bab 23
"Saya tidak mengharap lebih, tapi saya berharap Om dan Tante." Rezzan melirik Nasya, "Bersedia dan mau menjadikan saya sebagai calon pendamping Naura ke depannya nanti."
Atha dan Nasya saling bertatapan, lalu mereka tersenyum bersama.
"Saya suka niat kamu, dan tentu saja, saya akan setuju. Terlebih ini juga termasuk janji antara saya dan Ayah kamu. Tentunya saya tidak akan menolak. Lantas, apa yang akan kamu lakukan saat ingin menjadikan putri saya sebagai pendamping hidup kamu?" tanya Atha.
Atha memiliki insting Ayah yang kuat, dan memiliki kepekaan yang tinggi dibandingkan istri dan putrinya. Atha dengan jelas merasakan dari wajah Rezzan yang sangat serius dalam mengucapkan dan merealisasikan niatnya. Keberuntungan sepertinya juga memihak kepada Rezzan, terutama karena putri Atha tidak pernah tertarik pada pria mana pun. Mungkin, kali ini Atha merasa yakin bahwa Rezzan akan memiliki daya tarik yang kuat bagi putrinya.
Rezzan bangkit dari tempat duduknya, lalu kembali duduk di samping ibunya. Ia mengambil sebuah buku cokelat dari dalam tasnya dan meletakkannya di atas meja.
"Om dan Tante, bisa baca terlebih dahulu. Ini adalah buku catatan harian saya selama ini yang berisi tentang upaya saya mengenal lebih jauh tentang Naura. Dan selanjutnya, saya ingin menjadi penceramah di bulan puasa ini, di waktu subuh. Saya ingin lebih mengenal Naura dalam lingkungan tempat tinggalnya," ujar Rezzan dengan keyakinan.
Sebenarnya, selama ini Rezzan sudah membulatkan tekadnya untuk mendalami agamanya lebih dalam dengan belajar kepada para ustadz atau ulama yang dapat meningkatkan pengetahuannya. Ia juga telah merencanakan langkah-langkah yang matang, termasuk meminta izin kepada tokoh agama setempat dan menyiapkan semua kebutuhan saat tinggal di daerah tersebut selama 30 hari di bulan Ramadhan.
Atha dan Nasya membaca buku catatan harian Rezzan dengan serius. Tertawa kecil terlontar dari bibir Nasya saat membaca catatan yang penuh dengan rasa suka, seperti tulisan seorang pemuda yang sedang jatuh cinta, walaupun memang itulah yang sebenarnya terjadi.
"Jangan terlalu serius membacanya, saya juga tertawa melihat tulisan-tulisan yang begitu menggelitik, ditulis oleh anak saya sendiri," kata Sarah sambil mencubit lembut putranya yang tampak sedikit malu, padahal dia sendiri yang memberikan buku catatan itu untuk dibaca.
Atha menutup buku cokelat yang dipegangnya, lalu meletakkannya kembali di meja, di dekat Rezzan.
"Saya tidak menyangka masih ada pria yang bisa mencintai dengan begitu diam dan tulus. Pria yang lebih memilih untuk tidak melangkah ke jalan yang kurang baik, dan lebih baik menyimpan perasaan lalu mengungkapkannya dengan tulus, tanpa harus menjalin hubungan pacaran. Saya sungguh yakin dengan keputusan saya untuk menjadikan kamu calon suami putri saya, dan saya pasti akan memenuhi janji saya dengan menghubungi Ayah kamu."
Namun, Nasya masih merasakan keraguan yang menyelinap di balik senyumnya. Ia merenung sejenak, seakan merangkul pertimbangan hatinya dengan hati-hati, lalu mengajukan pertanyaan dengan sikap yang penuh pertimbangan, "Rezzan, saya sangat menghargai niat baikmu dan kata-kata yang telah kamu sampaikan tadi. Tetapi, kamu harus mengerti bahwa menjadi bagian dari keluarga ini dan meminang Naura bukanlah suatu tindakan yang sepele. Saya tidak ingin pada akhirnya, kita harus menghadapi penyesalan yang mendalam." Nasya memandang langsung ke dalam mata Rezzan, mencoba menilai kejujuran dan tekad di balik pandangannya. Meskipun keraguan masih mengintai di dalam hatinya, ia juga merasakan bahwa mungkin ini adalah peluang yang layak diberikan kepada Rezzan. Namun, sebagai seorang ibu yang penuh perlindungan, ia ingin memastikan bahwa putrinya akan mengalami kebahagiaan dan keamanan.
Rezzan mendengarkan kata-kata Nasya dengan sepenuh perhatian. Ia sepenuhnya memahami bahwa keputusan ini memiliki beratnya sendiri. Dengan tulus, ia menjawab, "Tante Nasya, saya benar-benar mengerti bahwa menjadi bagian dari keluarga ini adalah suatu tanggung jawab yang luar biasa. Keputusan ini tidak diambil dengan gegabah. Saya telah merenung dan merencanakan setiap langkah dengan sungguh-sungguh. Saya sungguh berkeinginan memberikan yang terbaik untuk keluarga ini, termasuk untuk Naura."
Nasya tetap memandangi mata Rezzan, mencoba mencari kejujuran dan tekad yang terpancar dari tatapannya. Ia bisa merasakan ketulusan dalam kata-kata dan ekspresi Rezzan, namun ada sedikit keraguan yang masih bersemayam di hatinya. Setelah beberapa saat, Nasya akhirnya mengangguk dengan lembut, "Baiklah, Rezzan. Kami akan memberikanmu kesempatan untuk membuktikan niat baikmu. Semoga tindakan-tindakanmu di bulan Ramadhan dan seterusnya akan membawa keberuntungan bagi kami."
Rezzan menyunggingkan senyuman penuh syukur. Ia menyadari bahwa kepercayaan Atha dan Nasya telah diberikan padanya, walaupun keraguan masih menyelimuti. Ia bertekad untuk melakukan segalanya dengan sebaik-baiknya, membuktikan dirinya sebagai bagian yang berharga dari keluarga ini.
"Terima kasih, Tante. Saya berjanji tidak akan mengecewakan kalian," ucap Rezzan dengan tulus.
Nasya tersenyum lembut, merasa bahwa keputusan ini adalah langkah yang tepat. Meskipun keraguan masih ada, ia percaya bahwa Rezzan pantas diberikan kesempatan untuk membuktikan dirinya. Mungkin, seiring berjalannya waktu, keraguan itu akan perlahan-lahan menghilang dan digantikan oleh keyakinan yang semakin kokoh.
Flasback off
Rezzan melipat catatan harian itu dengan lembut, seakan menyembunyikan sejuta perasaan dan harapan di dalamnya. Ia lalu membuang pandangannya ke masa sekitar sebulan yang lalu, saat pertama kali ia mengunjungi rumah orang tua Naura. Langkah pertamanya yang penuh niat baik, berharap dapat memulai semuanya dengan cara yang tepat, sesuai dengan semua harapannya.
Kini, ia hanya perlu menunggu momen yang tepat, momen di mana semuanya akan terungkap sebelum malam takbir yang akan menjadi penentu segalanya. Tentu saja, ia juga berdoa agar Ayah Naura, Atha, segera pulih dari sakitnya. Semuanya harus berjalan lancar, tanpa kekurangan apapun.
Namun, seolah ada yang terlupakan dalam ingatan Rezzan. Ia mengangkat diri dari tempat duduknya, meraih tas hitam yang terletak di bawah meja dengan gerakan penuh keyakinan.
Rezzan duduk lagi, meletakkan tas di atas meja, dan membukanya dengan hati-hati. Dari dalam tas, ia mengeluarkan laptop hitam berlogo merek Apple. Dengan perlahan, ia menyalakan perangkat itu, membiarkan sistemnya memperbarui agar kinerja tak terganggu.
Setelah proses selesai, Rezzan mengarahkan kursor mouse ke ikon email yang sudah menumpuk dengan notifikasi. Matanya meluncur dari atas, mencari nama yang beberapa hari lalu seharusnya ia periksa. Akhirnya, ia menemukan sebuah email yang membuatnya merasa tegang sejak beberapa waktu lalu. Isi pesan itu merupakan ungkapan ketidakpastian Rezzan tanpa adanya komunikasi yang jelas.
Rezzan mengklik email tersebut dan membaca isinya dengan perhatian. Selama 20 menit, ia meneliti setiap kata dengan seksama. Ketika ia akhirnya menyelesaikannya, senyum bangga tak bisa disembunyikan lagi di wajahnya, walaupun mata mulai terasa berat akibat kelelahan.
"Benar-benar pilihan yang tepat. Kinerja dan ketelitianmu tak diragukan lagi, dan ide-ide yang diusulkan sungguh luar biasa," ucap Rezzan, merasa bangga akan apa yang baru saja ia baca.
●︿●
Terima kasih
-Ntrufayme
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro