Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9

Selamat datang di chapter 9

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tolong tandai jika ada typo

Well, happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

______________________________________

Dear WEEKEND,

I promise to love you with all my heart until Mama and Satria separate Us

°°Cecilia Bulan°°
___________________________________________________________________________

Jakarta, 2 Oktober
06.50 a.m.

Weekend, siapa yang tidak suka dengan hari ini? Sebagian besar umat manusia di muka bumi menyukainya. Terlebih pada mereka yang mempunyai libur di hari tersebut, bisa digunakan untuk mengistirahatkan badan, refreshing dengan jalan-jalan atau bermalas-malasan. Tidak terkecuali kaum rebahan seperti Bulan. Baginya, matahari terbit jam sepuluh pagi saat weekend. Ia akan dengan senang hati memanjakan tubuh di atas kasur berbalut bad cover, berlama-lama dalam tidur untuk menikmati hari termalas di dunia.

Tapi teori itu jelas tidak berlaku pada pada Erlin. Buktinya saat waktu menunjukkan hampir jam tujuh pagi―karena tidak ada tanda-tanda pergerakan anak sulungnya dalam rumah―ibu negara satu ini mengambil dan memegang kemoceng bulu ayam dengan alis ber-kerut sempurna, lengan daster diangkat hingga pangkal, dan tatapan mata tajam tertuju pada arah pintu kamar Bulan seperti elang yang mengintai mangsanya dengan bibir tersenyum iblis. Wanita paruh baya itu melangkah dengan percaya diri membuka pintu kamar cokelat kayu berserat yang mengkilat karena diplitur dan matanya terpicing ketika mendapati anak sulungnya masih tidur pulas dengan mulut terbuka. Persis seperti dugaannya.

Sedangkan Bulan yang masih terlelap dalam tidur pun merasa terganggu dengan hidung yang gatal. Gadis itu mengibas-ngibaskan tangan kiri di atas hidung dengan mata masih terpejam. Tidurnya baru akan nyenyak kembali ketika hidungnya gatal lagi. Bulan mengulangi kibasannya. Tapi rasa gatal itu semakin menjadi dan membuatnya kesal yang akhirnya terpaksa membuka mata.

"Aaaarrrggghhhh Maaamaaa," teriak Bulan ketika mendapati mamanya memegang sehelai bulu yang digunakan untuk menggelitiki hidungnya tadi. Ia terhenyak bangun, melotot melihat mamanya yang sekarang sudah berkacak pinggang dengan satu tangan yang tadinya memegang sehelai bulu sudah berganti memegang kemoceng serta mengacungkan alat kebersihan tersebut.

"Anak perawan jam segini belom bangun!" teriak Erlin membahana sambil berjalan siap mengayunkan kemoceng pada anak sulungnya yang sudah lari terbirit-birit ke kamar mandi.

"Ampuunnn maaaaaa."

Begitulah rutinitas weekend bagi seorang ibu negara seperti Erlin ini. Sungguh memusingkan.

Take a deep breath, take a deep breath. Erlin menghembuskan napas berat berkali-kali agar emosinya turun. Kemoceng yang masih dipegangnya ia letakkan kembali pada gantungan bersama sapu, pel, dan alat kebersihan lain.

Ya ampun punya dua anak perawan sifatnya beda banget, yang satu tomboy, pagi-pagi udah ke lapangan maen basket, yang satu ngebonya nggak kira-kira, nyidam apa aku dulu waktu hamil mereka, batin Erlin sembari memijat kepala.

Beberapa menit kemudian Bulan yang sudah rapi menyusuri meja makan dan mengambil duduk di salah satu kursi berniat sarapan saat didekati sang mama. "Kak, tolong anterin bunga matahari pesenan pelanggan ya," pinta ibu negara satu ini sambil membawa bucket bunga matahari yang sudah terangkai bagus dari toko dan meletakkannya di sebelah piring Bulan.

"Siap ibu negara!" kata Bulan setelah menelan makanan dan meletakkan sendok un-tuk memberi hormat menggunakan tangan kanannya.

Jakarta, 2 Oktober

11.03 a.m.

Hari sudah siang, matahari mulai terik saat Bulan memarkir motor dan melepas helm di depan D'Lule. Hatinya senang karena mendapat tips dari pelanggan. Memang sudah menjadi kesepakatan antara mamanya dan Bulan jika mendapat uang tips, akan jadi hak milik si pengantar bunga tersebut. Karena saking senangnya ia bermasud mengajak Bintang makan mie ayam depan kompleks, tapi tentu harus ijin ibu negara dulu.

"Ma, udah beres nih, ada lagi nggak yang mau di anterin?" tanya Bulan, tangannya menggeser pintu, kepalanya menunduk—memperhatikan langkah kakinya untuk memasuki toko. Sebenarnya itu adalah jurus basa-basi sebelum ijin.

"Udah pulang?"

"Astagaaaa!" pekik Bulan sambil memegangi dada karena kaget mendengar suara Satria. Kemudian melihat ke arah pemilik suara yang sedang berdiri di dekat dinding. Bulan sedikit pangkling. Laki-laki itu tampak berbeda, memakai kaos kuning berbalut jaket hoodie yang zipper-nya dibiarkan terbuka, berpadu dengan celana jeans selutut biru terang senada dengan jaketnya dan rambut natural tidak memakai pomade.

Jika dipikir-pikir baru pertama kali ini Bulan melihat penampilan kasual Satria. Ia harus mengakui bahwa laki-laki yang masih berdiri dengan tangan-tangan dimasukkan dalam kantung celana pendek selutut itu, memang jauh lebih tampan dibandingkan mengenakan seragam dan berambut klimis.

Baru saja jantungnya berhasil dijinakkan, eh ketika melihat Satria tersenyum, mendadak organ itu mulai tidak stay cool lagi.

"Ng-ngapain lo di sini?" tanya Bulan gelagapan. "Mama gue mana?"

"Lagi masuk rumah," jawab Satria tanpa mengalihkan pandangan dari gadis di ha-dapannya yang tampak kepanasan. Tangannya sudah mulai gatal dan risih ingin menyeka keringat yang mengalir di dahi Bulan. "Mau ngajak lo pergi," tambahnya, mengurungkan niat itu karena Bulan sudah menyeka keringat terlebih dulu.

"Kencan? Gue nggak mau!" jawab Bulan cepat dan mantab menolak jika seandainya Satria mengajak kencan versinya lagi. Bayangkan kalau itu dilaksanakan pada weekend ini? Bisa kebul-kebul atau parahnya lagi meledug otaknya. Cita-cita rebahan atau bermalas-malasan saja belum tercapai karena harus membantu mamanya, apa lagi diajak kencan versi Satria. Ya kan?

"Secara harafiah itu nggak bisa disebut kencan. Jadi gue nggak ngajak kencan hari ini."

"Oh!" Jawaban Satria membuat Bulan terkejut sekaligus malu sebab sudah salah duga.

"Tapi gue emang mau ngajak lo pergi dan tante Erlin udah ngijinin, mending sekarang lo mandi dan siap-siap! Jangan lupa pake baju hangat! Gue tunggu di sini!" paksa Satria dengan nada santai sambil memutar dan mendorong tubuh Bulan agar masuk rumah untuk segera bersiap.

"Tapi Sat—"

"Buruan, keburu sore dan macet!"

Jakarta, 2 Oktober

13.03 p.m.

"Dasar tukang paksa! Gagal deh gue makan mie ayam sama si Kentang!" Bulan bermonolog tapi tetap melaksanakan paksaan Satria untuk bersiap-siap dengan mulut menggerutu. Baru saja menyebutkan julukan adiknya, Bintang dengan kaos oblong dan ce-lana pendek datang menggoda dirinya yang sedang bercermin.

"Cie mau kencan, wangi amat Buk."

"Secara harafiah ini nggak bisa di sebut kencan." Bulan menirukan kalimat Satria di menyemengekan. "Lagian ngapain sih mama ngijinin gue di gondol Lucifer itu? Padahal gue mau ngajakin lo makan mie ayam."

"Mama lo ngebet punya cucu tuh! Ah gue minta mentahannya aja deh alias duitnya aja! Lo pergi kencan sono!" jawab Bintang mengulurkan tangan sambil terkekeh.

"Ogah! Lo gila apa sinting? Mama gue mama lo juga keles! Gila aja masih SMA di mintain cucu!" gerutu Bulan lalu menyentak tangan adiknya yang masih terulur. "Sana bantu mama! Biar bisa dapet uang tambahan."

Bulan dapat mendengar Bintang bedecak. "Iya iya ...." jawab adik tomboy-nya tanpa mendapat mentahan alias uang dari Bulan. Kemudian melenggang pergi ke dapur mencari makanan terlebih dahulu sebelum membantu ibu negara di toko.

Sedangkan dirinya sendiri segera mengakhiri sesi siap-siap dengan mengambil tas selempang kecil atau manusia super galak itu akan mengomelinya lagi karena lamban. Tidak lupa memasukkan kuncir, dompet dan ponsel, Bulan segera menemui Satria yang tengah mengobrol dengan mamanya di toko.

"Ya ampun itu rambut nggak di sisir apa gimana?" teriak mamanya ketika melihat Bulan masuk toko dengan rambut tidak dikuncir rapi. Hanya disisir terurai seadaanya. Pendapat sang mama jelas menjadikan gadis itu mencibir, lalu mengambil kuncir dalam tas dan mengikat rambutnya menyerupai ekor kuda.

"Tante saya ijin bawa Bulan pergi dulu," ucap Satria seperti menengahi mereka.

"Eh iya nak Satria baja hitam, mau di bawa pergi ke pelaminan juga tante ngijinin kok ehehehe." Nada yang Erlin gunakan jelas berbeda. Lebih di kalem-kalemkan. Dasar emak-emak genit!

"Ish! Mama! Kebiasaan yaaa, tolong dikondisiin dong!" geram Bulan. Mamanya tidak menggubris. Masih terkekeh dan memilih melambaikan tangan sambil mengucapkan hati-hati. Sedangkan Satria menyunggingkan senyum tulus, gembira dalam hati karena mendengar pernyataan itu sambil menggandeng tangan Bulan.

"Sat, kok di gandeng? Kan cuma ke mot—" Kalimatnya terpotong. "Eh tunggu, di mana motor lo?" tanya Bulan dengan polosnya.

Tidak menjawab, Satria malah semakin memperat gandengan dan mempercepat langkah, disusul Bulan yang kuwalahan mengimbangi langkah lebar Satria yang kini berhenti di samping mobil Rubicon hitam tidak jauh dari D'Lule. Setelah menekan kunci, ia membuka pintu samping kemudi dan menyuruh Bulan masuk.

"Pake seatbelt-nya," perintah Satria yang langsung dilaksanakan Bulan.

"Mobil lo Sat?" Gadis itu memberanikan diri untuk bertanya sambil melihat interior dalam mobil tersebut. Wajar, Bulan bukan termasuk orang kaya, hanya termasuk orang biasa. Melihat Satria mendudukannya di mobil mewah seperti ini membuatnya awkward.

"Menurut lo?" Satria malah balik bertanya sembari menyalakan mesin mobil dan menghidupakan AC. Tatapannya berpindah ke Bulan yang berwajah heran.

"Kok gue sih, kan lo yang bawa nih mobil," jawab Bulan heran.

Bukannya menjawab Satria malah memegang rambut ekor kuda gadis itu dan menarik kuncirnya hingga lepas, membiarkan rambut cokelat gelap wavy beach curl Bulan jatuh terurai. Sedangkan sang empunya selalu hanya dapat mematung melihat pergerakan Satria yang tidak terduga. Apa lagi ketika laki-laki itu mengatakan, "Di urai lebih manis." Membuat jantung Bulan lebih jumpalitan dari sekedar digandeng tadi.

Ini kacau, Satria selalu membuatnya seperti ini. Please Sat, jangan tiba-tiba berubah lembut seperti ini. Bulan jadi tidak tahu harus bagaimana menghadapinya. Hanya mampu mengalihkan rasa gugup dengan bertanya, "Kita mau kemana?" dan tidak mempermasalahkan lagi siapa pemilik mobil yang mereka tumpangi sekarang karena saat ini jantungnya jauh lebih penting untuk diselamatkan.

Satria terkekeh. "Ke pelaminan."

"What?!"

"Tapi beberapa taun lagi kalo gue udah kerja mapan, sekarang kita ke Bandung dulu," tambah Satria dengan senyum kemenangan karena berhasil membuat wajah Bulan semerah kepiting rebus—hobi barunya.

______________________________________

Thaks for reading rhis chapter

Makasih juga yang uda vote dan komen

See you next chapter

With Love
Chacha Nobili
👻👻👻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro