Tak Siap Terluka
Ketukan pintu mengusik seseorang yang tengah terlelap, perlahan dia duduk dan mengerjapkan mata. Ruangan yang semula gelap terlihat terang, bahkan sebuah selimut telah membalut tubuhnya. Sadar bahwa ada yang berbeda, membuatnya seketika menegakkan badan.
Tok ... tok ... tok....
Tantri bergegas berjalan ke arah pintu, menyingkirkan rasa penasarannya. Didapatinya wajah mama yang tersenyum lembut meski terlihat jelas mata sembab yang tak jauh berbeda dari matanya, pasti sang mama juga menangis semalam.
"Shubuh,Nak. Setelah itu siap-siap terus ke meja makan, kita sarapan bersama. Mama tahu dari kemarin kamu sama sekali nggak nyentuh makanan. Semalam Pras nyusul kamu ke kamar buat ingetin makan malam, tapi katanya kamu sudah tidur. Jaga kesehatanmu, sayang. Cuma kamu yang mama punya sekarang," ucap Rahayu seraya mengelus sekilas pipi Tantri kemudian berbalik tanpa mengatakan apa pun lagi. Melihat mata sang Mama yang mulai berkaca ketika bicara tadi, tantri tahu betul jika sang mama sedang berusaha untuk tegar sekarang.
Tantri menyandarkan diri di balik pintu setelah menutupnya, dirinya kembali luruh dalam tangis. Papa, satu kata yang meruntuhkan dunianya ketika sadar kini hanya tinggal sang mama yang ada disisinya selain Pras yang entah kini ada di mana.
***
Usai Membersihkan diri dan melaksanakan kewajibannya, Tantri menuju meja makan. Ternyata hanya ada mama dan sang paman yang duduk di sana. Mengerti dengan tanda tanya keponakannya, Hendra berkata," Pras sudah berangkat ke kantor pagi-pagi. Ada beberapa pertemuan yang tidak bisa ditunda. Untuk sementara, dia yang akan mengurus pekerjaan Papamu yang sempat terbengkalai selama Mas Wisnu sakit, sampai kamu nanti siap menggantikannya. Ada Bagas yang akan membantunya. Kamu tidak perlu khawatir."
Bagas, dia adalah asisten kepercayaan mendiang Wisnu yang seusia dengan Pras. Bahkan Bagas juga sahabat dekat Pras.
"Ayo sayang, kita sarapan. Setelah itu, kamu tolong antarkan bekal buat Pras, ya. Mama sudah siapkan, tapi karena buru-buru dia lupa bawa tadi," ucap sang mama sembari mengangsurkan piring yang telah berisi sarapan pada Tantri.
"Baik, Ma."
***
Bukan pertama kali Tantri menginjakkan kaki di gedung bertingkat ini, namun kali ini sungguh rasanya amat berbeda. Jika biasanya dia datang bersama papanya untuk bekerja, kali ini dia datang sendiri tanpa sang papa bukan untuk bekerja melainkan untuk menemui Pras.
Menghirup napas dalam, Tantri menghalau kenangannya bersama mendiang Wisnu. Diayunkannya langkah seraya menyapa resepsionis dan pegawai yang berpapasan dengan senyum dan anggukan kepala ketika menuju lift untuk sampai pada ruangan tempat Pras berada.
"Lalu, Apa yang mau kamu lakuin sekarang? Mau bagaimanapun kalian sudah menikah, apalagi itu dilakukan di depan jenazah Pak Wisnu." Samar terdengar suara bagas, menghentikan langkah Tantri di depan pintu ruangan yang sebelumnya selalu digunakan papanya bekerja. Menurunkan sebelah tangan yang semula siap mengetuk pintu, Tantri menggeser sedikit tubuhnya agar tidak terlihat dari pintu yang tidak tertutup sempurna agar bisa mendengar pembicaraan mereka.
Mendengar samar helaan napas dalam yang dia yakini dari Pras, Tantri mulai cemas akan apa yang Pras katakan setelah ini. Mungkin dari sini, dia bisa mengetahui apa yang dirasakan Pras setelah apa yang mereka lalui kemarin.
"Kami memang telah menikah. Tapi perasaanku untuknya masih sama, aku menganggapnya hanya sebagai adikku sendiri. Kamu tahu pasti, sama siapa aku akan mengatakan cinta." Sedikit samar namun telinga Tantri masih bisa mendengarnya. Itu suara Pras, pria yang kini berstatus suaminya.
Tantri tahu,bahkan sangat tahu kalau sejak dulu Pras hanya menganggapnya sebagai adik. Dia juga tahu siapa yang ada di hati Pras sejak tiga tahun belakangan ini. Anggi. Prasta terjebak dalam cinta yang terbalut persahabatan. Seminggu lalu dengan semangat Pras mengatakan jika hari ini pria itu berniat mengutarakan cintanya pada Anggi, namun semua itu urung dilakukan karena dia harus menikahi Tantri.
Tidak kuat untuk mendengarkan lebih jauh percakapan dua orang dalam ruangan itu, Tantri memutuskan berbalik serta meletakkan tas bekal di atas meja Bagas yang berada tidak jauh dari pintu ruangan Pras. Tantri menuliskan sebuah note kecil di sana. Tanpa bertemu dengan Pras, gadis itu bergegas pergi dengan menahan tangis sebelum Pras ataupun Bagas melihatnya.
Cinta memang tidak bisa dipaksakan, namun ketika takdir ternyata malah menyatukan mereka, apakah dia yang patut dipersalahkan?
....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro