Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10

Selamat datang di chapter 10

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tolong tandai jika ada typo

Well, happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤
______________________________________

Kau tidak harus melakukan apa pun
Tetaplah bersamaku
Rasanya itu sudah cukup

°°Satria Eclipster°°

Jakarta, 2 Oktober
08.00 a.m.

Masih jam delapan pagi, usai sarapan pecel depan apartemen, Satria sudah berkutat dengan proposal festival olahraga sejak setengah jam yang lalu. Wajahnya serius, sesekali mengetuk-ngetukan pensil yang ia genggam pada keningnya.

Drrrtttttt

Suara getaran ponsel menyita perhatian Satria. Ekor matanya melirik benda yang sedang berkelap-kelip di meja. Tanpa sadar ia memejamkan mata dan menghembuskan na-pas ketika membaca nama yang tertera pada layarnya.

Satria memutuskan mengabaikan panggilan tersebut seperti yang selama ini ia ka-dang ia lakukan. Namun bukannya diam, benda pipih itu malah semakin bergetar dan men-jerit-jerit keras.

Sekali lagi ia menghembuskan napas, mulai meraih dan menggeser layar guna mengangkat telpon mengunakan tangan kiri lalu menempelkannya di telinga.

"Bang, kamu nggak pulang?" sapa seseorang di seberang setelah telpon tersambung.

"Nggak, sibuk." Satria menjawab sambil melanjutkan kegiatannya dalam mengoreksi proposal festival olah raga yang masih ada beberapa typo sana-sini di meja belajar.

"Ya ampun, Bunda kangen, udah lama kamu nggak pulang. Kakak-kakak kamu juga lagi pada pulang lho, ayolah pulang, biar bisa ngumpul sekeluarga." pinta Rani—bundanya Satria. Sudah beberapa bulan anak bungsunya ini tidak pulang ke Bandung dengan alasan sibuk. Sebagai seorang ibu, tentu saja ia merindukannya.

"Beneran sibuk Bun," jawab Satria jujur.

"Tiap kali Bunda minta kamu pulang pasti jawabnya sibuk terus." Kali ini bundanya tidak akan goyah untuk terus membujuk dirinya agar pulang. Bukan menyerah lantas mem-biarkan Satria tidak pulang seperti bulan-bulan lalu.

"Ya emang sibuk Bun." Sekali lagi Satria meyakinkan bundanya agar percaya sambil membalik kertas proposal yang sedang ia koreksi.

"Pokoknya nggak ada tapi-tapian! Kamu harus pulang! Nggak kasian apa? Kakak-kakakmu jauh-jauh terbang ke sini buat ngumpul keluarga. Kamu yang cuma Jakarta-Ban-dung malah jarang pulang. Emang kamu bang toyib apa?!" Ceramah bundanya mulai meng-gunakan the power of emak-emak agar dirinya menurut.

Satria menghentikan kegiatannya, meletakkan pensil dan memijit kening, menelaah kembali kalimat Bundanya yang menyebut kakak-kakaknya—salah satu alasan Satria tidak ingin pulang. Alasan itu pula yang membuatnya melarikan diri ke Jakarta.

Karena hening beberapa saat, bundanya kembali bersuara. "Haloooo ...."

"Ya udah, entar sore pulang," kata Satria akhirnya, berharap bunda cepat menutup telpon agar kerjaan pengoreksian ini tidak tertunda lagi seperti kemarin-kemarin. Penun-daan kerjaan ini semua karena Bulan yang terus saja merecokinya dengan pertanyaan ,"Sat, kenapa lo jadiin gue pacar?"

Oke, awalnya Satria tidak terganggu dengan pertanyaan itu. Ia juga dapat menjelaskan alasannya dengan mudah jika waktu dan tempatnya tepat. Bukan di jalan saat mengendarai motor. Kemarin, saat sudah menemukan waktu dan tempat yang cocok serta hendak menjemput Bulan, mata Satria tidak sengaja melirik buku yang masih dalam plas-tik—yang beberapa hari lalu ia beli dengan Bulan. Jadi ia tidak tahan untuk tidak membaca buku itu hingga katam dan melupakan niat untuk menjelaskan pertanyaan Bulan atau me-ngoreksi proposal. Dan sekarang proposal itu harus benar-benar selesai sehingga senin esok sudah dapat dimintakan tanda tangan kepala sekolah.

Setelah bunda menenutup telpon, Satria kembali mengoreksi. Sekali lagi membaca proposal itu sampai merasa yakin tidak ada typo lagi baru kemudian menge-print dan menjilidnya.

Jam sebelas siang, Satria turun dari lantai apartemen menuju parkiran basement, masuk rubicon hitam dan melajukan mobil itu menuju rumah Bulan.

Seperti biasa, orang pertama yang ia temui adalah mamanya Bulan yang sedang berbicara dengan pelanggan di D'Lule. Wanita paruh baya itu memberi kode dengan tangan agar dirinya menunggu sebentar saat melihatnya melangkah masuk toko.

"Eh nak Satria baja hitam, tumben weekend gini main ke sini?" tanya Erlin sembari berjalan mendekati Satria.

"Bulan ada Tante?"

"Lagi nganterin pesenan, bentar lagi juga dateng, perlu Tante telponin?" Satria yang melihat wannita paruh baya tersebut hendak mengambil ponsel pun menghentikannya.

"Nggak usah Tante, saya tunggu aja," ucapnya. "Oh ya saya mau minta ijin ngajak Bulan pergi hari ini Tan." Lanjut Satria setelah mengingat tujuannya datang ke rumah pa-carnya.

Erlin tersenyum, seperti peka dengan keadaan dirinya da mnalah menggoda Satria. "Mau kencan ya? Boleh kok bawa aja dari pada kerjaannya ngebo mulu."

"Sebenernya saya mau ngajak Bulan ke Bandung," jelas Satria. Kotan melunturkan senyum wanita paruh baya itu. Di gantinkan dengan kernyitan alis.

"Kok jauh? Kalau jauh-jauh Tante nggak ngijinin."

Satria dapat memahami perasaan lawan biacaranya yang pasti mengkhawatirkan a-nak gadis beliau ketika akan di bawa pergi jauh. Apa lagi dengan seorang laki-laki. Sebagai seorang ibu, pasti mamanya Bulan akan cemas dan takut terjadi apa-apa. Namun, Satria sangat membutuhkan gadis itu untuk ikut. Jadi ia berusaha meyakinkan Erlin.

"Mau ngajak main Bulan ke rumah saya Tante, rumah saya di Bandung. Tadi bunda saya habis telpon," terang laki-laki itu mencoba membuat wanita paruh baya yang sedang meneliliti letak kebohongan di wajahnya agar paham.

Sembari menunggu beliau berpikir, Satria melanjutkan kalimat. "Saya mengerti Tan-te pasti khawatir, tapi saya janji nggak bakalan macem-camem dan nggak bakalan pulang malem Tan. Kalau ada apa-apa saya yang berusaha jagain Bulan."

"Malah justru Bulan yang Tante khawatirin, takut nggak bisa jaga sikap di depan ke-luarga kamu."

"Tenang Tante, saya yang baklan bombing Bulan. Keluarga saya juga pasti seneng sama Bulan."

Usaha gigih Satria pun membuahkan hasil. Membuat Erlin percaya. "Ya udah, tolong ya nak Sat. Tapi inget! Nggak lebih dari jam sembilan malem! Awas aja kalau macem-macem sama Bulan! Gini-gini, dulu Tante ikut karate lhooo, paham kan?"

Bandung, 2 Oktober

16.02 p.m.

Jam empat sore, mobil rubicon hitam yang mereka tumpangi sudah tiba depan pelataran rumah Satria. Laki-laki itu menarik hand rem, melirik ke kursi samping tempat ga-dis yang kini sedang tertidur pulas dengan mulut sedikit terbuka.

"Oi, bangun," panggil Satria. Manusia yang di panggil masih belum ada tanda-tanda merespon. Satria kembali memanggil, kali ini dengan mengguncang tubuh yang sedang tidur nyenyak itu pelan. Namun memang dasar tukang tidur, Bulan masih belum bangun.

"Astaga," gumam Satria, urat-urat yang ada di wajahnya sudah mulai menonjol. Demi kerang ajaib! Ia harus menahan amarah karena sudah berjanji tidak akan marah pada Bulan, tapi jika seperti ini mana bisa Satria memegang janjinya sendiri?

Tiba-tiba sebuah gagasan muncul. Tangan Satria menggeser layar ponsel, mencari se-suatu di YouTube, menaikan volume player maximal. Sekali tekan lagu happy three little friends berteriak mengagetkan Bulan.

"Siap ibu negara!" sentaknya kaget dan melotot mendapati laki-laki di sebelahnya se-dang menahan tawa sesudah mematikan YouTube.

"Ish!" Bulan mengeram, meletakkan jari-jemari di pelipis untuk memijit kepalanya yang pusing karena tiba-tiba harus bangun dengan cara tidak elegant dan memalukan.

"Ngapain sih usil aja! Baru tahu lo bisa usil!"

"Udah sampe, bukannya ditemenin malah di tinggal tidur!" Emosi yang sebelumnya tumbuh tiba-tiba lenyap karena melihat tingkah konyol Bulan. Satria juga sudah mematikan mesin mobil, melepas seatbelt dan bersiap turun.

"Eh?" Hanya muka cengo yang dapat Bulan perlihatkan. Kepalanya celingukan melihat sekeliling. "Rumah siapa Sat? Gedhe banget, rumah apa gedung DPR ya?" Mata ga-dis itu masih mengamati sekeliling dengan norak, menatap takjub bangunan di depannya saat mengikuti Satria meluncur turun dari mobil. Menghiraukan terpaan angin dingin sore hari kota Bandung yang menerpa wajah manisnya.

Laki-laki itu tidak menjawab melainkan berhenti melangkah. Kepalanya di putar menghadap Bulan yang tertinggal di belakang lalu mengernyit. "Minta tisyu basah," ucap Satria sambil mengulurkan tangannya.

"Buat?"

"Ngilangin iler di pipi kiri lo!" Jawaban Satria sukses membuat Bulan melotot sambil megangi pipinya yang sedikit basah. Dengan raut wajah malu, cepat-cepat mengeluarkan ti-syu basah dan mengelap pipinya.

Merasa gerakan gadis itu lama, Satria mengambil alih tisyu basah dari tangan Bulan dan membantu mengelapnya hingga bersih. Tidak lupa menggandeng tangan kekasihnya dan berjalan menuju pintu utama.

"Rumah siapa sih Sat?" bisik Bulan sebelum Satria membuka pintu lalu seorang wani-ta paruh baya anggun nan cantik sedang berkacak pinggang di foyer depan.

"Anak Bunda udah dating," seru sosok anggun tersebut lalu menjatuhkan tatapannya pada Bulan. "Eh siapa cewek manis ini?"

Bulan yang masih terkejut mendapati dirinya berada di rumah megah yang ternyata milik orang tua Satria, apa lagi ketika bunda laki-laki itu tersenyum ramah kepadanya, jadi merasa canggung.

"Wah wah wah liat sapa nih yang dateng." Tiba-tiba terdengar suara seseorang, mem-buat wanita paruh baya anggun yang sudah menurunkan kedua tangannya, Bulan dan Satria, menoleh ke sumber suara itu yang ternyata seruan dari seseorang laki-laki yang kelihatan lebih tua dari Satria. Suaranya berat tapi tidak seberat Satria. Wajahnya seperti sombong de-ngan smirk smile meremehkan.

Merasa genggaman Satria mengerat, Bulan meliriknya. Ia melihat rahang laki-lahi itu mengeras, gigi gemerutuk, kedua alis yang saling bertautan, otot-otot yang mulai bermuncul-an hingga membuat wajah pacarnya itu memerah. Entah mengapa aura dalam ruangan itu jadi menggelap. Dan satu hal yang Bulan pahami serta pahami bahwa Satria sedang menahan a-marah yang luar biasa saat ini. Tapi kenapa?

______________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang uda baca dan komen

Maaf ya guys baru bisa update karena beberapa hari ini saya kena writer block syndrome, terus akhirnya malah nonton film dan baca novel - novel pengarang favorit saya

Syukurlah bisa lanjutin ini lagi

Well, see you next chapter teman temin

With Love
Chacha Nobili
👻👻👻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro