Langkah Qyara gontai, terus mengikuti Chagra dari belakang. Dia tidak tahu akan dibawa ke mana oleh sang guru matematika. Qyara mengaduh saat keningnya menubruk punggung keras Chagra.
Qyara mendongak, Chagra berbalik bersedekap di depan Qyara yang masih mengusap dahinya.
"Kalau jalan yang fokus, Qyara. Beruntung yang kamu tabrak punggung saya. Kalau tiang bendera gimana." Chagra berdecak pada Qyara.
"Ya, kali, Pak. Tiang bendera tiba-tiba nancep di koridor. Nggak mungkin banget, 'kan?"
Chagra hanya menggeleng pelan, ada saja sanggahan yang Qyara buat untuk mematahkan ucapannya. Chagra masuk ke ruang guru, meraih buku paket dan beberapa kertas buram yang berada di mejanya. Sementara Qyara menunggu di depan pintu. Untuk saat ini, Qyara cukup takut masuk ke kantor guru setelah kejadian satu minggu lalu.
Qyara cukup lama menunggu, gerak tubuhnya gelisah. Suara ketukan ujung sepatu Qyara terdengar. Sesekali tatapannya ke ruang dalam, memastikan apakah Chagra sudah akan keluar atau belum. Senyum terkembang, melihat Chagra sudah berjalan ke arahnya dengan gagah, beberapa buku paket dijinjingnya.
"Ayo, ke perpustakaan. Belajar di sana untuk olimpiade kamu. Waktu kamu tinggal sedikit." Chagra melewati Qyara.
"Pak, tadi di kelas aku ada tugas," cicit Qyara menyamakan langkah.
Chagra berhenti, membuat Qyara terkesiap. "Saya sudah meminta izin ke Bu Dewi. Tugas kamu bisa nyusul."
"Oke, siap, Pak. Let's go."
Qyara semangat, berjalan mendahului Chagra. Chagra mengeryit saat langkah Qyara berbelok ke kanan yang seharusnya perpustakaan ada di lorong sebelah kiri.
"Qyara, mau ngapain ke kantin?" tegur Chagra.
Qyara berbalik, cengiran di wajahnya terbit begitu saja. Langkahnya dipercepat menyamakan dengan langkah Chagra yang sudah meninggalkannya menuju lorong sebelah kiri.
Guru dan murid itu masuk ke ruang tengah perpustakaan. Qyara duduk di hadapan Chagra dengan hanya meja bundar sebagai pembatas. Chagra menyimpan buku cetak yang dia bawa di atas meja, matanya bergulir ke arah Qyara.
"Kamu bawa alat tulis?" tanya Chagra.
Qyara bertopang dagu, menyahuti pertanyaan Chagra dengan santai. "Nggak lah, Pak. Aku kan nggak tahu mau Bapak ajak ke sini."
Chagra berdecak. "Tunggu di sini, kamu buka halaman terakhir belajar kemarin." Chagra mengangsurkan buku cetak ke hadapan Qyara.
Qyara mengangguk patuh, matanya tak lepas menatap punggung Chagra yang kian menjauh menuju tata usaha yang terletak di sebelah kanan ruangan.
Qyara meraih buku yang Chagra sodorkan, membuka halaman sesuai perintah Chagra. "Kemarin sampe mana, sih? Bukannya kemarin belum selesai, ya. Kan gue diintrogasi kemarin bukannya belajar," gumam Qyara seraya mengingat kejadian belajar dadakan kemarin.
Qyara menyandarkan bahunya di kursi, tatapannya menyapu ruangan yang cukup sepi karena ini adalah jam pelajaran. Telapak tangannya membekap mulutnya, menahan kekehan yang membuatnya tergelitik.
"Gue berasa kayak di drama yang sering ditonton Egi, kencan di perpustakaan." Qyara meraih buku cetak di hadapannya untuk dipeluk. "Kalau di FTV ini judulnya, 'guru matematika gebetanku'," lanjutnya memberi sendiri judul kisahnya.
Qyara terus memeluk buku cetak, kepalanya sudah dipenuhi dengan khayalan yang dia ciptakan sendiri. Sampai suara berat Chagra menyeret kesadarannya untuk kembali pada realita yang ada.
"Kamu sakit? Senyum-senyum sendiri. Bukunya kenapa belum dibuka, malah dipeluk."
Qyara mengerjapkan matanya berulang, rasanya tidak percaya. Kepala Qyara mengurutkan kejadian yang mungkin terlewatkan. Sekian tahun Chagra tidak bertemu dengannya, tiba-tiba muncul lagi dengan status guru dan murid. Dari awal pertemuan kembali sampai kejadian diskor-nya Qyara. Chagra selalu berkata dengan singkat, padat, jelas.
Qyara menyadari ada yang berubah, sejak hari Minggu kemarin di rumahnya, sampai sekarang di perpustakaan ini. Ucapan yang Chagra keluarkan sudah cukup panjang.
"Bapak dari kemarin ngomongnya nggak irit lagi. Bapak sakit?" tanya Qyara membalikkan pertanyaan Chagra yang mengatakan Qyara sakit karena tersenyum sendiri memeluk buku.
Chagra hanya berdeham, menarik kursi di hadapannya, menjatuhkan tubuhnya di sana. Chagra mengangsurkan satu pensil beserta penghapus.
"Ini alat tulis kamu," ucap Chagra, Qyara meraih pensil yang Chagra sodorkan, mulai membuka buku paketnya.
Mata Qyara bergulir ke sesuatu yang baru saja Chagra angsurkan. Qyara menatap jus jambu kemasan kotak siap minum di hadapannya, bahkan pipetnya saja sudah Chagra buka dan tertancap pada lubang kecil di atas permukaan kemasan. Qyara sudah tidak perlu repot-repot lagi, dia hanya tinggal menyeruputnya saja.
"Nggak ada minuman bobba, Qyara. Jangan terlalu sering minum seperti itu. Kasihan pankreas kamu harus produksi insulin lebih banyak kalau kamu minum minuman itu terus."
Bener, nih. Kayaknya Kak Agra sakit. Atau udah sembuh dari amandel? Tumbenan ngomongnya panjang.
Chagra mendongak, netranya beradu dengan milik Qyara. "Kenapa? Masih mau minum bobba?"
Qyara menggeleng pelan, tangannya sudah bersiap meraih minuman itu. Namun, terhenti saat Chagra mengeluarkan suaranya kembali.
"Penyakit diabetes salah satu pembunuh terbesar di Indonesia, kamu minum bobba terus, emang mau kena diabetes?"
"Astaga, Pak!" Qyara berteriak mendengar ucapan peringatan dari Chagra.
"Siapa di sana?" Suara lain dari balik Rak buku tinggi, menginterupsi Qyara dan Chagra. Mereka kompak menoleh ke sumber suara.
Suara langkah kaki terdengar mendekati mereka, seorang wanita dengan setelan blazer biru langit, rok hitam selutut, dengan memeluk tumpukan buku di tangannya.
"Oh, Qyara dan Pak Chagra. Saya kira siapa. Lagi latihan untuk olimpiade, ya?" tanya Bu Diana staf perpustakaan.
Qyara mengangguk, cengiran canggung tercipta di wajahnya. "Iya, Bu. Maaf Bu tadi berisik."
"Pak Chagra jika ada buku matematika yang dibutuhkan, saya ada di sebelah sana," tutur Bu Diana menunjuk meja kerjanya.
"Baik, Bu." Chagra mengangguk membalasnya dengan ramah.
Bu Diana berlalu, Chagra membuka buku paket yang belum selesai Qyara buka, mencari halaman yang akan dia bahas bersama Qyara.
"Kemarin belum selesai mengerjakan soal ini, 'kan? Sekarang selesaikan sampai nomor terakhir. Kamu kerjakan dahulu, kalau ada yang bingung baru ditanyakan."
"Oke, siap, Pak."
Qyara mulai mencoretkan mata pensil di atas kertas buram, mata dan pikirannya hanya fokus pada soal-soal di hadapannya. Sejenak tidak ada obrolan antara mereka, Chagra sibuk dengan buku modul yang lain.
Qyara tampak mengetuk-ngetuk meja dengan pensil, bibir dalamnya digigit. Dahinya menimbulkan guratan.
"Kok, nggak ketemu sih? Perasaan benar deh rumusnya," gumamnya sendiri.
Chagra menegakkan kepalanya, mengalihkan atensi ke Qyara. Masih memperhatikan wajah bingung Qyara yang menurutnya cukup lucu. Samar senyumnya tertarik ke atas.
"Pak," panggil Qyara.
"Y-ya? Ada yang susah?" Chagra tergagap akibat panggilan Qyara secara tiba-tiba.
"Pak, aku bingung ini. Kok nggak tahu jawabannya, ya?"
Qyara mengangsurkan buku cetaknya, menunjuk soal yang dia kerjakan pada kertas buram. Chagra meneliti hasil kerja Qyara, tidak ada yang salah dengan cara pengerjaannya, tetapi kenapa Qyara seperti bingung dan berhenti tidak melanjutkan.
"Ini sudah benar jalannya, kenapa nggak dilanjutkan? Rumusnya juga sudah benar." Chagra mengangsurkan kembali buku beserta kertas buram milik Qyara.
"Tapi aku nggak tahu jawabannya, Pak," sanggah Qyara. "Coba deh bapak teliti lagi, beneran aku nggak tahu jawabannya. Kira-kira sama apa nggak, ya?"
"Dilanjutkan sampai selesai dulu, Qyara. Baru kamu tahu jawabannya apakah sudah benar apa belum."
Qyara menarik kembali keras buramnya. "Nih, ya, Pak. Ini kan aku pakai rumus cosinus nih, yaitu akar dari satu min sin kuadrat. Cosinus dibagi sinus jadinya cotangen, kan, Pak?"
Chagra mengangguk. "Lalu masalah di mana? Kamu belum selesai ini, makanya masih bingung sama hasilnya."
"Kalau aku kerjain bakal tahu jawabannya, Pak?" Qyara tersenyum, "baik, Pak. Akan saya laksanakan kerjakan. Semoga hasilnya sama apa yang saya rasa."
"Iya, kalau tidak kamu kerjakan mana tahu hasilnya." Chagra membenarkan ucapan Qyara.
Chagra benar, segala sesuatu harus dicoba terlebih dahulu jika mau mengetahui hasilnya. Kerja keras tidak akan mengkhianati hasil, bukan?
"Aku mau tanya yang ini deh, Pak." Qyara mencoretkan kembali mata pensil di kertas buram. "Kalau kotangen di pangkat min satu, jadinya apa, Pak?"
"Jadinya tangen, Qyara. Kamu sudah mempelajari ini, masa nggak tahu."
"Iya, Pak. Cuma aku sedikit lupa. Tadi Jadinya apa, Pak?"
"Tangen, Qyara."
"Sama, Pak. Aku juga tangen sama Pak Agra." Qyara terkekeh renyah. "Alhamdulillah, ternyata Bapak sama dengan yang aku rasa."
Tanpa Chagra sadari, garis senyumnya tertarik tinggi. Dia tersenyum saat mengerti dengan ulah nakal muridnya yang satu ini.
"Itu kangen, Qyara. Bukan tangen. Kamu ini ada-ada saja."
Jantung Qyara berdegup lebih cepet. Bukan hanya melihat senyum indah Chagra. Namun, karena ulah tangannya. Tangan Chagra mengusak poni Qyara, menyingkirkan rambut yang menutupi dahinya.
"Kamu ini ada-ada saja," ujarnya masih dengan senyum menawan.
Pipi Qyara turut bekerja menyajikan sensasi hangat dan berubah warna menjadi kemerahan. Sepertinya Tuhan terlalu baik padanya hari ini.
—Bersambung—
Tanjung Enim, 21 Maret 2021
Halo, apa kabar? Maaf terlalu lama menunggu cerita ini. Benar-benar lagi sibuk sama Wenda Chandra dan real life.
Yang masih menunggu, Terima kasih banyak. Sayang kalian. ♥️
Salam Sayang ❤️
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro