Nenek
Aroma melati bukan bau yang biasa tercium pada malam hari. Aroma tanah basah yang seharusnya tercium saat hujan mereda. Kamar yang biasanya dipenuhi aroma kayu juga mulai wangi. Memikat, tapi tidak wajar. Tidak seharusnya ada yang mandi tengah malam. Kata orang tuaku, mandi malam membuatmu masuk angin, lebih buruk lagi, membawa petaka, mendatangkan bala–penyakit. Hanya saja, malam ini seseorang tampak melanggar tradisi itu.
Milena barangkali tidak tahu adat desa ini–dia orang baru tentunya. Sejak kedatangan gadis itu, segala hal terasa berubah di desa. Ada yang janggal, tapi tidak ada pertanda nyata selain firasat. Namun, satu hal yang pasti, Milena selalu menarik perhatian, misterius tapi memikat.
Rumah Milena bersebelahan denganku. Rumah tua itu dahulu ditinggali Nenek, beliau masih dihormati seluruh desa meski Kakek–yang dari muda memimpin desa–sudah lama tiada. Nenek hanya sesekali datang padaku saat orang tuaku masih hidup, memberi makan dan memperlihatkan bakat menjahit. Meski aku tidak juga paham caranya.
"Aku ingin kamu belajar menjahit suatu saat." Nenek pernah bilang. "Kamu akan merasa seperti pencipta, benang dapat menyatu dan memisah. Jika kamu tahu caranya, kamu bisa mengendalikan apa pun."
Namun, waktu itu aku hanya menganggap sebagai kata kiasan. Lagipula, laki-laki tidak biasa menjahit di tempatku. Malah orang tuaku lebih menekankan untuk aku belajar menggunakan senjata.
Benar saja, ibuku pernah ingin menunjukku sebagai pewaris senjata keluarga ini. Pusaka pedang yang sudah diwarisi selama lima generasi. Tidak begitu panjang, hanya setengah dari pedang biasa. Siapa pun pemegangnya, konon memenangi setiap pertempuran. Pewaris itu harus berjiwa kesatria dan rela berkorban demi negerinya. Diwariskan pada setiap anak sulung keluarga, katanya. Aku, sebagai anak tunggal, diwarisi pusaka itu.
Ibuku memperlihatkan pedang itu padaku. Ukiran nama keluarga yang bertahan sejak beberapa generasi, karena marga kami hanya untuk mereka yang mewarisi pedang ini. Namun, saat ibuku hendak menyerahkan pedang itu, Ayah mencegahnya.
"Dia bahkan tidak memiliki jiwa kesatria, melihat tikus saja dia kabur." Ayahku mencibir.
Meski benar, hati sedikit terluka dengan ucapan itu. Namun, aku tahu pedang ini hanya berguna bagi mereka yang pemberank. Aku kira orang tuaku akan menyerahkan pusaka itu pada pihak keluarga lain, setidaknya itu yang kukira. Meski memang keluargaku tidak begitu kecil, orang tuaku entah mengapa belum juga memberitahu siapa pewarisnya.
Beberapa kisah kudengar dari pemegang pusaka itu, mereka semua meninggal dalam kondisi aneh. Tubuh mereka tercerai-berai, seakan dipotong oleh pedang juga. Namun, ironis jika pewarisnya dianggap sebagai pahlawan ulung hanya untuk mati sendirian dalam rumah mereka tanpa tanda pertarungan. Semua seakan mereka tiba-tiba ingin mengakhiri hidup mereka pada suatu masa. Ini juga jadi alasan mengapa beberapa anggota dalam keluarga besarku memilih pergi menjauh tanpa ingin berhubungan lagi dengan pusaka itu.
Kini, sepeninggal orang tuaku, Nenek tidak hadir di pemakaman mereka. Aku tahu, setelah beberapa tahun berlalu sejak mereka berdua sakit, Nenek kadang datang membawakan benang maupun makanan. Alih-alih memberitahu sebab pasti mereka sakit, Nenek hanya bilang ini pada hari sebelum kematian mereka.
"Sihir itu lapar. Mereka sedang mencari pewaris, tapi tidak juga ditemukan dalam keluarga ini yang bisa jadi inangnya." Nenek memandang kamar tempat orang tuaku berbaring untuk terakhir kalinya.
"Apa maksudnya?" Aku mengkaitkan dengan pusaka keluarga itu. Jika benar tidak ada pewarisnya, apa yang akan terjadi?
Nenek hanya menepuk bahuku. "Dia hanya ingin mencari inang untuk terus hidup, meresap kehidupan yang ada dalam keluarga ini. Namun, kamu jangan khawatir." Dia memperlihatkan sejumlah melati di tangannya. "Kamu aman selama bunga ini masih mekar di sekitar rumahku."
Sebelum aku sempat berkomentar, Nenek pergi ke tempat pusaka itu berada. Dia mengambilnya, membawanya pada pelukannya. "Kamu tidak akan terluka selama pusaka itu dibawa pergi." Hanya dengan bilang itu, Nenek memelukku sebelum pulang. Setidaknya, itu yang kukira.
Bertepatan dengan kematian orang tuaku pada esok harinya, Nenek tidak ditemukan di rumahnya. Aku coba mencarinya, menanyai warga yang sering berkeliling malam hari jika mereka melihat nenekku. Tiada jawaban, bahkan melihat penampakannya. Kabar burung yang beredar mengatakan, dia telah pergi dengan tenang ke sisi penciptanya, membawa serta warisan keluarga ini.
Hari itu aku hanya mengurung diri. Orang tua telah tiada, kini Nenek juga tidak jelas kabarnya. Lebih khawatir jika sesuatu terjadi padanya, tanpa aku sadari. Namun, beberapa hari setelahnya, dunia kembali berjalan seperti biasa. Aku tetap mencoba menyambung hidup dengan menjadi pedagang bunga, seperti nenekku dulu demi membantu ekonomi keluarga ini. Aku belajar sedikit cara merawat tumbuhan dan merangkai bunga, mengira ini pelajaran menjahit yang seharusnya aku pelajari sesuai keinginan Nenek.
Hanya saja, rumah Nenek yang kosong masih membuatku resah. Bunga melati yang mekar di rumahnya tetap tumbuh. Namun, baunya tidak semerbak seperti yang terjadi sekarang. Kini, dengan Milena yang tiba-tiba hadir di desa, bau itu kian kuat.
***
Awal kedatangannya sudah jadi tanda tanya bagiku, terlebih saat dia memilih rumah Nenek. Kukira dia datang ke sana sekadar melihat-lihat. Hingga beberapa hari setelahnya, dia masih di sana. Gadis itu hanya duduk di depan teras dengan senyuman manis, seolah menungguku tiba. Bukan suatu kebetulan jika ada penghuni baru, lantaran desa ini cukup dikenal di kota dan barangkali seorang Milena hanya ingin menetap tanpa mengetahui kisah di balik rumah yang kini dia huni. Hanya saja, aku tidak pernah benar-benar menganggap Nenek telah tiada.
"Maaf, ini rumah nenekku." Aku coba menegur.
"Penghuninya tidak akan keberatan." Dia menjawab dengan senyuman. Entah mengapa, saat itu aku tidak memberikan protes lebih banyak.
Tidak ada warga yang mengabaikan, termasuk aku. Rambut hitam panjangnya tergerai lebat, menari mengikuti hembusan angin yang lembut. Kulit halus berkilau memantulkan cahaya senja, dan sepasang mata beningnya–Oh, mata hitam yang seakan menembus segala rahasia.
***
Aku ingat betul saat awal bertemu dengannya waktu di pasar, di tengah terik siangnya, pada kios bunga milikku. Milena melangkah dengan anggun, mengabaikan seluruh tatapan yang tertuju padanya. Ya, dia pusat perhatian di desa sejak awal. Baru saja pindah sejak seminggu, sudah membuat seisi desa penasaran, terutama bagi lelaki sepertiku. Bagaimana tidak? Rambut hitam tergerai, kulit yang mulus, mata jernih, bersama senyuman menghias wajahnya setiap saat.
Milena datang ke lapakku. Dia tersenyum, jantungku berdebar. Langkahnya lembut nyaris seperti melayang, menatap deretan bunga yang aku jual. Dia menunduk sedikit, mencium aroma melati segar, bertanya dengan suara yang hampir seperti bisikan. "Berapa harga sebakul melati ini?"
Aku nyaris kehilangan fokus. "L-lima perak, Nona."
Dia tersenyum, yang membuat hatiku berdegup kencang. "Aku beli semua melati di sini." Dia menatap deretan melati yang dipajang, meski tidak sebanyak sejak Nenek menghilang, aku sedikit terkejut karena seseorang tiba-tiba saja membeli begitu banyak bunga itu.
"Semua?" Aku tentu tidak menduga. Hampir setengah bakul, itu lebih banyak dari yang biasa dijual ke satu orang.
Dia mengangguk, senyum tetap menghiasi wajahnya yang tenang. "Semua. Soal harga? Tidak masalah."
Tanpa banyak kata, dia beli hampir seluruh stok bunga melati ayng aku jual. Sebakul penuh–tapi tidak sebanyak sejak Nenek masih ada, tapi tetap mengejutkan. Kala itu, aku tidak berani bertanya untuk apa gerangan semua bunga itu. Aku hanya terus memperhatikan gadis hingga dia hilang di antara kerumunan.
Mengira dia saat itu hanya gadis dari desa sebelah, ternyata jadi kedatangannya hari itu. Aku sadar semua mata di pasar tertuju padanya. Lelaki, perempuan, tua, muda—semua terpikat. Begitulah Milena. Dengan meneteng sebakul melati, dia sesekali balas tatapan kami dan tersenyum sebelum akhirnya hilang dari pandangan kami. Dia datang mengubah segalanya, dan mungkin lebih dari yang tampak.
Namun, aku hanya memikirkan satu hal saat awal kami bertemu.
Milena, dirimu begitu cantik. Aku pernah berpikir. Bahkan seorang yang sedang jatuh cinta akan berpaling dari kekasihnya saat ini demi dia. Seakan dia satu-satunya wanita yang layak dipandang dan dicintai.
***
Namun, beberapa hari setelahnya, kesehatan beberapa orang memburuk. Mereka anehnya mulai jatuh sakit satu per satu, mengeluh tubuh mereka semakin lemah, tulang-tulang sakit seperti tertusuk jarum halus. Namun, aku tidak merasakannya. Kata-kata Nenek terus tergiang, selama melati di rumahnya masih mekar, aku akan baik-baik saja.
"Di mana pusaka itu?" Salah satu tetanggaku yang keluarganya sakit datang pada tempatku berdagang. "Biasanya kalian bisa menyelesaikan masalah ini."
"Hei, mana ada pedang bisa jadi obat." Seseorang yang berdagang di sebelahku menyahut. "Lagipula, aku yakin pusaka itu yang memilih pemiliknya. Jika wanita tua itu ingin pergi bersamanya, biarkan saja."
Aku yang seharusnya mewarisi pusaka itu kian bingung. Desa ini tidak pernah benar-benar dalam bahaya, tidak pernah aku terpikir jika saja aku terpilih, tidak banyak hal yang kulakukan juga.
Desas-desus mengatakan jika sejak pusaka keluargaku menghilang dibawa Nenek, Nenek telah jadi korban kutukan yang ia sendiri coba hindari. Aku tanyakan mengapa, mereka hanya mengkaitkan dengan beberapa kematian pewaris pusaka itu, yang setiap akhir hidup akan mati dalam tubuh tercerai-berai. Namun, tidak ada bukti yang jelas. Semuanya hanya tinggal cerita yang memudar ditelan waktu.
***
Kini, sejak pertemuan pertama dan saat dia tiba-tiba menghuni rumah Nenek, aku merasa kejanggalan. Bau melati yang semerbak dari rumah Milena begitu menganggu. Lebih tepatnya, aku merasakan getaran dalam hati–alih-alih jatuh hati seperti sebelumnya, kini hati bergetar dalam ancaman.
Aku tidak ambil pusing, barangkali agar dia wangi. Namun, di tengah malam seperti ini, memang sedikit janggal. Belum pernah kudengar wanita mandi pada tengah malam mengingat larangan yang diberikan turun-menurun. Namun, aku mengira bisa jadi dia hanya kebetulan mandi malam ini saja.
Malam besoknya, terdengar suara air dari arah rumah Milena. Dia benar-benar sedang mandi? Saat malam semakin larut, suara itu terus terdengar. Ada sesuatu yang membuat punggungku meremang, dan bau melati yang tadinya menenangkan kini terasa begitu... mencekik. Mengingat Nenek dan melati membuatku kian risau.
***
Malam besoknya lagi, bau melati semakin menyengat. Aku memutuskan keluar, entah mengapa kenangan Nenek terus tergiang membuatku ingin segera kembali ke sana, meski ada penghuni barunya. Rumah Nenek–atau kini disebut rumahnya Milena, masih besar tapi tua seperti terakhir Nenek menghuninya. Meski sudah ada penghuni baru, rumah itu tampak sunyi, dari celah jendela terlihat cahaya lilin berkerlip.
Aku mendekat, berharap bisa menemukan jawaban dari bau melati ini. Saat di dekat pintu, langkah terhenti karena suara lirih dari dalam, seperti seseorang yang berbisik.
"Milena?" Aku memanggilnya pelan, tapi tidak ada jawaban.
Hampir berbalik pulang saat pintu tiba-tiba terbuka. Pada ambang pintu Milena berdiri. Wajahnya bersinar dalam cahaya lilin samar yang menerangi ruangan. Matanya—matanya tampak lebih gelap dari biasa, sesuatu yang membuat bulu kudukku meremang.
"Kau datang tepat waktu," Dia tersenyum seperti biasa. "Masuklah."
Tidak bisa menolak, seolah daya tarik tidak terlihat membuatku melangkah. Rumah itu wangi melati, namun ada aroma lain di balik harum itu, entah apa. Campuran aroma lama dari rumah Nenek yang khas juga mulai melebur seiring dengan kehadiran Milena. Ruangan itu redup, hanya diterangi beberapa lilin pada sudut-sudut ruangan. Di tengah, meja kecil dipenuhi kelopak-kelopak melati tampak segar, meski malam sudah sangat larut.
Aku ingat betul pesan Nenek. Selama melati masih mekar, aku akan baik-baik saja. Namun, tanpa kehadirannya membuatku lebih takut daripada sekadar ada tikus dalam kamar.
"Ada apa, Milena?" tanyaku, sedikit bergetar. Berusaha sopan, lelaki datang ke rumah perempuan pada larut malam bukan sesuatu yang wajar di desa ini. Namun, yang membuatku lebih gugup itu karena sesuatu dalam suasana ini. Terlalu tenang, terlalu sunyi.
Milena melangkah ke arah meja, jjarinya menyentuh kelopak bunga itu dengan lembut. "Tidak apa-apa, cuma mau kenalan," jawabnya, namun suaranya terdengar lebih... Dingin.
"Kamu suka... Bunga?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana, meski takut mulai merayap dalam hati. "Ini sudah larut, dan... Tidak baik mandi malam-malam."
Milena tersenyum tipis, tidak tampak terkejut. "Oh, kau mendengarnya? Maaf kalau suaranya menganggu. Aku hanya membersihkan diri. Tidak aneh, 'kan?"
"Ya, tapi di sini ada larangan untuk mandi di malam hari. Kata orang-orang, itu bisa membawa sial," jawabku, meski terdengar konyol bahkan di telinga sendiri.
Dia menatapku, senyumannya semakin lebar, namun tidak ada kehangatan. "Oh, tapi aku bukan warga sini, lho." Matanya yang hitam terus memandang seolah tidak berkedip.
Saat dia bicara, aku melihat sesuatu di sudut mata. Bayangan samar bergerak di belakang Milena. Jantungku berdegup kencang. Aku coba melihat lebih jelas, bayangan itu hilang secepat kilat.
Milena sepertinya menyadari. Dia mendekat, berbisik pelan. "Kamu dan aku tidak sepenuhnya asing."
Siapa sebenarnya Milena?
Aku coba membalas, tapi lidahku kelu. Udara terasa lebih dingin, dan bau melati semakin menyengat memenuhi setiap sudut ruangan. Aku menyadari satu hal—wangi melati ini tidak seperti bunga biasa. Lebih menyengat. Lebih mencekik.
Mataku terbelalak saat perlahan kesadaran muncul. Rumah ini, bunga-bunga ini, Milena... Dia bukan hanya orang luar seperti dugaan. Dia seakan mengenalku sejak lama. Sejak Nenek menghilang.
"Sudah malam," kataku, suaraku nyaris tak terdengar. "Aku pamit dulu."
Milena tersenyum lebih lebar, lebih dingin, matanya tidak lepas dariku. "Kau sudah mampir, tak perlu pergi. Bukannya kamu rindu aku? Kita masih terikat."
"Apa ... Maksudmu?" Aku tidak mengenalnya, tiba-tiba saja dia bertingkah seakan kami saling kenal.
Nyanyian aneh terdengar dari kejauhan. Aku berusaha mundur meski terhuyung, Milena sudah terlalu dekat. Wajahnya yang cantik kini tampak seperti topeng, senyumnya semakin lebar nyaris membelah pipinya. Saat itulah aku tahu—Milena bukan manusia.
Jendela rumahnya sedikit terbuka, dan dari celah kecil itu, aku melihat bayangan itu bergerak. Milena kembali duduk, wajahnya kembali cantik meski kini terbayang senyuman lebar itu. Dia duduk sembari mengelus rambutnya yang tampak lebih panjang dari yang kuingat.
"Jangan takut." Milena berbisik. "Selama melati masih mekar, kamu aman."
Aku terdiam, itu kata-kata Nenek. Dia mengucapkannya sebelum pergi. Tidak pernah kembali, tapi seseorang datang ke rumah ini, serta merta menghuninya. Apa dia tahu sejak awal?
Meski tidak menyerang, aku tetap waspada, bersiap kabur jika ada kesempatan.
Sembari menyisir rambutnya dengan jari, Milena berdiri di depan cermin besar dalam ruangan. Pada cermin itu, sosok yang kulihat bukan Milena muda yang biasa terlihat. Dalam bayangan cermin, aku melihat seorang wanita tua dengan rambut putih panjang, kulit keriput, dan mata yang tampak ...
Nafasku tercekat. Itu... Nenek.
Milena membawa sesuatu yang lebih dari sekadar kecantikan, di balik tubuhnya, bayangan samar tadi mulai jelas seolah ada sosok lain yang tampak tua dan rapuh.
Nenek.
Milena memberi isyarat untuk mendekat. Meski aku tidak bergerak, rambutnya yang kini kembali menghitam bergerak menyusuri rumah itu. Layaknya benang-benang yang mengikat beberapa benda yang dia cari. Hingga... Menjatuhkan sesuatu.
Benda itu panjang, tajam, tapi tidak hanya itu yang membuatku gemetar. Ada nama keluargaku terukir padanya.
Belum sempat aku berbalik, rambutnya yang panjang itu menarik aku, membelit ragaku hingga posisiku terjebak di genggamannya. Milena yang kini kembali memiliki wajah muda, tersenyum padaku.
"Ingat pesan Nenek?" Dia bertanya. "Pusaka itu lapar. Mereka akan memangsa keturunan keluarga ini jika jiwa-jiwa pemberani itu tidak sanggup melawannya. Heh, bahkan pewarisnya saja selalu berakhir tragis."
Aku menelan ludah, menyadari apa yang terjadi.
"Sejak lama, kekuatan ini dijanjikan pada keluargamu–kemenangan tiada tanding. Namun, tentu aku tidak ingin memberi semua secara cuma-cuma." Dengan rambutnya, dia melangkah keluar rumah.
Layaknya kaki-kaki panjang, Milena melangkah membawa pusaka itu pada rambutnya yang memanjang. Meski aku terjerat dalam helai demi helai rambutnya, aku masih menjerit memperingati warga desa.
Namun, aku terdiam menyadari apa yang terjadi selama aku di rumah Milena. Helaian rambut memenuhi desa, layaknya benang yang menjahit kain, semuanya mengikat beberapa tubuh warga. Sebagian menggantung seperti buah-buah pada pohon, sebagian lagi ditumpuk dan dijahit seperti kain yang dirangkai jadi baju.
Mereka mengeluh sakit sebelumnya, seperti yang dialami orang tuaku. Namun, aku hanya mengira sakit biasa, tanpa menyadari jika kedatangan Milena dan pusaka itu jadi alasannya.
"Aku kelaparan." Milena bersuara pelan, meski wajahnya kini ditutupi rambut-rambut panjang. Matanya yang hitam kembali memandangku, senyuman lebar nyaris membelah pipi itu kembali terukir pada wajahnya. "Pusaka itu hanya wadah, jika kalian tidak juga memberiku makan, tidak akan ada kemenangan."
Jiwa pemberani yang jadi pahlawan. Makhluk itu benar-benar hanya mengincar nyawa untuk kelangsungan hidupnya dan barangkali keluargaku sejak turun temurun. Selama tidak ada jiwa yang diserap, dia akan mengincar keluargaku.
Rambut panjang itu kembali menari di udara, menggoyangkan beberapa bagian tubuh seperti lonceng. Bunga-bunga yang sebelumnya tumbuh subur kini menyatu dalam rambut Milena.
"Melati ini milikku." Dia kembali berkata. "Nenekmu begitu perhatian, membiarkan aku meminjam raganya sebentar hanya untuk makan sedikit. Kamu tahu, dia juga berbaik hati membiarkan bunga itu tetap tumbuh meski dia telah pergi. Jadinya aku masih bisa merawat bunga itu–selama raga dia masih di sini, dia akan tetap mekar."
Saat helai demi helai rambut itu mulai merambat di tubuhku, menembus kulit dengan pelan. Aku meringis, mencoba memberontak untuk sekian kalinya. Rambut itu semakin banyak merasuki tubuhku, menyatu dengan tulang dan mata.
Milena, dengan tangannya yang kini dipenuhi rambut panjang, menggenggam pusaka keluargaku. Dia tertawa pelan. "Keluargamu sudah jadi bagian diriku sejak lama. Kamu akan menyusul. Tidak apa, tidak sakit, kok."
Rambut itu melilit leherku, perlahan masuk ke telinga. Dapat kurasakan itu merambat ke dalam diri, menggelitik bagian dalam tulang kepala. Mata yang sebelumnya dapat melihat jelas, tertutupi helaian hitam, menyisakan wajah samar Milena yang masih menatapku.
Milena berbisik. "Kau lihat, kekuatan pusaka ini akan membantuku mengembalikan hidupku... melalui tubuhmu. Selamanya muda. Selamanya dicintai."
Kesatuan
- Tamat -
Sebenarnya aku ingin mengakhiri kisahnya sejak lama, tapi salah satu pembaca berharap dapat lebih banyak cerita. Jadi, aku coba tulis lagi.
Walau sedikit anu, sebenarnya ini bagian yang lumayan panjang dibandingkan bab sebelumnya karena aku bingung menutupnya sampai mana, jadi yah jadinya begini.
Sampai jumpa di karyaku yang lainnya 🔥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro