Epilog
Aku terdampar di sini sudah 15 tahun lamanya. Di sini, di negeri orang, tempat suamiku berasal. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Bahagia yang tak pernah kudapatkan. Hidup bersama orang-orang yang kucintai dan mereka mencintaiku. Berawal dari sebuah hubungan yang ditentang keras tapi Jason menggenggam tanganku meyakinkan bahwa aku pantas untuk bahagia.
Tentang Kak Marcel. Laki-laki itu sudah lama kembali. Dalam waktu satu tahun ia sudah kembali. Esen tidak benar-benar pada ancamannya. Nyatanya ia menyayangi pamannya. Ia berubah bersikap hangat pada pamannya begitu kembali ke Aussie. Oh! Bahkan laki-laki itu memutuskan untuk menikahi Dila, sahabatku dua tahun kemudian. Janda ketemu Duda. Tak apa. Setidaknya Raline punya ayah baru. Gadis itu sangat senang. Marcel juga senang, setidaknya ia tak perlu meratapi nasib merindukan Saybia, putrinya yang tak pernah ada kabar. Raline dan Dila mengisi kekosongan hidupnya.
Esen masih bersikap dingin di luar. Aku berkali-kali mengingatkan tapi ia selalu bisa mengalahkanku. Ia adalah kelemahanku. Tapi meski begitu ia sangat menyayangi aku, ayahnya dan adik-adiknya. Usianya sekarang 18 tahun, ia tampan seperti ayahnya. Tahun ini ia memasuki semester awal kuliahnya.
Berbeda dengan Levine yang kini berusia 14 tahun. Dia remaja yang hangat, supel. Masih suka terjatuh sembarangan. Tapi ia tak pernah mempermasalahkan itu. Tahun ini ia memasuki kelas terakhir junior high school. Sementara Kyle sifatnya hampir sama dengan Levine. Ia berusia 12 tahun, mau memasuki junior high school.
Aku pernah menyinggung tentang ibu kandungnya pada Esen beberapa hari lalu. Seperti biasa ia hanya mendengus. Tapi kali ini aku bersikeras.
"Kak, Tante Hanum itu mama kandung Kak Esen. Kau harus tau itu." ujarku mengusap kepala Esen yang berbaring di pangkuanku sore itu.
"Esen bosan mendengarnya." ucapnya kesal.
"Mommy juga bosan mengatakannya."
"Kalau gitu jangan katakan lagi."
"Hey,,"
"Aku tau, Mom. Dan tak bisakah kau membiarkanku menganggapmu ibu satu-satunya?" Esen memutar bola matanya sebal.
Pria kecilku yang sudah beranjak dewasa ini masih bersikap manja padaku. Ia tak pernah berubah. Masih possesif, masih suka gelayutan, masih suka minta dipeluk. Oh! God! Tapi ia sudah bisa menerima keluarga ayahnya. Termasuk neneknya meski ia hanya menanggapi sekedarnya.
"Tapi, sayang.."
"I just wanna you, mom. Youre the one, just one mommy."
"Esen, Mommy tak ingin dicap sebagai pemisah antara ibu dan anak."
"Nyatanya dulu ia membuangku. Mom, aku masih ingat jelas semuanya. Tapi aku belajar untuk tidak membencinya. Aku tidak membencinya, Mom. Tapi juga tidak mencintainya. I just wanna you. Love you, my beautifull mommy."
"Kapan kau siap untuk kembali ke indonesia?"
"Errrrr, Mommy.. Esen nyaman di sini. Tapi lihat nanti. Kalau Mommy ingin pulang, aku akan menemani mommy. Tapi tidak untuk stay di sana. Kita punya rumah di sini, Mom."
"Kalau kau bertemu mama Hanum, kau mau apa?"
"Akan kupastikan aku bangun dari mimpi burukku."
"Esen!!"
"I'm seriouse, Mom."
"Tidak boleh begitu."
"Mommy!!! Sampai kapan sih mommy bisa menerima Esen bahwa Esen tak pernah mau mendengar, bertemu bahkan membicarakannya. Esen hanya cukup tau. Tak ada yang bisa merubah keadaan meski kata maaf sekalipun. Please, Mom!! Stop it!! Atau jangan-jangan mommy sudah tidak mencintai Esen lagi!" ia menjengit, bangkit dari rebahannya di pangkuanku menatapku marah.
Aku membuatnya marah. Ia tak pernah semarah ini sebelumnya. O,iya pernah. Saat beberapa wanita tak berhenti mengejar cintanya.
"Esen.."
"Esen kecewa sama Mommy!!"
"Esen marah sama Mommy?! Mommy minta maaf ya?"
Esen mendengus beranjak meninggalkanku. Aku terdiam. Aku sudah keterlaluan kali ini.
"Maaf, Esen sudah marah sama Mommy. Tapi janji, mommy tidak akan memaksaku lagi." Sebuah lengan kokoh memelukku dari belakang, menyandarkan dagunya di bahuku.
"Ya, mommy janji. Mommy hanya terlalu mencintaimu, sayang."
"I know, Mom." Esen menyeringai lebar lalu melompati sandaran sofa dan kembali merebahkan kepalanya di pangkuanku.
******Anna Jason******
Aku melangkah tergesa memasuki rumah mencari keberadaan istri dan anak-anakku. Aku pulang dari kantor lebih awal dari biasanya.
"Ann,,"
"Here, Hun." seru suara wanitaku. Aku segera menuju ke ruang tengah. Anakku sudah dewasa sekarang.
"Hay, Dad." Ia beranjak bangun menghampiriku, mengecup pipiku seperti biasa. Bahkan ia sudah lebih tinggi beberapa centi dariku. Badannya sempurna karena ia memang rajin berolah raga di rumah. Aku sengaja membelikan beberapa peralatan fitnes. Karena ia memang memintanya. Ia tak mau masuk ke gym langsung.
"Where is Levine? Kyle?"
"Sebentar lagi pulang. Mereka ada ekskul."
"Hay, babe." sapaku mengecup puncak kepalanya.
"Ada sesuatu?"
"Ya. Kita harus pulang ke indonesia malam ini. Papa sakit. Aline menelponku barusan."
"Kakek sakit? Bawa saja ke sini, Dad."
"Hey, kau memonopoli kakekmu. Di indonesia keluarga Daddy lebih banyak, Kak."
Esen mendengus, "aku tak menyukainya. Tapi demi kakek, baiklah kita pulang."
Aku terkekeh merengkuh bahunya
"Well, aku harus mandi. Kalian bersiap-siaplah." Aku bergegas menuju ke kamar.
****JASON RUSSEL****
"Apa kakek akan baik-baik saja?" tanya Esen dengan sedikit cemas.
"Kakekmu orang yang kuat. Tenanglah."
Esen tersenyum tipis, "dont leave me, Mom."
Anna mengusap bahu Esen.
"Bersiaplah. Kemasi beberapa pakaianmu dan adik-adikmu."
"Yes, Mom."
Anna membiarkan Esen bergegas ke kamarnya. Sementara ia melangkah ke kamarnya, mengemasi beberapa potong pakaiannya dan Jason dalam satu koper.
"Papa sakit apa?" tanya Anna begitu Jason keluar dari kamar mandi shirt-less.
"Entahlah. Mungkin kecapaian. Kau tau sendiri penyakit orang tua. Tapi papa masih bersikeras ingin mengurus perusahaan sebelum aku mau kembali ke Indonesia."
"Kau juga masih bersikeras stay di sini."
"Aku memikirkan anak kita, Ann. Di sini tempat yang cocok untuknya."
"Kau bisa meninggalkan kami di sini."
"Dan kau membiarkan aku menggelandang hidup sendirian di Indonesia?" Jason berdecak sebal.
"Lagipula ada Hanum. Bukankah ia masih melajang hingga saat ini? Keyla kemarin menelponku."
"Lebih baik aku menenggak racun tikus daripada harus hidup bersamanya."
Anna terkikik. Tangannya menarik kepala resleting koper itu.
"Mom! Kata Kak Esen kita akan ke indonesia malam ini. Apa itu benar?" Levine menyembulkan kepalanya.
"Ya. Kak Esen sudah menyiapkan bajumu dan Kyle. Mana Kyle?"
"Kyle!!"
"Ya, Kak."
"Mommy mencarimu."
Kyle lebih tinggi sedikit dari Levine. Ia menyembulkan kepalanya di atas kepala Levine.
"Yes, mom."
"Hanya ingin memastikan kau sudah pulang."
"Aku pikir Mommy merindukanku."
"Tentu saja, sayang."
"Mom, apa kita akan bertemu Uncle Marcel?"
Jason dan Anna mengernyit saat Levine menanyakan itu.
"Memangnya kenapa?"
"Aku akan mengabari Raline kalau kak Esen akan pulang. Pasti ia senang sekali. Raline kan suka sama Kak Esen."
"Levine!!! Stop your fucking mouth!!!" seru Esen kesal.
Levine dan Kyle terkikik kemudian ber-toast ria telah berhasil membuat kakaknya kesal.
"Kak, Raline cantik loh. Beberapa waktu lalu aku dan Levine skype-an sama Kak Raline." goda Kyle.
Esen menggeram kemudian meninggalkan kedua adiknya yang hobi sekali menggodanya.
"Levine, Kyle!! Jangan membuat Kak Esen kesal, Please." Anna memperingatkan kedua anaknya.
"Kak Esen saja yang sensi." cibir Kyle.
Anna terdiam menghampiri dua anaknya.
"Harus berapa kali Mommy bilang, Kak Esen berbeda dari kalian. Seharusnya kalian lebih mengerti Kak Esen."
"Maafkan kami, Mom. Ini yang terakhir."
"Promise?"
"Yes, Mommy."
"Well, Mommy ingin melihat kakakmu dulu."
"Anak manja mommy." bisik Kyle.
"Kyle, mommy masih mendengar jelas."
Kyle menutup mulutnya saat Levine menoyor kepalanya.
"Maaf, Mom. Kami hanya ingin mendekatkan Raline dengan Kak esen saja."
"Sekolah yang benar dulu." Ayahnya mendekat, menjitak kepala dua prianya.
"Daddy!!!" seru keduanya meringis kesakitan.
Anna tertawa mengejek kedua anaknya lalu melangkah menuju ke kamar Esen. Perlahan Anna mengetuk.
"Kakak.."
"Masuk, Mom."
Anna melangkah masuk. Anak itu tengah memasukkan kameranya dalam kopernya. Ia memang menyukai dunia fotografi sejak masuk SMA. Ia mendekat, mengusap kepala anaknya.
"Kau marah dengan adikmu?"
Esen menggelengkan kepalanya, "tidak. Hanya kesal. Esen tidak suka dengan Raline."
"Kau sudah memiliki.."
"Pacar?! Come on, Mom. Itu nanti kalau sudah waktunya. Lagipula belum ada yang cocok. Aku ingin yang seperti Mommy."
Anna menelan ludahnya susah payah. Mother complex!!
"Apa kau akan menjadi fotografer, hm?" Anna mengalihkan pembicaraan.
"Mungkin. Lagipula aku tau, aku bukan siapa-siapa. Jadi apa salahnya kalau aku mencari keberuntunganku dari sekarang?"
"Apa maksudmu?"
Esen tersenyum tipis, "aku tau status aku, Mom. Biar Levine dan Kyle yang membantu Daddy mengurus perusahaannya."
Aku bahkan sudah tau sejak masuk SMA. Aku mencari informasi tentang status anak diluar nikah. Termasuk tentang hak waris di internet, batin Esen.
Anna terperangah. Ia mendekap Esen, mengusap kepalanya lembut.
"Someday, I'll give you something. Saat kau telah lulus kuliah. Itu hadiah kelulusanmu. Jadi, janji sama Mommy kalau Esen akan lulus dengan nilai terbaik."
"Are you sure, Mom?"
"Yes."
"I promise. Thanks so much, Mom."
"Jangan kesal lagi dengan adikmu."
"Tidak. Mommy kan tau aku tak pernah bisa kesal lama-lama dengan dua pria menyebalkan itu."
Anna terkekeh, mengacak rambut cepak Esen.
"Ada tamu? Kau mengundang temanmu, Kak?" tanya Anna saat mendengar bell pintu beberapa kali bahkan terkesan tak sabar.
"Tidak. Mungkin Levine atau Kyle."
"Hm, coba Mommy lihat."
Anna bergegas menuruni anak tangga. Biasanya Emma membukakan pintu. Emma adalah assisten rumah tangga waktu di indonesia. Anna memutuskan untuk membawa Emma, anak bibi Mar ke Aussie untuk menemaninya.
Langkahnya terhenti saat melihat sosok yang tengah duduk manis di sofa ruang tamu. Anna mengerjabkan matanya berkali-kali memastikan bahwa sosok itu nyata.
"Apa yang kau lakukan, Ann? Aku ini Papa mertuamu." pria tua itu terkekeh.
"Papa?!!" Pria tua itu berdiri menghampirinya, memgecup puncak kepala Anna. Ini nyata?!!
"Jason!!!!" teriak Anna keras.
Jason terlihat sedikit berlari menuruni anak tangga panik setengah mati mendengar teriakan Anna yang tak biasa.
"Kenapa, Ann?"
"Kau lihat Papa?" tanya Anna tak percaya.
Jason terdiam, terpaku menatap pria tua yang meringis lebar.
"Papa? Bagaimana bisa? Aline tadi siang menelponku kalau papa masuk rumah sakit. Kami bahkan berencana terbang malam ini."
"Kakek?!!! Are you kidding us?!!" teriak tiga pria remaja sambil menuruni anak tangga.
Pria tua itu hanya tertawa, merentangkan tangannya lebar-lebar menyambut tiga cucu laki-lakinya yang berebut memeluknya.
"Aku memang masuk rumah sakit. Tapi untuk mengurus jadwal check up rutin saja setiap bulan."
"Aline?"
"Aline mendengarnya setengah-setengah. Lihat aku datang dengan siapa?"
"Uncle Marcel?!!!" pekik Levine.
Marcel muncul dari ambang pintu bersama Dila dan Raline.
"Hai, kami mengantar kakek kemari." ucap Dila dibarengi dengan anggukan dari Marcel.
"Oh, ayo masuk. Kalian beristirahatlah. Pasti sangat lelah. Dan, Pap, kami senang jika kau baik-baik saja." ujar Jason.
Anna melihat perubahan Esen yang kembali dingin saat melihat Raline mencoba bersikap hangat padanya.
"Hai, Esen." sapa Raline ramah.
Esen hanya tersenyum sekilas lalu kembali menaiki anak tangga.
"Daripada menyapa Kak Esen tak dijawab mending Raline menyapa kita." cibir Levine.
"Iya, Kak Raline." timpal Kyle.
Gadis itu hanya tersenyum tipis tanpa mengalihkan tatapannya dari punggung Esen.
"Mom, I waiting on you. In my room!!" Seru Esen sebelum menutup pintu kamarnya.
"Esen tak berubah." ucap Dila.
"Mother complex." sahut Marcel.
Anna terkekeh, "He's my weakness. And me too for him."
"Esen hanya takut kehilanganmu, sayang." ujar Jason merengkuh bahu Anna.
"Aku akan menemui Esen sebentar, Kak Marcel dan Dila istirahatlah. Papa?"
"Papa ingin melepas rindu dulu dengan Levine dan Kyle. Kurasa Esen sedang membutuhkanmu, Ann."
"Lalu aku dengan siapa?" Jason menunjuk dirinya.
"Kau sudah lama tak bergelut dengan Esen." cibir Anna menaiki tangga.
"Hey, wait me." Jason berlari menaiki anak tangga mengejar Anna.
"Apa Esen selalu menjadi yang utama bagi Mommy daddy mu?" Tanya Raline setengah berbisik pada Levine sepeninggal Anna dan Jason.
"Tidak. Mommy dan Daddy selalu bersikap adil pada kami. Hanya saja Kak Esen memang orangnya agak tertutup. Ia hanya membaginya pada Mommy dan Daddy. Terkadang juga pada kami. Tapi sekiranya itu berat Ia lebih memilih membaginya pada Mommy."
"Ehm! Kalian ini masih sekolah tapi sudah pandai bergosip." potong Kakeknya.
"Hanya bertanya tentang Kak Esen, Kek. Raline kan suka sama Kak Esen."
Kakeknya hanya menghela nafasnya, meninggalkan tiga remaja itu.
Anna memutar kenop pintu kamar Esen. Ia mendapati anaknya tengah berbaring di ranjang dengan kaki menggantung.
"Ada apa?" tanya Anna lembut.
"Tidak. Esen hanya tak nyaman dengan gadis itu."
"O-ow anak Daddy ada apa? Esen belum menyalami Uncle Marcel dan Aunty Dila." Ayahnya berjalan menghampirinya.
"Tidak apa-apa, Dad. Nanti saja. Lagipula uncle dan aunty butuh istirahat kan sekarang?"
"Esen, kami merindukan Esen yang dulu. Esen kecil yang hangat dan riang."
"Esen tak pernah berubah, Mom. Hanya saja mereka yang membuat Esen menjaga jarak. Esen tidak begitu nyaman dengan orang-orang yang pernah.."
"Stop!! Jangan diteruskan, Mommy mengerti. Maafkan mommy."
Esen bangkit dari rebahannya, merengkuh bahu Anna, mengecup pipi itu.
"Youre always be the one for me, Mom."
Anna tersenyum lembut, membalas kecupan Esen dengan mengecup lembut ujung hidungnya.
"Youre always be the one for me, my Lady."
Anna menjerit kecil saat Esen dan Jason memeluknya dari dua sisi dengan erat. Ini lebih dari indah. Tuhan mengirimkan bahagia yang tak ternilai setelah ia bertahan bersama Esen menghadapi kenyataan-kenyataan pahit. Kita pasti akan bahagia lewat jalan yang berbeda. Kita pasti akan menemui kebahagiaan meski dengan hal yang sederhana sekalipun.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Okee fix.. cukup sekian..
Maaf jika tidak sesuai harapan..
Aku akan hadir lagi dengan CHOCOLOVA tapi ga tau kapan jadi jangan ditunggu-tunggu..
Hehe... Peluk cium dari Esen.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro