Nenek Moral
SUDAH beberapa hari lewat sejak penyusupan ke Sektor Enam Belas. Doni merasa ada yang berubah. Belakangan ini Andi seakan-akan menjauh darinya, meskipun mereka berada di kelas yang sama. Andi hanya bisa ditemui saat pelajaran dimulai. Dia selalu menghilang selepas pelajaran, dan mereka semakin jarang mengobrol. Tapi bukan itu masalah utamanya.
Beberapa hari ini Rina hampir tak bisa ditemui. Kalaupun bertemu, itu cuma sekilas lihat, itu pun dari jauh. Doni galau. Dia bingung memikirkan di mana letak kesalahannya. Kenapa semua ini terjadi? Kenapa sahabatnya menjauh? Kenapa Rina ikut-ikutan menjauh? Apa semua ini karena dia pingsan di Sektor Enam belas?
Namun keesokan harinya akhirnya Doni tahu kenapa Andi dan Rina menjauh. Alasannya berbeda dengan yang dia pikirkan.
"Don, sekarang gue tau kenapa gue gak kesurupan," kata Andi di koridor sebelum pelajaran pertama dimulai. "Gue sudah seminggu gak kesurupan lho!"
"Yeee," balas Doni, suaranya tidak antusias.
"Gue yakin ini semua karena Rina," sambung Andi. "Ini gara-gara gue ngikutin Rina seminggu ini."
"Jadi... seminggu ini lo berduaan sama Rina? Cuma ber-dua?"
Andi mengangguk girang.
"Gue juga sudah bilang sama Rina biar gak ngajak lo lagi. Lo gak perlu repot-repot lagi ngurusin gue sekarang. Oke, dah... gue ke tempat Rina dulu."
Andi pergi sebelum Doni sempat bilang ingin ikut. Tanpa Andi seisi sekolah terasa asing. Dia kenal dengan banyak murid, tapi tak satu pun menginginkan keberadaannya. Mungkin ini saat yang tepat untuk membaur, membangun citra baru di hadapan murid-murid. Kali ini dia akan mencoba bergabung dengan sekelompok murid laki-laki di koridor.
"Lagi ngomongin apa nih?" ujar Doni, sok akrab. "Boleh gabung, kan?"
"Lo Doni temen Andi Pengebiri, kan?" kata anak laki-laki bertampang judes.
Doni mengangguk ragu-ragu. Dalam sekejap sekelompok murid laki-laki itu kabur, dan mereka pergi sambil menutup selangkangannya.
Doni menghela napas. Sekarang dia tak hanya menjadi orang aneh di sekolahnya. Dia adalah orang aneh yang sendirian.
*****
Doni tak tahu pasti apakah betul penyebab seminggu ini Andi tak kesurupan adalah Rina, atau hanya kebetulan. Yang dia tahu, di sekolah ini hanya ada dua orang yang menganggapnya teman, atau mungkin hanya dua orang yang melihat dia sebagai manusia: Andi dan Rina. Dan ketika waktu istirahat tiba, secara kebetulan Doni bertemu mereka di kantin. Mereka ber-dua sedang mengobrol.
"Kalian... kalian lagi ngomongin apa?" kata Doni yang menatap dengan wajah minta diajak bergabung.
"Ini kami lagi bicara mengenai rencana penyusupan kedua," Rina menjelaskan.
"Sektor berapa? Kapan? Gue boleh gabung gak?"
"Lo gak perlu maksain diri, Don," kata Andi tiba-tiba. "Lo gak perlu khawatir... sekarang gue gak bakal kesurupan lagi, karena ada Rina."
Rina tersenyum ke arah Andi. Tiba-tiba udara terasa panas bagi Doni.
"Gue mau kok. Gue bersedia, sukarela, betul-betul mau ikut," Doni memohon.
"Lo lupa, ya? Lo kan pernah pingsan waktu di Sektor Enam Belas," kata Rina.
"Gue gak akan pingsan lagi kok. Gue sekarang beda. Gue sudah gak nonton drama Korea lagi. Gue sekarang kuathh!" kata Doni, berusaha meyakinkan Andi dan Rina.
"Jangan deh, Don. Gue khawatir lo pingsan lagi," balas Rina dengan wajah khawatir.
"Iya, Don. Lagian gue gak mau gotong lo untuk kedua kalinya. Berat badan lo nambah tiga kilo kayaknya," kata Andi.
Akhirnya hari yang Doni takutkan datang. Dia tak menyangka hari itu datang begitu cepat. Dia tak menyangka bahwa akhirnya dia sudah tak punya alasan lagi untuk berada di dekat Rina. Dan dengan langkah tertatih-tatih, dia pergi.
Meskipun Doni pergi, percakapan di antara Andi dan Rina terus berlanjut. Topik pembicaraan mereka bukan lagi soal rencana penyusupan kedua mereka.
"Kenapa lo ngebet banget jadi normal?" tanya Rina.
"Gue mau kayak lo. Gue mau disapa banyak orang. Gue mau punya banyak temen," jawab Andi serius.
"Oh, gitu... tapi lo sadar gak kalau lo punya sesuatu yang gak pernah gue miliki?"
Andi menggeleng bingung.
Rina melanjutkan, "Lo punya sahabat."
Tiba-tiba anak laki-laki berponi ganda menyapa, "Hai, Rina."
Sambil bingung, tak siap menerima sapaan, Rina membalas, "Hai..."
"Toni."
"Hai, Toni."
*****
Sekarang Doni benar-benar orang aneh yang sendirian. Dia duduk di kantin keesokan harinya sewaktu jam istirahat, memesan semangkok bakso untuk dirinya sendiri, dan menatap murid-murid di sekitarnya yang balik melihat, dan menjauh. Dia sudah terlanjur dicap aneh.
Semangkok bakso pesanannya akhirnya tiba. Ada sedikit kesenangan yang muncul. Entah kenapa Doni mendadak ingat hari pertama bertemu Andi, yang diawali oleh semangkok bakso. Hari itu mereka masih terlalu kecil untuk paham, masih terlalu kecil untuk menyadari bahwa takdir akan mengikat mereka, memaksa mereka untuk bersahabat.
Tetapi saat ini dia sendirian. Dia ditinggal sahabatnya.
"Gawat, Don!" seru Rina, yang mendadak muncul. "Andi sekarang di UKS! Dia kesurupan lagi! Gue gak tau kenapa dia tiba-tiba kesurupan, tapi yang jelas dia harus sadar secepatnya!"
Doni menaruh semprotan air garam di atas meja, menyodorkannya ke arah Rina, lalu menuangkan dua sendok cabe rawit ke dalam mangkok baksonya.
"Ayo kita pergi! Kan cuma lo yang bisa nyadarin Andi!" desak Rina.
"Lagi makan, jangan ganggu," jawab Doni.
"Gue kecewa sama lo... gue kira lo bukan jenis orang yang melakukan sesuatu atas kepentingan pribadi. Ternyata lo cuma orang yang ninggalin sahabatnya sendiri, cuma mengincar keuntungan. Dan kalau itu sudah gak menguntungkan, maka lo pergi."
Rina buru-buru pergi, tergesa-gesa ketika mengambil semprotan air garam di atas meja. Doni menyantap semangkok baksonya, memaksa diri untuk menikmati setiap suapnya, dan berhenti, menyisakan sedikit kuah.
"Mau tambah?" tanya mamang bakso seraya mengintip mangkok bakso Doni. "Enggak? Kalau begitu semuanya delapan ribu."
Doni mengamati sedikit kuah di dalam mangkok baksonya, dan termenung sebelum akhirnya berlari sambil membawa mangkok baksonya.
"JANGAN KABUR!" teriak mamang bakso. "SAYA TAU SIAPA KAMU! SAYA TAU NAMA KAMU!" Kemudian dia mencegat seorang murid yang sedang lewat, dan bertanya, "Dia siapa?"
*****
Setibanya di UKS, Doni kaget melihat kondisi Andi. Untunglah dia segera sampai. Kali ini Andi dirasuki oleh makhluk yang berbahaya, dan ini tidak bisa dibiarkan.
"Lepass-iin!" seru Andi, meronta-ronta ketika tangan dan kakinya dipegangi para guru dan Rina. "Aku cuma mau ngupil!"
"Gak akan gue lepasin!" kata Rina. "Gue gak akan ngebiarin lo ngupil pake jempol kaki! Cukup lobang hidung sebelah kiri aja! Cukup sebelah kiri! Gak akan gue biarin yang kanan juga!"
Doni, yang melihat dari ambang pintu, mendadak semakin panik. Dia sempat melihat lubang hidung Andi sekilas. Dengan lubang sebesar itu Andi pasti bisa menyedot lima tawon yang lagi terbang bulat-bulat.
"Maaf, gue telat," kata Doni ketika menghampiri Rina.
"Doni..." ujar Rina, wajahnya agak kaget. "Tapi gue sudah ngabisin semprotan air garamnya! Gimana nih?"
"Sudah gue duga—makanya gue bawa ini," balas Doni sambil mengangkat mangkok baksonya tinggi-tinggi, menumpahkannya ke wajah Andi dan menyeka wajahnya. "Masalah selesai."
Detik selanjutnya Andi sadar secara ajaib. Para guru yang memegangi Andi pun pergi. Sekarang, di dalam UKS, mereka bertiga saling melihat satu sama lain.
"Kok bau kuah bakso? Pake cabe rawit lagi! Gue tadi kesurupan, ya?" tanya Andi.
Doni dan Rina mengangguk lemah. Mereka khawatir Andi akan kecewa berat. Anehnya, Andi malah tersenyum meski agak sinis.
"Lo gak apa-apa, kan?" tanya Doni, memandang khawatir pada lubang hidung Andi yang sebelah kiri. "Kayaknya lo gak akan pernah jadi normal."
Andi tersenyum. Dia tak khawatir meski tidak menjadi normal. Dia sadar bahwa sebenarnya dia tak membutuhkan banyak teman. Dia hanya membutuhkan sedikit teman untuk dirinya sendiri. Sedikit teman yang bisa dipanggil sahabat.
"Kayaknya kami butuh lo deh," kata Rina kepada Doni. "Andi bisa aja kesurupan sewaktu-waktu dan keberadaan lo, meskipun lo sempat pingsan... lo mau ikut, kan? Gak apa-apa, kan?"
"Kan gue sudah bilang kalau gue sudah beda," jawab Doni riang. "Gue sudah gak nonton drama Korea lagi sekarang."
"Kalian ngerasa ada yang aneh gak?" kata Andi tiba-tiba. "Udara di sini kok jadi lebih lega, ya?"
"Perasaan lo aja," balas Doni. Dia menatap sistem penyaringan udara Andi yang sudah jebol.
*****
"Selamat datang di Sektor Enam. Penguasa tempat ini adalah Nenek Moral," ujar Rina.
Doni memandang ngeri pohon pisang di halaman belakang sekolah. Saat itu adalah penyusupan kedua mereka. Rina amat yakin kali ini dia pasti kesurupan, karena Sektor Enam berbeda dengan sektor lainnya.
"Banyak kasus kesurupan terjadi di sini, dan alasan kenapa penguasa tempat ini disebut Nenek Moral adalah?" kata Rina, yang kemudian menatap Andi, menyuruhnya menjawab.
"Karena nenek-nenek penguasa tempat ini suka merasuki orang yang dianggap kurang bermoral ataupun temannya," jawab Andi, "kemudian memberikan pesan moral."
"Jadi yang harus kita lakukan adalah?" kata Rina, yang kemudian memandang Doni, menyuruhnya menjawab.
"Menunjukkan betapa tak bermoralnya kita, dan gue yang pertama" balas Doni. "Gue pernah buang sampah sembarangan! Bukan cuma pernah, tapi sering!"
"Cuma itu? Yang kayak gitu sih banyak di mana-mana," Andi mencela. "Gue pernah nyontek pas ujian! Tapi gak jadi karena takut sama guru..."
"Kalian sama aja—cemen!" ejek Rina. "Gue... gue pernah minjem pena temen terus gak gue balikin! Gak cuma sekali, tapi berkali-kali!"
Lima menit pun berlalu. Pernyataan-pernyataan yang pada awalnya bertujuan untuk menunjukkan betapa rendahnya moral mereka, dengan harapan akan memancing Nenek Moral untuk merasuki salah satu dari mereka terutama Rina, malah menunjukkan betapa dongo-nya mereka.
"Gue pernah ngelewatin lingkaran api!" seru Andi.
Tak mau kalah, Rina berkata, "Gue pernah ngemis-ngemis sama pengemis dan pengemisnya ngasih gue duit sebelum kembali ngemis-ngemis!"
"Gue pernah mimpi lagi tidur waktu tidur padahal gue gak tidur!" Doni ikut-ikutan.
"Gue... gue nyerah!" kata Andi. "Kita bertiga emang anak baik-baik."
"Itu gak bener! Kita bukan anak baik-baik!" kata Doni, dengan suara yang seakan-akan menganggap dirinya manusia rendahan. "Gue pernah, sewaktu semprotan air garam ketinggalan di rumah, pake ingus buat nyadarin Andi yang lagi kesurupan!"
Spontan Andi menggosok-gosok alisnya. Dia juga berteriak, bicaranya mulai meracau saat bilang bahwa Doni yang paling tak "bermoral", keji, dan tak berperikemanusiaan sementara Rina bertepuk tangan sambil bilang, "Bravo!" seolah-olah menanti pengakuan Doni barusan.
Sejauh ini pernyataan Doni barusan adalah tindakan paling keji yang pernah dilakukan. Namun sama sekali tak ada tanggapan. Nenek Moral tak kunjung muncul. Dan mereka bertiga duduk pasrah di dekat pohon pisang.
"Kenapa sih lo suka dengan hal-hal berbau horor?" tanya Doni tiba-tiba kepada Rina.
"Gue suka horor karena di dalamnya ada ketegangan, petualangan... meskipun sebenernya, kalau dipikir-pikir lagi, pada akhirnya alasan-alasan itu sama sekali gak ada maknanya. Sama aja misalnya kalau gue bilang bahwa gue suka jeruk karena rasanya asam, tapi bukan berarti gue suka lemon, meskipun rasanya juga asam. Intinya, gue suka hal-hal berbau horor karena horor itu sendiri. Gak pake alasan."
Doni terpesona. Dia tak pernah mendengar Rina menjelaskan sesuatu panjang-lebar. Selain itu diam-diam dia mengambil pena dan menulis sesuatu di tangannya: Rina suka jeruk. Dia bahkan sudah berencana membeli jeruk besok pagi, namun urung saat Rina terkekeh dan berkata, "Tapi bukan berarti gue suka jeruk lho."
"G-gue juga enggak..." balas Doni gugup.
"Tapi kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?"
Doni termenung.
"Gue suka sama lo."
"Kok bisa? Kenapa?" tanya Rina.
"Gue suka sama lo karena di dalamnya ada keberanian, kebaikan hati... meskipun sebenernya, kalau dipikir-pikir lagi, pada akhirnya alasan-alasan itu sama sekali gak ada mak-na-nya..."
Kata-kata Doni terputus. Dia terlalu gugup untuk melanjutkan, atau terlalu takut untuk mengalami penolakan karena Rina cuma diam. Suasana mendadak hening.
"Gue juga suka sama lo," ujar Rina malu-malu. "Gak pake alasan."
"Jadi kita..." kata Doni ragu-ragu, "kita... p-pac-char-an?"
"Cung, pacaran itu dosa lho!" seru suara nenek-nenek yang ternyata berasal dari Andi.
Doni dan Rina saling memandang, lalu menemukan irama untuk berteriak, "NENEK MORAL!"
TAMAT
Berhubung penulis mendapat cukup banyak desakan yang meminta chapter terakhir diupload, maka dengan bangga penulis persembahkan: Chapter terakhirrrr
Mohon divote jika suka, yang merupakan sarana Anda mengapresiasi karya saya yang enggak sempurna ini. Semoga dengan begitu, saya akan dapat menciptakan karya yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Jangan lupa follow jika ingin tawa yang pernah muncul ketika membaca karya saya terulang. Takutnya, pas saya mengupload cerita baru Anda ketinggalan berita. BYE!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro