Part 14 - Iket Rajut
Assalamualaikum sahabat pembaca.
Apa kabar nih?
Alhamdulillah hari ini aku bawa part baru.
Jangan lupa vote ya.
Boleh banget ajak teman-teman kamu untuk baca cerita ini. Jika cerita ini ada manfaatnya 😁
Happy reading.
💓💓💓💓💓💓💓
Merubah sesuatu yang tak biasa, apalagi itu adalah hal yang tak disenangi. Bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Semuanya butuh proses dari memaksa hingga jadi kebiasaan dan membutuhkan kesabaran untuk meraih keikhlasan.
💌💌💌💌💌💌💌💌
Merubah sesuatu yang tak biasa, apalagi itu adalah hal yang tak disenangi. Bukan sesuatu yang mudah layaknya membalik tempe di penggorengan. Bukan pula semudah membalikkan telapak tangan. Semuanya butuh proses dari memaksa hingga jadi kebiasaan dan membutuhkan kesabaran untuk meraih keikhlasan.
Iya, seperti itulah yang dialami Laura. Tak mudah baginya meninggalkan keasyikan berseluncur di dunia maya dan bermain ponsel. Sering sekali tidur larut, hingga sangat malas untuk bangun salat Subuh tepat waktu.
Hampir setiap hari Nabil tak pernah menyerah berusaha membangunkan Laura dengan cara apa pun itu. Mulai dari cara halus memanggilnya, menepuk pipi atau bahkan terkadang sampai sengaja mencubit hidungnya.
Tak jarang Laura bermuka kesal dan terpaksa bangun akibat jailnya kelakuan Nabil.
Seperti pagi ini, saat dirinya usai salat beberapa rakaat dan ditutup dengan salat witir tiga rakaat serta murojaah satu atau dua juz Al Quran. Nabil bangkit dari sajadah saat mendengar suara tarhim yang menggema dari toa masjid pondok.
"Ra, ayo bangun, Ra. Udah hampir subuh, tuh." Tangan Nabil terus menjawil pipi istrinya sampai gadis itu merespon dan tampak terusik. Namun, bukan Laura namanya jika ia langsung membuka mata. Tangan gadis itu bergerak cepat menyingkirkan tangan suaminya yang mengganggu.
Nabil yang tak mau kalah pun akhirnya memindahkan tangannya ke hidung Laura. Saat gadis itu merasa tak bisa bernapas, ia pun memberontak. Sempat membuka mata sedikit, tetapi hanya sebentar dan malah menggerutu, "Apaan, sih, Mas. Laura masih ngantuk banget ini." Bukannya bangun, Laura semakin mempererat pelukannya ke bantal guling.
Netra Nabil yang mengedar, tak sengaja melihat ponsel yang tergeletak berada di depan Laura. Ia pun menggeleng-gelengkan kepala, akhirnya ia tahu penyebab Laura susah dibangunin. "Pasti semalam begadang gara-gara ini," ucap Nabil lirih, lalu mengambil ponsel itu.
"Kalau kamu nggak bangun-bangun. Mas cemplungin, nih hape ke bak mandi." Laura yang memang belum menemukan kata nyenyak, bisa mendengar ancaman sang suami. 'Sial, aku lupa menyembunyikannya semalam,' umpatnya dalam hati.
Laura pun tak ada pilihan lain, meski terasa berat dan panas saat membuka mata. Ia pun hanya bisa nyengir seraya bangkit dari tidur.
"Astaghfirullah, Ra. Ra. Ternyata kamu lebih sayang sama ponsel dan nggak takut sama dosa besar kalau sengaja meninggalkan salat," kata Nabil seraya meletakkan ponsel itu ke dalam lemari, kemudian keluar dari kamar. Laura yang mendengar omongan sang suami pun ikut mengucapkan istighfar dalam hati karena perkataan Nabil sesuai dengan kenyataan yang dialami hatinya saat ini. Ia pun bergegas bangkit menuju kamar mandi, hendak bersuci sebelum salat berjemaah dengan sang suami.
---***---
Mentari menyapa penghuni bumi dengan sinarnya yang cerah. Secerah wajah sepasang suami istri yang kini sedang asyik berduaan di dapur.
Memasak, tak lagi menjadi sebuah pekerjaan berat atau pun sulit buat Laura. Sebab selama hampir lima bulan ini, hampir setiap hari ia memasak bersama sang Suami. Bahkan, kadang-kadang Laura juga sudah bisa memasak sendiri saat Nabil ada tugas keluar dari sang kiai.
Selepas beres sarapan bersama sang suami. Laura pun segera bersiap untuk berangkat ke sekolah, tetapi hari ini tak sepagi biasanya karena hari ini Laura ke sekolah hanya untuk mengambil rapor.
"Mas nggak ngajar hari ini?" tanya Laura begitu keluar dari kamar, ia melihat Nabil masih duduk santai dengan sarung dan kaos oblongnya.
"Setengah jam lagi, Ra. Kamu nggak rapotan hari ini?" Laura pun ikut duduk tak jauh dari sang suami.
"Iya rapotan, Mas. Tapi Laura mau mampir ke kamarnya Mbak Arin dulu sebelum ke kelas nanti."
"Emm gitu." Nabil tampak mengangguk-anggukan kepala, mengerti.
"Ya udah, aku berangkat duluan ya, Mas." Laura mengulurkan tangannya ke depan, tangan Nabil pun menyambutnya. Namun, saat sang istri mencium punggung tangannya, laki-laki itu melihat anak rambut Laura yang terlihat dari pucuk jilbabnya pada bagian atas kening.
"Oh iya, Ra. Bentar." Nabil bergegas bangkit, meninggalkan Laura yang ikut berdiri lalu bergeming menunggu kedatangan sang suami.
Tak lama, Nabil muncul dari kamar membawa sesuatu dan langsung menyodorkan ke arah sang istri. "Ini, Ra. Pakai dulu, biar nggak kelihatan tuh rambutnya. Meski dikit, itu juga aurat, lo."
Laura yang baru paham jika yang diberikan Nabil kepadanya adalah sebuah iket rajut langsung mengganggukkan kepala. "Mas dapat dari mana? Jangan bilang kalau diam-diam ini milik santriwati, salah satu fans-nya, Mas."
"Astaghfirullah, Ra, Ra. Emang Mas artis pakek fans-fansnan segala. Mas kemarin beli itu di koperasi putri," ucap Nabil sembari melihat Laura yang mulai melepas jilbabnya.
"Ah, yang bener, Mas. Emang nggak malu beli sendiri kayak gini? Kenapa nggak ngajak Laura. Atau Mas punya cem-ceman ya di sana?" Laura pun terus menggoda Nabil tanpa melihat ke arah sang suami karena kini netranya fokus melihat ke arah cermin, sedangkan tangannya mulai membalut kepalanya dengan kerudung setelah memakai iket pemberian sang suami dengan rapi.
"Astaghfirullah, Ra. Jangan biasain su'uzan, Ra. Nggak baik, dosa pula. Kemarin Mas ada rapat pengurus. Mumpung lewat dan inget kalau kamu pakai kerudung sering kelihatan rambut kayak gini. Jadi Mas langsung beli aja sendiri. Kamunya, kan sekolah.
"Hehehe iya, iya maaf. Becanda aja kok, Mas. Hmmm Mas so sweet banget, sih. Cara negurnya nggak bikin Laura sakit hati. Langsung dibeliin lagi," ucap Laura dengan wajah semringah menatap sang suami.
Nabil pun tersenyum seraya menganggukkan kepala pelan. "Yang penting kamu nurut, itu udah buat Mas seneng, kok. Nah, kalau gini, kan cantik." Laura sempat terpaku saat mendengar kata cantik yang terlontar dari lisannya. Apalagi sejak tadi Nabil tak henti menatap dirinya.
"Udah, gih, berangkat. Hati-hati ya di jalan. Mas mau siap-siap," imbuh Nabil yang membuat Laura tersadar dan langsung tersenyum lalu menganggukkan kepala.
"Oke, Pak Ustaz. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam warohmatullah wabarokatuh."
Makasih, Ra. Udah mau nurut sama aku. Semoga dengan cara ini, Allah rida dengan apa yang aku lakukan dan kamu pun mendapatkan rida-Nya. Ini sudah menjadi kewajibanku sebagai suami. Tapi ... maaf, Ra. Sampai sekarang aku belum mampu memberimu nafkah batin, ucap Nabil dalam hati saat netranya terus menatap punggung Laura yang semakin menjauh.
---***---
Pergi dengan wajah senang, pulangnya malah murung. Begitulah yang dialami oleh Laura. Ingin rasanya ia marah, memaki-maki ustazah yang menyerahkan rapor untuknya. Namun ia sadar, jika dirinya melakukan hal itu, bukan dirinya saja yang malu, tetapi juga akan membuat malu Nabil malu.
"Aaahhh! Emang aku nggak pantes jadi istri ustaz!" teriak Laura sembari menjambak rambutnya sendiri. Air matanya kembali berlinang dengan cepat menganak sungai.
"Laura ... Kamu ini istri ustaz Nabil, kan? Kok bisa, sih. Nilai kamu jelek seperti ini."
Kalimat yang tadi diucapkan oleh Ustazah Badi' kembali terngiang-ngiang di rungunya. Membuat hati seakan teriris perih oleh pedas kata-kata wanita itu. Memang, sih kata-kata itu terdengar dari sumber suara dia yang lembut. Namun, entah mengapa, Laura seakan tak terima jika apa yang diraihnya saat ini, disangkut pautkan dengan sosok Nabil.
Laura bangkit dengan hati yang dipenuhi emosi. Dengan kasar kedua tangannya menghempaskan air mata yang memasahi pipi dan langkahnya lebar menyisiri jalan menuju lemari. Apalagi saat mengingat cibiran teman-temannya yang mendengar penuturan ustazah tadi.
Isi otaknya benar-benar mempengaruhi pikirannya dengan prasangka buruk. 'Dari pada nanti dimarahin Mas Nabil, Mama dan Papa. Mending aku pergi aja dari sini,' batinnya.
Tangan Laura bergerak mengambil ransel dan memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya. Namun, belum juga ia beres melakukan niatannya. Tiba-tiba terdengar suara Nabil mengucapkan salam. Laura pun kelabakan, apa yang harus ia lakukan? Jangan sampai Nabil tahu isi rapor yang banyak menuliskan angka merah itu.
"Ra ... kamu kenapa?" tanya Nabil begitu dirinya tiba di ambang pintu kamar. Melihat Laura sedang duduk di tepi ranjang.
"Mas ... aku pingin nginep di rumah Papa, Mama. Kangen," rengek Laura.
Nabil pun melangkah masuk. "Kamu habis nangis?" tanya Nabil saat melihat mata sembab sang istri.
Laura dengan cepat mengangguk. "Hanya karena kangen papa sama mama?" Laura diam sejenak, lalu dengan ragu-ragu menganggukkan kepala.
Kening Nabil sontak berkerut, heran kenapa tiba-tiba sang istri menangis hanya karena kangen orang tuanya. Padahal sebelum ini tak pernah terjadi.
"Ya udah, besok pagi ya, Mas anter. Kalau sekarang kan udah siang, panas."
"Eh ... nggak usah, Mas. Biar Laura aja sendirian. Nggak apa-apa, kok. Nggak bakalan nyasar juga."
Nabil tampak menghela napas cukup panjang lalu duduk di samping Laura. "Bukan masalah nyasar atau nggak, Ra. Tapi kamu ini tanggung jawab, Mas. Nggak baik perempuan bepergian seorang diri."
Laura diam dan tertunduk, mengacuhkan Nabil yang menatapnya lamat-lamat. "Beneran kamu nangis hanya karena rindu mama sama papa?" Nabil mulai curiga, membuat hati Laura semakin berdebar kencang.
Melihat Laura yang bungkam membuat Nabil memutar posisi duduknya agar menghadap sang istri. Ia pegang pundak Laura dengan tangannya sembari berkata. "Ra ... bilang sama Mas. Ada apa sebenarnya?"
Laura semakin menunduk, kedua tangannya saling memilin. Akhirnya, ia tak kuasa menahan gemuruh dadanya yang seakan semakin sesak. Air matanya luruh dengan lancang, tak lagi bisa dicegah.
"Loh ... kok malah nangis," ucap Nabil lembut kemudian tangannya bergerak mengusap belakang kepala Laura yang masih tertutup kerudung.
Nabil bingung harus melakukan apa. Ia hanya berusaha menenangkan sang istri dengan tidak banyak bertanya dan menuntut penjelasan sekarang juga. Sengaja ia hanya diam dengan netra yang sama sekali tak terlepas menatap Laura yang terus menangis.
"La-laura nggak pantes jadi istrinya, Mas. La-laura mau tinggal sama Mama dan Papa," ujar Laura akhirnya dengan sedikit terisak. Nabil terkejut mendengar kalimat yang meluncur dari lisan Laura.
Tangan Nabil memegang kedua pundak sang istri kemudian memutar posisi duduk gadis itu agar berhadapan dengan dirinya.
Laura yang masih terus menunduk sama sekali tak melawan. "Astaghfirullah, Ra. Kamu kenapa bilang kayak gitu? Kita udah nikah, jadi nggak usah bicarain pantes nggak pantes. Kita ini sudah suami istri, Ra." Gadis di hadapan Nabil itu kembali bergeming.
"Ra, sebenarnya ada apa? Cerita sama aku. Kalau kamu menganggap aku ini suami kamu. Kamu istriku, Ra. Aku sedih lo lihat kamu nangis kayak gini."
Kepala Laura perlahan mendongak. Mendengar penuturan Nabil barusan, membuat hatinya berdesir dan lebih tenang.
"Ta-tapi ... Mas harus janji, Mas nggak akan marah sama aku." Laura membalas tatapan Nabil dengan muka memelas, membuat bibir Nabil mengulum senyum dan tanpa ragu menganggukkan kepala.
.
.
.
.
.
Bersambung
14 Dzulqo'dah 1442 H
Gimana dengan part ini?
Kira-kira gimana respon Nabil ya?
Yuk tebak dan komenin.😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro