Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6

Abraham Rezzan Sauqi

Naura Alitha Atha

...

"Hahaha, Aa Fatih bisa aja. Oh iya Aa, kok Aa Fatih dulu pergi gak bilang-bilang ya? Dulu Naura nyariin dimana Aa Fatih ini, kok tiba-tiba ngilang" tanya Naura yang sudah tak tahan akan keingintahuannya, raut wajahnya tampak sedih.

Alfatih Rama Aditya adalah seorang pemuda berusia hampir kepala tiga. Bagi Naura, Alfatih adalah penolongnya, pelindungnya, dan penyemangatnya. Bukan karena tak ada alasan, tapi banyak alasan yang tak bisa dijelaskan. Bagi Alfatih juga, Naura itu gadis yang sembrono dan sedikit kurang ajar.

Namun itu dulu, ketika mereka masih berusia 10 tahun dan 13 tahun yang dulunya berteman akrab, tapi harus berpisah karena Alfatih ikut dengan pamannya ke Kalimantan dan baru pulang sekarang, di usianya yang sudah menginjak 28 tahun.

"Dulu Saya terlalu lugu untuk memutuskan sesuatu. Alhasil kepergian saya adalah hal yang saya sesali. Namun, lambat laun, saya semakin mengerti kenapa saya pergi dan punya alasan sendiri dan alasan ini gak bisa saya ceritakan, karena juga menyangkut keluarga saya yang di Kalimantan. Tapi syukurnya ketika saya punya alasan kuat, dan nunjukin ke keluarga saya yang di Kalimantan bahwa saya bisa sukses walau butuh waktu yang cukup panjang. Sekarang akhirnya posisi ini yang saya dapatkan." Alfatih menjelaskan banyak hal dan Naura menyimak dengan sangat baik, seperti anak kecil yang mendengarkan kisah yang menarik.

"Sejujurnya saya juga sudah tidak tahan ingin pulang, sudah lama juga tidak jumpa dengan keluarga di Bandung, tapi semesta sedang tidak berpihak. Jadinya harus ditunda dan baru tadi malam sampai di sini," jelas Alfatih lagi.

Mata Naura sedikit berkaca, mendengar penjelasan dari Alfatih yang menurutnya sungguh luar bisa. Tinggal dengan keluarga orang lain, berpisah belasan tahun, dan barusan pulang sekarang dengan rupa yang sudah berbeda dan keadaan yang pastinya sangat berbeda. Saat ini mereka berdua sedang duduk di halaman teras rumah Naura, ditemani hembusan angin dan rindangnya pohon mangga.

"Aa Fatih berubah banget ya." Naura tampak kagum.

"Namanya juga tambah tua," balas Alfatih.

"Tapi kok bisa si, jadi nahkoda gini. Gagah banget. Jadi pengen deh di lamar hahahaha," kata Naura bercanda.

"Loh? Kamu belum nikah?" Alfatih terkejut mendengar candaan tersebut.

"Aduh Aa, belum lah. Masih muda gini. Adik mu aja belum kan."

"Jadi beneran kamu belum nikah?"

Naura sedikit menekukkan alisnya, seakan menyatakan bahwa pertanyaan tersebut tidak patutnya ditanyakan kembali.

"Be-."

"Sudah!"

Naura dan Alfatih sama-sama menoleh. Mereka berdua melihat ke sumber suara dan sudah ada Atha yang berdiri di ambang pintu pagar masuk. Atha sebenarnya sudah tiba sedari tadi, tapi ia mengurungkan langkahnya ketika matanya menangkap seorang laki-laki yang cukup asing, duduk berdua dengan putri tunggalnya. Jadi ia ingin terlebih dahulu mendengar apa yang dibicarakan oleh putrinya. Ia pun tak suka ketika pembicaraan sudah menuju hal yang tak seharusnya dibahas.

"Naura sudah punya calon suami," lanjut Atha tanpa ragu.

Naura membelak, mendengar ucapan barusan yang diungkapkan ayahnya.

"Boong itu Aa, Ayah bercanda. Naura mana ada calon suami," balas Naura.

Atha mendekat ke arah mereka, indra penglihatan itu tampak serius melihat ke arah pria yang terduduk di kursi di samping anak gadisnya.

Alfatih grogi akan hal yang dilakukan oleh Atha, dengan cepat kedua tangannya itu menyalami punggung tangan Ayah satu anak itu.

"Alfatih Om," ucap Alfatih seraya mencium punggung tangan Atha.

"Loh, Alfath? Kok kamu udah bisa pulang?" Atha tampak terkejut, wajahnya yang tadi tampak serius. Segera memancarkan wajah terkejut dan semangat. Ia pun terduduk di samping Alfatih.

Naura yang melihatnya tersenyum senang, akan tetapi ada hal yang mengganjal dalam pikirannya. Hal yang dikatakan oleh ayahnya tadi.

"Iya Om, Saya udah bisa pulang," kata Alfatih.

Sebenarnya, Alfatih sudah mendapat penjelasan dari Ibunya, bahwasannya hanya beberapa orang yang tahu alasan terkait kepergian dirinya dari rumah asalnya, termasuk Atha, ayah dari Naura.

"Alhamdulillah kalo gitu Om ikut seneng." Atha mengelus punggung Alfatih dengan senang. Senyum itu jelas menandakan bahwa Atha sangat merindukan Alafitih, yang sudah dianggap anak sendiri. Karen jaman sd dulu, Atha sering kali menjadi wali untuk Alfatih saat mengambil rapot.

"Iya Om. Oh iya Om, jadi bener Naura udah punya calon suami?"

Pertanyaan yang sedari tadi juga ingin ditanyakan oleh Naura, hal tersebut yang sedari tadi membuat pikirannya terusik.

"Gak kan Yah?" Naura menatap serius Ayahnya.

"Iya, Naura sudah ada calon suami."

Sedikit kecewa, bukan lebih tepatnya kecewa berat. Air matanya tiba-tiba keluar. Naura menangis. Entah kenapa dirinya merasa tersakiti, bukan karena apa yang barusan diucapkan Ayahnya. Tapi melihat raut wajah Ayahnya yang terlihat tidak bercanda akan pernyataan yang barusan dikeluarkan.

"Sejak kapan yah? Kenapa barusan dikasih Naura sekarang?"

Alfatih yang melihat Naura menangis, rasanya ada rasa ingin sekali menghapus air mata itu dengan kedua tangannya. Hatinya teriris, bahkan tercabik-cabik melihat gadis yang selama ini ia nanti, mengeluarkan air mata yang membuat dirinya semakin terluka.

"Sudah lama Naura. Tapi ayah belum ingin memberitahumu waktu itu. Dia juga sedang memenangkan hatinya dan ayah yakin kamu bakal suka sama dia tanpa harus lewat kata pacaran atau sejenisnya," ucap Atha, kemudian ia berdiri dan melewati kedua manusia yang masih diam di posisi duduknya.

"Ayah, nggak boleh gitu dong! Jangan egois! Kenapa harus sepihak gini keputusannya!"

***

Sejak kejadian siang tadi, Naura mengurung dirinya di kamar. Tertidur tak berdaya seakan dirinya mengalami rasa kecewa yang teramat dalam. Walau terkadang ia hanya merasa ingin sendiri, tak ingin diganggu oleh siapapun. Termasuk bunda dan ayahnya yang membuat ia seperti ini.

Wajah Naura yang kini terbenam di bantal, menatap gelap, dan pikirannya melayang ke mana-mana. Alfatih kala itu langsung pamit meminta izin untuk pulang karena merasa situasi dan keadaan tak memungkinkan dirinya berlama-lama di kediaman rumah Naura.

Naura terbangun, ketika ia mengingat sesuatu yang amat penting. Ia berdiri melangkah mendekati meja kerjanya dan menarik satu laci kemudian mengambil ponsel miliknya.

"Tuh kan bener udah dibales!" ucap Naura ketika mendapati satu pesan masuk dari nomor yang amat ia tunggu.

Direktur Perusahaan

Iya benar. Ada hal yang perlu saya sampaikan kepada Anda.

Saya meminta buatkan satu buah artikel khusus tentang perusahaan milik saya. Dan juga buatkan laporan khusus terkait laporan tersebut.

Jika sudah, bisa kamu send ke email ini

Deline bisa kapan saja. Jadi tolong segera persiapkan.

Mata bulatnya itu mengecil, melihat dengan sinis pesan yang barusan ia baca. Ada rasa ingin marah, tapi adalah kewajibannya akan pekerjaanya. Menerima segala hal yang patut ia lakukan untuk menerima upah di awal bulan sebagai bulanan. Naura mengetik beberapa kalimat sebagai balasan terkait hal yang baru saja ia terima.

Baik Pak, akan saya kerjakan.

Setelah membalas pesan tersebut, Naur buru-buru mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Entah mengapa, tubuhnya terasa berat untuk dibawa aktivitas hari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro