KESEMPATAN KEDUA - 5
Repub tanpa edit 16/7/20
2/1/21
Masa lalu.
Kata yang terdengar sederhana tetapi berapa orang dapat melengkah dari masa lalu yang membelenggunya?
Tidak, bukan membelenggu, tetapi tidak mau beranjak dari masa lalu. Enggan bergerak. Masih dengan segala pengandaiannya.
Dan segala pengandaian itu menghasilkan penyesalan yang mendalam.
Pernah merasakannya?
Seharusnya mudah melangkah karena terlalu banyak luka yang menganga disana. Tapi ternyata tidak.
Seperti banyak orang bilang bahwa hidup adalah pilihan. Apakah kau mau terus berkubang di masa lalu atau kau mau melangkah dan membiarkan masa lalu tetap menjadi masa lalu. Masa lalu dengan ruangan tersendiri di hatimu. Tutup pintunya, lalu kunci.
Sekali lagi, itu tidak mudah.
Kikan tengah menarikan jari-jarinya di keyboard. Menuliskan apa yang di pikirkannya tanpa mampu di ucapkan.
"Oi Mba!"
Tangan Tati melambai-lambai di hadapannya. Kikan langsung mengerjab-ngerjabkan matanya. Menulis sekarang menjadi penawar tersendiri. Kau bebas menuliskan apapun perasaanmu tanpa perlu merasa takut akan tanggapan orang lain.
"Apasih, Ti? Ganggu deh, ah."
"Nulis lagi?" Tati melongokkan kepalanya yang langsung di sambut dengan layar komputer yang mati oleh Kikan.
"Kepo deh."
Kikan hanya manyun. "Mau ajak mba makan siang. Tati tau mba ga punya temen disini jadi Tati berbaik hati mau ajak mba makan siang."
Kikan melotot tajam yang disambut cekikikan a la mba kunti oleh Tati. Memang, meskipun sudah bekerja lebih dari 6 bulan di perusahaan ini, Kikan tidak mempunyai teman selain Tati. Alasannya sederhana, Kikan malas berbasa basi dan terlalu malas meladeni orang bermuka dua.
Tati lalu menggandeng Kikan jalan menuju kantin yang berada di lantai 7. Sepanjang jalan banyak yang menyapa Tati dan dibalas dengan ramah sedangkan Kikan hanya menganggukkan kepalanya sedikit.
Ketika mereka sampai di kantin, Tati langsung memesan makanan untuk mereka berdua sedangkan Kikan memilih tempat duduk di ujung ruangan. Tidak lama Tati membawa nampan berisi pesanan mereka. Untuk Tati bakso sedangkan Kikan nasi goreng gila, siomay dan rujak untuk dessert.
Semenjak perceriannya berat badan Kikan susah sekali untuk naik meskipun dia melahap semua makanan. Untuk itu Kikan bersyukur, Setidaknya dia bisa melakukan hobinya tanpa perlu memikirkan timbangan dengan jarum yang mengarah kekanan. Ya, setidaknya si otak selangkangan berguna untuk hal itu.
Kikan tengah mengunyah dengan khidmat ketika Tati bertanya mengenai Ferdinand. Kikan memang menceritakan sekilas mengenai makan malamnya dengan Ferdinan yang berakhir canggung karena pernyataan Ferdinan yang menohok yang berakhir dengan Kikan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dan pergi melangkah dari meja itu meninggalkan Ferdinand.
Lelaki itu tidak mengejarnya pun menghubunginya lagi selepas pertemuan itu dan Kikan tentu saja tidak ambil pusing. Baginya hilangnya Ferdinand berarti hilang satu pengganggu. Dan itu sangat bagus.
"Dia tidak menghubungi kamu lagi, mba?"
"Tidak."
"Aku tebak kamu juga gak meminta maaf kan?"
Kikan berhenti memakan siomaynya dan menatap Tati sambil menaikkan alis.
Why should I?
Katanya dalam hati.
"Yang dia katakan benar, mba. Masalah yang kamu hadapi memang berat. Kalau itu terjadi sama aku belum tentu aku bisa sekuat kamu. Tapi bukan berarti juga mba bisa bilang Ferdinand tau apa soal cinta dengan kebisaannya yang bergonta-ganti rekan gulat.
"Dia pasti punya masalah tersendiri dan dia pasti punya alasan buat kelakuannya. Mba paling tau rasanya dianggap sebelah mata karena masa lalu itu seperti apa, jadi mba jangan berbuat kaya gitu ke orang lain."
Apa yang kamu lakukan itu jahat Tati. Itu menohok sekali.
Betul. Kikan paling tau bagaimana rasanya dianggap sebelah mata karena statusnya. Rasa bersalah menggerogoti hatinya tetapi dia berpura-pura untuk tidak peduli.
######
Jam pulang kantor merupakan jam rawan untuk pulang bagi Kikan. Selama bekerja dia lebih memilih untuk pulang diatas jam tujuh, jadi sehabis jam kantor dia akan menunggu di salah satu coffee shop sambil memainkan jarinya di keypad.
Dia menatap lamat-lamat pada layarnya dengan 10 jari siaga di keyboard. Nihil. Pertama kalinya setelah perceraian dia kehilangan kata-kata untuk di tuliskan. Kikan menyenderkan bahunya di kursi sambil memejamkan matanya.
Sedikit banyak perkataan Tati mempengaruhinya dan membuatnya merasa bersalah. Dia benci merasa bersalah seperti ini. Dia tidak akan berhenti memikirkannya sampai dia meminta maaf. Tetapi menghubungi Ferdinand untuk meminta maaf atas perkataannya tidak mungkin dilakukannya, ego Kikan yang menyaingi lelaki tidak akan mengizinkannya. Apa lagi perkataan lelaki itu dan bagaimana tidak bertanggung jawabnya dia membiarkan Kikan pulang sendiri.
Prinsip Kikan adalah meskipun wanita pulang atas kehendaknya sendiri setidaknya tarik dan paksa dia untuk pulang bersamamu untuk memastikan dia aman.
Wanita dan pikiran rumitnya.
"Kenapa? Pusing?"
Sapa seseorang. Kikan membuka matanya dengan enggan karena dia hapal betul dengan suara ini.
Dodo.
Kikan hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Kok belum pulang?"
"Males. Masih macet."
Lelaki itu duduk didepannya sambik menyesap kopi.
"Waktu yang aku berikan seperti sudah cukup."
Kikan mengangkat sebelah alisnya.
"Waktu?"
"Ya, untuk jawaban atas pernyataanku minggu lalu."
"Kamu sudah mempunyai jawabannya, Do. Bahkan jawabannya berasal dari kamu sendiri. Kamu ingat mengenai sms yang kamu kirimkan dulu?"
Tidak ada jawaban, Kikan melanjutkan. "Tidak? Ok, aku bantu. Jangan menghubungiku terus aku jadi punya perasaan wajib untuk membalas, aku tau perasaanmu seperti apa dan aku tidak bisa membalasnya. Jangan terlalu baik, berikan aku sedikit ruang."
"Aku tidak...."
"Lagipula, Do, kamu tau kan lingkungan kita sangat kecil? Apa menurutmu Ibumu akan setuju jika kamu denganku? kamu tau apa yang ibumu ucapkan mengenaiku?"
Dodo diam. Tentu saja, Ibunya yang rajin bergosip itu pasti mengetahui soal perceraian Kikan dan menyebar luaskannya dengan bumbu-bumbu ajaibnya sehingga membuat Ibu Kikan menangisi naib putrinya.
"Ibumu bilang Pasti karena Kikan sibuk bekerja jadi suaminya selingkuh. Perempuan kok ga tau apa-apa soal urusan rumah." Menurutmu saja dengan otak pintarmu itu, apa Ibumu dengan latar belakang keluargamu yang luar biasa itu akan mengizinkanmu bersama denganku?"
21/7/19
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro