Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sektor Enam Belas

DONI senang dengan fakta bahwa Rina bukan cewek yang gampang menyerah. Meski berkali-kali ditolak, dia masih berusaha mengajak Andi ikut serta dalam rencananya. Jarang ada cewek dengan sifat tekun, gigih, serta ulet sekaligus. Rina punya segala kualifikasi yang dimiliki salesman.

Pada mulanya Rina memohon kepada Andi pada waktu-waktu tertentu, misalnya sewaktu jam istirahat, sepulang sekolah, atau pagi hari sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Namun dua minggu mengalami penolakan secara beruntun memaksanya bertindak tak mengenal tempat ataupun waktu. Contohnya ketika suatu waktu di tengah pelajaran bahasa Indonesia.

"Jadi ada yang tau salah satu contoh kalimat ajakan?"

Rina tiba-tiba nimbrung, dan dengan tergesa-gesa berseru, "Jadi gimana? Lo mau kan bantuin gue?"

Atau pernah suatu waktu ketika Andi di dalam WC dan dengan polos Rina berkata, "Bantuin gue dong..."

Atau pada suatu waktu di kantin, ketika di tengah berjubel murid yang mengantri Rina berlutut, matanya menatap Andi—suasana tiba-tiba mencekam bagi Doni—dan berkata, "Will you help me? Please say yes..."

"No."

Tak ingin Rina melangkah lebih jauh, maka Doni turut serta dalam usaha membujuk Andi. Selama berhari-hari dia memikirkan cara paling ampuh untuk membujuk Andi agar mau membantu Rina. Tapi perenungan berhari-hari ternyata tak menghasilkan apa-apa. Dia hanya bisa melontarkan pertanyaan, "Kenapa sih lo gak mau bantuin Rina?"

"Kenapa gue harus mau bantuin Rina," Andi balik bertanya.

Tanpa sempat berpikir, terlintas begitu saja, Doni berkata, "Lo sadar gak kalau Rina orang pertama yang mau temenan sama kita?"

Andi terdiam sejenak, lalu dalam diam mengangguk setuju. Dalam hati Doni berteriak, "YES!"

*****

Maka sesaat setelah mata pelajaran terakhir selesai, Doni buru-buru mengajak Andi untuk menemui Rina. Namun, rupanya Rina sudah ada di pintu kelas, berlutut untuk yang kedua kalinya, menatap Andi dan berkata, "Will you help me? Please say yes..."

"I... will..." kata Doni terpesona. "Andi mau bantuin lo."

"Kok bisa?" ucap Rina heran.

Jadi setelah menceritakan kejadiannya ketika mereka di kantin, percakapan selanjutnya adalah rincian rencana dan persiapan apa saja yang dibutuhkan.

"Gue sudah dapet pengganti Mbah Sugeng. Jadi kita tinggal nentuin kapan dan di mana tempat yang jadi tujuan kita," Rina menjelaskan. "Tapi gue lupa bawa catatan gue. Ketinggalan di rumah."

"Lo gak masalah deket-deket sama kami, terutama sama gue?" tanya Andi.

"Emangnya kenapa?"

"Lo gak takut nanti dijauhin sama murid-murid yang lain?"

"Enggak tuh..."

"Lo yakin?"

"Hai, Rina," sapa anak laki-laki dengan wajah berminyak.

"Hai juga..."

"Franco," kata anak laki-laki dengan wajah berminyak. "Sendirian aja?"

"Enggak kok—ini ada Doni sama Andi."

"Oh... dah, Rina."

Anak laki-laki dengan wajah berminyak, dengan wajah yang bisa lengket di amplop kayak perangko, pergi.

"Kalian ada kegiatan setelah ini?" tanya Rina.

Doni dan Andi menggeleng.

*****

"Kita di sini aja. Ini tempat favorit gue soalnya," kata Rina.

Rina membawa Doni dan Andi ke perpustakaan di rumahnya. Di sana buku-buku berdesakkan. Judulnya pun bermacam-macam, mulai dari yang gampang seperti Kiat Sukses Meraih Cita-Cita, ada yang dalam bahasa Inggris seperti Rich Dad, Poor Dad, sampai dengan judul dalam bahasa Cina, India, Vietnam, dan sebagian lainnya yang dicurigai dalam bahasa alien. Dan Doni, yang saat ini menyentuh buku yang judulnya berwarna emas, semakin terpesona.

"Gue suka cewek berwawasan luas..."

"Buku bacaan gue bukan di sana, tapi di sini," ujar Rina, menunjuk ke sudut kecil, berdebu, dan suram.

Doni pindah ke sudut yang ditunjuk Rina. Kali ini judul buku-buku yang dia temukan agak aneh, seperti Diskriminasi dalam Sudut Pandang Pocong. Isinya mengenai psikologis pocong dan permasalahan sosialnya. Atau ada juga buku dengan muatan ekonomi, judulnya Budidaya Tuyul sebagai Pendukung Devisa Negara. Di sampul bagian belakangnya Doni menemukan komentar dari pakar ekonomi nasional: Buku ini harus menjadi pegangan wajib bagi mereka yang frustrasi pada laju ekonomi negara. Merdeka! Merdeka! Merdeka!

"Yah... paling enggak dia suka membaca," gumam Doni.

"Ehem... oke... kita mulai sekarang. Jadi, berdasarkan jumlah penampakan yang muncul, sekolah kita dibagi dua puluh tiga sektor yang dikuasai masing-masing makhluk halus." Rina membuka buku catatannya. Di dalamnya ada denah sekolah dan garis pembatas wilayah-wilayah. Di dalam masing-masing wilayah ada tulisan kecil-kecil, semacam penjelasan lebih rinci wilayah tersebut. "Jadi..."

"Tunggu dulu!" potong Andi. "Penampakan?"

"Iya... emangnya kenapa?" kata Rina.

"Tau gak sih penampakan artinya apa?" Rina menggeleng bingung. Lalu dengan enggan Andi berkata, "Artinya seram! Muka mereka pasti banyak yang ancur!"

"Enggak kok! Sebagian ada yang mukanya baik-baik aja, cuma badannya yang ancur!"

Doni menelan ludah. Ini jelas bukan sebagaimana lazimnya percakapan antara remaja tanggung.

Rina, yang sadar bahwa ucapannya malah membuat suasana makin suram, berkata, "Tenang... kalau gitu sektor pertama yang kita datangi yaitu Sektor Enam Belas. Penguasanya mbak-mbak... muka sama badannya masih utuh kok!"

"Mbak-mbak? Bisa ceritain lebih rinci gak?" tanya Andi bimbang.

"Gak bisa. Informasinya sedikit," jawab Rina, tangannya menunjuk tulisan kecil-kecil di dalam buku catatannya. "Maka dari itu sekarang kita siapin daftar pertanyaan buat mbak-mbak itu nanti."

"Contohnya apa?" tanya Doni, pura-pura ingin penasaran.

"Misalnya kayak: Apakah jumlah kebohongan seseorang berbanding lurus dengan jumlah penampakan yang dialaminya?" kata Rina.

"Gimana kalau: Apa pendapat Anda terhadap reaksi orang-orang yang melihat Anda?" ujar Doni.

"Ya, bagus... pertanyaan yang cukup sensitif sebenarnya, tapi oke."

"Kalau begini: Apakah kalian masih waras?" ujar Andi. Dia agak cemas sekarang.

"Kapan kita ke Sektor Enam Belas?" tanya Doni, berusaha mengalihkan topik pembicaraan ketika Rina agak jengkel.

"Kita akan menyusup nanti malam," kata Rina mantap.

*****

Penyusupan berjalan lancar. Untunglah penjagaannya tak seketat skinny jeans Doni. Dengan mudah mereka segera melewati gerbang sekolah. Kebetulan saat itu penjaga sekolah sedang tidur.

Doni berjalan dengan hati-hati. Dia hampir selalu menoleh ke belakang setiap dua langkah, menoleh ke kiri setiap tiga langkah, dan menoleh ke kanan setiap empat langkah. Andi, yang berada paling depan, yakin bahwa Doni lagi sakit leher sementara Rina punya pendapat lain: Doni pasti lagi Senam Kesehatan Jasmani.

Akhirnya mereka bertiga tiba di Sektor Enam Belas. Ternyata letaknya berada di koridor di sekitar ruang kepala sekolah. Doni agak kesusahan sewaktu mengeluarkan kertas daftar pertanyaan dari saku skinny jeans-nya. Dia membaca ulang beberapa pertanyaan, "Ehem... nama Mbak siapa? Kenapa bisa tinggal di sini?"

"Bagus... suara lo terdengar sopan," Rina menilai. "Sekarang kita tinggal berharap semoga keberadaan Andi menarik perhatian penguasa area ini. 'Semoga gue kesurupan'."

Mendengar kalimat terakhir Rina yang bernada penuh harap, Doni, dengan sepenuh hati dan semangat menggebu-gebu, berteriak, "HALO, MBAK-MBAK! HALO, MBAK-MBAK MUDA!"

"Shhh!" desis Andi. "Nanti penjaga sekolah bangun!"

Doni mendadak terbelalak.

"Ada apa? Lo lihat sesuatu?" tanya Rina penasaran.

Doni tak menjawab. Barusan dia melihat sekelebat bayangan putih. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa tadi cuma salah lihat. Mungkin tadi cuma karena faktor pencahayaan.

"Ngomong aja," kata Rina kepada Doni.

Namun bukan Doni yang selanjutnya berkata, melainkan Andi. Wajahnya pucat. Seraya menunjuk ke samping, suara cemprengnya terdengar, "Sekarang gue paham kenapa sektor ini penguasanya disebut mbak-mbak. Tadi gue lihat kuntilanak."

"G-g-gue su-dah tau," kata Doni gemetar.

"Kok bisa?" tanya Andi, penasaran sekaligus waswas.

"Dia ada di belakang lo sekarang," sahut Rina. "Agak seram ternyata..."

Leher Andi tiba-tiba kaku. Dia tak berani menoleh ke belakang. Dan yang selanjutnya terjadi adalah teriakan dan makian. Semuanya kacau, dan Doni sempat melempar kertas daftar pertanyaannya. Tanya-jawab dengan kuntilanak jelas bukan ide brilian.

"Tunggu sebentar! Dia ada di belakang gue sekarang," kata Andi, dengan ekspresi yang kurang sesuai—dia tersenyum. "Mbak-mbak Sektor Enam Belas di belakang gue..."

Doni agak bingung sekaligus takut sekarang. Apakah dilanda ketakutan bisa menghilangkan kewarasan seseorang?

"Don, lo sadar gak kalau gue gak kesurupan?" kata Andi. "Padahal ada makhluk kayak gini di belakang gue."

"Eh, bener juga tuh!" Rina membenarkan.

"Ini bukan saatnya untuk..."

"Gue normal, Don!" seru Andi sambil mengguncang-guncang bahu Doni. "Gue gak gampang kesurupan sekarang!"

"Kita harus lari dari..."

"Gue normal, Don!"

Beberapa saat kemudian mereka saling berpelukan sambil berlari menyamping, seakan ada api unggun di tengah mereka. Dan Doni terjebak dalam situasi di mana dia bahkan tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri.

"Gue gak kesurupan, Don!"

"Dia normal," kata Rina.

"Kuntilanak-nya sekarang di tengah-tengah kita!" bentak Doni.

"Bukan masalah gue," jawab Andi.

"Dia normal," kata Rina.

Doni pingsan.





sorry, kalian harus follow dulu untuk bisa liat bab terakhir. ini gue lakukan demi keamanan :(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro