Fragmen 3.0 | Ambisi
"What the superior man seeks is in himself; what the small man seeks is in others."
-- Confucius, Lun Yu.
<<<>>>
Di tengah-tengah hujan rintik dan padang rumput, Lintang Punarbawa tergeletak kedinginan.
Wajahnya menengadah menuju kedalaman mega-mega, sepasang netra sayunya berupaya menyelam ke salah satu celah di antara gumpalan kapas-kapas raksasa. Air matanya meleleh, meluncur selambat bola salju di lereng gunung mati yang tiba-tiba meletus dahsyat.
Rambut hitam legamnya lusuh, nyaris kering kerontang, memeluk erat gugusan rumput di taman kota. Pun juga bibir semerah mawarnya, kini memucat dan memudar layaknya lapisan cat yang belum semenit sudah disiram air panas. Berulangkali, laki-laki ber-hoodie hitam itu dengan susah-payah menjaga agar dua sisi kelopak matanya tak saling bersentuhan. Dengan demikian, ia tetap bisa menjerat seluruh dirgantara dalam sudut pandangnya.
Napas Lintang agaknya semakin lama semakin redup. Ia bersumpah mampu mendengar jelas arus darah dari dalam telinga menuju jantungnya. Ujung jari-jemari lelaki itu lemas nan pucat, sedikit demi sedikit menggerogoti bagian tubuh lain. Selimut rumput di bawah punggungnya tak membantu sama sekali, malah lebih terasa seperti ladang jarum.
Pernah merasakan perutmu dipelintir, dari satu bagian ke bagian lain?
Itu yang kini Lintang rasakan. Ia ingin memuntahkan seluruh isi perut, tetapi yang keluar hanya air liur. Tidak peduli apa posisi yang diambil laki-laki tersebut, selalu ada seutas rasa gatal, pahit, dan masam di pangkal kerongkongannya. Lambungnya seakan-akan berteriak untuk dirogoh dengan tangan kosong. Mungkin karena ia sering telat makan akhir-akhir ini. Mungkin juga tidak.
Lintang sebenarnya menghendaki agar kedua matanya tertutup, barang beberapa menit saja. Ia ingin mengawasi dirinya di masa lalu—bertaut erat dengan kenangan-kenangan manis selama ia berkarir di ujung barat Jawadwipa. Ia ingin menatap wajah kolega—tidak, kawan-kawannya lagi. Untuk bisa bersenda gurau di depan api unggun, bernyanyi diiringi alunan nada dari gitar sembari mereguk secangkir kopi. Mungkin nanti, jika percakapan sudah mencapai puncaknya, mereka akan berargumen sedikit, mengalah kemudian, sebelum terlelap di bawah genangan gemintang dalam rahim ibukota. Ia ingin sekali kembali ke masa-masa itu.
Laki-laki itu merasakan kepedihan di tengah-tengah keramaian, tetapi tidak ada seorang pun yang tampak memberi muka padanya. Bukan karena tak sudi, tetapi lebih karena mereka tak mampu. Bagaimana bisa mereka menolongnya, sedangkan mereka sendiri tidak tahu ia siapa?
Suara tapak kaki tiba-tiba menyembul dari kejauhan. Langkahnya pasti dan tegas, layaknya seekor singa tua yang tak khawatir mangsa buruannya hendak kabur atau dicaplok predator lain. Jantung laki-laki itu semakin berdebar kencang. Alarm firasatnya berbunyi kencang. Ia tak tahan lagi. Ia ingin enyah segera.
Lintang menutup kedua matanya dalam-dalam.
<<<>>>
"Diriku, katakan untuk apa saya mesti lahir."
"Pertanyaan bodoh."
"Kenapa bodoh?"
"Bukankah kamu dilahirkan hanya untuk mengabdi Tuhan-Mu? Bukannya itu sejelas-jelasnya alasan bagimu?"
"Saya tidak minta dilahirkan."
"Kamu tidak bersyukur? Nikmat Tuhan-Mu yang mana yang kau dustakan lagi?"
"Saya bersyukur bisa hidup, 'tapi saya yakin kamu tahu saya tidak pernah menandatangi kontrak untuk datang ke dunia ini."
"Cucur tuturmu melantur. Sejak kapan kamu mempertanyakan hal-hal semacam ini? Sejak dicuci otak oleh indoktrinasi sekuler itu?"
"Sejak Tuhan-Mu tidak pernah mengizinkan saya untuk mengizinkan saya untuk mencintainya dalam penderitaan yang saya lalui."
"Kamu terlalu skeptis. Tuhan juga mesti ditakuti."
"Tuhan-Mu hanya menelantarkan saya untuk kepuasan-Nya sendiri, bukan?"
"Jaga bicaramu. Tuhan-Mu memperhatikanmu. Ia bisa saja mencabut nyawamu dan melemparkannya ke dalam kerak neraka."
"Mengapa hanya ada neraka dan surga? Mengapa tidak ada tempat di antara keduanya?"
"Karena orang-orang fasik dan munafik sepertimu pantas menderita di dalamnya."
"Benarkah? Jika Tuhan-Mu mengetahui dari awal bahwa saya akan menjadi orang fasik dan munafik, mengapa Dia tidak mencoba menolong dan berlaku tidak acuh pada saya?"
"Kamu kira kamu siapa? Orang suci yang spesial? Nabi? Mestikah Tuhan mengintervensi linimasa yang kamu buat sendiri, wahai pemalas?"
"Jika Tuhan-Mu benar Mahatahu, semestinya semua orang menjadi individu khusus di hadapannya. Apa benar Dia hanya memperhatikan kita dengan sungguh-sungguh hanya pada Hari Penghakiman? Kamu kira ini lucu?"
"Kamu kira Tuhan-Mu itu milikmu? Bukan kamu yang semestinya menjadi milik-Nya? Sekarang siapa yang kelihatan bodoh?"
"Haruskah ada Tuhan? Apa kamu tidak merasa bosan di surga?"
"Bedebah tak tahu malu. Tunggu sampai ajal menjemputmu."
"Akan saya sampaikan pesanmu ke Tuhan Yang Mahasibuk. Itu pun kalau saya berhasil masuk ke dalam neraka yang kamu takuti."
"Pemberontak tak berotak kamu. Bisa-bisanya kamu menghina-Nya, sekalian masuk saja kamu ke jahanam!"
"Sekarang siapa yang munafik? Saya dulu seperti kamu, dicekoki doktrin agama, dipaksa mengakui ideologi mahaabsolut, mudah termakan propaganda--"
"Diam kamu, jalang tak tahu diuntung!"
"--juga dipaksa untuk menjadi paranoid dan pasrah, membenci kepercayaan orang lain--"
"Cecunguk bungkuk! Nista kamu! Jalankulah satu-satunya yang benar!"
"--dan menjadi sumbu pendek yang subjektif--"
"Bangsat keparat! Diam! Kuludahi wajahmu, jelata!"
"--juga takut menghadapi dunia logika yang nyata."
"Menurutmu kamu sudah bijak, hah? Puas kamu menghina Tuhan-mu sendiri? Dasar kafir!"
"Apakah menurutmu kita mesti menjadi budak Tuhan, diriku? Melayani hasratnya tiap waktu?"
"Orok goblok! Kamu kira kamu bisa dengan seenak udel bisa menyamakan Tuhan dengan manusia? Dia tidak punya nafsu hewani sepertimu, lacur!"
"Tahu dari mana kamu? Dari kitab suci? Pernahkah kamu bertemu dengan-Nya sendiri?"
"Itu perbedaan antara kita berdua, berengsek!" Kamu tidak beriman, sedang saya hamba Tuhan."
"Sejak kapan kamu jadi hamba Tuhan? Apakah Tuhan pernah menobatkanmu secara resmi?"
"Karena itu bukan urusan kamu! Terserah saya mau menobatkan diri saya dengan panggilan apa saja!"
"Dan kenapa kamu kelihatan begitu tertekan dengan apa yang saya yakini sekarang? Sampai menyerapahi saya begini? Apa saya tidak boleh beropini bahwa Tuhan telah meninggalkan kita?"
"Diam! Diam! DIAM!"
"Tidak, kamu yang akan saya bungkam. Umat manusia tidak perlu kaum intoleran sepertimu."
"TUHAN, BAKAR ORANG INI--AAAHHH!"
"Diam. Sekarang rasakan bagaimana saya menderita."
"JAHANAM! ANJING! BABI---AAAAHHHH!"
"Bagaimana rasanya? Sakit? Bagus, karena itu yang saya rasakan tiap hari, ketika Tuhan-Mu menguji saya tanpa menjawab cinta yang sudah saya pusatkan pada-Nya. Inilah yang saya rasakan ketika Tuhan-Mu meminta saya bersabar seumur hidup."
"GILA, SAKIT JIWA KAMU--AARRGGHH--"
"Coba tanyakan pada Tuhan-Mu nanti di alam baka, siapa yang sebenarnya gila?"
"AAARRRGGHH!"
"Ck, sayang sekali. Andaikata kamu bisa menjawab pertanyaan saya tadi ...."
"K--kamu ...."
"Karena ...tujuan hidup saya adalah ... untuk mencari tujuan hidup ...."
"...."
"Tidak ... ada yang akan ... menolongmu ... sekarang, diriku ... yang ... malang."
"...."
"Karena ... jika kau--ah--mati ... maka ... saya ... juga ... akan ...."
"...."
"Menjemputmu ... ke ...."
"...."
"...."
<<<>>>
Alam semesta tercipta karena melodi, begitu pula dengan setiap buaian mimpi.
Seperti melodi yang disenandungkan oleh Ibu untuk Lintang Punarbawa saat ia takut jika ada monster bertanduk dan bercakar panjang yang menanti di pojok kamar tiap malam. Atau melodi yang merangkak keluar dari mulut adiknya saat menyaksikan kartun favoritnya di televisi. Mungkin juga termasuk melodi yang sekarang ia jadikan sebagai nada dering telepon dan alarm dalam gawainya. Jangan lupakan melodi yang ia dengar dalam mimpi buruknya baru saja. Hal-hal di atas membuat Lintang benar-benar muak.
Rasanya ia hendak mengumpat selantang mungkin.
Tubuh laki-laki tersebut sudah seperti selembar kertas yang dilipat dan diremas-remas, lalu dibiarkan saja tergeletak dalam tong sampah. Leher dan pinggangnya selain terasa suam, juga nyeri, padahal ia tak lupa menjejalkan beberapa obat tempel semalam. Isi lambung pria itu dipelintir satu per satu, seperti hendak mual, tetapi ada angin yang tertahan di dalamnya. Hidung tajamnya meraba-raba sekitar tubuh—sepertinya bekas minum dari tadi malam masih ada. Aroma puntung dan lavender pun masih menjamur di dada dan tangan.
Matanya mengerjap-ngerjap ke arah kanan, berusaha menangkap sinar yang sedari tadi mengganggu kekhusyukan tidurnya. Gorden hijau tipis yang menyelubungi kaca jendelanya samar-samar memancarkan cahaya, kontras dengan dinding kecoklatan dari kamar indekos laki-laki berumur dua puluh tahun tersebut. Mimpi buruk semalam yang samar-samar membuat pening di batok kepalanya kian menjadi-jadi. Apa arti semua percakapan itu? Siapa yang berbicara padanya? Dan bagaimana bisa kata-kata itu keluar dari lidah orang sepertinya ini?
Dan yang terpenting ... jam berapa sekarang?
Tangan kanannya meraba-raba bagian kanan bantalnya, mencari sumber suara yang menyebalkan itu. Helaan napas laki-laki itu terasa berat—sisa-sisa semut hangover masih menggelitik raga, membuatnya enggan segera bangkit dari cengkeraman selimut. Tombol gawai ia tekan. Angka sembilan dan empat puluh dua berdering dalam pikirannya. Rekor baru, mengingat sebelumnya ia selalu bangun di atas pukul sepuluh pagi setelah acara-acara padat.
Tatapan Lintang beredar di sekeliling ruangan indekosnya. Di dinding kamar sebelah kanan yang dicat biru laut, foto-fotonya bersama anggota band dipajang sedemikian gagahnya. Ia dan beberapa anggota lain tampak sumringah dan bangga ketika menerima piala dan sertifikat penghargaan hasil kerja keras mereka. Di sudut ruangan dekat pintu, gitar yang tadi malam senarnya putus sempat satu dan keyboard yang beberapa hari ini tidak ia gunakan mewanti-wanti untuk segera dipeluk kembali. Untung saja tadi malam ia cepat-cepat menggantinya saat jeda penampilan.
Kaki Lintang beralih ke kanan dan tak sengaja menginjak beberapa majalah dan koran yang belum ia bereskan semalam. Diam-diam, rasa penasaran membuat laki-laki itu bertanya-tanya, apa kira-kira opini orang lain tentang dirinya sendiri? Ah, ia juga lupa mematikan laptop di meja kerjanya. Suara kipas juga masih berdenging. Lengkap dengan kabel charge yang belum dicabut. Kalau ia nyalakan lagi, pasti hal pertama yang ia cari dan tonton adalah video atau berita tentang dirinya dan bandnya yang baru saja tampil semalam dalam sebuah rentetan konser amal.
Oh. Ada notifikasi misscall dari gawainya. Dari Gita, lebih tepatnya.
Baru saja beberapa menit lalu dia menelepon. Lintang mendesah setengah kesal. Meskipun Gita adalah manajernya band-nya, mestinya dia juga tahu waktu kapan dia mesti menghubungi dirinya, apalagi mereka baru saja pulang dari satu konser membawa tepuk tangan meriah dan jumlah pengikut di media sosial. Mestinya wanita itu bisa memberikan kompensasi lebih banyak. Ya, tapi, apa boleh buat.
Lintang yang masih tergolek di ranjang segera menghimpun daya untuk duduk dan menekan tombol di gawainya. Nada dering mengudara beberapa saat, sebelum layar gawainya berganti tampilan. Laki-laki itu sudah bisa membayangkan nada suaranya.
"Halo?" sapanya dengan suara serak, tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang gatal,
Di seberang sana, suara seorang perempuan dengan tak sabar menjawab, "Oeee Tang! Lu ini ngaret bener ya, udah jam segini masih aja ngorok. Gue udah di depan. Cepet buka pintu. Panas nih!"
Cerewet banget ini orang, batin Lintang. Laki-laki itu baru ingat kalau Gita punya janji tadi malam untuk mendiskusikan sesuatu di kamar indekosnya. Tentang permintaan buat manggung, atau semacamnya. Buru-buru saja Lintang menjawab dengan malas, "Hmm, iya, iya, bentar gue turun ke bawah. Lo tungguin bentar."
"Ge-pe-el, ngga pakai lama ya!" kata Gita setengah memekik, lalu menutup telepon tiba-tiba.
Lintang mengembuskan napas lega. Akhirnya ia bisa lepas sebentar dari mak lampir itu. Ia beranjak dari ranjang, lalu membuka gorden kehijauan yang ada di sebelah kasurnya. Sinar matahari menerobos masuk dengan mudahnya, menyingkap tumpukan baju dan celana kering yang belum selesai ia setrika kemarin pagi karena buru-buru berangkat ke venue acara. Tangannya menggapai sisir biru muda bergigi jarang dan selembar tisu. Rambut laki-laki itu terlebih dahulu ia sisir sekali-dua kali ke arah kanan, kemudian sisanya ia rapikan menggunakan jari-jemari. Tisu yang diambilnya bergesekan dengan ujung kelenjar air mata, menyisakan bekas noda-noda kekuningan. Tisu tersebut lantas ia letakkan di atas meja kerja sembari mencabut kabel daya yang masih menancap di stopkontak.
Mengalihkan pandangan pada gantungan baju yang ada di dekat pintu kamar, matanya menangkap sebuah jaket kulit, kemeja kotak-kotak warna biru-hitam, hoodie hitam kesayangannya, dan seuntai tasbih berdebu yang digantung di sana. Samar-samar di dalam pikirannya, sempat terbersit pikiran untuk mengenyahkan benda terakhir itu. Namun, setiap kali ia hendak menaruh barang itu di tempat sampah depan kamar untuk dibuang oleh tukang angkut besok malamnya, ia selalu merasa ragu. Mungkin karena barang itu satu-satunya pemberian ibunya di antara barang-barang yang dicantolkan di gantungan baju.
Lintang mengepakkan kedua tangannya ke atas, mulutnya yang terbuka lebar mengembuskan udara tak sedap ke seluruh sudut ruangan. Leher laki-laki itu ia tekuk ke kanan dan kiri hingga muncul bunyi kertak yang memuaskan. Segera saja jari-jemari tangan kanannya hinggap pada kunci kamar. Dalam satu hentakan, angin segar menerjang masuk, mengisi kamar dengan aroma tawar. Mirip-mirip petrikor. Atau, memang tadi pagi sempat hujan gerimis?
Kepala Lintang menjulur keluar kamar. Sepertinya para tetangga juga belum bangun. Pintu dua kamar mandi di lantai atas juga terbuka lebar. Laki-laki itu baru ingat sekarang hari minggu. Ditambah lagi, bukankah sekarang sudah waktunya bagi adik-adik tingkatnya untuk menikmati liburan? Tentu, pulang kampung bagi mereka adalah sebuah keniscayaan. Namun tidak bagi laki-laki itu.
Mau berapapun kaubayar ia untuk pulang sekarang, ia tetap akan berpikir dua kali. Banyak pertimbangan yang perlu ia bawa ke meja kerja—mulai dari karirnya yang tengah naik daun, janji pertemuan laki-laki itu dengan sesama selebriti, klien, atau kawan, atau jadwal panggungnya yang seringkali padat. Tidak, terlalu dini untuk pulang terlebih dahulu. Ada banyak hal yang masih belum ia gapai di kota ini.
Suara sandal biru-putih Lintang menggema dari atas tangga sementara Gita berusaha mengalihkan kebosanannya dengan membuka instagram band mereka. Sekian banyak like dan comment membanjiri feed-feed mereka dalam semalam. Seperti artis papan atas saja. Setidaknya, dia bisa berbicara dengan lantang di hadapan orang-orang sekarang, siapa sih yang tak kenal band Lumbung Ingatan?
"Git, sini, lo masukin saja motornya!" seru Lintang seraya menguap lebar-lebar.
Sang manajer akun instagram menjawab singkat, "Oke!"
Selesai memarkir motornya di halaman depan indekos, Gita dengan suara yang menahan kegembiraan dan antusiasme berkata pada Lintang, "Gila, Tang, gila!"
Lintang menoleh pada manajernya seraya berjalan menuju lantai atas kembali. "Lo pagi-pagi udah ngomong begini. Ada apa lagi sih?" kata si laki-laki berambut hitam, nadanya seperti orang bangun tidur yang terganggu karena lolongan anjing.
"Penampilan kalian semalam itu, lho. Aku barusan 'ngecek, engagement follower kita tambah drastis, anjir!" Wajah Gita yang cemerlang itu kini semakin berbinar-binar, ia layaknya seorang pejalan kaki yang tiba-tiba kejatuhan satu koper berisi uang puluhan juta dari langit.
Lintang menghela napas panjang menyaksikan tingkah laku manajernya itu. Ia membuka pintu kamar untuknya, lantas mempersilakan sang gadis untuk masuk. Gita segera melepas sepatu putih-pinknya, sementara Lintang menjaga di samping pintu. Laki-laki itu juga menoleh ke kiri dan ke kanan—memastikan tidak ada tanda-tanda pemilik indekos—sebelum menutup pintunya tanpa dikunci. Bisa runyam kalau si Gita ketahuan nantinya.
Gita duduk di atas karpet hitam-kebiruan milik Lintang, menutup mulutnya untuk bersendawa ringan sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan bicara. "Aku tahu kalau penampilanmu semalam luar biasa. Tapi aku nggak nyangka kalau kita bakal dapat banyak tawaran kerja! Nih, dari temen baristamu di Inggris," ucap Gita berapi-api, menyodorkan gawainya kepada laki-laki itu.
Sebuah suara yang tak asing tiba-tiba mengudara di dalam kamar indekos Lintang.
"Git, ini aku, Daniel. Kamu bisa nggak nawarin ke Lintang buat manggung di kafeku? I mean, you're massively popular around here," kata suara yang berasal dari gawai itu.
Ah, Daniel Kenjiro Aminata. Dulu mereka berdua pernah sempat satu kampus, satu fakultas, tetapi beda program studi. Ketika dulu masih masa-masa ospek fakultas, Lintang masih ingat bagaimana setiap harinya Daniel dipanggil Ken oleh teman-teman seangkatannya. Siapa sangka, dia ternyata salah satu orang yang beruntung untuk mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri, dan sekarang sudah memiliki pekerjaan tetap di London. Sempat juga diiming-imingi oleh dosennya untuk kuliah S2, entah bagaimana kelanjutannya. Mengulang masa lalu, membuat senyum laki-laki itu semakin kencang juga.
"Jadi tolong, ya, respon cepet, karena kita really busy di sini nih. Don't worry about money. We've got all covered up. Well, good luck to you and your band," tutup Daniel melalui voice note yang dikirim ke nomor pribadi Gita. Dalam hatinya, Lintang berterima kasih pada dirinya sendiri karena sudah mau tinggal di Jakarta lebih lama lagi. Lama-kelamaan ia makin nyaman. Masih ada banyak tambang emas yang perlu digali di sini.
"Inget nggak?" Alis Gita naik setengah, tangannya yang menjulur ia tarik kembali.
Mata Lintang menabrak gitar di ujung ruangan. Tangan laki-laki itu merambat dan melilit leher gitar kesayangannya, kemudian mulai menarik senar-senar tersebut satu per satu. Melodi lagu yang ia dendangkan semalam masih terngiang-ngiang, berputar-putar dan mendarat menuju daun telinga gadis di sampingnya. Seperti ada percik api baru dalam dada Lintang. Ia bergumam, "Hmm, yang kerjanya di Brimingham itu?"
Gita terkekeh-kekeh hingga gigi gerahamnya tersingkap. "Birmingham, oi," celetuknya ringan.
Menebaskan telapak tangannya ke udara, Lintang langsung menyahut, "Ya itulah pokoknya. Gue gampang lupa." Sialan, ada saja momen-momen yang membuat pipi laki-laki itu merah merona. Ia tak mau terlihat bodoh di depan gadis ini. Setidaknya, ia sudah cepat-cepat berdalih.
"Ya sudah, ntar biar gue aja yang bales. Lo kirim gih kontaknya ke gue," ujar Lintang sambil melanjutkan genjrang-genjrengnya. Bau harum lembaran kertas berwarna merah serasa merebak di hidungnya."
Gita terdiam sejenak dan menghela napas. "Lho, bukannya lo dah punya?"
Lintang menghentikan gerakan jari-jemarinya dan mendecakkan lidahnya. "'Kan nomornya bukan nomor Indonesia, gimana sih lo ini. Lagian, aku yakin Daniel dah ganti nomor setelah dia pindah ke London," sergah laki-laki itu sebelum fokus matanya kembali ke gitar kesayangan. Mulut Gita hanya membentuk huruf O besar sebelum terkatup kembali. Diam-diam, ia tersipu malu.
Sunyi lambat laun merayap di antara mereka berdua sebelum Lintang kembali menarik senar-senar gitarnya. Ah, rasanya tak tenang tanpa sebatang rokok untuk menyulut inspirasi laki-laki itu. Ia masih ingin hidup seribu tahun lagi demi lagu-lagunya. Bagaimanapun juga, dalam raga laki-laki itu masih membara. Rasanya tak cukup hanya sekali saja ia mencicipi gemerlap cahaya ketenaran.
"Berapa?" tanya Lintang tiba-tiba, tak ada angin tak ada hujan.
Masih terpaku pada layar gawainya, Gita menyahut, "Hm, berapa apanya?"
Lintang menggigit ujung bibir bawahnya, seakan menunggu kata-katanya sendiri terlontar dari lidah. "Tawarannya," ucapnya tenang.
"Ada tujuh. Semuanya bulan ini," tegas Gita sembari menyodorkan ponselnya, "Sudah kuurutin sesuai prioritasnya.
Lintang menghentikan genjrengannya, kemudian menatap lekat-lekat catatan yang sudah Gita buat di ponselnya. Metode manajemen Gita memang tidak pernah jauh-jauh dari skala prioritas. Ia secara rinci memaparkan pro dan kontra suatu tawaran, lalu mengeliminasi satu per satu tawaran tersebut sampai tersisa satu tawaran—yang nanti akan ia taruh di urutan teratas. Mata laki-laki itu menyapu sekilas daftar-daftar perusahaan dan tempat di mana ia dan bandnya akan tampil.
Di satu sisi, ia mereguk lidah sendiri karena mereka akan melanglang buana Jawa. Nama-nama kota seperti Magelang, Bandung, Surabaya membuat hati kecilnya gentar. Oh, jangan lupakan juga konser virtual yang mereka gelar di Meta-World. Jarang sekali mereka ditawari untuk tampil dalam dunia maya. Namun, pada saat yang bersamaan, ia bahagia bisa mendapatkan banyak profit untuk rencana investasi ke depannya. Laki-laki itu akhirnya akan diingat dunia dengan caranya sendiri. Dengan begini, ia tidak lagi punya alasan untuk pulang kampung dalam waktu dekat.
"Terima semuanya," pinta Lintang dengan mantap.
Air muka Gita berubah drastis. Mulutnya sedikit ternganga. "Hah, lo yakin?" kata gadis itu setengah berteriak. Lintang hanya menganggukkan kepala singkat.
"Terus ... gimana rencana tampil buat baksos? Kita sudah terlanjur janji ke pengurus panti," ucap Gita bingung, rasa bersalah mulai meresap dalam hatinya. Sebelumnya, ia sudah sempat berjanji pada Bu Mirah—salah satu ibu pengurus panti asuhan di Tangerang Selatan yang ia kenal baik sejak remaja—akan menampilkan yang terbaik untuk acara penggalangan dana.
Lintang terdiam sejenak sebelum berkata, "Batalin saja, toh bayarannya nggak seberapa."
Deg. Seperti ada sebutir timah panas yang menusuk dan bersarang dalam dada Gita. Semua rencana yang ia susun dari tadi malam tiba-tiba runtuh seketika di hadapan laki-laki ini. Tapi ia tak mau kalah. Ia balik melempar argumen. "Tapi kita bakal ngecewain anak-anak, Tang. Lagian mustahil lo bisa menerima semuanya," papar Gita, nada suaranya sedikit meninggi.
Lintang menghela napas di antara jeda yang mereka buat. Kata-kata sekaligus tatapannya adalah belati-belati tajam nan dingin yang bersiap menghunus leher Gita. "Bukannya tadi lo bilang kalau semua diurutin sesuai prioritas?"
Belum puas, Lintang menambahkan, "Dan satu hal, nggak ada kata mustahil dalam kamus gue."
Air muka Gita semakin mengeruh. Dadanya kembang-kempis menahan selaksa kata yang hendak ia gunakan untuk menceramahi lelaki tak tahu diri ini. Gita tahu kalo orang di hadapannya ini adalah ketua sekaligus gitaris bertalenta dalam grup mereka. Namun, kebiasaan impulsifnya ini yang seringkali membuat Gita menahan murka setengah mati. Sebab nanti jika salah satu personel mereka ambruk, progres acara lain juga akan terhambat. "Ya tapi itu nggak semudah yang kamu pikirin, Tang. Kita belum lagi koordinasi sama anak-anak," ujar gadis itu, intonasinya berat pada kalimat terakhir.
"Ya, itulah kenapa seorang Gita ada di sini, 'kan?" tanya Lintang dengan setenang mungkin.
Dalam hati, Gita mengelus dada sembari memendam bara. Bibir gadis itu menyipit, pandangannya semakin lama semakin layu. Ia paham, tak ada gunanya beradu mulut dengan Lintang. Bukan sekali dua kali ia seakan-akan menyerahkan beban manajemen pada Gita seorang. Akan tetapi, gadis berambut lurus tersebut merasa kejadian kali ini nyaris-nyaris saja membuat dirinya meledak di depan umum.
"Ya ... ya sudahlah, oke kalau begitu," ujar Gita dengan nada sedikit mengejek sembari menghela napas berat. Ia berdiri perlahan, mengambil langkah-langkah panjang ke luar kamar Lintang.
Lintang mengernyitkan dahi, seakan tak sadar hawa kecanggungan yang menyembul dalam udara kamar indekos sejak ia terakhir membuka mulut untuk berbicara. "Lho, Git, lo mau ke mana?"
Tanpa menengok kembali ke dalam ruangan, Gita memasang sepatu kremnya dengan cepat. "Ke studio, nyiapin barang-barangmu nih. Sumpah, makin lama makin pengap aja ini kandang," pungkas Gita yang bersungut-sungut. Bunyi sepatu gadis yang menuruni tangga indekos itu membuat Lintang menjadi cemberut. Entah apa yang laki-laki itu gumamkan demi membungkam rasa kesalnya.
Padahal ia sudah dengan percaya diri dengan kemampuannya menaklukkan tujuh tawaran itu, lagi-lagi Gita masih saja terlalu hati-hati dalam berpikir, dan itu bisa berakibat fatal ke pendapatan bulanan mereka nantinya. Ia tak suka akan hal itu. Laki-laki tersebut meyakinkan dirinya sendiri: ia seorang eksekutor, beda dengan Gita yang merangkap konseptor. Tidak masalah. Gita akan melunak jika ia diberi waktu untuk berpikir dengan kepala dingin.
Yang penting, sekarang Lintang sudah punya prioritas yang perlu ia jalankan. Kalau ia merasa tidak puas kemarin, ia yakin, dengan tujuh gundukan uang di depan mata, dahaganya akan lenyap seketika.
<<<>>>
K E S A K S I A N F U L A N
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro