Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 28

Saat berada dalam titik terendahku
aku butuh pelukanmu, usapan tanganmu pada punggungku, serta kata-katamu yang menyebutkan semua akan baik - baik saja dan aku bisa menghadapinya,
Ayah

°°Cecilia Bulan°°
___________________________________________________________________________

Jakarta, 7 November
14.05 p.m.

"Gimana keadaan adik saya, Dok?" tanya Erlang pada dokte dalam ruangannya setelah memeriksa dan menangani Satria.

Pria paruh baya yang sedang menulis resep itu pun menghentikan aktivitasnya dan menjawab, "Demamnya cukup tinggi tapi beruntung saudara cepat membawanya kemari. Untuk sementara rawat inap di sini dulu ya biar adiknya bisa istirahat dan kami bisa mantau keadaannya sampek bener-bener sembuh."

Erlang tampak mengangguk. "Terima kasih, Dokter."

Dirasa tidak ada yang ingin ia tanyakan lagi, pemuda dewasa itu pun beranjak sambil membawa resep kemudian keluar dari ruangan dokter, mejuju apotek yang tidak jauh dari meja administrasi. Sekitar sepuluh menit kemudian, setelah racikan obat sudah berada di tangannya, Erlang menderap ke kamar inap adiknya.

Sebenarnya ia sendiri cukup merasa canggung berada satu ruangan dengan Satria. Namun setidaknya ia harus mengucapkan sesuatu. "Gue telponin bunda nggak nih?" tanyanya usai meletakkan berbagai macam obat di meja nakas samping brangkar.

"Nggak usah," jawab Satria masih lemas dengan posisi berbaring, lengkap dengan selang infus yang terpasang di tangan kirinya.

"Gaya lo boleh sok dewasa di depan petugas polisi, tapi tetep aja lo masih ABG yang butuh bunda," ujar Erlang sarkasme seperti biasa. Dengan nada seperti biasa pula.

"Emang gue lebih dewasa dari lo, nggak usah nelpon bunda. Lo balik aja ke kantor." Walaupun sedang sakit, Satria masih ngotot ingin sendirian. Sejujurnya ia juga merasa sedikit rishi dengan kehadiran kakak laki-laki tertuanya. Kondisi di mana mereka dalam satu ruangan yang sama dan tidak bertengkar merupakan sesuatu yang baru bagi mereka.

Erlang menggeret kursi lalu duduk dengan kedua tangan terlipat ke dada. "Serah gue, kantor punya gue. Kalau gue balik, emang siapa yang jaga lo? Cewek lo?"

Satria tidak menjawab, melainkan mengalihkan pandangan ke arah lain. Membuat Erlang mengernyitkan alis lalu melirik jam tangan yang menunjukkan pukul dua lebih lima belas menit. "Jam segini mestinya udah pulang sekolah kan?"

"Hm." Adiknya hanya berguman, jelas tidak ingin menceritakan keadaan yang sebenarnya.

Melihat sikap acuh Satria, Erlang mengembuskan napas secara perlahan lalu mengucapkan kalimat yang seharusnya ia ucapkan dari dulu. "Dek, gue minta maaf."

Jakarta, 7 November

12.32 p.m.

"Aku pulaaanggg," ucap Bulan lemas ketika masuk rumah lewat pintu samping, tidak lewat D'Lule karena seluruh tubuhnya basah kuyup dilengkapi matanya yang sembab. Jelas tidak ingin mamanya melihat keadaannya yang berantakan dan akhirnya malah mengomel.

Tidak, Bulan tidak ingin menambah beban omelan tersebut. Ia sudah lelah. Lelah menangis. Selama apa pun menenangis, hatinya tidak akan cukup puas. Sebanyak apa pun air mata yang ia keluarkan, tidak mampu membayar hatinya yang patah.

Cuaca hari ini sangat dingin karena hujan. Anehnya lagi Bulan tidak merasa kedinginan. Walaupun nekat berjalan dari apartemen laki-laki itu sampai rumahnya di tengah hujan cukupm deras dan angin kencang, ia tidak merasa kedinginan. Ia juga tidak merasa capek. Justru hatinyalah yang merasa demikian.

Sementara Bintang yang mendengar suara sayup-sayup di tengah hujan pun mendongak dan mendapati kakaknya yang basah kuyup berjalan ke arah kamar mandi. Ketika melewati ruang keluarga tempat ia bertengger di sofa sambil bermain ponsel, Bintang pun bertanya hanya sekedar basa basi. "Baru pulang lo Kak?"

"Iya," jawab Bulan sambil lalu tanpa menghentikan langkahnya menuju kamar mandi pasca melepas ransel dan meletakkannya di dekat keranjang cucian kotor. Rencananya gadis yang sedang patah hati itu akan mandi lama. Mengguruyur rasa sakit agar luntur. Namun rasanya itu percuma. Rasa sakit itu masih ada.

Setelah mandi Bulan berencana tidur agar dapat melupakan rasa sakit itu namun sekali lagi percuma. Yang ada ketika sampai kamar ia melihat bunga anggrek bulan merah pemberian Satria yang nampak mulai layu seperti kondisi hatinya. Dan itu malah membuat dirinya mengingat laki-laki itu.

Baru pertama kali ini Bulan jatuh cinta. Dan ketika ia baru mulai mengakuinya pada dirinya sendiri dan Satria, laki-laki itu malah mematahkan hatinya. Betapa ia merasa bodoh. Menganggap Satria juga menyukainya sebesar ia menyukai Satria. Namun ternyata ... ah sudahlah, Bulan lelah memikirkan hal itu.

Jakarta, 8 November

06.30 a.m.

Keesokan harinya Bulan sengaja bangun lebih pagi. Padahal ia sendiri merasa kurang tidur karena terlelap sangat larut—ketika sudah lelah menangis—dan berangkat lebih awal untuk menghindari Satria jika seandainya laki-laki itu menjaga gerbang pagi ini. Sebenarnya hatinya bertanya-tanya tentang keadaan laki-laki itu. Apakah Satria masih sakit atau sudah sembuh?

Bodoh! Ngapain juga gue ngawatirin dia! Kan udah putus. Hatinya mencoba menyadarkan keadaan mereka.

Sial! Umpatnya dalam hati. Memikirkan ini saja dapat membuat hatinya sesak kembali. Ditambah dirinya sedang disidang bu Sofi perihal skors. Bahkan di saat Bulan belum sempat mendaratkan pantat di bangku kelasnya dan di saat kedua sahabatnya belum datang juga. Menambah sesak di dadanya berkali-kali lipat.

"Cecilia Bulan, saya kan sudah mengingatkan tentang jumlah poin pelanggaran kamu. Kenapa malah bolos kemarin?" tanya bu Sofi menggunakan nada biasa, namun kalimatnya mampu membuat dadanya bertambah nyeri.

"Maaf bu, kemaren saya ada urusan mendadak, nggak bisa ditinggal dan belum sem-pet bikin surat ijin," terang gadis itu, mengatakan yang sejujurnya dengan kepala ditundukkan, tidak berani menatap bu Sofi. Tangan-tangannya yang terasa dingin saling ia tautkan.

"Urusan mendadak apa sih sampe nggak bisa di tinggal?" tanya bu Sofi penuh intero-gasi. Seperti polisi yang menggali informasi pada pencuri.

"Satria sakit, dia tinggal sendirian, orang tuanya di luar kota, jadinya saya yang ngerawat dia."

Betapa bu Sofi lebih mengernyitkan alis karena jawaban Bulan mirip dengan Alvie dan Chris yang kemarin menghadapnya. Pasti mereka sudah bersekongkol. Pasti.

"Kemarin Alvie dan Chris juga ngomong gitu, kalian udah janjian satu suara?"

"Alvie dan Chris?" Bulan mendongak dan balik bertanya dengan raut wajah bingung karena sahabat-sahabatnya disebut satu suara dengan dirinya. Itu berarti Alvie dan Chris sudah tahu penyebab ia bolos sekolah kemarin. Tapi bagaimana bisa? Padahal dirinya merasa tidak memberitahu mereka. Ponselnya saja masih di apartemen laki-laki itu. Ngomong-ngomong soal laki-laki itu ....

Pasti Satria. Dan pasti yang menceritakan jumlah poin pelanggaran Bulan kemarin adalah sahabatnya. Menyimpulkan hal tersebut malah membuat hati Bulan meradang marah. Betapa teganya mereka! Gara-gara itu Bulan jadi bertengkar dan putus dengan Satria!

"Apa orang tuamu tau kamu ngerawat Satria?" Pertanyaan bu Sofi membuyarkan lamunan Bulan.

"Enggak Bu," jawab Bulan jujur disertai gelengan pelan dan menunduk lagi.

Bu Sofi pun terhenyak mendengar jawaban Bulan. Sudah dapat dipastikan mereka semua mengarang alasan ini agar tidak mendapatkan poin minus pelanggaran ketika bolos kemarin.

"Kalau gitu, sekarang kamu pulang, kasih surat dari kepala sekolah ini buat orang tuamu," ujar bu Sofi sembari menyodorkan surat berkop SMA Garuda kepada Bulan.

Jakarta, 8 November

06.50 a.m.

Bulan melangkah dengan raut wajah kacau menuju kelasnya. Tangan kanannya memegang surat pemanggilan orang tua yang baru saja bu Sofi berikan.

Ketika masuk kelas, Alvie dan Chris memekik, "Moooottt ... kata Gery lo abis disidang sama bu Sofi ya?" Alvie mencoba meraih tangan Bulan tapi gadis itu menepisnya kasar, membuat Alvie dan Chris kaget.

Ketika tatapan Chris jatuh pada tangan kanan Bulan, laki-laki gemulai itu histeris. "OMG itu surat pemanggilan orang tua?!"

"Lo nggak apa-apa? Tenang Mot, lo masih punya gue ama Chris," ujar Alvie khawatir pada Bulan.

"Nggak usah sok khawatir lo lo pada ama gue!" Bulan membentak Alvie dan Chris. Hal yang sama sekali belum pernah ia lakukan sebelumnya. Membuat mereka yang dibentak pun hanya bisa terjingkat kaget. "Gara-gara kalian cerita poin pelanggaran gue ke bang Sat! Gue jadi berantem ama dia dan putus! Tega ya kalian ama gue?!" lanjut Bulan dengan mata berkaca-kaca.

Entah karena pikirannya yang kalut terhadap keadaan, maka emosinya tidak bisa terkontrol, tumpah ruah. Dan sayangnya merambat pada sahabatnya.

"Putus?" tanya Alvie dan Chris secara bersamaan.

"Tunggu, gue nggak ada maksud bikin lo putus sama si bang Sat, Mot ..." terang Alvie pada Bulan. Namun percuma, gadis itu lebih memilih menyambar ranselnya dengan kasar lalu pergi.

Jakarta, 8 November

07.00 a.m.

Bulan pergi dari sekolah tanpa tujuan sembari menahan tangis. Sama sekali tidak ingin memperlihatkan wajah tangisnya pada orang-orang, walaupun wajah kacaunya tetap tidak bisa disembunyikan.

Bulan berjalan ke sembarang arah dan sampai pada lapangan kosong dekat pagar pembatas bandara. Angin pagi menerpa wajahnya yang murung, serta suara-suara mesin pesawat yang lepas landas maupun akan mendarat terdengar memekakan telinga akan teta[I justru itulah yang ia cari. Suara kebisingan yang terllu keras, sehingga saat ia berteriak, "Aaarrrggghh ...." Tidak akan ada yang mendengarnya.

Selain itu, lapangan kosong dekat bandara benar-benar tidak ada siappun selain dirinya, jadi ia begitu bebas menumpahkan tangis, meraung sejadi-jadinya di tengah suara bising pesawat ketika lepas landas. Ia sengaja menjerit seperti itu. Ingin melepaskan beban yang bertengger di pundaknya. Walaupun mustahil, setidaknya dengan berteriak seperti itu perasaannya sedikit membaik.

Bulan hanya tidak tahu harus melakukan apa ketika masalah-masalah sedang menghampirinya. Mulai dari hubungannya yang putus dari Satria, bertengakar dengan sahabat-sahabatnya, kemudian perihal skors. Dan yang paling penting lagi, bagaimana caranya nanti gadis itu menyampaikan surat pemanggilan orang tua pada mamanya?

Ia ketakutan setengah mati, apa lagi pada mamanya. Membayangkan mamanya akan marah saja Bulan tidak sanggup. Apa lagi di tambah rasa kekecewaan mamanya. Namun bukankah ayahnya selalu mengajarkan untuk bertanggung jawab terhadap perbuatannya? Ngomong-ngomong soal ayahnya ....

Ayah, aku kangen ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro