Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Adik

Ini cerpen yang ditulis pas 2023 lalu, sedikit lore tambahan untuk "Kesatuan."

***

"Lihat kakakmu si Celosia, dia selalu tabah dalam mengerjakan sesuatu. Belajarlah darinya." Ucapan dari Ibu selalu kuingat, apalagi setiap selesai berlatih dengan Ayah, pasti kakakku dijadikan bahan motivasi.

Sebenarnya, aku keberatan atas keputusan yang Ayah berikan. Dia menjadikanku sebagai pewaris harta keluarga ini. Aku tidak pernah berminat untuk mengerjakan pekerjaan di luar rumah, terlebih bertarung. Namun, karena ini yang terbaik bagi orang tuaku, aku patuhi saja. Sayangnya, Kakak tidak menyukai itu dan mulai menjauhiku.

Sejak kecil, orang tuaku selalu mengandalkanku dalam setiap pekerjaan di luar rumah. Entah membantu merenovasi rumah, membantu mengangkut bahan dagangan, bahkan ikut kompetisi bergulat lokal. Namun, aku kurng menyukai semua itu. Aku lebih senang mengerjakan pekerjaan rumah layaknya gadis lain. Membayangkan diriku menjadi seorang ibu yang mengurus anak-anaknya nanti, juga menjaga rumah sampai sang suami datang. Ternyata, aku justru ditakdirkan untuk menjadi pelindung keluarga dan desa ini kelak. Berarti kesempatanku untuk membangun rumah tangga hancur sudah.

"Cecelia, bantu Ayah angkat ini!" Seruan darinya membuatku menoleh lalu berjalan menghampirinya.

Kali ini Ayah membawa satu kotak kayu setinggi separuh badanku. Kotak ini penuh dengan makanan pokok. Aku mengangkatnya tanpa merasakan beban sedikit pun. Kuletakkan di tempat sesuai kehendak Ayah.

"Sebentar lagi musim dingin akan tiba," ujar Ayah. "Kita sebaiknya menjaga sisa makanan agar tidak lekas habis."

Ibu mengiakan. "Musim dingin di tahun ini tidak ada bedanya dengan tahun lainnya. Tidak ada yang perlu dicemaskan."

"Namun, di musim inilah banyak kejahatan muncul."

Perkataan Ayah ada benarnya. Di musim dingin, biasanya menjadi suasana yang cocok untuk melakukan kejahatan. Terlebih saat badai menyerang, di mana seorang pun tidak akan sadar kalau ada yang menyelinap masuk ke rumah warga lalu menghabisi penghuninya.

Aku kembali teringat akan pedang warisan keluarga ini. Terakhir yang menggunakan sebelum Ayah adalah bibiku. Ibu begitu terpukul mendengar kematiannya, terlebih mereka adalah sahabat semasa kecil dan dari dia juga, Ibu dapat mengenal Ayah.

"Bibimu tewas di rumahnya dalam keadaan mengenaskan." Ibu pernah bercerita. "Tubuhnya tercerai-berai dan tidak ditemukan siapa pelakunya hingga saat ini. Aku yakin, itu pasti perbuatan orang yang membencinya."

Diceritakan jika tubuh Bibi seperti dipotong menggunakan sebilah pedang. Seperti kebanyakan senjata yang digunakan saat ini, kematian akibat sabetan pedang pun bukan hal aneh lagi. Terlebih sosok Bibi yang dikenal sebagai pahlawan. Karena tidak ada bukti atau tanda siapa pelakunya, akhirnya Bibi hanya dimakamkan dengan layak tanpa ada yang mencoba mencari tahu penyebab sesungguhnya.

Ada yang berteori kalau kematian Bibi ada kaitannya dengan sihir. Tidak aneh, lantaran para penyihir biasa digunakan jasanya untuk menghabisi seseorang tanpa menyentuhnya langsung. Jadi, keluarga kami memilih percaya teori itu dan berusaha untuk lebih rajin berdoa untuk perlindungan. Namun, aku jarang berdoa lantaran merasa semua itu hanya sugesti agar dirimu merasa lebih tenang untuk musibah yang akan datang. Meski sudah ditegur, aku tetap tidak melakukannya. Kakak pun juga begitu, sepertinya hanya kami berdua dalam keluarga ini yang tidak begitu mendalami kegiatan spiritual itu.

"Ibu, aku izin dulu, ya." Aku pun pamit lalu melangkah ke kamar Kakak.

Semenjak mendengar kabar perihal warisan tadi, Kakak memang jadi semakin menjauh dariku. Padahal dulu kami begitu dekat, dia sering memberiku ilmu melalui permainan tebak-tebakan. Namun, kini hubungan kami terasa asing. Seakan kami tidak pernah saling mengenal sekali pun.

Terlihat kamar Kakak yang pintunya terbuka, kulihat dia sedang menangis. Hatiku teriris melihat saudariku seperti ini. Andai saja orang tua kami paham akan keinginan kami sesungguhnya, barangkali konflik ini tidak akan terjadi.

Aku beranikan diri mendekat. "Kakak kemarin sedih, ya."

Dia terenyak mendengar suaraku. Matanya merah akibat menangis. Hatiku terenyuh melihat penderitaannya.

Aku kembali bicara, berusaha menenangkan kakakku. "Cecelia paham kalau Kakak ingin bertarung. Tapi, Kakak tidak boleh memaksakan diri."

"Tahu apa kau?" ketus Kakak. "Aku sudah berjuang jauh lebih keras darimu, setiap hari yang jaga dan mengurus seisi rumah selain Ibu cuma aku. Di sela itu aku belajar juga bela diri, walau Ayah tampak tidak pernah puas dengan hasilku. Kau? Bergerak sedikit saja langsung kagum semua orang."

Memang benar Kakak yang ingin mewarisi pedang keluarga ini. Dia pun paling semangat ingin berlatih agar mewarisi pedang itu. Namun, dari segi fisik, dia mungkin lebih kurang dariku. Kakak lebih cepat lelah dan menyerah di tengah latihan, sehingga Ayah menjadi iba dan memutuskan untuk tidak menyuruh untuk berlatih lagi. Namun, ternyata itu tidak disambut dengan baik oleh Kakak.

"Aku lelah dengan semua ini, Adik." Kakak kembali terisak. "Bagaimana mungkin orang tuaku paham? Kau pun seenaknya bertingkah layaknya orang paling spesial di rumah ini!"

Aku mendekat lalu duduk di depannya. Wajah kami pun sebenarnya sangat mirip. Kakak pun tidak kalah menawan dariku. Dari sorot mata birunya, tampak bagai langit teduh. Di mata itu, terpantul wajahku yang tersenyum untuknya. Andai Kakak tahu rasa sayangku padanya. Aku pun tidak pernah mengerti mengapa dia begitu membenciku karena warisan ini.

Aku pun memeluk kakakku dengan erat. Kuelus bahunya. Dapat kurasakan air matanya menetes padaku. "Kakak tidak perlu melakukan segalanya untuk kami. Toh, adikmu bisa jaga diri, kok. Yang penting, Kakak sudah berusaha semaksimal mungkin dalam melaksanakan tugas. Biar Cecelia yang bekerja di luar, sementara kakaknya yang jaga rumah. Bukannya itu sudah bagus?"

Kakak mendorongku. "Menjauh dariku!" Dia pergi dengan melangkah kasar ke luar kamar.

Aku terenyak. Tanpa sadar air mataku mengalir deras di mata. Warisan ini telah memecah belah keluargaku. Namun, apa yang bisa kulakukan? Melihat Kakak yang mulai membenciku, orang tuaku yang masih saja belum memahami perasaan kami. Kini aku harus menjaga kedua warisan dan hubungan keluarga ini. Jangan sampai kehilangan keduanya.

Hendak aku susul kakakku, tapi rasa sakit di dada membuatku terhentak dan terisak di lantai. Kubiarkan air mataku mengalir membasahi wajah dan lantai. Membiarkan rumah ini tahu keadaan penghuninya.

Kudengar suara langkah kaki. Gerakannya terdengar lamban, tapi cukup membuat bulu kudukku meremang. Begitu aku duduk dan menghapus air mata, aku ternganga.

Sosok tinggi menghadapku. Dia bahkan harus membungkuk agar bisa mendekatiku saat ini. Makhluk itu memiliki rambut hitam lebih panjang dari tubuhnya, sebagian terbaring bebas di lantai, sementara badan persis seperti manusia lengkap dengan pakaiannya. Pada balutan kain putih tersimpan raga pucat dengan tatapan kosong. Matanya yang gelap bersatu dengan malam. Dia kian mendekat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Siapa ... Kau?" Aku gemetar. Pikiranku langsung tertuju pada pedang warisan itu. Namun, sayangnya pedang itu kutitipkan pada Ayah karena aku belum merasa pantas menyentuhnya.

Makhluk itu menunjukku. Aku tunggu dia bicara. Namun, hanya ada keheningan yang berkelanjutan, membuatku merasa tidak nyaman.

Dia berlutut, posisi kami kini sejajar. Wajahnya yang sebagian tertutup helaian rambut hitam itu, perlahan bergerak. Helai rambut yang menghiasi kepalanya mulai mendekat, bergerak menyentuhku.

Aku refleks mundur, berusaha berucap meski gemetar hebat. "Apa maumu?!"

Makhluk itu berhenti. Dia menatapku, kurasa begitu karena rambutnya mulai mengarah padaku, seakan mereka dikendalikan penuh dengan empunya seperti bagian tubuh lain. Dia memang tidak bersuara, tapi paham bahasa kami, membuatnya kian susah dipahami. Makhluk itu lalu menunjukku lagi.

"Apa maksudnya?" Aku bertanya.

Dia menusuk lantai kayu dengan kuku putihnya–cakar lebih tepatnya. Garis yang dia ciptakan tidak juga menciptakan suara nyaring layaknya bunyi gesekan pada kayu.

Kini lantai rumah tertulis. "Apa yang kau inginkan, akan segera terkabul."

Aku terkejut. Hal terakhir yang kupercaya kini berada di depan mata. Jika benar dia makhluk yang dapat mengabulkan permintaan, maka aku hanya menginginkan satu hal.

Aku kembali merenungkan keinginan. Selama ini, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama sosok yang kusayangi. Semua tidak lagi terulang kalau ada penghalang di antara kami. Padahal ingin sekali kami tetap bisa bersama tanpa perlu penghalang di antara kami.

"Aku ingin selalu bersama Kakak, aku menyayanginya dan aku ingin dia kembali bersamaku."

- Adik -

Nah, sudah kelar yang ini, btw berhubung dulu di tahun 2022 aku nulis kek gitu, jadi yah aku publikasikan sesuai dengan bahasa yang dulu kutulis, ada bedanya sama sekarang? Yah, aku cuma edit sedikit kalimat yang terlalu boros sama itu-itunya, sementara isi cerita masih sama persis.

Nah, jadi semua jadi makin anu deh.

Anyway, aku bakal balik nulis ceritaku yang baru deh, berhubung ini anggap aja udah habis ehe.

Karena aku tidak mau bikin bab khusus isinya sambutan dariku untuk lapak ini, jadi cukup di sini aja, ya.

Sampai jumpa di karyaku yang lain!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro