Bab 29
Sinar senja memeluk tepi sungai dengan lembut, menciptakan suasana yang tenang. Naura dan Dinda duduk berdampingan di bawah pohon rindang, menghadap arus air yang mengalir perlahan.
Naura memandangi air sungai, matanya terfokus pada permukaan yang bergelombang. Beberapa saat kemudian, Dinda memutuskan untuk berbicara.
"Gue minta maaf Naura," kata Dinda perlahan, suaranya serak.
Naura menoleh padanya dengan rasa keterkejutan yang tergambar di wajahnya. "Minta maaf? Tentang apa?"
Dinda menarik nafas dalam-dalam. "Gue minta maaf karena selama beberapa waktu ini, gue nggak ada buat lo. Gue nggak sadar kalo gue udah ninggalin lo sendirian. Gue juga minta maaf udah ngelibatin lo dalam rencana gue yang salah, yang nggak ada untungnya buat kita berdua."
Naura mendengarkan dengan perasaan campur aduk. Dia bisa merasakan kejujuran dalam kata-kata Dinda. "Gue beneran ngerasa kesepian, Naura. Gue udah nggak peduli sama perasaan lo, padahal lo udah temenan sama gue sejak kita kecil."
Naura merasa hatinya terenyak mendengar pengakuan Dinda. "Dinda, gue nggak nyangka lo bakal ngomong kayak gini," ujarnya dengan suara lembut.
Dinda menatap tajam ke dalam mata Naura. "Tapi gue emang ngerasa bersalah banget. Jujur, gue sadar kalo lo baik banget buat gue, dan gue nggak pengen kehilangan persahabatan kita gara-gara keegoisan gue."
Naura tersenyum penuh pengertian. "Dinda, gue juga nggak pernah nyangka kalo lo bakal mengakui semua ini. Tapi yang penting, lo sadar dan lo minta maaf. Itu udah cukup buat gue."
Dinda mengangguk, matanya memancarkan rasa lega. "Makasih udah ngertiin, lo. Dan gue janji, gue bakal berusaha buat ngembaliin kepercayaan lo."
Naura meraih tangan Dinda dan tersenyum lembut. "Kita udah temenan dari dulu, Dinda. Gue yakin kita bisa melewati ini bersama."
Saat matahari semakin merosot di ufuk barat, Dinda dan Naura duduk berdampingan dengan rasa lega. Mereka merasakan benih-benih kedekatan dan kepercayaan tumbuh kembali di antara mereka, siap mengarungi liku-liku persahabatan yang penuh warna. Walau sebenarnya Naura masih belum mengerti alasan dibalik permintaan maaf dari temannya itu.
Dinda memandang air sungai dengan tatapan yang agak serius. "Intinya gue cuma mau minta maaf sama lo," kata Dinda tiba-tiba, sambil memegang tangan Naura, "Karena yang berhak dapetin Ustad Rezzan itu cewek kayak lo."
Naura mendelik ke arah Dinda, matanya memancarkan kebingungan. "Cewek kayak gu-"
"Bukan berarti lo, jangan ge-er dululah," potong Dinda dengan tawa lembut, "Gue ngerasa Ustad Rezzan lagi memperjuangkan seorang wanita yang nggak peka, cuek, absurd, dan susah gitu. Kayak, gue mikir, 'Ini beneran hubungan yang bakal berkembang? Apa cuma halu aja dari si cewek?'"
Naura ikut tertawa mendengar cerita Dinda. "Ya... Gue gak terlalu peduli si, toh buat apa juga gue tahu. Yang terpenting sekarang lo udah ngerasa ikhlas Din, ikhlas buat ngelepas Ustad Rezzan. Walau ya... gue yakin itu pasti berat."
Dinda mengangguk, matanya menerawang. "Gue cuma mau yang terbaik buat dia, Naura. Meskipun gue merasa apa yang dia lakukan kadang nggak masuk akal."
Naura tersenyum. "Percayalah, Dinda, ada saatnya orang-orang menyadari nilai seseorang dan menghargainya."
Dinda menghela napas. "Gue berharap begitu. Tapi... "
"Tapi apa?" tanya Naura ketika mendengar temannya itu menggantung ucapannya.
"Tapi kan yang dimau ustad Rezzan itu lo Naura, lo emang selama ini gak sadar apa gimana siii," batin Dinda.
"Kok malah makin diem si Dind," cecar Naura yang sudah tampak kesal.
"Ya, udah nggak usah dibahas, yang penting lo maafin guekan?" Dinda menjawab sambil tersenyum licik.
"Iya gue maafin, walau gue nggak tahu letak kesalahan lo di mana. A'a Fatih lagi sibuk banget ya?" tanya Naura, mencoba mengubah topik pembicaraan.
"Nggak sih, biasa aja gue perhatiin," balas Dinda, "emang kenapa?"
"Nggak pa-pa, cuman aneh aja gitu. Beberapa hari ini gue jarang banget papasan sama kakak lo."
"Ngapain juga lo nyariin dia, dia juga pastinya lagi berusaha."
"Berusaha buat apa?"
Dinda tertawa kecil. "Lupakan, Naura."
"Oh iya, beberapa hari ini juga, di saat lo nggak ada, ustad Ezzan juga nggak ada. Kayaknya dia udah balik, tadi subuh juga dia nggak ada," ujar Naura.
"Oh ya?" Dinda sedikit terkejut, "Gue nggak tahu sih, dan nggak mau tahu juga. Nanti sore bukber yuk. Bertiga sama Siti, berhubung dia juga udah pulang. Di pasar takjil, di tukang pecel lele Mang Kumis, tempat kesukaan kita, buka puasa terakhir ini," ujar Dinda.
"Boleh. Gue juga lagi males di rumah, Bunda gue lagi ada masalah kayaknya, udah semingguan bunda gue diem aja. Kalo gue tanya pastinya nggak mau jawab, dan malah ngebahas topik yang lain. Hmm, semenjak beberapa hari ayah gue pergi sih, dan gue juga nggak tahu kapan ayah gue balik padahal nanti malem udah takbir." Naura menceritakan keadaan rumahnya saat ini.
Dinda yang mendengarnya hanya tersenyum. "Mungkin ada sesuatu yang bunda lo nggak mau kalo lo tahu, nanti kalo lo tahu, malah kepikiran lagi. Gue juga yakin ayah lo bakal baik-baik aja, pasti bakal balik. Yuk, kita ke rumah Siti."
Mereka berdua pun beranjak dari tempat dan mendekati motor beat hitam, lalu mengendarainya dan pergi menuju rumah Siti.
*****
"Pantes! Kemarin tante ke rumah kamu nggak ada. Suami tante baik-baik sajakan?" Nasya merasa senang atas apa yang didengar dari ponslnya.
"...."
"Alhamdulillah kalo kayak gitu! Hati-hati di jalan! Tante bener-bener udah nggak tahan udah kangen banget!"
"...."
"Tante juga beberapa hari ini ngediemin Naura tanpa alasan, karena tante nggak mau terlalu memperlihatkan masalah yang tante pendam, biar Naura nggak tahu. Namun, kenyataannya tante malah buat Naura kurang nyaman."
".... "
"Ya, udah kalo gitu. Salamin ke suami tante ya! Istrinya nggak sabar ketemu!"
Nasya pun mematikan ponselnya, ia pun beralih memainkan adonan kue yang terhidang di hadapannya. Mempersiapkan segala sesuatu untuk besok menyambut hari raya dengan suaminya yang akan tiba nanti malam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro