Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 5

Selamat datang di chapter 5

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tolong tandai jika ada typo, harap maklum jarinya jempol semua

Well, happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤
______________________________________

I don't want to be your rainbow
That just temporary,
I want to be your life
That means forever

°°Cecilia Bulan°°
___________________________________________________________________________

Jakarta, 14 September
15.03 p.m.

Kencan. Setidaknya itulah yang Satria sebut dengan apa yang mereka lalukan sekarang. Pergi ke toko buku langganan, membeli beberapa buku materi untuk sekolah atau bacaaan ringan seperti buku psychology dan bisnis. Kemudian akan berakhir dengan belajar bersama. Intinya kencan versi Satria semua berkaitan dengan pelajaran. Bukan makan bersama, bukan menonton film di bioskop, atau bukan ke taman bermain seperti pasangan lain. Intinya bukan bersenang-senang tanpa embel-embel sekolah seperti imajinasi kencan versi Bulan.

Jadi jangan salahkan Bulan jika sekarang sedang mendengkus kesal. Kedua tangannya terlipat ke dada. Alisnya mengernyit dengan bibir membentuk sebuah garis cembung. Semua sikap tubuh yang jelas-jelas menunjukkan mood tidak baik karena Satria mengajak kencan versinya. Apa lagi ketika laki-laki itu berjalan selangkah di depannya memasuki sebuah toko buku. Langkah yang panjang dan semakin cepat. Sangat antusias melihat buku-buku di rak, bahkan tidak menyadari jika Bulan jauh tertinggal di belakang.

Setelah melihat dan membaca sampul beberapa buku, Satria baru merasa ada sesuatu yang hilang. Oke, manusia gila buku ini lupa jika sedang kencan dan pasangannya lenyap. Kepalanya celingukan ke kanan, ke kiri, ke atas, maupun ke bawah guna mencari Bulan yang dari tadi tidak menampakkan batang hidungnya. Ia juga menyusuri beberapa rak buku di sekitar sana namun gadis itu masih belum ketemu. Diberi anugrah kejeniusan, Satria baru meng-gunakanya sekarang dengan mengeluarkan ponsel dalam kantung celana dan segera menel-pon gadis yang sedang ia cari.

"Di mana?" tanya laki-laki itu ketika Bulan baru saja mengangkat telpon. Jangan lu-pakan nada datar yang selalu ia anggap sebagai sifat tidak punya rasa dosa dan rasa salah karena telah meninggalkan dirinya.

"Di bumi!" jawabnya berusaha bernada sekesal dan sejutek mungkin agar Satria tahu betapa ia sedang marah dengan laki-laki menyebalkan itu!

Decakan dari Satria di ujung sambungan kembali terdengar lalu mengulang pertanyaan dengan nada yang lebih tinggi. "Di mana?!" Sehingga membuat Bulan menurunkan tingkat kekesalannya sebab sedikit takut. Hanya sedikit.

Ia melepaskan napas secara perlahan. "Di sebelah rak buku terjemahan," jawab Bulan bernada datar. Tanpa ingin repot-repot menunggu jawaban Satria, kontan memutus sambung-an telpon.

Biarin! Rasain! Kencan apanya?! Batin Bulan benar-benar dilanda kekesalan tiada ta-ra. Lantas berpikir, harusnya tadi tidak usah ikut kencan versi manusia galak macam Satria. Di rumah Alvie pasti lebih asyik. Atau pulang saja membantu mamanya merangkai bunga di D'Lule. Bulan September pasti banyak pesanan karena banyak yang membuat acara resepsi pernikahan.

Sebenarnya ia ingin memberi sedikit pelajaran pada Satria dengan tidak memberitahu keberadaannya agar laki-laki itu merasa bersalah. Boro-boro merasa bersalah, yang ada malah Satria seperti menyampaikan pesan tersirat bahwa dirinyalah yang salah dalam hal ini. Jadi Bulan terpaksa memberitahu lokasi tempatnya duduk.

Sekali lagi ia merasa kesal. Tidak hanya pada Satria, namun juga pada dirinya sendiri yang tidak berani menghadapi amukan manusia galak satu ini.

Bulan menunduk, menatap dan mengayunkan kaki-kakinya seraya menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya kembali. Berusaha meredakan rasa dongkol yang masih bersarang di hati.

"Ternyata di sini," kata Satria membuat gadis mendongak untuk menatapnya. Entah kenapa merasa lega ketika menemukan Bulan, walaupun wajah manis itu terlihat kesal. "Kok nggak ngikutin gue?" tanyanya sedikit menaikkan oktaf nada suaranya.

Nah, benar kan? Pesan tersirat jika ini semua ini adalah salah Bulan, ternyata benar. Bukankah yang seharusnya marah di sini adalah dirinya? Kenapa malah manusia galak satu ini yang marah? Gagal sudah ia menghembuskan napas berat berkali-kali untuk meredakan kekesalannya ketika dalam sekejap Satria mampu mengembalikannya.

Merasa tidak akan mendapat jawaban dari Bulan, sekarang gantian Satria yang meng-hembuskan napas lalu meraih tangan gadis itu agar ikut dengannya ke mana-mana. Menjela-jah dari rak buku satu ke rak buku lain, tanpa berniat melepas genggaman mereka sedikit pun. Karena ia takut Bulan akan hilang lagi jika seandainya sedikit saja dirinya lengah. Dan Satria tidak ingin mengambil risiko itu lagi.

Sebenarnya dalam hati Satria ada perasaan senang ketika gadis itu tidak menolak. Apa lagi tangan Bulan terasa sangat pas di genggamannya. Membuat senyumnya kontan terbit, walau dalam kategori irit alias pelit.

Lain halnya dengan Bulan yang merasa tangan Satria besar dan hangat. Tanpa laki-laki itu sadari, detak jantungnya kembali meningkat seperti ketika pemilik tangan itu menyelipkan rambutnya ke telinga di depan rumah Alvie. Entah kenapa rasanya di gandeng Satria seperti ini, terasa benar. Ia bahkan tidak berani menatap Satria sebab jantungnya terasa berkejaran. Sampai-sampai, ia harus mencengkram kuat bagian dada sweater abu-abu yang melapisi seragam sekolah menggunakan tangannya yang bebas. Berusaha menetralkan debaran itu. Takut jika detak jantungnya yang memukul keras akan didengar oleh Satria dan akhirnya akan diomeli.

"Ayo pulang," ajak Satria membuyarkan lamunan Bulan ketika satu kantong buku su-dah berada di tangan kiri laki-laki itu. Sedangkan tangan kanan yang beasar dan hangat masih menggandengnya hingga tiba di pelataran parkiran motor.

Jakarta, 14 Septermber
15.30 p.m.

Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan D'Lule. Toko bunga milik keluarga Bulan dengan struktur bangunan menyerupai café jaman sekarang. Sebagian besar berdinding kaca dan terbuhung langsung ke dalam rumah. Sementara di sebelah toko bunga itu sendiri terdapat halaman. Walaupun dari luar toko tersebut terlihat sedang ramai, dari tempat Bulan berdiri sekarang, ia dapat melihat ibu negara alias mamanya sedang berbicara dengan seorang pelanggan. Bulan reflek meneguk ludah, takut diceramahi karena belum ijin jika akan pulang telat. Masalahnya Erlin tidak pernah peduli situasi dan tempat, jika ada salah satu atau kedua anak perempuannya berbuat salah, langsung saja diceramahi tanpa pandang bulu. Bulan merutuk dalam hati. Apabila nanti mamanya ngamuk, Satria yang harus ia jadikan tameng. Salahkan saja laki-laki itu yang seenak jidatnya membawanya kencan dan akhirnya tidak pu-lang tepat waktu.

Dengan takut-takut Bulan berjalan menuju pintu masuk yang terbuat dari kaca. Menggesernya secara perlahan dan hati-hati diikuti Satria yang mengekorinya. Namun karena gerakannya yang berhenti mendadak menyebabkan Satria yang tidak siap malah menabrak-nya hingga ia jatuh tersungkur.

"Aduh!" seru Bulan sambil memegangi lutut yang terasa sakit akibat membentur lantai keramik.

"Lo sih berenti dadakan!" Bukannya minta maaf dan menolong, Satria malah memaki. Betapa itu malah membuat Bulan naik pitam.

"Ish! Sakit! Liat nih jadi bengkak kan lutut gue!" Bulan ikut mengomel ketika melihat lututnya kini agak membengkak.

Satria yang masih enggan berwajah normal itu pun mendekat sebab penasaran serta memicingkan mata untuk melihat lutut Bulan. "Nggak gegar otak kan lutut lo?" tanyanya setengah mengejek.

"Heh! Emang otak gue di dengkul apa?!" maki Bulan masih mengusap lututnya. Heran! Satria ini kekasihnya bukan sih? Mulut laki-laki itu selalu tampolable!

Saat Satria tengah mengulurkan tangan berniat untuk menyentuh lutut Bulan, tiba-tiba ibu negara datang karena ingin mengececk siapa pemilik suara gaduh tersebut, tanpa menyadari sedikit pun sikap anak perempuannya yang kini sudah bersingkut, berlindung di balik punggung seraya memejamkan mata rapat-rapat. Sikap defensive mendapat ceramah dari wanita paruh baya itu.

"Ngapain sih lo sembunyi kek gitu?"

Di balik punggung Satria, Bulan memegangi kedua lengan laki-laki itu. "Sttt ...

Diem aja napa, pokoknya kalo mama gue ngomel itu tanggung jawab lo."

Satria hanya mengendikkan bahu sebagai jawaban karena Erlin sudah tiga langkah di depannya dengan senyum cerah sumringah.

"Eh udah pulang? Kirain masih lama ke toko bukunya nak Sat," seru mamanya ketika tahu siapa pemilik suara gaduh tadi. Dengan cepat Bulan melongokkan kepala dari balik punggung Satria. Matanya mengerjap beberapa kali untuk meyakinkan diri jika mamanya tidak ngamuk, melainkan tersenyum. Setelah cukup yakin ia baru berani keluar dari tempat persembunyian.

"Mama kok tahu aku ke toko buku?" tanyanya penuh selidik, mengabaikan rasa nyeri di lututnya sekaligus bersyukur karena tidak jadi mendapat ceramah.

"Nak Satria baja hitam kan uda telpon mama tadi minta ijin telat mulangin kamu soalnya mau ke toko buku dulu." jelas mamanya.

Belum sempat Bulan bertanya tentang sejak kapan Satria memiliki nomor telpon mamanya, Erlin lebih dulu melanjutkan kalimat sebelum mengambil plastik kado dan kembali menemui pelanggan yang tinggal tadi. "Ajak masuk ke rumah sana!"

Mana mungkin Bulan mau mengajak manusia galak satu ini masuk rumah? Jangan lupa jika ia masih kesal karena banyak hal yang di sebabkan oleh laki-laki galak tersebut.

"Lo nggak pulang?" tanya Bulan dengan maskud mengusir. Namun bukannya merasa diusir lantas pamit pulang, Satria malah minta air dingin. Dasar manusia nggak tahu diri! Batinnya namun tetap mempersilahkan laki-laki itu masuk rumah dan segera mengambil segelas air dingin.

"Nih!" kata Bulan sambil meletakkan segelas air dingin di meja ruang tamu kemudian mengambil sikap bersedekap tangan.

"Ada handuk kecil?"

Bulan ternganga. Kenapa manusia satu ini malah meminta handuk kecil? Dan kenapa permintaannya tidak sekalian dengan air tadi? Manusia satu ini pasti sengaja.

"Buruan ambilin!" titah Satria layaknya majikan kepada kacungnya ketika melihat gadis itu masih bengong.

Dengan langkah malas dan wajah cemberut, Bulan terpaksa mengambil handuk kecil di lemari kamar kemudian kembali ke ruang tamu.

"Nih!" katanya sambil menyodorkan handuk. Masih dengan nada dan raut wajah yang sama sekali tidak ramah.

"Duduk sini!" Satria menepuk sofa sebelahnya, mengode agar gadis itu agar duduk. Sekali lagi, gadis itu dengan tidak ikhlas menuruti perintahnya untuk duduk.

"Singkap rok lo!"

"What?!" Bulan reflek menyilangkan tangan di dada lalu menutup roknya rapat-rapat dan menjauhkan diri dengan mata melotot ke arah Satria. "Jangan kurang ajar lo! Mentang-mentang dalem rumah gue lagi sepi!"

Melihat sikap waspada yang ditunjukkan Bulan, alis Satria berkerut selaraas dengan keningnya, tak kalah emosinya dengan gadis itu. Ia bahkan berdecak. "Kurang ajar apaan?! Gue cuma mau ngobatin lutut lo!"

"Eh?" bulan otomatis menurunkan tangan, matanya mengerjap-ngerjap dengan mulut terkatub rapat. Malu pada kekonyolannya sendiri. Kemudian perlahan sedikit menyingkap rok seragam.

Sementara masih dengan alis berkerut, Satria mulai berjongkok di depan Bulan dan menyentuh lutut bengkak gadis itu secara perlahan. Bulan memicingkan mata. Selain takut lutut bengkaknya akan terasa sakit, sentuhan tangan Satria juga seperti memicu jantungnya untuk bekerja ekstra dalam menaikkan ritme. Sampai-sampai Bulan reflek mencengkram rok-nya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

Segelas air dingin di meja Satria tuangkan ke handuk kecil dan meletakannya di atas lutut Bulan yang bengkak. "Kompres kayak gini sampe sepuluh menit," kata laki-laki itu, tidak menyadari kegugupan kekasihnya.

Bulan tidak menjawab, melainkan memandangi wajah tampan laki-laki di depannya yang sedang menunduk memandangi lututnya yang bengkak. Ketika Satria mendongak, pandangan mereka bertemu. Membuat debaran jantung gadis itu semakin meningkat drastis, tanpa sadar Bulan meneguk ludah dengan susah payah.

Di lihatnya wajah Satria yang sudah melunak, tidak menampilkan emosi lagi. Dan betapa jantungnya semakin melompat ingin keluar saat laki-laki itu menggerakkan tangan serta berlabuh ke pipinya dan berkata, "Sorry, udah bikin lutut lo bengkak."

______________________________________

Nggak papa bang, dorong terus sampe jatoh ke pelukanmu bang, adek rela

Wkwkwk

Btw thanks for reading this chapter

Jangan lupa vote, coment, share dan rekomendasikan cerita ini jika kalian suka

See you next chapter

With Love
Chacha Nobili
👻👻👻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro