, kayak aku. Neko mah jahat, nanti digigit, dicakar, kayak tadi. Coba nih liat monyetku. Anteng banget kan?"
Seketika semuanya menoleh ke arah Miyu yang sedang menggendong monyetnya. Ada perasaan miris disaat mereka melihat keadaan monyet itu. Monyet itu nampak pasrah digendong sambil diberi susu botol oleh Miyu. Ditambah, di kepalanya terdapat kunciran dan monyet tersebut dipakaikan popok oleh Miyu.
"Aku ngerti perasaanmu nyet." Batin semua orang.
Keheningan baru berlangsung selama 15 detik, namun keheningan tersebut langsung dipecahkan kembali oleh tangisan Karen yang mengeluh kesakitan. Pooru pun mengajak Karen untuk membersihkan lukanya.
"GAK MAU MAK! PERIH! PERIH MAK! HWAAAAAAAAAAAAA!!!"
Pooru tak bisa berekspresi. Sebab, bahkan airnya saja belum menyentuh kulit Karen, namun Karen sudah mengeluh perih.
"Drama banget ya Allah, sabar Poor, sabar." Batin Pooru.
Pooru sudah berkata bahwa dirinya akan membersihkan luka itu dengan pelan-pelan. Namun Karen tetap menangis. Bahkan lebih kencang. Akhirnya Pooru menarik tangan Karen paksa untuk dicuci. Tangisan Karen makin menjerit, sedangkan anak-anak lain hanya mengintip tanpa ada niatan untuk menenangkan Karen.
"Emang sakit ya?" Tanya Miyu.
"Ratu drama gela." Kata Macha.
"Machan, mo nyoba dicakar kuceng ga?" Tawar Yui.
"O BOLE BOLE! EHEHEHE一" Kata Macha sambil tertawa dengan tidak wajar. Yui pun menampar Macha dengan santai dan berkata, "Mauan."
"Aer doang aela, lebay amat." Gumam Anzu.
"Tapi kan tetep sakit." Sanggah Ifa.
"Sakitan mana ama pake alkohol?" Tanya Anzu. Ifa pun terdiam.
Tak lama, Karen kembali dengan tangan yang sudah diobati. Tangisan Karen sudah berhenti dan berganti oleh bacotan dari mulut kecilnya itu.
"Kucing nakal! Biarin ya, kamu nanti aku gantung di jemuran, abis itu pas udah kering aku botakin, abis itu kugoreng!"
"Astaghfirullah Ren一"
"Udah udah, kucingnya mau dikasih nama apa?" Tanya Ifa.
"Hmm.. karena yang satunya warna oren, kukasih nama.. Oyen aja de. Terus yang satu lagi Fellice aja! Soalnya kan bahasa latinnya kucing itu Felis!" Kata Karen.
"Kamu tau darimana Ren?" Tanya Anzu.
"Dari buku lah! Hehe."
Yui nampak memperhatikan kucing itu satu persatu. Kemudian ia berkomentar, "Keanya si Fellice tuh cowok deh. Keanya nama 'Fellice' tuh kurang pas."
"Pas lah! Kalo cowok namanya bener Fellice! Kalo cewek, namanya Fellisah!" Sanggah Karen. Akhirnya mereka berhenti berdebat dan membiarkan Karen memakai nama itu untuk kucingnya.
"Yaudah yuk, kita sarapan dulu." Ajak Pooru. Mereka pun beranjak untuk sarapan bersama.
☆☆☆
"Emak mau ke pasar beli makanan buat kucingnya Karen. Ada yang mau ikut?" Tanya Pooru.
Semuanya terdiam. Melihat tak ada yang bersuara, Pooru baru saja akan berbicara, namun sudah dipotong oleh Anzu.
"Anzu ikut deh mak." Kata Anzu.
Kemudian Ifa juga menyahut, "Ifa juga deh. Ifa belom pernah ke pasar selama ini. Ifa penasaran."
Pooru pun tersenyum dan mengulurkan tangan pada mereka berdua. "Yaudah, yuk!"
☆☆☆
Kali ini pasar sudah terlihat tak begitu ramai. Wajar, ini sudah terlalu siang untuk berbelanja. Walau sudah agak siang, tetapi langit masih terlihat begitu gelap. Pooru pun hanya bisa berdo'a agar hujan tidak turun pada saat Pooru masih diluar rumah.
Ifa nampak terkagum dengan pasar, walaupun pasar masih sama seperti biasanya. Wajahnya seakan-akan berkata, "Oh! Jadi ini yang namanya pasar.."
Sedangkan Anzu lebih tertarik melihat interaksi satu orang dengan orang lainnya. Contohnya, interaksi antar tukang tempe dan tukang tahu yang ada disana. Tukang tempe dengan jahilnya menoel pinggang tukang tahu. Tukang tahu menjerit kaget, dengan segera tukang tahu membalas toelan dari tukang tempe. Anzu nampak tersenyum karena itu.
Setelah membeli makanan kucing, hal yang tak diinginkan terjadi. Ya, rintik air turun dari langit. Pooru pun langsung menarik Ifa dan Anzu ke arah minimarket untuk membeli payung.
Seusai membeli payung, mereka pun kembali berjalan menuju rumah. Namun di tengah perjalanan, Anzu melihat sesuatu dari kejauhan.
"Mak.. mak!" Panggil Anzu.
"Apa nak?"
"Liat tuh mak, ada bocah ujan-ujanan." Kata Anzu sambil menunjuk ujung gang. Pooru pun menoleh ke arah yang Anzu maksud. Pooru ikut memperhatikannya. Kemudian ia bergumam, "Kayaknya dia gak majn ujan-ujanan. Tapi dia emang sengaja ngebasahin badannya."
Di ujung gang yang mereka lihat, mereka melihat seorang anak perempuan bersurai putih yang diam berdiri sambil memeluk bonekanya di tengah derasnya hujan. Ia nampak tak peduli, bahkan terkesan sengaja membuat dirinya basah.
"Bi, samperin aja kali ya? Kasian." Usul Ifa. Pooru pun mengangguk. Akhirnya mereka bertiga menghampiri anak itu.
Saat mereka mendekati anak itu, barulah mereka sadar bahwa anak itu benar-benar tak memiliki ekspresi. Pooru dengan cepat memberikan payung lainnya yang ia beli pada anak itu.
"....apa ini?" Tanya anak itu.
"Payung. Ayo pake aja! Nanti kamu flu!"
"...flu?" Lagi-lagi dibalas oleh pertanyaan.
"Ah, pokoknya kamu rumahnya dimana? Pulang sana!"
"Rumah? Maksudnya tempat yang tanahnya bergunduk-gunduk dan banyak batu yang dituliskan sesuatu?"
Pooru terdiam. Tempat apa yang anak ini maksud? Pooru bergidik ngeri, namun ia memberanikan diri bertanya, "Rumah itu tempat kemana kamu pulang. Ayo, ada dimana? Biar saya anter. Kalian gak papa kan kalo emak mau anter dia pulang dulu?"
"Gak papa mak. Anterin aja. Kasian." Kata Anzu.
"...kalian mau nganterin?"
"Iya, tunjukin aja arahnya. Biar bisa sambil saya payungin."
Anak tanpa ekspresi itu terdiam, kemudian ia mulai berjalan. Langkah ringannya membuat riak di genangan-genangan air yang ada. Wajah pucat tanpa ekspresi itu pun terpantul diatasnya. Ia berjalan dengan dipayungi oleh Pooru.
"Padahal.. aku sudah terbiasa dengan rasa dingin ini. Aku suka rasa dingin ini."
Bersambung...
See you next chap!!
-Asahina Mizu-
Ahad, 5 Januari 2020
1205 words
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro