Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 21

Selamat datang di chapter 21

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Selamat membaca

Semoga suka

❤❤❤

______________________________________

Where are you?
I think I need you

°°Cecicila Bulan°°
___________________________________________________________________________

Jakarta, 11 November
12.35 p.m.

Bulan membelokkan langkah ke toilet paling ujung yang jarang digunakan oleh murid lain untuk menenangkan diri. Dan persis seperti dugaannya. Dalam toilet tersebut tidak ada siapa pun selain dirinya.

Berdiri di depan wastafel, Bulan memutar keran, membiarkan air mengaliri bendungan tangannya untuk membersihkan noda bekas mie ayam yang kini setengah kering pada rok abu-abunya. Setelah kegiatan tersebut selasai Bulan lakukan, gadis itu gantian mencuci wajah dan becermin. Matanya memang menatap bayangan pantulan wajahnya, namun pikiran Bulan melamun tentang kalimat bu Sofi tadi.

Kacau sekali hari ini. Rasanya dada Bulan sesak. Justru di saat inilah bayangan tentang Satria muncul. Masih memandang cermin dengan tatapan menerawang, gadis itu mengambil ponsel dari kantung seragam untuk menelpon Satria. Mungkin saja perasaannya akan membaik setelah mendengar suara laki-laki itu.

Bulan meraih benda pipih yang sudah low bat dan menggeser layar untuk mencari kontak Satria dengan tangan kanan. Sembari menunggu nada sambung, tangan kiri gadis itu meraih tisyu untuk mengeringkan wajahnya. Tapi sudah beberap kali ia berusaha menelpon laki-laki itu, selalu veronica yang menjawab. Perasaannya yang semula kacau bertambah kacau. Pikiran yang semula terbebani dengan poin pelanggaran, ketakutan di skors, juga takut melihat reaksi mamanya jika mengetahui hal tersebut kini bertambah lagi dengan menghilangnya Satria sejak tadi pagi.

Kemana sesungguhnya laki-laki itu? Demi kerang ajaib! Bulan membutuhkannya! Butiran bening pada pelupuk mata Bulan tiba-tiba saja turun menyusuri pipi. Dengan sigap, punggung tangan kirinya yang bebas mengusap dengan kasar. Ia mencoba menetralkan emosi dengan menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya.

Setelah becermin sekali lagi untuk memastikan wajahnya baik-baik saja, Bulan memutar tubuh untuk keluar dari toilet. Namun belum mencapai pintu gadis itu merasakan suatu keanehan. Seingatnya tadi sewaktu masuk toilet tidak menutup pintu, selain itu juga tidak ada lagi yang datang menggunakan toilet ini, kenapa pintunya sudah tertutup dan ia tidak mendengarnya?

Mungkin gara-gara angin. Bulan mencoba ber-positive thinking. Tapi ketika berusaha menari gagangnya, pintu itu tidak dapat dibuka alias terkunci. Gadis itu mencoba menarik-narik juga mendorong-dorong pintu tersebut tapi gagal. Ia juga menggedor dan berteriak meminta pertolongan tapi tidak ada yang mendengar.

Tidak kehabisan ide, Bulan mengambil ponsel berniat menghubungi Alvie atau Chris tapi sialnya alat komunikasi itu sudah mati. Saat semua positive thinking-nya terbantahkan, saat itulah ia merasa tidak berdaya.

"Satriaaa ...."

Dan tanpa sadar menyebut nama laki-laki itu sebelum jatuh telungkup dan menangis.

Jakarta, 6 November

13.00 p.m.

Alvie melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. Menghitung tiap menit yang berlalu. Mengira-ngira waktu yang sahabatnya habiskan di toilet dan belum kembali ke kelas. Terhitung menit ke tiga puluh Bulan belum kembali dan ia mulai khawatir.

Di keluarkannya selembar kertas note warna magenta, kemudian menuliskan sesuatu di sana lalu memberikannya pada seseorang yang duduk tepat di belakang bangku Alvie.

Chris adalah orang yang Alvie maksud—menerima note itu dan membacanya. Si Lemot kok lama banget belom balik dari toilet. Lalu menggoreskan pena guna membalas note tersebut. Kemudian memberikan pada sahabat yang duduk di depannya lagi. Hal itu mereka ulang selama dua kali.

Namanya juga Lemot, ya pasti lamalah ....

Your Head! Gue serius keles

Sembelit kali!

Di saat Alvie rasa jawaban terakhir Chris masuk akal, ia tidak membalasnya lagi. Namun hingga pelajaran usai dan bel tanda pulang sekolah berbunyi, Bulan tidak kunjung kembali ke kelas. Alvie dan Chris mencoba menelponnya akan tetapi ternyata ponselnya mati, menambah daftar kekhawatiran mereka.

"Kita cari aja yok Chris! Jangan-jangan pingsan di toilet lagi tuh anak!" ajak Alvie yang tiba-tiba memiliki firasat tidak enak pada Bulan. Takut sahabatnya itu kenapa-kenapa.

"Hush! Omongannya di jaga ya!" hardik Chris sembari memukul lengan Alvie ketika mengatakannya. "Kuylah nyari si Lemot!"

Mereka berdua memutuskan mencari Bulan pada tiap toilet yang ada di sekolah ini. Mulai dari yang terdekat dengan kelas hingga toilet tiap lantai sekolah mereka telusuri dan Bulan belum ketemu. Hanya ada satu toilet yang tersisa. Yaitu toilet di pojok kelas lantai dua yang jarang digunakan murid karena konon katanya angker.

Alvie dan Chris berhenti di koridor lantai dua yang mulai sepi untuk istirahat sejenak. "Kagak mungkin kan si Lemot ke toilet itu?" Chris menunjuk toilet dengan dagunya sembari memegangi tas ransel milik Bulan. Ia juga melihat ke langit yang mulai berubah abu-abu.

"Bener sih angker gitu katanya, tapi siapa tahu kan si Lemot di sana. Yok kita cari aja," usul Alvie.

"Gue takut ..." rengek Chris seiring dengan menggelengkan kepala tanda tidak setuju sambil memegangi lengan Alvie yang kemudian menyentakkannya.

"Udahlah yok ke sana."

Masih dengan memegangi tangan Alvie, Chris berjalan sejajar dengan sahabatnya itu. Selain menoleh kanan-kiri, Chris juga gemetaran. Apa lagi ditambah angin yang bertiup kencang. Menjadikan Chris semakin bergindik ngeri.

Sesampainya di depan toilet terakhir yang tempatnya di pojok lantai dua, mereka berhenti karena melihat tulisan 'TOILET RUSAK' di depan pintu toilet tersebut.

"Tuh kan toiletnya aja rusak, nggak mungkin Lemot ke sini," bisik Chris masih memegangi lengan Alvie yang sekarang mengangguk setuju.

Tidak putus asa, Alvie dan Chris menanyakan keberadaan Bulan pada setiap murid yang mereka temui. Namun tetap saja tidak ada yang melihatnya.

Ini menjadi semakin serius ketika menyadari sudah setengah jam mereka mencari keberadaan Bulan yang belum ketemu. Alvie mengusulkan lapor ke ruang guru, tapi semua guru sudah pulang. Chris mengusulkan telpon Bintang, tapi adik sahabat mereka bilang kakakanya belum pulang dan mungkin masih kencan dengan Satria. Lalu mereka sepakat menelpon Satria.

"Tapi gue kagak punya nomernya si bang Sat!" pekik Alvie dengan mata masih menatap layar ponsel miliknya usai menelpon Bintang. Mereka sekarang berada di koridor lantai satu yang masih ada beberapa murid sedang melakukan kegiatan ekstra kulikuler.

"Oh tunggu, gue punya deh kayaknya," ujar Chris yang semangat mengambil ponsel dalam ransel usai meletakkan ransel milik Bulan di kursi yang tersedia di lantai satu tersebut.

"Eh kok lo bisa punya sih?" Alvie heran namun menanyakan hal tersebut sambil lalu. Mungkin jika suasananya tidak mendesak, ia pasti akan memaksa Chris untuk menceritakan asal usul nomor ponsel Satria.

"Sssstttt ... Diem dulu!" perintah Chris yang sudah menempelkan benda pipih itu ke telinga.

Jakarta, 6 November

14.00 p.m.

Awal November, angin muson barat mulai bertiup. Melewati samudra Hindia, membawa titik-titik air hujan ke Indonesia. Salah satu dampaknya mengenai kota Jakarta, termasuk SMA Garuda.

Siang ini cuaca sangat terik, namun lambat laun awan yang semula putih dan biru terang berubah keabu-abuan. Angin mulai bertiup kencang. Dan cahaya petir serta guntur yang bergemuruh mulai terdengar di langit.

Bulan meringkuk di balik pintu toilet. Memeluk dirinya sendiri yang sudah diam karena lelah menangis, lelah berteriak minta tolong, dan lelah menggedor-gedor pintu. Dengan kata lain, ia sudah pasrah.

Gadis itu menggigil, bukan karena angin yang bertiup kencang membentuk suara menderu. Melainkan karena rasa takut akan banyak hal yang kini menyelimuti dirinya. Sesungguhnya Bulan termasuk gadis pemberani. Ditinggal ayahnya pergi ke surga sejak kecil mengharuskannya menjadi gadis pemberani. Tapi entah kenapa kali ini sekujur tubuhnya gemetar karena terkunci di toilet. Bagaimana jika tidak ada yang menemukannya? Bagaimana jika ia mati di sini? Pikirannya mulai kacau.

Langit yang menggelap menjadikan toilet itu ikut gelap juga. Gadis itu mencoba menguatkan dan memberanikan diri bangkit mencari saklar lampu. Ketika sudah menemukan benda yang dimaksud, ia menekannya. Berharap satu-satunya penerangan dalam toilet itu menyala, namun sekali lagi harapannya sirna. Lampu toilet itu seakan-akan bersekongkol dengan ponselnya yang kini sudah mati.

Petir dan guntur bersahut-sahutan. Bulan terlonjak kaget lalu mengusap-usap lengan, berusaha menciptakan kehangatan untuk tubuhnya. Ketika hujan rintik-rintik yang mulai berubah deras, hati dan pikirannya tertuju pada Satria. Bulan tahu ini konyol, berharap Satria menemukannya di saat ia sendiri bahkan tidak tahu keberadaan laki-laki itu dan sedang apa. Mengingat dua jam yang lalu terkahir kali ia mencoba menelponnya, ponsel Satria mati.

Tap tap tap

Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar di tengah suara hujan, membuat jantung gadis itu berdetak lebih kencang.

______________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang uda vote dan komen

Semoga feelnya dapet

See you next chapter

With Love
Chacha Nobili
👻👻👻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro