Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 25

Selamat datang di chapter 25

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (biasanya suka gentayangan)

Thanks

Selamat membaca

Semoga suka dan dapet feelnya

❤❤❤

_____________________________________

Jangan membodohiku
karena kau merasa pintar melakukannya!

°°Cecilia Bulan°°
___________________________________________________________________________

Jakarta, November
11.32 a.m.

"Di-skors?"

"Kok lo yang ngangkat sih Sat? Bulan mana?" Bukan hanya Satria yang kaget mendengar hal itu. Alvie juga kaget saat suara di seberang bukan suara sahabatnya, melainkan suara Satria.

Alvie paham jika sahabatnya itu luar biasa lemot. Tapi apakah ia tidak berpikir sama sekali tentang perihal sekolah yang akan di-skors? Malah asyik dengan Satria? Satria juga sama saja. Bukannya mengingatkan, malah asyik bolos bareng?

"Ceritain detailnya!" Alih-alih menjawab pertnyaan Alvie, Satria lebih ingin tahu perihal skors Bulan.

Syarat untuk skors adalah seratus poin pelanggaran. Sedangkan Satria ingat betul, sebagai ketua tim disipliner, terakhir kali dirinya mencatat poin pelanggaran Bulan masih berjumlah enam puluh. Lalu bagaimana ceritanya bisa sampai seratus poin? Apa Bulan melanggar peraturan lagi? Apa kekasihnya kemarin terlambat karena ia tidak menjemputnya? Jika memang demikian, bukankah seharusnya poin minusnya baru mencapai enam puluh lima? Karena poin pelanggaran terlambat masuk berjumlah lima.

Banyak pertanyaan yang terlintas di benak Satria. Membuat kepalanya yang semula pusing jadi seperti ingin pecah. Ia bahkan memejamkan mata sembari memegangi kepala.

"Pasti lo lagi sama Bulan, gimana sih lo! Bukannya ngingetin malah ngajak Bulan bolos! Lo tahu kagak poin minusnya dia udah seratus?"

Seratus? Kejutan apa lagi ini?

"Tadi jam pertama BK, Bu Sofi ngabsen semua siswa, kebetulan Bulan nggak masuk tanpa keterangan. Dan lo berdua malah bolos?"

Demi kerang ajaib Satria tidak tahu! "For God's sake! Kalo gue tau poin minusnya udah saratus mana mungkin biarin dia bolos sekolah buat ngerawat gue yang lagi sakit?!"

"Eh lo lagi sakit? Sorry, gue nggak tahu," ujar Alvie kontan merasa bersalah karena tergesa-gesa menuduh Satria sembarangan.

"Gimana ceritanya poin minusnya jadi seratus? Seinget gue baru enam puluh?" Sekali lagi menghiraukan pertanyaan Alvie, Satria malah bertanya balik.

Terdengar suara helaan napas berat di ujung sambungan. "Bulan kagak cerita kemaren dia berantem lagi ama Adinda?"

"Lagi?" pekik Satria di sertai pelototan karena tidak percaya mereka berhelahi lagi.

"Iya! Gini aja deh, gue bakalan bilang ke bu Sofi kalo Bulan ijin ada urusan mendadak, biar nggak jadi di-skors," usul Alvie yang di setujui Satria.

"Tolong urus ini, thanks." Satria tidak menunggu jawaban dari Alvie dan langsung memutus sambungan.

Ia menghembuskan napas kasar. Kompres yang dari tadi bertengger di dahinya Satria letakkan di atas nakas. Kemudian bangkit mencari gadis itu yang ternyata tertidur di sofa. Posisi sofa itu sendiri membelakangi kasur, jadi tidak kelihatan jika tidak mengitari ruangan.

Laki-laki itu berdiri di depan sofa tempat Bulan tertidur dengan damai, seperti tanpa beban. Malah membuat Satria mengerutkan alis. Urat-urat di wajahnya juga sudah mulai bermunculan. Tanda benar-benar marah. Memikirkan tentang bagaimana bisa gadis itu dengan santainya tidur di sofa sedangkan sekolahnya terancam di-skors?

Satria memandang gadis itu lalu mengguncang gubuhnya. Bermaksud membangunkan Bulan. Sebab tidak tahan lagi untuk segera menumpahkan amarah pada gadis itu. Persetan dengan janjinya dulu yang tidak akan mengomeli Bulan. Ini sudah keterlaluan!

Sementara itu, Bulan yang merasa tubuhnya diguncang perlahan bergerak. Mengerjab-ngerjabkan mata. Setelah terbuka sempurna ia terhenyak melihat Satria yang berdiri di depannya dengan wajah penuh semburat kemarahan.

"Eh, Sat? Lo udah bangun. Udah enakan badannya?" tanya Bulan gelagapan sambil mengucek-ngucek kedua matanya menggunakan tangan. Nada yang ia gunakan juga sangat jelas mengandung kekhawatiran. Karena Satria masih belum merespon Bulan menambahkan. "Sorry, gue ketiduran, lo butuh sesuatu?" tanya Bulan mengira kemarahan Satria akibat dirinya tidak ada di saat Satria mungkin butuh sesuatu.

Tidak lupa menampilkan senyum, Bulan bangkit berdiri. Tangannya hendak menyentuh pipi laki-laki itu, berniat mengecek suhu badan Satria, tapi yang ada Satria malah menepisnya kasar. Membuat senyum Bulan luntur seketika di gantikan raut wajah bingung. Ia pun bertanya, "Kenapa?"

"Lo udah tahu bakalan di-skors dan masih berani bolos?!" bentak Satria. Bulan yang mendengarnya jadi kaget karena Satria sudah mengetahui perihal skors. Dan kemarahan laki-laki itu tidak seperti biasanya. Jika biasanya karena sebatas kekesalan, kali ini Bulan tidak meiliki pendapat apa pun. Satria benar-benar marah, hingga Bulan hampir tidak mengenalinya. Bulan bahkan melihat Satria mengepalkan kedua tangannya.

"D-dari mana lo tahu?" tanya Bulan dengan suara bergetar.

"Apa itu penting sekarang?! Kenapa lo nggak cerita ke gue?! Kenapa gue mesti tahu dari orang lain?! Kenapa lo jadiin seolah-olah semua ini gara-gara gue lo jadi di-skors?" teriak Satria sambil menunjuk-nunjuk wajah Bulan.

"Nggak gitu Sat, soalnya lo sakit, nggak—"

"Gue cuma demam! Bukan cacat!" potong Satria masih membentak. Sekali lagi membuat Bulan kaget. Gadis itu sekarang hanya mampu menunduk. Kepalanya berat, matanya juga panas. Hatinya sakit karena Satria membentaknya dengan sangat keras.

"Smau di taroh mana muka gue sebagai ketua OSIS, yang punya cewek di skors kayak lo?!"

Degh...

Bagai di hantam mjolnir Thor. Seluruh tubuh Bulan rasanya hancur berkeping-keping mendengar kalimat itu meluncur dari mulut Satria sendiri. Padahal hatinya sudah menampik gosip-gosip yang beredar tentang itu, tapi Satria malah ... membenarkannya?

Bulan kira selama ini Satria memang introvert, tidak suka mengumbar urusan pribadi termasuk berlabel mempunyai kekasih. Dan Bulan berusaha mengerti akan hal itu. Tapi sekarang mendengar alasan Satria malu mempunyai kekasih seperti dirinya membuat hati Bulan teriris.

Ia memohon pada hati dan otaknya sendiri agar tidak menyimpulkan hal itu. Namun nyatanya seluruh tubuhnya malah berkata demikian. Mendadak seluruh hati, pikiran dan tubuhnya ragu tentang pernyataan Satria tadi malam. Katanya laki-laki itu juga menyayanginya. Tapi kenapa sekarang rasanya tidak?

Sakit. Sangat sakit. Percuma Bulan berkorban bolos sekolah dan rela di
skors demi merawat Satria! Demi orang yang ia sayangi. Tapi malah ... tapi malah ... ah sudahlah ... Ia tidak sanggup memikirkan hal lain lagi.

Mata gadis itu bertambah panas. Pandangannya juga mulai kabur tertutup butiran bening yang sudah mengumpul di pelupuk. Ia bahkan harus menggigit bibir bawahnya keras-keras agar air matanya tidak tumpah. Bulan tidak akan membiarkan dirinya menangis! Tidak di depan Satria!

Gadis itu memandang ke atas sebentar, mengerjab beberapa kali agar air matanya tidak merembes ke pipi, mengumpulkan sisa-sisa kendali diri dari tubuhnya yang bergetar. Sebelum mengatakan, "Jadi gitu ya Sat? Sorry kalau gue ngerusak image lo. Kita putus aja, jadi lo nggak perlu malu lagi punya cewek kayak gue." Bulan mengatakan hal itu dengan sangat lirih.

Sebelum Satria merespon apa-apa sebab terlalu kaget mendengar kalimat itu, Bulan menyambar ransel di meja depan sofa lalu keluar apartemen.

Jakarta, 7 November

12.02 p.m.

Apanya yang sayang gue! Hatinya mengadu.

Jika Satria memang malu mempunyai kekasih seperti dirinya, kenapa malah meng-claim dirinya sebagai kekasih? Lebih baik tidak usah menjadikannya kekasih, dari pada malu karena memiliki kekasih seperti dirinya.

Tidak perlu mengatakan menyayanginya jika pada akhirnya jadi begini!

Walau pun air matanya sudah berkumpul menjadi satu kembali dan siap tumpah kapan saja, ia tidak ingin menangis. Walaupun dirinya sedang di dalam elevator sendirian, tapi berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.

Berengsek lo Bang Sat! sekali lagi Bulan mengumpat dalam hati.

Suara dentingan halus pertanda elevator sudah tiba di lantai G, mengharuskan Bulan berwajah netral seperti tidak terjadi apa-apa untuk keluar dari kotak besi tersebut. Ia tidak ingin seseorang atau orang lain menganggapnya anak SMA cengeng.

Bulan turun di loby dan berjalan tanpa tujuan. Ia tidak peduli! Yang penting keluar dari apartemen itu!

Sepuluh menit berjalan di atas trotoar sembari menahan tangis, akhirnya Bulan memutuskan untuk menelpon Alvie atau Chris. Ingin menumpahkan segala keluh kesahnya. Namun ketika ia mencari ponsel dalam ransel miliknya, alat komunikasi tersebut tidak ada. Pasti tertinggal di apartemen Satria, pikirnya

Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sekali lagi Bulan merutuk dalam hati.

Awal November musim penghujan membawa awan kelabu yang menyelimuti kota Jakarta. Angin bertiup tidak kalah kencang, menerbangkan surai coklat gelap gadis itu.

Ia menengadah menatap awan kelabu.

Jangan nangis sekarang! Jangan nangis sekarang! Demi apa pun jangan nangis sekarang! Gadis itu merapal mantra dalam hati agar tidak menangis. Akan tetapi usahanya sia- sia. Air matanya tetap mengalir keluar, tangisnya tetap pecah di tengah langit yang seakan bersenkongkol dengan hatinya. Dan gadis itu pun akhirnya membiarkan dirinya menangis kencang di tengah hujan deras.

______________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang uda vote dan komen

See you next chapter

With Love
Chacha Nobili
👻👻👻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro