Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kesatuan

Sejak dilahirkan, aku selalu merasa keinginan akan berlawanan dengan harapan orang tua. Jika aku mengharapkan kehidupan bebas tanpa tanggung jawab yang berarti, sudah pasti tidak akan terkabul. Garis keturunan, warisan, dan harapan orang tua selalu menjadi penghalang. Namun, tidak ada yang bisa kuperbuat selain menjalani, hanya kehampaan menyertai, seakan setiap langkah yang kulalui adalah kesalahan yang tidak bisa lagi diperbaiki. Namun, bagaimana lagi? Semua sudah diatur jauh sebelum aku dilahirkan. Semua sudah ditentukan jauh sebelum keluarga ini bersatu dengan masyarakat.

Memang, tidak ada jiwa yang terlahir tanpa tujuan. Namun, bukan berarti mereka dianggap tidak memiliki keinginan sendiri. Aku ingin terbebas dari semua tanggung jawab. Kudambakan kehidupan tenang layaknya sedang berada di tengah taman bunga indah dilengkapi desiran angin lembut penyejuk hati. Tanpa ada rasa takut maupun cemas akan masa depan, hanya itu yang aku inginkan.

Namun, lagi-lagi harapan tidak sejalan dengan kenyataan. Semua yang diatur telah menghalangi tujuanku. Hidup harusnya kuatur sendiri, tapi aku seakan tidak punya kuasa atas takdir sendiri. Aku hanya dilahirkan untuk tujuan lain. Semua selalu menyangkut perihal warisan itu. Sementara saudariku memiliki keinginan berbeda, dengan garis takdir berlainan pula.

"Aku ingin mewarisi harta keluarga ini." Adikku berujar suatu malam saat kami berbaring di kasur yang sama.

Aku menyisir rambutnya yang panjang dengan jemari. "Yang kuinginkan hanya kehidupan tenang tanpa tanggung jawab yang berarti." Dia balas dengan singkat, jika kami sehati.

Purnama bicara malam itu, dalam keheningan malam membisikkan garis takdir baru pada keturunan keluarga yang selama ini berbaur dalam masyarakat, tanpa kira ini pertanda baru dari kisah mereka yang terus terulang satu abad sekali.

Helai demi helai benang hitam berjatuhan dari atap rumah, mencengkram setiap di dekatnya. Dua jiwa yang terlelap dalam pelukan erat, terjerat pada takdir baru penentu kehidupan baru dalam garis keturunan keluarganya.

Waktunya telah tiba. Benang hitam perlahan membelai setiap lapisan kulit dua gadis yang terlelap. Keduanya sadar akan sentuhan itu, tapi mereka tahu semua telah terlambat. Raga bersatu dalam ikatan batin, bersatu pula dalam darah dan daging.

Dua jiwa yang berbeda, dengan keinginan berlawanan pula. Mereka kini menjadi satu.

"Aku ingin menjadi sepertimu." Sang kakak berbisik saat wajahnya mendekat pada pipi saudarinya.

Sang adik membalas dengan kedipan singkat sebelum sebelah matanya bertemu dengan mata kakaknya. "Aku ingin kita kembali bersama."

Itulah yang mereka inginkan, kini mereka harus menerimanya. Ikatan batin memandu benang hitam itu, mempersatukan keluarga yang mestinya tetap bersama, terikat jiwa dan raga.

Kini, aku bukan "aku" lagi, sebutanku menjadi "kami." Berawal dari dua jiwa, menjadi satu. Dua orang dari garis keturunan yang sama, dipersatukan darah dan daging, beriringan dengan irama hati yang senada, jadilah satu. Semua harapan, impian, ingatan yang menempel sejak lama, tercampur semua.

"Kini kita bersatu."

***

Pandangan kami tertuju pada matahari yang sebentar lagi terbit. Rupanya, kami telah menghabiskan malam dalam kesunyian, tanpa menyadari apa yang terjadi pada kami. Begitu mata kami menghadap matahari, muncul dua perasaan yang seakan saling berbisik.

"Hari akan menjadi indah." Bibir adikku bergerak sedikit, sedikit kaku dengan benang hitam masih basah belum bersatu sempurna.

"Hari ini akan menjadi hari seperti biasa." Aku membalas, meski pipi terasa kaku dengan jahitan itu dia usahakan memberi sedikit senyuman sebagai hiburan. Toh, hari biasa bukanlah hal buruk.

Kami melirik ke lemari. Perlahan, dua tangan membukanya dan memperlihatkan lembaran baju yang telah dibeli sejak lama. Baju itu kebesaran bagi adikku, tapi begitu sempurna dalam lekukan tubuh ini. Mata kami tertuju pada satu lembar baju putih itu, aku berharap dapat mengenakannya. Jarang dipakai karena tidak terlihat menarik, tapi cocok untuk hari spesial.

Tangan kiriku bergerak gemetar menunjuk baju, sedikit jahitan menganggu gerakan pada jemari yang bersatu pada milik saudariku. "Meski baju ini sudah tua, aku masih ingin memakainya."

"Baju ini telah usang, ingin kuganti." Adikku membalas, dia turunkan tanganku yang tadinya menunjuk, tanpa menggerakkan miliknya, seakan tubuhku dapat bergerak tanpa keinginanku.

Namun, pada akhirnya kami tahu harus pakai baju baru guna menyambut hari baru. Diambil satu lembar baju tadi lalu dipakai. Ada perasaan nyaman sekaligus tidak. Perasaan saling berlawanan yang dipaksa bersatu. Bagaimanapun, kami harus terbiasa dengan gaya hidup baru.

Pandangan kami beralih ke cermin yang terletak di meja rias. Terlihat jelas wajah baru kami. Meski kedua kelopak mata biru kami tampak tiada bedanya, tapi wajah yang terpantul tampak begitu asing. Dua tubuh bersatu dalam ikatan batin, benang hitam menyatukan raga kami, tapi raga terasa tidak jauh berbeda karena kami berasal dari rahim yang sama.

"Kamu mirip denganku." Aku sentuh pipi adikku, tepat pada benang hitam yang menyatukan wajah kami.

Dia balas dengan mata berbinar, mata kami menempel pada wajah secara sempurna, tapi memancarkan perasaan yang senada. "Aku kini menjadi sepertimu."

Ini yang kuinginkan, bukan?

Ini yang selama ini aku impikan?

Kaki kami melangkah menuju pintu luar. Gemetar berusaha berjalan dengan sedikit benang hitam menyatukan masing-masing kaki jadi sepasang kaki lebih besar. Ruangan dalam rumah terasa sedikit lebih kecil, barangkali benang hitam itu membuat tubuh kami pula sedikit lebih besar.

Mata terarah pada jendela, pemandangan fajar menyambut. Kami hirup udara pagi. Tubuh ini terasa seperti milik sendiri, walau di saat yang sama, selalu ada yang mendampingi.

"Kini, aku bisa hidup tenang." Aku menarik napas, hidung kami bersamaan menghirup udara pagi meski di bagian tengah sedikit ada rasa geli dengan lubang di sekitar benang hitam yang berjuang menyatukan wajah.

Adikku memutar tubuh kami, benang-benang hitam sedikit mengekang gerakan, terasa pedih tapi perlahan semua terasa ringan kembali. "Aku tidak perlu cemas kalau ada yang mengambil posisiku."

Kami jadi satu. Tidak lagi saling iri. Tidak perlu lagi mencemaskan nasib yang akan datang. Tanpa takdir yang menentukan garis kehidupan, semua dirasa bebas.

Mataku akan membimbing untuk melihat dunia. Sementara mulut adikku dapat menjadi jembatan penghubung antar sesama.

Tanganku dapat meraih setiap harapan, sementara kaki adikku mampu menampung segala beban.

Saling bahu membahu. Harusnya itu yang kami pikirkan sejak awal. Namun, dengan tubuh yang terpisah, semua akan menjadi sulit. Bersatu, kami tidak akan lagi merasa kekurangan.

"Apa-apaan ini?!"

Telinga kami menangkap suara dari jauh. Seperti suara Ibu. Segera kami langkahkan kaki menuju sumber suara. Hari pertama dengan tubuh baru, semua jadi terasa aneh. Padahal sejak lahir kami bisa berjalan, kenapa sekarang kalau melangkah saja terasa kaku? Hitam yang menjahit daging kami masih mengekang, belum terbiasa pada raga baru ini.

Kami melihat Ibu sedang memasak, tapi tangannya tengah memegang pisau daging dengan gemetar. Dia memotong daging sapi untuk pagi ini, sementara ada Ayah duduk di lantai menemani. Namun, keduanya terpaku pada kami. Tanpa menyapa, hanya tatapan tajam menyambut.

"Ibu, Ayah, kami di sini." Sebaris pertama kalimat yang berhasil kami ucapkan bersama. Suara kami kini terdengar seperti dua orang yang bicara, padahal isi kepala kami sudah samar-samar menyatu.

Seluruh pandangan tertuju pada kami. Keheningan sesaat menyambut, Ibu yang sebelumnya hanya diam memegang pisau dengan gemetar, kini menjerit. Ibu berjalan mundur, tanpa sadar terjatuh ke lantai. Air mata mengalir membasahi pipinya. Jeritan ini berganti jadi isak tangis.

"Jangan cemas, kami baik-baik saja." Kami ucapkan bersama, berharap itu dapat membuatnya tenang.

Kaki kami bergerak ke arah Ibu, berniat menenangkannya. Memberitahu jika kedua anaknya masih sehat dan bahagia bersama.

"Kami jadi satu. Tidak lagi terpisah."

Tangan kami melingkar untuk mendekapnya. Benang hitam bergerak keluar dari sela lubang bekas jahitan, ingin menyatukan ibu kami dalam ikatan keluarga.

Pandangan kami berputar, terasa seperti benda yang terjatuh ke lantai. Terlihat badan baru kami yang terpisah dari kepalanya, jatuh di depan ayah kami. Tubuh kami bersatu dalam benang, dipenuhi jahitan yang masih basah, terkapar pada lantai kayu dengan bunyi keras. Sadarlah kami jika raga ini hampir dua kali lebih besar dari orang tua.

Tangan Ayah berlumuran darah, selagi dia mencengkeram pedang dengan ukiran nama keluarga kami. Siapa pun yang memegang pedang itu, tidak akan takluk dalam suatu pertempuran. Namun, kami tidak sedang melakukannya. Mata ini memandang ke atas, tepat pada penakluk kami. Ayah gemetar, matanya melotot memantulkan wajah kedua putrinya yang terjahit.

Ayah, bukannya kau sayang kami berdua?

Tidak sempat berkata lagi, mulut kami seakan tidak mampu lagi bergerak. Selagi pandangan kami memburam, terlihat orang tua kami saling berpelukan dengan tangisan.


***

Pandangan kami terbuka, cahaya purnama kembali menyapa. Pemandangan rumah kami kini berganti jadi sisa abu, diiringi nyanyian merdu angin malam. Kami telah terbangun, tapi sejak kapan tidur? Raga tidak bisa bergerak, seakan langkah yang dilalui saat ini tidak dari pikiran kami.

Diperhatikan, sekeliling kami terdiri dari helai demi helai benang hitam. Bergerak menari dengan wajah orang tua kami beriringan dengan angin. Raga mereka terpecah-belah, menyisakan lapisan luar diri mereka yang berkibar bersamaan dengan jemari dan kaki pada ikatan benang.

"Ibu... Kenapa?" Adikku bersuara, bibirnya yang  gemetar terasa jelas pada wajahku.

"Ayah, di mana tubuhmu?" Aku coba gerakkan kaki sebelah agar dapat berdiri, terhalang pada gerakan kaku. Dikira kekangan dari benang, nyatanya adik sendiri mencegah aku bangkit.

Kami terpaksa diam, memandang raga orang tua kami menari di bawah sinar purnama. Jika kami dipersatukan, orang tua justru dipisahkan.

Di tengahnya, ada sosok tinggi menginjak dedaunan kering selagi melangkah. Tiada suara darinya, hanya bunyi kaki-kaki panjangnya menginjak tanah.

Kami seakan tidak bisa saling bicara, kami telah menjadi satu raga dan jiwa, ketakutan akan apa pun yang menimpa jika bicara. Dua jiwa yang saling berlawanan, dengan tujuan hidup berbeda, kini tiada bedanya dengan satu jiwa yang hanya memiliki satu arah dalam menjalani hidup. Namun, apa tujuan dari hidup sekarang bila tidak bisa bergerak bebas layaknya dulu?

Tubuh ini tidak lagi bisa digerakkan. Bahkan rasanya tidak ada bedanya dengan menjadi benda mati. Apa ini konsekuensi atas permohonan kami kepada sosok itu?

Sosok itu hanya diam, kami bahkan tidak mampu mengucapkan sepatah kata untuknya. Dia pun tidak mengeluarkan satu pun buah pikiran darinya.

Rambutnya yang panjang menciptakan helaian benang hitam yang menyatukan kami. Matanya yang segelap jurang memandang kami, memantulkan raga yang disatukan. Kulitnya yang segelap malam dibalut kain putih, seperti yang kami pakai saat ini. Dia terus melangkah, tanpa menoleh maupun berhenti sejenak untuk istirahat. Entah ke mana dia akan pergi, entah ke mana pula dia akan menetap.

Dia yang memberi kami harapan dan keinginan. Walau tidak berjalan sesuai kehendak sungguhan, setidaknya dapat dirasakan bagaimana rasanya menjadi orang lain. Rambut panjangnya terus mencari pegangan pada sekitar, membiarkan pepohonan bersatu, bebatuan terpisah jadi kerikil, hingga hewan yang berjalan jadi terikat dalam jeratan lembutnya.

Belaian angin mengelus pelan rambutnya, raga kami dapat merasakan sejuknya. Sementara sosok itu berdiri diam, seakan turut menikmati sepoian angin lembut. Sebelum akhirnya dia melangkah kembali menuju kedalaman hutan belantara. Membawa serta jiwa kami yang tidak tahu harus berbuat apa.

"Kesatuan"
- Tamat -

Sebenarnya cerita ini ada lagi kelanjutan, tepatnya masa lalu buat sedikit memperjelas alur ceritanya. Cuma, nanti aku publish lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro