Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 11

Selamat datang di chapter 11

Tinggalkan jejak dengam vote dan komen

Tandai juga jika ada typo

Well, selat membaca

Semoga suka

❤❤❤

______________________________________

Hei tenanglah
Aku di sini
tak akan kemana-mana

°°Cecilian Bulan°°
___________________________________________________________________________

Bandung, 2 Oktober
16.05 p.m.

Kkkkkrrruuucuuuukkk

Itu suara perut Bulan. Di saat suasana tegang seperti ini, bagaimana bisa perutnya malah protes? Memang dasar perut tidak tahu diri dan tidak bisa di ajak kompromi! Ia merutuki dalam hati dan mengingat kembali penyebab perutnya berbunyi. Apa lagi jika bukan karena Satria yang merecokinya untuk segera bergegas siap-siap sehingga belum sempat makan siang. Tapi ayolah perut, jangan dalam situasi seperti ini. Apa lagi di depan keluarga laki-laki yang sedang mengeratkan genggaman tangannya ini. Sangat memalukan! Coba lihat sekarang, mereka semua menoleh kepadanya. Dan wajah malulah yang hanya mampu ia tampilkan.

"Waaahhhh ada yang udah kelaperan nih, ayo makan!" seru bundanya Satria yang semangat menggiring semua ke meja makan.

Well, tanpa Bulan sadari, suara perut keroncongannya menjadikan penolong bagi Satria karena merasa bisa sedikit melepas ketegangan yang terjadi di antara dirinya dan laki-laki sombong itu.

Bandung, 2 Oktober

16.15 p.m.

Saat ini mereka sudah ada di meja makan besar. Meski pun belum masuk jam makan malam—karena masih sore—namun insident perut Bulan menlmberi semangat bagi bundanya Satria untuk mengajak semua anggota keluarganya tanpa terkecuali ikut makan.

"Jadi, namamu Bulan?" tanya beliau tersenyum riang sambil mengambilkan nasi untuk suaminya.

"Iya tante." Gadis itu mengangguk untuk memperjelas jawaban. Jujur saat ini rasanya canggung sekali. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan keluarga Satria yang sebagian besar adalah laki-laki. Ada papanya bernama Davis Eclipster, kakak laki-laki tertua berjambang yang sangat mirip Satria—bahkan Bulan berpendapat jika itu adalah Satria versi dewasa—bernama Erlang Eclispter, dua kakak kembarnya yang mempunyai sifat sangat bertolak belakang bernama Kevino Eclipster—laki-laki sombong yang tadi menyapa di foyer depan. Serta Gavino Eclipster— tipe periang dan ramah, lalu Satria Eclipster sendiri.

Menyadari kecanggungan gadis itu, Satria segera menggenggam tangannya di bawah meja makan, mendekatkan diri ke Bulan lalu berbisik, "Santai aja."

"Gimana bisa coba? Lo nggak bilang kalo mau pulang," jawab Bulan tidak kalah berbisik.

Ya kalau gue bilang pastin lo bakalan nolak. Batin Satria.

"Gandengan di tengah makan, nggak punya etika sama sekali." Ucapan Kevino membuat Satria langsung mempererat genggaman tangannya, saking eratnya hingga Bulan sedikit meringis kesakitan.

"Pantes nggak pernah pulang, udah gitu prestasinya jelek, ternyata pacaran terus," timpal Erlang tanpa melirik dan tanpa menghentikan kegiatannya mengambil lauk. Entah kenapa ucapan laki-laki yang umurnya terpaut sepuluh tahun dari Satria ini membuat Bulan tersinggung dan merasa tidak terima saat ia dan Satria di olok-olok seperti itu. Rasa canggungnya pun hilang, menguap begitu saja saat melihat pandangan laki-laki yang duduk di sebelahnya kini menerawang—tanpa melepas genggaman eratnya.

Orang tua Satria baru akan menyahut saat suara Bulan terdengar lantang, "Saya sama Satria baru jadian sebulan yang lalu kok Bang." Gadis itu juga kaget dengan ucapannya sendiri saat mau mengakui dirinya dan Satria resmi jadian. "Dan siapa bilang Satria punya prestasi jelek? Dia selalu jadi ranking satu paralel di sekolah, selain itu dia juga ketua OSIS dan ketua tim disipliner, sibuk ngelebihin presiden, jadi wajar aja kalo jarang pulang."

Entah mendapatkan kepercayaan diri dari mana Bulan dapat mengatakan semua itu tanpa ragu seperti orang tua yang sedang membanggakan anaknya.

Smentara Satria, merasa di bela, hatinya menghangat, senyum tipis juga tersungging di wajahnya. Begitu juga dengan Rani, Davis dan Gavino. Lain halnya dengan Erlang dan Kevino, masing-masing dari mereka melayangkan tatapan tajam dan senyuman sinis, sangat tidak bersahabat.

"Udah ayo makan, kalian ini, sekarang waktunya santai, nggak usah ngungkit masalah pelajaran dong," lerai sang bunda.Berharap pertengkaran itu segera selesai.

"Anak bungsu enak ya, selalu di bela! Beda kayak anak sulung! Di kasih beban berat banget, tanggung jawab sama adik-adiklah, bla bla bla—"

"Erlang, cukup, kamu lupa lagi ada tamu?" Sang papa mengingatkan.

Kacau. Canggung. Tegang. Hanya kata-kata itu yang dapat menggambarkan suasana keluarga Satria di meja makan, membuat Bulan merasa tidak nyaman sama sekali dengan kondisi ini. Rasanya ia ingin segera menyudahi makan malamnya. Walaupun semua makanan terlihat sangat menggoda untuk disantap, tapi demi kerang ajaib! Siapa yang nafsu dan tahan makan dalam situasi seperti ini?!

Karena sudah tidak tahan lagi, Bulan kembali bersuara. "Bang Erlang, bukan maksud saya kurang ajar ya, tapi saya juga anak pertama. Beban saya malah lebih berat soalnya ayah saya udah meninggal dan hidup kami sederhana banget. Tapi saya nggak pernah protes harus bantu mama ngerangkai bunga sampe jam tiga pagi terus besokya telat bangun, telat sekolah dan akhirnya ketua tim disipliner—" Bulan menghentikan kalimatnya untuk melirik laki-laki yang masih menggenggam tangannya itu sekilas, lalu melanjutkan kalimatnya lagi. "Satria, ngasih hukuman saya.

"Kalau mau jadi tulang punggung keluarga pun saya nggak bakalan iri atau ngolok-olok adik saya karena itu emang tugas dan tanggung jawab saya sebagai anak tertua. Rasanya nggak adil aja kalo Bang Erlang dan Bang Kevin ngolok-ngolok Satria kayak gitu cuma karena dia anak bungsu."

"Ngerasa hebat ya bisa ngomong gitu?!" sahut Erlang.

"Enggak, saya ngomong fakta. Sekali lagi saya minta maaf kalo kata-kata saya nggak sopan, saya juga minta maaf udah ganggu om tante dan abang-abang semua, saya permisi."

Setelah selesai berkhotbah, Bulan memutuskan untuk melepas genggaman tangan Satria dan pergi. Sumpah ia merasa tidak nyaman sama sekali di tengah-tengah mereka. Apa lagi sempat menyebut mediang ayahnya, membuat hatinya terasa sesak. Ada rasa rindu yang sangat tapi tidak bisa ia ungkapkan. Kini air matanya sudah muncul di pelupuk, maka ia harus menggigit bibirnya keras-keras agar tidak tumpah.

Sedangkan Satria yang melihat kepergian Bulan pum menyusul tanpa memedulikan tatapan semua orang yang berada di meja makan yang memperhatikan mereka sebab speechless. Menyadari semua hanya diam, sang kepala keluarga pun berdehem. "Dengerin itu, cewek SMA aja bisa mikir gitu!" ucap beliau pada Erlang yang masih mematung mendengar kalimat Bulan. Sang papa juga menatap Kevino, berharap agar anaknya yang dari tadi terdiam menatap sepiring nasi di meja juga mendengarkan apa yang beliau katakan.

"Heran, iri kok sama adik sendiri, aku udah kelar makan Bun, balik kamar dulu," sahut Gavino yang kemuadian meninggalkan meja makan dengan tatapan jengkel, di susul papanya, lalu Erlang dan Kevino juga meningglakan sang bunda yang masih diam-diam memikirkan Bulan dengan tatapan sulit di baca.

Bandung, 2 Oktober

16.45 p.m.

"Hei! Mau kemana?!" Satria sedikit mempercepat langkah ketika mendapati Bulan sudah keluar pintu utama rumah dan menuruni anak tangga.

Mendengar suara tenang Satria yang memanggilnya seperti itu entah kenapa hati Bulan semakin meradang. Ia berhenti, berbalik menghadap Satria dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa sih lo diem aja di katain kayak gitu?!!"

Satria malah tersenyum. Sungguh, senyum Satria sangat menawan, pasti mampu meluluhkan siapapun yang melihatnya, tapi entah kenapa Bulan malah semakin emosi. Sampai-sampai dengan kurang ajarnya air mata yang sudah ia tahan dari tadi merembes ke pipi.

"Lho kok malah nangis?"

Menghiraukan pertanyaan Satria, Bulan meneruskan langkah sambil mengusap air matanya kasar menggunakan punggung tangan. Tidak sadar jika Satria juga menyusul, meraih tangan gadis itu kemudian membalikkan badannya dan membawamya dalam pelukan Satria. Hal intim pertama yang laki-laki itu lalukan padanya.

Dalam sekejap mata Bulan melotot, tenggorokannya tercekat tidak mampu protes, jantungnya terasa berhenti sesaat lalu berdetak dua kali lebih kencang dari biasanya, badannya juga hanya bisa mematung.

"Sa-Sat, a-apa yang lo lakuin?" Kembali mendapat kekuatan, dengan susah payah Bulan merangkai kalimat tersebut. Tanpa sadar suaranya juga bergetar.

"Don't move, bentar aja," jawab Satria malah semakin memperdalam pelukannya, menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Bulan, tidak lupa menghirup aroma segar tubuh gadis itu dalam-dalam. Satria suka aroma gadis itu, seperti obat penenang, membuatnya rileks. "Thanks for everything," bisiknya.

That's why I choose you and need you to be here with me, Cecilia Bulan ....

Entah karena hanyut dengan suasana sore hari kota Bandung yang terasa dingin hingga menusuk ke tulang, atau karena baru mendapati sisi lain dari Satria yang terlihat rapuh—bukan laki-laki galak, tegas, dan suka memerintah, Bulan membalas pelukan laki-laki itu serta mengusap punggungnya pelan, berharap memberikan ketenangan untuk Satria. Padahal dirinya sendirilah yang harusnya di tenangkan sebab jantungnya berkejaran. But who cares? She just wants to hug this guy.

______________________________________

Thanks for reading this chapter

makasih juga yang uda vote dan komen

See you next chapter teman temin

With Love
Chacha Nobili
👻👻👻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro