Fragmen 1.5 | Insubstansial
Lift your head out of this hurricane to find solace and tranquillity. If you stay caught in the storm, your head will whirl as fast as a millstone and you will know so little peace that even a single fly can buzz away your peace.
-- Fariduddin Attar, The Conference of the Birds.
<<<>>>
Alkisah, ada seorang pria paruh baya terpikat oleh sebuah buku yang ada di dalam rak paviliun rumahnya. Saking usangnya, judul buku tersebut terlalu buram untuk bisa dibaca. Laki-laki itu menyadari, kemungkinan besar buku ini diwariskan turun-temurun dari bapaknya. Ia lalu membuka lembaran-lembaran kuningnya dan menemukan penggalan sebuah kisah mengenai pembunuhan seorang kritikus yang tidak disebutkan namanya. Sepertinya menarik.
Di dalam penggalan cerita itu, dikisahkan sang Kritikus jatuh, nyaris sekarat, dan bersimbah darah di depan halaman sebuah tempat ibadah. Manusia-manusia lain yang mengelilinginya--disebut di sana sebagai Tarup Kalis--menatapnya dengan tatapan jijik. Dikatakan bahwa mereka sudah seperti hewan buas, siap memangsa, merobek-robek, bahkan menelanjangi sang Kritikus karena telah mengancam mereka dengan kata-katanya.
Sang Kritikus sempat melakukan pelarian dengan sang Kesatria waktu rumahnya dikepung oleh panji-panji Tarup Kalis. Sang Kesatria, yang jatuh cinta pada sang Kritikus, tak mampu menahan dirinya sendiri dari permintaan yang dicinta untuk melarikan diri. Mereka berdua beda kasta, dan keduanya sudah dijodohkan pada orang lain di luar kehendak mereka. Kendati demikian, meskipun mereka berdua sudah bersembunyi di tempat sakral sekalipun, semuanya sia-sia begitu Tarup Kalis menemukan kaki-tangan mereka. Baik sang Kritikus maupun sang Kesatria yang melindunginya dibunuh di tempat.
Dalam satu erangan terakhir penuh darah, sang Kritikus mengangkat kepalanya ke arah langit. Ia jatuh bersamaan dengan langit yang semakin menggelap karena tertutup oleh rembulan, mencipta gerhana secara spontan. Dikejutkan oleh adanya korona matahari, kedua netra sang Kritikus meneteskan air mata yang sudah lama ia tahan, sementara Tarup Kalis ternganga dan terperanjat. Dua tentakel multiwarna--layaknya pelangi yang lentur--seketika menjulur dari bawah bagian korona matahari menuju tubuh sang Kritikus yang tengah meregang kesadaran dengan kecepatan luar biasa.
Kala benang-benang tersebut benar-benar menyentuh bagian pundak dan lengannya, seluruh tubuhnya melemas; ada perasaan bebas dan damai yang ia rasakan. Tentakel kolosal itu dengan lembut menarik sang Kritikus yang telah menutup matanya ke langit terbuka, membungkam Tarup Kalis yang ada di bawahnya.
Dengan leher membentuk kurva dan tangan terbuka, seluruh partikel tubuhnya bertransformasi menjadi gumpalan karbon, jauh di luar angkasa. Bulatan baru yang terbentuk dari kumpulan karbon tersebut perlahan terakumulasi menjadi satu titik berdaya gravitasi tinggi yang redup sinarnya. Debu kosmik, asteroid, dan meteor yang ada di sekitarnya melebur di dalam titik itu, mewujud gas, dan mulai membakar dirinya sendiri menjadi sebuah bintang baru.
Dua tentakel multiwarna tersebut kemudian mundur, kembali bersembunyi di balik korona matahari selagi fase gerhana total berakhir. Banyak dari Tarup Kalis yang mengerjapkan mata mereka, sebagian ada yang tenggelam dalam sedu sedan dan teriakan, separuhnya lagi masih tercengang.
Usai membaca cerita itu, senyum sang pria paruh baya melebar. Ia tahu mesti memberikan buku ini kepada siapa.
<<<>>>
Bagi warga Bumi Blambangan, hujan pada tiga per empat malam adalah berkah yang tidak terkira di tengah penghujung kemarau panjang. Namun tidak dengan Lintang. Dadanya memendam sesak hanya dengan mendengar gemericik jarum-jarum bening yang mengikis susunan tanah liat di atas kepala laki-laki tersebut.
Bayang-bayang formasi kumulonimbus di atas atap rumahnya membentuk semacam jaring kelabu raksasa yang mencengkeram seluruh kota dan menghalangi bilah-bilah sinar matahari yang terpantul melalui cermin besar di langit. Cermin bulat keputihan itu semestinya sudah hilang sekarang ditelan mega-mega, bersama ratusan cermin berkilau lainnya yang lebih kecil. Tanpa praduga, geletar guntur seketika menggemuruh di sekitar gugusan rumah warga.
Tidak ada algojo-algojo berhijab dan berpakaian hitam yang akan datang ke rumah Lintang dalam waktu dekat. Agaknya, mereka masih berusaha beradaptasi bahkan setelah setahun lebih wajib mengenakan selembar kain katun untuk menutup indra penciuman dan perasa mereka. Terlebih lagi, selama seminggu terakhir, tempat ibadah setempat berulang kali mengumandangkan nama-nama orang lewat corong besar. Lintang tak mengingat siapa saja yang disebut kecuali satu. Ia tak ingin terbayang-bayang hal itu lagi.
Rasanya lebih menyakitkan ketimbang disuntik di balai desa. Laki-laki itu sudah menerima dua kali suntikan itu dari para petugas di sana dalam waktu yang berbeda. Sudah dua kali tubuhnya memanas, seperti dipanggang dalam oven, selama tiga hari berturut-turut. Selepas ia mengguyur badannya dengan air hangat, gigi-giginya gemeretak dan nyeri menghampiri bekas suntikan di lengan sebelah kanannya. Kata para petugas di sana, ini untuk menangkal bola-bola tajam, super-kecil, dan tak kasat mata di udara. Sampai panas dalam tubuhnya benar-benar menghilang, Lintang tak diperbolehkan keluar rumah.
Sebenarnya, mau keluar rumah pun, agak sia-sia juga. Deretan toko, warung, swalayan, dan pusat perbelanjaan baru buka pukul tujuh pagi dan tutup kembali setelah salat isya selesai. Tidak ada lagi lari pagi di taman kota atau bersepeda keliling kompleks perumahan. Tidak pula canda-tawa dari kafe dan warung kopi. Bersamaan dengan turunnya aturan jam malam dari pemerintah daerah, semua orang membatasi diri mereka masing-masing untuk bergerak, hanya keluar jika memang dibutuhkan. Sebuah pertanyaan muncul di benak mereka semua: kapan bencana ini akan berakhir?
Kepastian itu tidak pernah datang. Bahkan dari dewan tertinggi di pusat negara sekalipun. Alih-alih berfokus pada pemulihan ekonomi masyarakat dan melonggarkan pembatasan-pembatasan yang ada, sekonyong-konyong datang sebuah kabar tak sedap dari ibukota. Sebuah rancangan undang-undang telah disahkan lewat tengah malam, secara tiba-tiba dan sudah ditandatangani oleh pemerintah. Begitu fajar merekah, api protes sudah mulai membara di berbagai belahan Nusantara. Tampaknya, orang-orang sudah dengan cepat melupakan eksistensi bola-bola beracun di udara tersebut.
Keadaan kota yang Lintang tinggali sendiri cenderung tidak kondusif walaupun pihak berwenang telah mengeluarkan himbauan untuk tetap tenang. Masih saja, perang berkecamuk di dunia maya tanpa henti. Laki-laki itu sudah jenuh dengan influks hoaks, misinformasi, atau nama-nama binatang yang mengalir ke linimasa media sosialnya tanpa sengaja. Meskipun begitu, setidaknya di depan gedung dewan daerah tidak ada aksi lempar telur busuk atau penusukan boneka beserta foto-foto anggota dewan dengan jarum pentul. Ya, setidaknya masih belum.
Kini, banyak orang—terutama yang baru saja pulang dari kerja, berpatroli atau bepergian dan tak sempat menghindari hujan—berteduh di pinggir jalan. Mereka mencari kanopi-kanopi—yang ada di dekat halte dan warung terdekat—untuk sekadar mencari kehangatan dan menghela napas. Jam malam memang telah diberlakukan, tetapi bukan berarti jalan raya serta merta menjelma kuburan.
Di depan beberapa rumah, saluran air bening disesaki oleh kumpulan ikan air tawar—mulai dari ikan mas, nila, dan koi—yang sedang menari di bawah percikan petrikor. Air selokan yang semula bening, kini mulai mengeruh seiring dengan bercampurnya hujan dengan debu. Dari arah Selat Bali, angin malam terus saja menyeruak dan berderai, meluruhkan sisa-sisa daun kekuningan milik deretan ki hujan di sekitar selokan.
Tidak banyak yang begitu berubah sejak beberapa dekade terakhir. Rumor yang sama, percakapan antar orang yang sama, bahkan musik jazz yang sama mengalun samar-samar dari beberapa rumah bertingkat dua, saling beradu dengan derai hujan dan angin malam yang tak kunjung berhenti. Mobil-mobil mewah yang masuk dan keluar, selalu melindas kubangan air dan membasahi jas hujan para pejalan kaki yang lewat.
Meskipun lewat tengah malam, kompleks ini dulunya seakan tak pernah mati, dengan aktivitas satpam yang terus berjaga tiap malamnya, atau anak-anak konglomerat yang rutin mengadakan pesta hingga dini hari, hajatan bagi mereka yang sudah mendapat gelar haji, bahkan suara-suara petasan dan lintasan kembang api jika sudah mendekati bulan ramadan, Mungkin hanya ada beberapa momen kesunyian yang bisa Lintang dapatkan, meski harus melewatkan beberapa kesempatan untuk keluar dari rumah.
Masa bodoh, celetuknya.
Kendati demikian, Lintang terkadang memilih untuk tidak menghiraukannya. Pikiran laki-laki itu sekarang hanya terfokus pada satu ruangan, tempat yang dipikirnya bisa menenangkan hatinya. Kakinya yang bersandal melangkah dengan pasti menuju lantai bawah, menuruni tangga yang dingin. Tempat suara tadi berasal.
Karena dirimu begitu berharga, dan dunia ini akan kehilangan salah satu cahayanya jika engkau memilih meninggalkannya.
Suara itu begitu hangat, familier, dan mengundang siapapun untuk mendekatinya. Mula-mula, suara yang samar itu membuat tubuh Lintang menggeletar. Hawa dingin dari jendela yang ia buka merayap, berdesak-desakan masuk ke perutnya lewat lubang-lubang dalam selimut. Namun, yang demikian hanya sesaat. Beberapa detik kemudian, perasaan tenang bertakta dalam kalbu laki-laki itu. Ia tak bisa membantu dirinya sendiri untuk tidak memberi makan rasa penasaran yang ada dalam dirinya.
Samar-samar, suara itu memanggilnya kembali.
Di bawah tangga, satu pintu besar menunggu presensinya. Pintu coklat itu terlihat kusam, tua, dan penuh bercak cat dan goresan. Ia sudah bisa membayangkan bau khas yang menguar dari tempat itu, aromanya yang harum, dan kondisinya yang sunyi. Satu-satunya tempat yang bisa ia kunjungi ketika ia merasa bosan, kesal, atau marah.
Di depan pintu itu, langkah Lintang tiba-tiba berhenti. Ada sesuatu yang janggal.
"Kunci ...," gumamnya pelan sambil merogoh saku baju dan celananya.
Mengumpat pelan, Lintang mengutuk kelalaian dirinya sendiri karena minimnya persiapan yang ada. Digertakkannya gigi-giginya, napasnya mendengus dan keringat dingin mengalir dari tengkuknya. Bagaimana ia bisa lupa?
Mulanya, Lintang hendak kembali ke lantai atas, tetapi niatnya dibatalkan begitu melihat pintu tersebut sedikit terbuka—tak terkunci.
Bulu kuduk laki-laki itu seketika meremang. Sepengetahuannya, tidak ada orang yang membuka ruangan ini pada tengah malam. Bahkan jika memang ada yang membuka, siapa yang punya kunci cadangan?
Memberanikan diri, Lintang memutar kenop pintu itu selembut mungkin, hingga nyaris tidak berderit. Apa yang ditemuinya di dalam cukup membuatnya berjengit.
Gelap. Netranya menghantam barisan rak-rak besar dari kayu cendana yang berwarna coklat tua. Aroma lembar kertas kekuningan yang ada segera menguar dari sela-sela rak.
Belum cukup, dinyalakannya saklar lampu di samping pintu hingga matanya bisa menyisir buku-buku yang berbaris rapi dalam susunan dan kategori yang urut dalam rak susun tiga. Lantai keramik hijau mudanya tampak berkilauan memantulkan cahaya dari lampu bohlam yang menggantung di atas langit-langit ruangan.
Dilengkapi ventilasi-ventilasi di setiap sudut ruangan, membuat sirkulasi udara di dalam ruangan ini cenderung stabil. Terdapat sebuah meja dan kursi besar di tengah ruangan yang biasanya digunakan untuk membaca. Deretan jendela satu kali satu setengah meter persegi yang tertutup tirai coklat tampak menggantung di belakang meja utama. Selain itu, di samping kiri dan kanan ruangan terdapat sebuah sofa merah marun yang cukup besar menampung beberapa orang.
Suram memang, tetapi dengan buku sebanyak ini, Ahatu bisa betah semalaman di sini tanpa minuman atau makanan, tenggelam bersama buku-buku berbau khas yang belum terbaca dan terjamah olehnya. Baginya, ruangan ini memancarkan afsun kedamaian yang tiada banding dari atas, bawah, kanan, dan kiri. Mungkin karena aroma harum yang memancar dari ruangan ini.
Dengan was-was, ia segera menutup pintu kembali dengan hati-hati, nyaris tanpa suara gesekan. Sebenarnya, dalam benak laki-laki tersebut, ada tanda tanya yang berusaha mendobrak minda. Namun ia memilih untuk tidak mengacuhkan pertanyaan 'siapa' dan 'untuk apa'. Bagi sang pemuda, semua kejadian ini membuatnya lelah. Jika sekalipun ada pembunuh yang mengincarnya sekarang, ia tidak begitu peduli. Ia tidak bergairah untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Pikirannya hanya fokus kepada satu hal: ketenangan.
Kakinya mulai melangkah ke rak terdekat, matanya mencari buku-buku favoritnya. Dari semua buku yang ada, Lintang lebih menyukai buku-buku fiksi yang membawa pikirannya menuju alam lain, tempat di mana ia bisa berlari dari kenyataan untuk sementara waktu. Kebanyakan buku-buku ini adalah warisan kakek dan neneknya—yang dulu hobi mengoleksi buku-buku dengan konten yang cenderung berat dan berbobot. Nyaris tidak ada tempat untuk buku-buku komedi dan parodi, kecuali di sudut ruangan sebelah kanan. Semua raknya berukuran medium—cukup untuk digapai tanpa perlu bantuan tangga.
Total ada tujuh rak untuk seluruh kategori buku; empat untuk buku non-fiksi di sayap kiri dan tiga lagi untuk buku fiksi, dan itu pun masih terbagi dalam tiap genre atau jenis yang berbeda. Katakan saja, buku-buku nonfiksi semacam filsafat, bahasa, sains, sejarah, politik, psikologi, kuliner, ensiklopedia dan sejenisnya bertempat tinggal di sayap kiri, sedangkan buku-buku fiksi seperti fiksi ilmiah, fantasi, klasik, puisi, romansa, serta seluruh subgenrenya menghuni sayap kanan ruangan. Buku-buku ini—menurut penuturan kedua orang tuanya—merupakan warisan turun-temurun dari para leluhur keluarganya—yang tentu adalah kutu buku. Berapa tepat jumlah seluruh bukunya, Lintang sudah lupa.
Laki-laki itu melambatkan langkahnya saat ia akan mencapai meja utama. Ia bisa mengingat betapa cerah dan menyenangkannya tempat ini. Suara tawa yang keluar dari sela-sela sofa, nada Cloud Atlas Sextet yang mengalun dari pengeras suara, celotehan kakek atau bapaknya dari meja utama, langkah kaki sepupunya yang singgah kemari, hangatnya sinar matahari yang menembus sekat-sekat jendelanya ... ia begitu merindukannya.
Sekarang sofa-sofa tersebut hanya menyanyikan keheningan dari balik spons empuknya. Baik cahaya bulan maupun matahari kini jarang menembus tirai-tirai itu kembali—yang ada hanya bayangan dari masa kegemilangannya. Apalagi pelantang suara yang biasa ayahnya gunakan di meja. Setiap kali ayahnya mencari ketenangan dalam pekerjaannya, ia akan membiarkan pelantang suara tersebut meninabobokannya sampai azan subuh tiba.
Begitu sampai di dekat kaki meja, Lintang menarik kursi di belakang meja dan mendudukinya. Dinyalakannya lampu meja dan sontak ia bisa melihat judul dari beberapa buku yang ada di dekatnya. Kata kunci yang ia dapat tidak lebih dari filsafat, filsafat, dan filsafat. Sejarah filsafat, teori filsafat, biografi filsuf, kritik terhadap filsafat—begitu menarikkah filsafat sehingga seseorang mesti meletakkannya di meja ini, walaupun pada zaman ini sangat sedikit yang mengkajinya? Sekilas pandangannya membentur kepada nama-nama yang tak ia kenal; Friedrich Nietzsche, Immanuel Kant, Hegel, Sartre, Plato, Socrates, dan Al-Ghazali. Sepertinya Ahatu paham siapa yang menaruhnya.
Dimulai dengan rasa penasaran, Ahatu mengambil sebuah buku berlembar kuning dan bersampul menarik. Dari awal, Ahatu tidak terlalu tertarik pada bahasan-bahasan semacam ini. Anggap saja ia hanya ingin lepas dari realita sehari-hari—seperti kebanyakan orang zaman sekarang—dengan hiburan, bukan dengan buku-buku seperti ini.
Filsafat, apa pun itu, baginya hanya bacaan—atau momok, barangkali—dengan konten tidak jelas yang bisa menyesatkan perspektif orang lain. Kata banyak orang di media sosial, seperti itu, sih. Maka dari itu, laki-laki itu dilanda rasa melilit di perut manakala melihat sebuah buku berkonten filsafat di dalamnya.
Namun, apa daya, rasa penasaran pun bisa membunuh kucing di lubang yang sama. Maka sekarang pun ia perlahan tertarik untuk masuk ke dalamnya. Sudah lama sekali ia tidak mencoba membuka buku lain selain buku fiksi fantasi favoritnya. Laki-laki ini bahkan tidak ingat kapan terakhir kali kakinya melangkah ke rak buku non-fiksi. Pastinya, ia bosan disuguhi hal-hal yang sama. Maka ia mengambil buku secara acak di antara tumpukan tersebut. Mungkin yang satu ini bisa menenangkan pikirannya sejenak.
Ekspektasinya ternyata salah besar.
Maksudnya, ayolah—tidak ada ilustrasi, gambar, atau semacamnya? Hanya tulisan saja—yang bahkan tidak jelas tujuan dan maksudnya? Ini bahkan baru halaman pertama.
Membosankan sekali, pikirnya.
Berniat untuk membunuh kebosanannya, Lintang segera beranjak dari kursi terkait dan segera berjalan menuju sudut ruangan sebelah kanan. Terdapat di balik rak buku fiksi, tempat yang merupakan tempat kedua yang paling sering dikunjungi Lintang setelah rak fiksi fantasi. Rak tersebut berukuran kecil disbanding rak-rak yang lain, dan isinya pun hanya sedikit.
Akan tetapi, langkahnya hanya tinggal beberapa meter, Lintang nyaris saja mengeluarkan umpatan dalam hati. Pasalnya, buku komedi favoritnya tidak ada di rak kecil tersebut. Hilang, lenyap, seperti telah dipindah ke tempat lain. Permukaan rak juga bersih, hampir tidak ada debu yang menghinggapinya.
Lagi, dan lagi, mata dan pikiran Lintang menyisir segala kemungkinan yang ada, akan tetapi intuisinya berkata lain.
Seperti anjing bodoh yang mengejar ekornya sendiri.
Suara itu! Suara itu lagi. Akan tetapi, bagaimana bisa? Bukankah selama ini, di bawah sini, frekuensi terdengarnya bisikan tersebut tetap konstan di angka nol? Baru pertama kali ini ia mendengar suara memuakkan itu kembali menggema di batok kepalanya.
Denyutan di kepala laki-laki itu semakin menjadi-jadi. Dahinya mengerut, dan lidahnya mendesis mendengar kalimat itu diulang-ulang. Napasnya menderu, bagai usai dipacu habis-habisan.
Krek.
Bunyi itu jelas—mirip dersik angin—mengguncang seluruh bulu kuduk Lintang. Air mukanya berubah menjadi pucat pias, dan detak jantungnya semakin cepat. Ia bisa merasakan gerak tubuhnya stagnan, darahnya mendingin. Laki-laki itu refleks membalikkan tubuhnya ke belakang, tidak mengharapkan kehadiran sebuah entitas, di ujung ruangan, paling ujung ....
Ada sesuatu di sana.
Dalam kegelapan ada seenggok bayang-bayang—bersandar pada rak buku di seberang sana—posturnya jangkung dan badannya sedikit membungkuk. Jari-jemarinya kanannya memegang sebuah buku usang, sementara jari-jermari lainnya bertopang pada sebuah tongkat kayu. Rambut monokromnya gersang dan bergelombang, matanya sedikit berkilat, kumis dan janggutnya menjulur panjang. Ia seakan membaur dalam bayangan, jauh dari lampu.
Sekujur raga Lintang sontak membeku. Ia tidak mampu bergerak. Laki-laki ini hanya bisa menelan ludah sembari melotot dan memandang sosok berbalut hitam pekat tersebut dari kejauhan. Cahaya lampu bohlam yang ada di antara dirinya dan sosok tersebut tidak dapat menjangkau radius yang lebih jauh lagi. Bayangan dari pria itu menjulur menjauhi arah lampu, nyaris menyamai panjang bayangan Lintang.
Sosok itu—sesosok pria itu tiba-tiba menoleh ke arahnya. Ada satu hal yang janggal. Ahatu sama sekali tidak merasakan ketakutan yang berarti—tidak berkeringat dingin, menggeletar, atau merasakan dingin yang menggerogoti tengkuknya. Malah, ia seperti sedang mengalami déjà vu.
Pria itu menutup bukunya, kemudian memandang Lintang sejenak—yang tersiram cahaya lampu sepenuhnya. Ia melangkah ... pelan ... pelan sekali ... menuju cahaya lampu. Pandangannya menyiratkan rasa penasaran dan gerak-geriknya makin mengukuhkan fakta tersebut. Aroma harum yang tadi laki-laki itu cium perlahan mengangkasa, menelisik sudut-sudut penciumannya.
Pria itu—bukan, pria tua itu berambut hitam keputihan dengan wajah yang keriput dan kulit coklat langsat. Baju batik dan sarung hijaunya masih terbalut kegelapan di belakangnya—membuat Ahatu tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di hadapannya. Bibir pria itu bergetar, seperti hendak mengucap sesuatu.
"Tang?"
Suaranya berat, khas, famillier, dan berwibawa—memotong keheningan di antara mereka berdua—mengingatkan Lintang akan seseorang yang dikenalnya. Lebih-lebih, Lintang terkejut, karena sepanjang hidupnya, hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan suara demikian. Wajah dan rambutnya pun mengindikasikan sesuatu yang sama. Mungkinkah?
"Ayah?"
Pria tua yang jangkung itu melangkah ke depan; tampak wajahnya tersiram cahaya lampu sepenuhnya, dengan rambut berubannya yang tersisir ke belakang dan kulit wajahnya yang agak keriput. Janggut dan kumis tipisnya memiliki garis-garis putih yang berbaur dengan warna asli rambutnya. Auranya menyiratkan wibawa dan karisma yang tinggi. Kedua alis milik pria tua itu saling bertaut, dahinya mengernyit, mengundang rasa penasaran. Tidak salah lagi! Ini memang bapaknya—Rakin Taranggana.
"Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?"
Beberapa detik kemudian, Lintang yang dilanda kegugupan segera membasahi tenggorokannay dengan ludah. Lidahnya dan mindanya kaku, berusaha memutar pikiran agar ia bisa menemukan kata-kata yang tepat. Ia ingin merendahkan pandangannya, tetapi sesuatu membuatnya terus menatap wajah ayahnya yang penasaran. Ketika pandangan sang ayah berhasil menelanjangi seluruh tubuh Ahatu, air muka sang ayah sontak berubah. Ahatu tahu ini bukan pertanda bagus.
Lintang angkat bicara, "Aku—aku—"
"Kamu melakukannya lagi?" tanya pria tua di depannya sambil menghunuskan pandangan tajam tepat ke arah Lintang.
Bam. Ketahuan. Ia tertangkap basah. Mukanya langsung pucat pasi. Perut laki-laki itu seakan sedang dibelit oleh seekor ular besar. Keheningan tiba-tiba menyergap di antara rak-rak buku yang menjadi saksi mereka berdua.
Lintang berusaha berkelit di bawah lidah licinnya, "M-maksud Ayah, masuk ke sini? Atau—"
"Kamu. Melakukannya. Lagi. Tang?" potong ayahnya sekali lagi sambil mengucapkan tiap suku katanya dengan penuh intonasi.
Ahatu mengernyitkan dahi kebingungan seraya bertanya, "Melakukan apa ... Yah?"
Rakin Taranggana tampaknya menghela napas panjang dan lama begitu mendengar respons dari anak pertamanya. Matanya memejam, menyembunyikan kegelisahan dan rasa sakit yang tak kunjung hilang. "Kamu memang tidak pernah pandai berbohong dari dulu."
Lintang sekarang benar-benar bingung. Bukankah tadi ia menerobos pintu ruangan ini tanpa mengetuknya? Lantas apa yang membuat sang ayah kelihatan begitu murka?
"Ambil tisu di dekat meja, bersihkan dirimu sendiri," ujar ayahnya sambil menghela napas sekali lagi. Rakin bersusah payah menyunggingkan senyum simpul seraya menggeleng-gelenggkan kepala sepelan mungkin. Pandangan netranya mengalir menuju sekotak tisu di meja besar.
Ekspresi wajah Lintang saat ini bisa dikatakan mirip dengan seorang pencuri yang kalap; ia berkeringat dingin, matanya sedikit membelalak, dan bibirnya agak terbuka. Dengan cepat ia segera membalas, "I—iya, Yah."
Tidak mau menunggu lebih lama lagi, ia segera beranjak dari rak buku terkait dan berjalan cepat menuju meja utamanya. Langkahnya tergesa-gesa, sementara sang ayah hanya mengekori pemuda tersebut dari belakang. Mukanya memerah, giginya gemeretak, dan tangannya mengepal kuat-kuat. Perasaan kesal, marah, dan malu bercampur aduk menjadi satu di ulu hatinya. Benarkah dia yang semestinya marah? Atau memang ini rasa penolakannya yang bergejolak?
Segera setelah tangannya meraih secarik tisu dari kotak plastik berwarna biru yang ada di dekat meja utama—tunggu, apakah memang ada tisu di atas meja sebelumnya? Bahkan Lintang tidak menyadarinya waktu itu—yang ia lihat hanya tumpukan buku-buku filsafat yang sekarang sudah lenyap entah ke mana—dan begitu pula sekarang, ia tidak menyadari akan hal tersebut.
Begitu Lintang telah usai menarik secarik tisu dan membersihkan bekas aliran sungai di permukaan wajahnya yang kusam, telinganya menangkap suara kursi yang digeret. Ia langsung menoleh ke belakang. Sebuah bantalan kursi kayu berwarna coklat telah mendarat tepat di bawah pantatnya. Dengan senyuman yang dipaksakan, sang ayah memberi isyarat pada Lintang agar segera duduk di sana.
Menanggapi panggilan tersebut, Ahatu langsung merebahkan tulang punggungnya menuju pelukan kursi dan memajukan pandangannya ke arah meja utama. Pandangan Lintang mengikuti langkah sang ayah yang berputar dari belakang lalu duduk berhadapan dengan dirinya.
Mati aku, batin laki-laki tersebut.
Pandangan tajam dari sang ayah membuat Ahatu segera membanting pandangannya ke arah telapak kaki. Wajah sang pemuda memerah, keringat dingin mulai bercucuran dari tengkuknya.
"Nak, coba kau pandang Ayah."
Detak jantung laki-laki berambut hitam itu semakin tidak karuan. Untuk sesaat, ia melirik telapak kakinya yang dingin, lalu naik ke celana, meja, dan berakhir di mata sang ayah. Tubuh laki-laki tersebut bergetar, dadanya terasa sesak, matanya sedikit berkaca-kaca dan perutnya terasa dipelintir oleh sesuatu yang tak kasat mata. Sesekali ia mengambil napas dalam-dalam. Dalam sekali, hingga nyaris terdengar seperti rengekan.
"Lain kali, kalau kau mau mati, lakukan saja dengan cepat, tidak usah peduli orang lain."
Kata-kata yang keluar dari seberang meja menjelma belati tajam nan dingin, menusuk dan mengoyak ulu hatinya, kemudian merobek perlahan seluruh isi dadanya. Tergagap-gagap, Lintang berusaha menahan air mata yang hendak mengalir dari kedua netranya. Mengepalkan kedua telapak tangan erat-erat, ia berusaha menyusun argumen pembelaan sebaik-baiknya. Namun, yang keluar hanyalah kata ganti orang pertama yang diucapkan dengan nada gugup. Pandangan laki-laki itu mulai melorot ke permukaan meja mahoni yang suram.
Belum usai mengutarakan argumennya, sang ayah sudah angkat bicara untuk menginterogasinya, "Kenapa kamu melakukannya?"
Pertanyaan yang selama ini ia takuti akhirnya tertumpah di sini juga. Lintang berusaha menahan air mata dari kedua netranya yang berkedut-kedut. Napasnya menderu naik-turun, kepalan kedua tangannya semakin terasa kuat.
"Apakah kamu sudah tidak sayang pada dirimu sendiri? Pada orangtuamu sendiri? Pada ibumu juga?" kata sang ayah dengan memberi penekanan penuh pada kalimat terakhir.
Suaranya tegas, sedikit serak, dan dari kerasnya saja, sudah bisa ditebak, ayahnya sedang menahan amarah yang tidak terkira.
"Ayah tidak pernah mengajarimu untuk melakukan hal seperti itu."
Tumpah. Lintang bisa merasakan satu tetes air mata berhasil lolos menembus dinding pertahanan terakhirnya. Air mata tersebut terasa suam di pipi kanannya yang dingin, lalu berhenti di dekat dagunya yang keras. Laki-laki ini tidak berani menatap wajah sang ayah di antara rak-rak buku yang berjejer. Ia tersedu sedan, merasa malu dan hina. Suara gugupnya semakin mengecil dan membaur di antara isak tangisnya. Lintang lantas cepat-cepat menundukkan kepalanya.
Sang ayah terdiam sejenak, lalu kembali melemparkan pertanyaan pada Ahatu. "Kamu ada masalah apa lagi? Coba ceritakan." katanya dengan suara yang jauh lebih lembut.
Kata-kata tersekat dalam kerongkongannya, satu-satu memanjat susah-payah, menghantui bibirnya, tetapi lidahnya enggan melempar semua keresahan itu keluar dari langit-langit mulut. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan dalam diam, sebenarnya, perihal betapa ia merindukan kehangatan rumah yang dulu. Perihal bangku sekolah menengah pertama yang hendak ia duduki sekarang. Perihal pembatasan berskala besar yang tak membiarkannya keluar dari rumah dengan mudah. Bukankah anak seusianya lebih memerlukan interaksi bersama kawan-kawannya, alih-alih seharian memasang muka di depan gawai atau laptop?
Ia merasa seperti orang asing yang berada di tempat asing pula. Entahlah, ini rumit baginya.
"Usap air matamu dulu," perintah sang ayah sembari menyodorkan secarik tisu pada Ahatu yang masih tersedu sedan.
Dengan ragu-ragu, Ahatu langsung menerimanya dan mengelap sisa-sisa air mata yang ada di pelupuknya, menutupi sebagian wajahnya dengan tisu, tak kuat mendongak ke arah mata pria tua yang ada di hadapannya. Pria yang selama ini sangat menyayangi dan memperhatikannya. Pria yang usianya semakin lapuk digilas zaman. Pria yang selalu ia hormati dan cintai, kini murka karena perbuatan kekanak-kanakannya. Tidak ... apa karena memang perbuatannya yang kelewat batas?
Seakan bisa menebak arah pemikirannya, sang ayah berceloteh kembali, "Kalau kamu berpikir perbuatanmu ini keterlaluan, memang benar. Tindakanmu terlalu gegabah untuk anak seukuranmu."
Lintang menghela napas lagi. Kali ini lebih dalam. Aliran air matanya perlahan ia hentikan.
"Namun perlu kamu ingat, ayah marah bukan karena ayah benci kepadamu atau apa," kata sang ayah sambil menatap ke arah rak-rak buku yang ada di samping ruangan.
Rakin Taranggana melanjutkan ucapannya, "Jalanmu masih panjang, Nak. Masih banyak hal yang bisa kaulakukan. Banyak momen-momen yang belum kaujalani. Beberapa hari terakhir memang banyak kesedihan yang tak bisa kauhindari. Mungkin, kau juga lupa, bahwa akan ada kebahagiaan yang tak bisa kauhindari pula."
Lintang mengangukkan kepalanya sepelan mungkin, pikirannya menyentuh pintu memori yang telah ia jalani dan lalui. Diam-diam matanya yang masih basah mencuri pandang kepada sang ayah yang tengah menaruh buku yang ia bawa tadi di kanan meja. Sementara Lintang masih tertunduk, sang ayah segera menata kembali meja yang dipenuhi oleh buku-buku filsafat sehingga ia dengan jelas bisa memandang cucunya.
"Jangan putus asa. Kesedihan ini pun, akan berlalu," kata sang ayah.
Momen itu—bagi sang laki-laki berambut hitam—berlangsung sangat lama. Rasanya ia ingin lenyap dari bumi ini. Ia menyesal mengapa ia dengan tololnya melakukan tindakan yang sangat gegabah tanpa berpikir dua kali. Ia merasa pantas untuk dihukum. Ia melihat telapak kakinya yang begitu kecil dibandingkan telapak kaki sang ayahanda—hal itu membuat nyalinya semakin ciut saja.
Andai ia tidak dilahirkan dengan kepribadian seperti ini. Andai ia bisa melupakan semua ini. Andai saja. Apa mungkin ini hidup menyedihkan dari seseorang yang hidup segan mati tak mau?
"Lintang?"
Lintang tersadar dari lamunannya dan mendapati sepasang mata tua yang tengah memandangnya dari seberang meja. Bedanya, kali tatapannya tidak memancarkan amarah maupun kekecewaan.
"Kamu mau berjanji pada ayah?" tanya sang ayah dengan nada yang lembut.
Lintang mengangkat kepalanya perlahan-lahan, berusaha membenamkan rasa malu dan tangisnya, lalu mengangguk dengan sedikit keraguan. Tidak ada lagi tatapan tajam yang dilontarkan oleh ayahnya. Bibir kering kerontang Rakin membentuk sebuah senyuman tulus. Senyuman lebar yang selalu ia rindukan.
"Ketika ayah sudah tidak ada lagi, maka kamu dan anak-cucumu akan mewarisi rumah ini, begitu juga ruangan ini, dan termasuk semua buku-buku filsafat ini," papar sang ayah sambil sesekali mengalihkan pandangannya ke arah tumpukan buku yang ada di samping meja.
Lintang mereguk ludahnya sendiri dan menyimak tiap detail suku katanya dengan saksama, mengabaikan bekas air matanya yang belum mengering. Ia sempat menahan napasnya ketika Rakin berkata lagi, "Di mata ayah, kamu sangat berharga, bahkan lebih dari itu. Ayah tidak bohong."
Wajah Ahatu seketika menampakkan sedikit percik kebahagiaan, bibirnya membentuk sebuah senyuman yang belum melingkar sempurna. Tangannya menurunkan tisu yang selama ini ia genggam dan remas-remas di atas meja. Jarang sekali ayah mengatakan hal-hal semacam ini.
"Ketika melihatmu, ayah seperti melihat adik ayah sendiri," pungkas Rakin sambil menaruh kedua tangannya di atas meja.
Mendengar pamannya disebut, ia terperanjat dalam hati. Ahatu tahu dari ibunya, jika adik ayahnya telah lama meninggal, jauh sebelum dirinya dilahirkan. Ahatu mendengar pamannya meninggal bukan karena penyakit, tetapi karena bunuh diri. Pamannya mempunyai insomnia akut yang membuatnya sering kelelahan. Seringkali pamannya berbicara sendiri pada langit-langit rumah, mengunci diri di kamar, atau menyendiri di perpustakaan rumah. Itu kata ibunya. Tiap kali ia menanyakan hal yang sama pada nenek atau kakeknya, mereka enggan menjawabnya dengan jawaban yang frontal dan jelas. Meski tidak pernah bertemu langsung, Ahatu ingin tahu benar seperti apa pamannya. Anak kesayangan kakek dan neneknya ... orang seperti itu ... bagaimana mungkin ayahnya bisa membandingkannya dengan dirinya? Apakah ada sesuatu yang mirip?
Rakin menatap lekat-lekat kedua mata coklat anaknya kemudian berujar dengan nada yang semakin lembut, "Ayah telah membuat kesalahan besar dengan tidak memperhatikan betul-betul kondisi pamanmu."
"Dan ayah berniat untuk tidak akan mengulanginya lagi," lanjut sang ayah.
Lintang dapat merasakan telapak tangan kanannya yang lembut digenggam oleh kepalan tangan ayahnya yang penuh keriput. Pria tua bijaksana itu duduk dan menatapnya dengan lembut, ekspresinya serius. "Kau sekarang sudah besar, Tang. Bukan lagi anak kecil yang perlu didongengi lagi setiap malam. Kau ayah anggap sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang konstruktif dan destruktif, mana hak dan kewajibanmu," tegas sang ayah.
Ahatu berusaha keras mencerna perkataan ayahnya tadi. Diliriknya kedua telapak tangan yang ada di atas meja. Pipinya semakin memerah begitu melihat perbandingan yang sangat kontras antara tangannya dan tangan sang ayah. Begitu memalukan dan menyedihkan.
Melanjutkan perkataannya tadi, Rakin Taranggana berhenti sejenak mengambil napas lalu kembali menyapukan pandangannya ke arah rak-rak buku yang berdiri teguh di atas lantai. Ada semacam keheningan dan kesedihan yang tersirat dari pandangannya—seperti hendak mengucapkan perpisahan terakhir atau semacamnya. Kendati demikian, sang ayah tidak ingin terlihat sedih di depan sang anak pertama. Dia ... tampak hendak mengatakan sesuatu pada Lintang.
Seakan-akan ada beban yang perlu lepas dari kedua pundaknya.
Tidak. Biarlah itu terkubur dalam-dalam, yang penting setidaknya sekarang ia bisa memperbaiki kesalahan yang ia lakukan. Kesalahan fatal yang menyebabkannya tak sama seperti dulu lagi.
Terbangun dari lamunannya, Rakin segera menatap anaknya kembali dengan tangan yang mengarah pada rak-rak buku berdebu.
"Hanya ini warisan yang bisa ayah berikan pada anak-anaknya. Kau akan tahu betapa berharganya buku-buku ini kelak. Bacalah, dan temukanlah jalan yang kauinginkan," nasihat sang ayah sembari tersenyum hangat. Mereka berdua saling bersitatap dalam keheningan.
"Berjanjilah pada ayah agar kau tidak akan melakukan hal seperti itu lagi," ucap Rakin tegas.
Walaupun masih ragu-ragu, Lintang memaksakan dirinya untuk menganggukkan kepala dengan lemah. Entah apa yang mengerakkan hati kecilnya, tiba-tiba ia membentuk sebuah senyuman simpul yang pasti. Relung hatinya dipenuhi kedamaian luar biasa—sesuatu yang sangat jarang ia rasakan.
"Jangan takut jika kamu diuji dengan hal-hal semacam ini. Hadapi saja dengan sabar dan tabah," tambah sang ayah, senyumnya seolah memberikan asa pada Lintang
"Ingat," ujar Rakin dengan penuh penekanan, "siapa dirimu."
Siapa ... dirinya? Apa yang dimaksud ayahnya?
Kata-kata itu merasuk ke dalam tengkuknya, memberi geletar pada seluruh lehernya. Getaran itu tidak hanya terasa di lehernya, tetapi di kepala, tangan, perut, dan kakinya. Sedetik kemudian, lampu dalam ruangan tiba-tiba padam.
Gelap—yang ia bisa lihat hanya zulmat. Dalam kegelapan total, Lintang merasakan sesuatu menggerogoti dan menjamah seluruh bagian tubuhnya, dimulai dari kepala, tangan, dan kakinya. Indra pengelihatannya seakan direnggut dan diremas oleh ruang hampa yang menyelimutinya. Ia stagnan, kehilangan sensasi suam yang ada di dalam ruangan—semacam ditarik sebuah lubang hitam yang tak kasat mata—dirinya tak mampu berkutik sama sekali. Amygdalanya disergap oleh gelombang terror dan ketakutan.
Meskipun Lintang tidak bisa melihat apa yang tengah terjadi, ia seratus persen yakin bisa merasakan seluruh bagian tubuhnya meregang dan dipaksa memasuki ruangan sempit.
Sepersekian detik, matanya melihat cahaya di ujung lorong. Tidak ... bukan lorong.
Bang! Suara sebuah benda yang jatuh menggema di dekat telinga Lintang. Saking kagetnya, Ahatu tidak sadar jika sedari tadi ia telah membuka mata dengan posisi terduduk.
Mata laki-laki itu berkedip-kedip, berusaha beradaptasi dengan cahaya lampu yang ada di dekatnya. Tangannya mengucek-ucek pelupuk mata, seraya menyisir permukaan meja yang dipenuhi tumpukan buku-buku. Rasanya perih dan berair. Bibir dan kerongkongannya juga kering kerontang. Ia masih bisa merasakan sisa-sisa air dalam hidungnya.
Tunggu ... di mana kotak tisu itu? Di mana ... ayahnya?
Sontak tubuh Lintang langsung berada dalam posisi siap siaga di kursi tempatnya berada. Kebingungan, ia menyapukan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Tidak terlihat sang ayah di mana-mana. Di saat ia akan bangkit dari tempatnya untuk mencari tahu, ia mulai menyadari bahwa ini bukan kursi yang didudukinya tadi. Ia duduk di kursi ayahnya ... di belakang meja utama, dan kursi yang berada di depan meja utama ... sudah menghilang.
Hantaman cucuran titik-titik air hujan dan deru angin besar yang ada di luar sana kembali memulihkan ingatannya.
Seluruh tubuh Lintang seketika bergetar begitu mengerti apa yang terjadi padanya. Matanya mulai menangis. Tidak, kali ini ia tidak menangis karena kakinya yang membiru masih dihiasi percikan darah. Ia menangis bukan karena rencana bunuh dirinya yang gagal. Bukan pula karena dirinya hanya mendapatkan mimpi yang insubstansial beberapa menit lalu. Bukan, bukan karena semua itu.
Ia menangis karena ayahnya baru meninggal sore tadi di ruang isolasi rumah sakit. [.]
<<<>>>
K E S A K S I A N F U L A N
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro