Kakak
Ini cerpen yang ditulis pas 2023 lalu, sedikit lore tambahan untuk "Kesatuan."
***
"Terima kasih, Cecelia!" puji seorang pemuda kepada adikku.
Cecelia tersipu. "Ah, itu bukan apa-apa." Dia membungkuk lalu pergi.
Padahal gadis itu hanya menahan agar pemuda itu tidak jatuh saat mengangkut sekeranjang jambu. Begitu saja harus berterima kasih segala.
Kudengar suara Ibu menyahut dari belakang. "Lihatlah adikmu, dia begitu rajin dan manis. Belajarlah darinya."
Pemuda itu tersenyum. "Ah, iya. Cecelia selalu saja membantu. Semua orang pasti senang padanya."
Aku mulai kenyang dengan kalimat itu. Setiap hari selalu saja memuji Cecelia. Wajar saja, berbeda denganku, dia memiliki kulit putih mulus, mata biru bagai langit cerah, bersama rambut pirangnya yang berkilau bagai emas. Semua orang yang memandangnya pasti akan langsung jatuh hati. Aku dulu juga menyayanginya, tapi semua ini sudah membuatku muak.
Seluruh tatapan kini tertuju padanya, bahkan orang tua kami hanya memerhatikan gadis centil itu. Tidak pernah mereka membayangkan perasaanku sebagai putri sulungnya, yang telah berjuang mendapatkan perhatian mereka.
Cecelia lahir dua tahun setelahku, sejak awal dia hadir ke dunia, kami biasa bermain bersama. Bahkan aku menganggapnya sebagai satu-satunya temanku. Namun, seiring bertambahnya usia, aku sadar bahwa dia lahir sebagai ancaman bagiku.
Suatu malam, aku tidak sengaja mendengar orang tuaku bicara di dapur. Saat itu, aku hanya sekadar mencari udara segar di malam hari. Lalu, terdengar suara Ayah yang membuat duniaku terasa runtuh.
"Celosia mungkin sudah rajin berlatih agar dapat mewarisi harta keluarga ini. Namun, Cecelia sepertinya lebih berbakat dalam memegang harta keluarga ini."
Harta yang dimaksud itu berupa pusaka pedang yang sudah diwarisi selama lima generasi. Panjangnya hanya setengah dari pedang biasa dan memiliki ukiran nama keluarga kami. Konon, siapa pun yang memegang pedang itu, tidak akan takluk dalam suatu pertempuran. Pemegangnya juga harus berjiwa kesatria, yaitu pemberani, rela berkorban, dan setia kepada negerinya. Pedang ini biasa diwariskan kepada anak sulung dari keluarga itu. Makanya aku diberi kesempatan untuk melihatnya. Hingga aku sadar, ternyata bukan aku yang ditunjuk selama ini.
Ibu menyahut, "Cecelia berjiwa kesatria, dia selalu mendahulukan orang lain dari dirinya. Namun, aku tidak ingin kehilangan Cecelia, dia belum siap bertarung, bahkan berlatih bela diri saja belum pernah."
"Akan kulatih," sahut Ayah. "Bukannya dulu kau bilang begitu saat Celosia masih kecil? Namun, ujungnya dia mungkin tidak berminat menjadi seorang kesatria. Jadi, kupikir sebaiknya putri sulung kita yang akan mewarisi keturunan keluarga ini."
Sial! Dia pikir aku hanya binatang ternak yang fungsinya untuk berkembang biak saja? Aku lebih memilih mati di medan pertempuran daripada harus mengurus rumah.
Dikuasai amarah, aku langsung menyerbu ke dapur dan menyeru ayahku.
"Ayah salah menilaiku!" seruku. "Selama ini aku berjuang mati-matian demi meraih warisan itu, dan kau justru memilih Cecelia yang lembek itu?!"
Tidak peduli lagi, jika mereka tidak terima, akan kurenggut warisan itu saat ini juga. Kuperhatikan, kedua orang tuaku terkejut akan ucapanku.
"Celosia, Ibu sayang padamu, Ibu tidak ingin kamu mati di usia muda seperti bibimu." Ibu menyahutku dengan nada pelan, seakan tidak terkejut akan seruanku. Tangannya pun tertangkup, tanda memohon agar aku berubah pikiran.
"Tadi Ibu bilang sayang Cecelia, tidak mau kehilangannya, pasti ingin mengorbankanku agar anak emasmu tetap hidup." Napasku menggebu, aku luapkan sebagian amarahku terhadap mereka.
"Celosia, Sayangku." Ibu melembutkan suaranya, dia tetap tersenyum. "Justru Ibu sayang kalian berdua. Tidak ada satu pun yang dibedakan."
"Lantas, kenapa selalu dia yang diperhatikan?" semburku.
"Orang tuamu melihat potensi dalam diri Cecelia, dia mampu disuruh mengerjakan apa pun tanpa lelah." Kini, Ayah yang menyahut. "Sementara kami ingin berlaku adil, kami paham keadaanmu, kamu hanya sanggup mengerjakan pekerjaan rumah saja. Jadi, Ayah tidak ingin menyerahkan segalanya kepadamu."
Tanpa sadar, air mataku mengalir deras di pipi. Hatiku terasa tersayat mendengar kalimat itu. "Padahal, bukannya Ayah lebih dulu menunjukkan warisan keluarga ini padaku?"
"Ya, kamu pantas melihatnya, seperti anggota keluarga kita yang lainnya." Ayah mendekat lalu menepuk bahuku. "Namun, Ayah mengerti keadaanmu. Orang tua tahu yang terbaik bagi anaknya. Kami tidak ingin menyakiti kalian dengan tanggung jawab yang tidak pantas untuk kalian. Cecelia dapat disuruh mengerjakan apa pun di luar rumah, sementara Celosia lebih bagus di rumah saja dan meneruskan keturunan keluarga ini kelak."
Aku menatap ayah, meski pandanganku buram tertutup air mata. Kuharap dia melihat dari sorot mata ini, betapa sakitnya hati mendengar ucapan itu.
"Jangan sedih." Ayah berucap dengan lembut sembari menghapus air mataku. "Kami menyayangi kalian berdua. Kami tahu yang terbaik bagi kalian."
Tidak lama, mereka menuntunku kembali ke kamar. Membiarkanku menangis sepanjang malam.
***
K
ukira, selama ini semua harapan berada di tanganku. Namun, sepertinya orang tuaku tidak melihat itu. Harusnya mereka menyerahkan kepada seseorang yang ingin, bukan hanya yang bisa. Aku pasti akan belajar bertarung dengan lebih giat kalau saja Ayah tidak menghalangiku seperti itu.
Cecelia, dia memang memiliki kekuatan lebih dibandingkan kami. Namun, dia memang bodoh tidak terkira di mataku. Aku ingat, dia sejak dulu tidak pernah belajar dari kesalahannya. Selalu saja berhasil kukalahkan dalam setiap permainan terutama tebak-tebakan. Namun, dari itu semua, segala ucapan yang kulontarkan padanya agar dia sadar diri, tidak juga membuatnya tampak sadar betapa bencinya aku padanya.
"Kakak kemarin sedih, ya."
Aku terenyak mendengar suara menjijikkan itu. Jelas siapa yang bicara saat ini. Aku tetap menutup mulut, biar dia pikir sendiri.
"Cecelia paham kalau Kakak ingin bertarung," lanjutnya. "Tapi, Kakak tidak boleh memaksakan diri."
"Tahu apa kau?" sahutku ketus. "Aku sudah berjuang jauh lebih keras darimu, setiap hari yang jaga dan mengurus seisi rumah selain Ibu cuma aku. Di sela itu aku belajar juga bela diri, walau Ayah tampak tidak pernah puas dengan hasilku. Kau? Bergerak sedikit saja langsung kagum semua orang."
Cecelia mendekat lalu duduk di depanku. Beraninya dia masuk ke kamar lalu memandang aku seperti itu. Mata birunya memantulkan bayangan wajahku yang diliputi amarah. Andai Cecelia tahu rasa sakit yang kuderitai selama dia masih hidup.
Bukannya tersinggung atas ucapanku, Cecelia justru tersenyum lalu memelukku. "Kakak tidak perlu melakukan segalanya untuk kami. Toh, adikmu bisa jaga diri, kok. Yang penting, Kakak sudah berusaha semaksimal mungkin dalam melaksanakan tugas. Biar Cecelia yang bekerja di luar, sementara kakaknya yang jaga rumah. Bukannya itu sudah bagus?"
Bagus matamu! Andai dia paham perasaanku.
Aku dorong dia menjauh. "Menjauh dariku!" Kutinggalkan dia dan melangkah kasar menuju halaman belakang yang letaknya dekat dapur tempatku terakhir menangis malam itu.
Aku mengamati matahari yang sudah terbenam, kini malam telah tiba dan saatnya semua orang harusnya beristirahat. Aku mulai duduk dan mencoba beristirahat dari segala pikiran menyakitkan ini. Semua sudah membuatku muak.
Kuamati halaman belakang dari rumah tetangga yang bersusun di belakang rumah kami. Di antara bunga-bunga yang disusun, terlihat sosok tinggi berdiri di tengahnya.
Aku menyipitkan mata, pandanganku tertuju pada sosok tinggi layaknya sebuah pohon. Dia bergerak ke arahku. Begitu cepat hingga aku tidak sempat berkutik lagi. Dia pun mulai terlihat jelas wujudnya. Sosok itu memiliki rambut panjang hitam dengan kelopak segelap malam. Sementara baju terusan putih polos membalut kulitnya yang menyatu dalam kegelapan.
"Siapa kau?" Aku bersiaga. Wujudnya pun tidak menunjukkan apakah dia sebangsaku atau tidak.
Makhluk itu berdiri diam, tidak menunjukkan ekspresi apa pun, wajahnya tertutupi sebagian dengan helaian rambut. Menyadari kalau dia barangkali hanya binatang lewat, kudiamkan saja. Namun, dia menelengkan kepala, menunjuk ke arahku.
"Apa maksudmu?" Aku tentu saja heran, cemas kalau saja dia mencoba menyerangku, aku kepalkan tangan bersiaga melindungi diri.
Makhluk itu membungkuk lalu menulis sesuatu di tanah menggunakan helaian rambutnya. Tangan dia dihiasi jemari pucat panjang dengan kuku menyerupai cakar dihiasi warna putih. Di tanah, dia menulis sebaris kalimat.
"Kamu kesal pada adikmu?"
Aku menatapnya, kaget kalau dia bisa memahamiku secepat itu. "Ya." Kujawab dengan jujur, karena itu bukan hal yang kusembunyikan lagi.
Makhluk itu langsung menyerahkan sehelai rambut hitam padaku. Begitu panjang hingga mampu mencakup tinggi badanku.
Aku menerimanya, heran sekaligus takut akan kejadian aneh ini. "Mau diapakan ini?"
Dia melingkarkan rambutnya pada leher, seakan menyuruhku meniru dirinya.
Aku mengamati helai rambut itu. Tampak aneh, tapi juga seakan mengandung suatu kekuatan magis di dalamnya. Seketika wajah Cecelia muncul dalam benakku. Aku paham, makhluk ini bukan makhluk biasa. Dia pasti datang untukku dan aku akan segera melakukannya. Tanpa berpikir panjang, aku pun mulai memohon.
"Jadikan aku seperti adikku, Cecelia."
- Kakak -
Sementara ini cerita dari sudut pandang kakaknya, berikutnya dari adiknya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro