Bab 25
Sudah lebih dari satu jam kakak beradik ini tenggelam dalam kesunyian yang mendalam. Hening, mereka masing-masing sibuk dengan aktivitasnya di ruang tamu. Meski TV menyala seperti hiburan bisu yang tak berarti. Dengan serak, Alfatih akhirnya berbicara.
"Kakak merasa beruntung mengetahui niatmu."
Namun adiknya yang diajak bicara hanya terus asyik dengan ponselnya, menunjukkan ketidakantusiasan terhadap topik yang dibawa oleh kakaknya.
"Jangan hanya diam! Bicaralah! Jangan sampai kakak marah! Meskipun sudah lama kita tidak bertemu! Tapi kakak merasa kecewa melihatmu terlibat dalam hal yang berpotensi merugikan dirimu! Terutama mengikuti acara yang tidak baik seperti itu! Apakah kamu tidak takut akan dosa?"
Alfatih merasa emosinya semakin tak terkendali. Rasa amarah yang selama ini ia coba tahan akhirnya keluar begitu saja.
Dinda yang mendengarnya langsung meneteskan air mata. Untunglah, kedua orang tua mereka sedang pergi mengunjungi saudara di desa sebelah setelah sholat tarawih.
"Bagaimana jika ayah dan ibu tahu tentang perilakumu seperti ini? Mereka mungkin akan mengusirmu!"
PRANG!
Sebuah gelas hancur di lantai dan pecahan berserakan.
"Ma-aa-af ..." bisik Dinda, tak berani menatap kakaknya.
Namun, Dinda tidak menyadari bahwa kakaknya sebenarnya sudah mengetahui semuanya. Rencana yang telah dirancang dengan baik, yang telah ia siapkan lima hari yang lalu, demi keegoisan yang baru saja disadari oleh Dinda. Dinda benar-benar menyesal, dan dia merasa bersyukur bahwa semuanya telah gagal berkat tindakan kakaknya sendiri.
"Kamu tidak berhak meminta maaf kepada kakak. Kamu seharusnya meminta maaf kepada Naura, temanmu sendiri," ucap Alfatih dengan nada lebih lembut.
"Kamu seharusnya tidak melakukan hal seperti itu. Sebebas apapun kamu terhadap seseorang, tidak benar untuk melakukan sesuatu yang jelas akan berdampak negatif yang besar. Bayangkan jika aku tidak mengetahui rencanamu, pasti akan muncul masalah yang lebih besar," Alfatih mengambil napas dalam-dalam, "Terlebih lagi, kamu terlibat dalam hal yang sangat tidak disukai oleh Allah. Guna-guna? Sungguh, permainanmu sangat rendah, Dinda," tambahnya.
Sungguh bodoh.
Seorang gadis seharusnya tidak dibiarkan dipenuhi oleh perasaan suka, sehingga mengorbankan moralitas demi keinginan yang sia-sia. Tidak seharusnya dia terbawa oleh obsesi dan melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya.
Memang bodoh, bukan?
"Ma-aaf ... Aku telah berlebihan," Dinda menatap kakaknya yang duduk di depannya. Dengan mata bengkak, pipi memerah, dan ekspresi penuh penyesalan.
Alfatih menatap adiknya dengan simpati, tetapi rasa kecewa masih terasa. Untuk meredakan situasi, ia bangkit dan mendekati Dinda, kemudian memeluknya erat.
Tangisan pun pecah kembali. Dinda meratap di balik kepala yang tertunduk di pundak kakaknya yang kokoh."Udah jangan nangis lagi ... Yang terpenting kamu jangan ngelakuin hal sembrono kaya gitu." Alfatih mengelus lembut pucuk kepala adiknya.
Momen pelukan itu menjadi cara bagi Alfatih untuk mengungkapkan rasa kasih sayang dan peduli yang mendalam terhadap adiknya, meskipun dia merasa kecewa dengan tindakan Dinda. Pelukan itu memperlihatkan bahwa meski ada ketidaksetujuan, tetapi kasih keluarga tetap hadir.
Sementara Dinda masih berpegang pada pundak kakaknya, dia merasa begitu rapuh dan bersalah. Pecahan gelas yang berhamburan di lantai menjadi representasi dari perasaannya yang hancur. Dia merenung pada kebodohan dan kelalaian yang telah dia lakukan.
"Kamu tahu, Dinda," Alfatih berkata dengan suara pelan, "Kehidupan ini penuh dengan cobaan dan godaan. Tapi sebagai manusia, kita memiliki kebebasan untuk memilih. Kita bisa memilih tindakan yang benar dan mencerminkan nilai-nilai yang baik, atau kita bisa terjerumus dalam kesalahan dan mengejar kepuasan sesaat. Yang penting adalah bagaimana kita belajar dari kesalahan kita."
Dinda mengangguk lemah, masih terisak-isak. Dia merasakan kebijaksanaan dalam kata-kata kakaknya. Pada saat itu, dia menyadari bahwa tindakannya yang merugikan itu sebenarnya adalah buah dari egoisme dan ketidakmatangan. Dia merasa malu dan berharap bisa kembali mengubah apa yang telah dia lakukan.
"Kita semua pernah membuat kesalahan, Dinda. Yang penting adalah kita mau bertanggung jawab atasnya dan berusaha memperbaikinya," kata Alfatih sambil membelai punggung adiknya dengan lembut.
Dinda mengangkat wajahnya, matanya masih bengkak dan air matanya mengering perlahan. "Aku menyesal, Kak. Aku benar-benar menyesal atas semua yang aku rencanakan. Aku menyadari betapa bodohnya aku dan betapa buruknya tindakan itu."
Alfatih tersenyum lembut. "Itu langkah pertama yang baik, Dinda. Mengakui kesalahanmu adalah tanda bahwa kamu sedang bergerak menuju arah yang benar. Yang penting sekarang adalah bagaimana kamu memperbaiki dan merestui dirimu sendiri."
Dinda menarik nafas dalam-dalam. "Aku ingin memperbaikinya, Kak. Aku ingin mengambil tanggung jawab atas semua ini dan meminta maaf kepada Naura."
Alfatih tersenyum lebih lebar. "Itu langkah berikutnya. Aku yakin kamu bisa melakukannya. Ingatlah bahwa aku selalu di sini untukmu, Dinda. Kita belajar dari pengalaman buruk ini dan tumbuh bersama."
Dinda hanya mengangguk lembut, masih dengan wajah yang sedikit tertunduk. Setelah merasa bahwa adiknya sudah tenang, Alfatih melepaskan pelukannya dan menatap Dinda. Tangannya perlahan meraih pipi adiknya yang masih terdapat jejak air mata, mengusapnya dengan penuh kelembutan.
"Cinta dan kasih sayang kepada orang lain adalah hal yang alami... Tetapi apapun yang berlebihan tentu tidak baik," ucap Alfatih dengan bijaksana.
Dinda hanya mengangguk, merasa kembali tersentuh oleh kehangatan dan kebijaksanaan kakaknya. Perasaan ini membawa mereka kembali ke masa lalu, di mana kedekatan mereka begitu erat. Pemisahan selama bertahun-tahun bukanlah hal yang mudah bagi saudara kandung, dan saat ini, Dinda merasa beruntung memiliki kakak yang dewasa dan penuh pengertian.
Namun, Dinda merasa perlu mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, meski itu membuat suasana menjadi serius. "Tapi... bagaimana dengan perasaan kakak sendiri? Suka pada Naura sejak lama, namun harus dihadapkan dengan perjodohan yang mengikat. Apalagi jika yang dijodohkan adalah teman masa lalu kakak sendiri. Tidak terlalu berbeda dengan situasiku," bisik Dinda.
Wajah Alfatih seketika berubah, terlihat olehnya bahwa kata-kata adiknya mengenai perasaannya adalah kenyataan. Meski demikian, Alfatih memiliki pemahaman bahwa urusan jodoh tak selalu sesuai dengan keinginan manusia, tetapi takdir yang diatur oleh Tuhan.
"Berbeda, Dinda... Perbedaannya adalah bahwa aku telah belajar untuk menerima dan menjalani kenyataan ini dengan kuat. Aku mengerti bahwa Naura dan Rezzan memang cocok satu sama lain, meski saat ini mereka mungkin belum menyadarinya sepenuhnya. Tapi mengapa kamu membicarakan ini?"
Dinda merasakan adanya rasa sakit dalam kata-kata kakaknya. "Aku hanya ingin menyampaikan bahwa... aku melihat seberapa kuatnya kakak dalam mengendalikan perasaan, bahkan dalam situasi sulit sekalipun. Dan aku..." Dinda merasa ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
Alfatih menatapnya dengan ekspresi campuran, mencoba memahami apa yang ingin dikatakan oleh adiknya. "Kamu apa, Dinda?"
Dinda berusaha untuk tersenyum. "Aku hanya ingin mengatakan bahwa kakak hebat, hebat dalam menahan perasaan selama ini, terlebih dengan jarak yang memisahkan. Dan ketika akhirnya jarak bukanlah penghalang, hidup memiliki cara aneh untuk mengacaukan semuanya... termasuk rencana yang telah kakak susun dengan hati-hati."
Tidak terduga, kata-kata Dinda menusuk hati Alfatih. Rasa sakit pun terasa dalam dirinya, seperti sabetan tajam.
"Hah! Kamu ahli sekali dalam memainkan kata-kata, ya! Haha, aku tidak menuntut lebih banyak, Dinda. Aku hanya ingin mengamati kelanjutan kisah mereka dengan rasa penasaran yang lucu," kata Alfatih dengan nada campur aduk.
Namun, Dinda tetap tajam dalam tanggapannya. "Lucu atau menyakitkan?"
Wajah Alfatih sedikit tergelak, merasakan kecerdasan adiknya dalam memancing respon dari dirinya. "Kamu memang... heh, cukup. Jangan terlalu banyak main-main dengan kakakmu."
Kemudian, dalam sekejap, suasana yang tadinya tegang berubah menjadi riang. Kedua saudara itu saling berkelakar dan berusaha mengusir suasana canggung dengan candaan. Di tengah tawa mereka, terasa kehangatan dan kedekatan mereka sebagai saudara kandung yang tak tergantikan.
●︿●
-Ntrufayme
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro